“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?”
“Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.”
“Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.”
Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya.
Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama.
“I'm gonna miss you, Vivin.”
“Me too, Brother!”
“Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?”
Davina menganggukkan kepalanya.
“Kata Mom sama Papa kamu harus sering-sering kabarin mereka.”
“Siap, kapten!” sahut Davina yang dalam hati sedih karena Mommy dan Papa nya tidak bisa mengantarkannya ke Bandara. Maklum, mereka berdua adalah Dokter yang masih sangat aktif di Rumah sakit.
Setelah berpelukan David mengiring langkah Davina sampai adik tirinya itu benar-benar masuk ke dalam pesawat yang sebentar lagi akan take off. Berat rasanya harus melepas Davina pergi ke Italia seorang diri, feeling-nya tidak enak, tapi ia tak bisa mencegah adiknya itu berangkat ke Italia untuk mencari ayah kandungnya di Negara asal Pizza itu.
Jadi bagaimana lagi, ia pun punya keluarga yang tak mungkin bisa ia tinggalkan seandainya ia menemani Davina ke Italia.
Di dalam pesawat Davina mengusap bulir-bulir air mata yang menetes di pipinya. Akhirnya momen ini terjadi juga, dimana ia harus berpisah dengan keluarga yang sangat ia sayangi demi mencari ayah kandungnya yang sudah sekian lama tidak kabar.
“Aku harap sesampainya di Italia aku bisa ketemu langsung sama Daddy. Aku tidak peduli seberapa kotornya dark web atau apapun, aku hanya ingin menyadarkan Daddy agar ia bertobat dan berhenti menjadi penjahat.”
Davina mengambil tissue di Sling bag nya lalu mengusap air bening yang terus merembes dari matanya.
“Ya Allah, lindungi aku selama tinggal di Italia, kuatkan diriku menghadapi orang-orang jahat yang mungkin akan menyerangku nanti.”
Setelah berdoa Davina tertidur, pesawat sudah take off sekitar lima belas menit yang lalu.
Perjalanan udara dari Jakarta ke Milan menghabiskan waktu sekitar 19 Jam. Davina merasa sangat bosan dan ingin cepat-cepat sampai karena dia tidak betah berada di dalam pesawat meskipun ia duduk di first class yang memiliki fasilitas istimewa.
Untuk menghilangkan kebosanan, Davina membaca buku tentang pemograman, secinta itu dia dengan ilmu pemograman yang telah dipelajarinya sejak SMP. Tak lama kemudian seorang pramugari datang mendekati kursinya sambil membawa buku catatan menu.
“Miss, anda mau makan dan minum apa?” tanyanya sopan.
“Coffe creamy latte dingin dan Pizza,” jawab Davina tanpa menoleh apalagi tersenyum.
“Baiklah, mohon ditunggu ya, Miss. Terimakasih.”
“Sama-sama,” sahut Davina pendek. Gadis itu tampak fokus membaca buku kesukaannya.
Tiba-tiba kursi di sebelah Davina yang tadinya kosong ada yang menempati. Seorang pria berhoodie hitam dan memakai kaca mata serta masker yang menutupi sebagian besar wajahnya.
“Maaf sir, anda tidak bisa duduk seenaknya, sebaiknya anda kembali ke kursi anda.” Davina menegur pria misterius di sampingnya secara terang-terangan.
“Ho già pagato per questo posto, non hai il diritto di vietarmi di sedermi qui.” Pria itu menyela Davina dengan bahasa Italia yang tak dapat Davina mengerti.
“Please, jika anda ingin membalas ucapan saya, anda harus memakai bahasa inggris.”
Pria misterius yang serba tertutup itu menoleh dan menatap ke arah Davina cukup lama. “Saya sudah membayar kursi ini, jadi kamu tidak berhak melarang saya duduk di sini.” Kali ini memakai bahasa Inggris, jadi Davina langsung paham dan tak mempermasalahkan lagi jika pria itu duduk sebelahnya, yang penting pria itu tidak mengganggunya.
Beberapa menit berlalu Davina kembali fokus membaca bukunya, sedangkan pria misterius di sebelahnya terus mencuri-curi pandang ke arahnya. Lebih tepatnya ke arah bukunya sih.
“Kamu suka ilmu teknologi?”
“Suka, lebih tepatnya aku suka pemograman,” jawab Davina seadanya.
“Cool, jarang-jarang ada gadis yang tertarik dengan pemograman yang rumit seperti gulungan benang.”
“Ya, betul sekali, aku memang berbeda.” Sebenarnya Davina malas mengobrol dengan orang asing, karena saat ia sudah mengobrol, ia akan lupa kalau lawan ngobrolnya itu orang asing.
“Permisi, ini makanan dan minuman pesanannya,” ujar seorang pramugari yang datang membawakan Pizza dan Coffee creamy latte untuk Davina.
“Yeyay! Akhirnya perutku akan terisi penuh lagi,” ujar Davina tanpa jaim.
“Thank you,” lanjutnya dengan tatapan berbinar-binar.
“You’re welcome, Miss.”
Setelah itu Davina langsung melahap Pizza nya, namun baru saja mengunyah, pesawat tiba-tiba oleng ke kanan dan kiri . Para penumpang pun mulai panik bahkan ada yang sampai menjerit ketakutan.
Ada apa sebenarnya? Davina bertanya-tanya dalam hati sambil mengunyah pelan Pizza yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya.
"What happen?" tanya Davina ke pria misterius yang duduk di sebelahnya.
"Mungkin kehilangan kendali," jawab pria itu santai.
"Ooh, really?" Tak ada sedikitpun kepanikan dari mimik wajah Davina.
"Kau tidak takut?"
Dasha menoleh ke pria misterius di sebelahnya lalu menaikkan satu alisnya. "Jelas takut, bagaimana pun aku masih muda, aku tidak mau mati sebelum keinginan ku tercapai," jawab Davina yang kemudian melepaskan sabuk pengamannya.
"Hei! Kamu mau kemana?"
"Aku ingin sedikit membantu pilot," jawab Davina tenang. Padahal semua orang di sekitarnya panik karena pesawat terus berguncang hebat.
"Memang kamu bisa apa? Kamu hanya akan membahayakan diri kamu sendiri."
"Kau meremehkan ku? Ingat ya sir, anda tidak kenal siapa saya," sahut Dasha yang tak suka diremehkan atau dianggap lemah.
Ia kemudian berjalan dengan hati-hati menuju kokpit. Namun ketika hampir sampai kokpit dua orang pramugari menghalangi jalannya.
"Maaf Miss, anda tidak boleh masuk ke dalam, hanya para petugas yang boleh ke sana."
Davina berdecih. "Jadi kalian lebih memilih semua orang yang ada dalam pesawat ini mati daripada menerima bantuanku?" tanya Dasha sambil menatap tajam wajah pucat dua pramugari yang tampak ketakutan karena pesawat semakin berguncang dengan hebat, seperti tak terkontrol.
"MINGGIR!" teriak Davina yang kemudian menerobos masuk ke dalam kokpit dan berjumpa dengan pilot dan co-pilot yang sedang kebingungan.
"Halo, selamat malam sir, saya ahli dalam pemograman. Saya ke sini untuk membantu kalian mengatasi masalah yang sedang terjadi."
Tanpa menunggu persetujuan dari pilot dan co-pilot Davina langsung duduk diantara mereka lalu mengontrol pesawat melalui komputer. Ternyata ada seseorang yang sengaja membuat pesawat keluar dari jalur lintasannya. Seseorang itu juga memblokir akses untuk pilot masuk ke area lintasan dengan cara mempermainkan sinyal.
"Sir, arahkan pesawat ke kanan, SEKARANG!" teriak Davina yang berhasil menemukan titik kembali.
"Apa kami bisa mempercayaimu?" tanya pilot yang sepertinya meragukan kemampuan Davina.
Mereka tidak tahu kalau Davina merupakan Hacker yang bisa mengendalikan segala sistem pemograman, termasuk yang ada di pesawat.
TBC.
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
Cuaca di pagi itu sangat dingin, angin berhembus kencang menyapu dedaunan di pinggir jalan, menambah khas musim gugur yang hanya ditemukan di negara-negara empat musim, salah satunya yaitu Italia. Di sebuah kamar apartemen yang terletak di lantai tiga puluh, seorang gadis cantik blasteran Asia-Eropa masih bergelung manja di bawah selimutnya, matanya bahkan belum terbuka. Padahal matahari sudah muncul dari ufuk timur menyinari jendela apartemennya yang tak di lapisi gorden.Kriing... Kriing.Entah sudah berapa kali suara alarm yang berasal dari jam beker itu berbunyi, membangunkan pemiliknya yang tertidur seperti orang mati, entah kapan ia akan terbangun dan menyadari kalau pagi sudah menjelang siang."Hemh, kenapa silau sekali?" gumam Davina yang perlahan mulai membuka mata bulatnya.Tangan Davina berusaha menggapai ponselnya yang terletak di meja samping ranjang. Setelah berhasil meraih ponselnya, ia membuka lockscreen dan terkejut ketika melihat jam ham
Davina melirik Sean yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit sambil menatapinya. Tak lama setelah operasi pengangkatan peluru di punggungnya selesai dilaksanakan, pria itu langsung sadar dan kini sudah siuman. Sean menatap Davina sambil mengulum senyum, menahan tawa melihat penampilan kusut gadis itu yang bisa dikatakan mirip seperti orang gila. Rambut awut-awutan, bibir kering, mata merah dan jangan lupakan baju pelayannya yang telah robek di sisi kanan pinggangnya entah karena apa. Sedangkan Davina menatap Sean sambil mencebikkan bibirnya, menahan rasa marah ketika mendapati pria itu merapatkan bibir seperti ingin menertawakan penampilannya. Benar-benar menyebalkan! Pekik Davina dalam hati. Kemudian ia berdiri dan melangkah maju mendekati ranjang tempat Sean berbaring lalu ia menodongkan tangan kanannya tepat di depan wajah Sean. Davina terpaksa menurunkan gengsinya supaya ia bisa meminjam ponsel Sean untuk menghubungi Olivia dan meminta temannya itu untuk
Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi."Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut ta
Langkah kaki Davina terseok-seok, pria yang menarik lengannya berlari terlalu cepat tanpa memperdulikan keadaannya. Mereka menyusuri terowongan gelap yang sembab dan sedikit berlumut. "STOP!" teriak Davina sambil berusaha menghentikan pria yang menariknya. "Aku rasa mereka sudah tak mengejarku," kata Davina sedikit sangsi sebab ia sendiri tak tahu siapa pria yang menarik lengannya tersebut dan apa tujuannya. "Ehi signorina, untung aku berbelas kasihan padamu, kalau tidak entah bagaimana nasibmu di tangan mereka." Davina menatap pria yang belum melepaskan tangannya itu sambil mengais-ngais udara di sekitarnya. "Terimakasih," ucapnya kemudian sembari melepaskan tangannya dari genggaman pria yang telah menolongnya. "Setelah diamati wajah mu terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan restoran, kenalkan... Aku Sean, bella donna." Davina mengangkat sebelah alisnya saat Sean mengamati wajahnya dengan tatapan aneh yang membuatnya
"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" "Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu. "Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan. Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi. Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya. Ting. Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda. "Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun." "Oh My God! He is your Daddy?" Ol
Davina menguap lebar-lebar, ia baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Lelah karena perjalanan kemarin sudah terbayar dengan istirahat sepanjang malam tadi. Tanpa berlama-lama lagi Davina turun dari kasurnya, membuka gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu Davina masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran air untuk mengisi jacuzzi. Tak lupa ia menuangkan sabun aroma lavender kesukaannya, setelah itu ia membuka seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam jacuzzi."Hmm, wanginya, aku pasti betah berlama-lama di sini," ujar Davina sambil menggosok-gosokkan sabun ke lengan putihnya.Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk berendam di jacuzzi, Davina membilas tubuhnya di bilik shower lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Selanjutnya ia memilih outfit yang akan dikenakannya hari ini sampai pada akhirnya Dress floral selutut menjadi pilihannya."Yes selesai, tinggal makeup, hair do, terus pakai sepatu. Habis itu j
Davina meroling matanya lalu menunjukkan gelang berlambang persatuan hacker yang akhirnya membuat dua orang yang memegang kendali pesawat itu memercayainya."Tolong arahkan pesawat ke kanan!" intrupsi Davina dengan lantang.Pilot dan co-pilot pilot pun akhirnya menuruti semua arahan dari Davina. Mereka sadar kalau Davina merupakan salah satu ahli pemograman yang dapat diandalkan."Suruh penumpang tenang, tetap memakai sabuk pengaman dan perbanyak berdoa," pesan co-pilot kepada dua pramugari yang tadi menghalangi Davina masuk ke dalam kokpit."Baik sir.""Atur ketinggian pesawat, di depan ada awan gelap. Matikan sirine tanda bahaya karena sebentar lagi kita kembali ke jalur aman." Davina kembali menginterupsi pilot dan co-pilot yang duduk di kedua sisinya.Dengan sigap pilot dan co-pilot itu melaksanakan apa yang Davina perintahkan. Mereka mengatur mdpl pesawat dan mematikan sirine tanda bahaya. Sampai pada detik berikutnya pesawat kembali ke
“Kamu yakin enggak mau Kakak temenin sampai ke Italia?” “Yakin Kak, pokoknya Kakak enggak usah khawatir, aku bukan anak kecil yang dulu sering minta dianterin ke toko es krim lagi, sekarang aku udah dewasa lho, umurku aja udah 21 tahun.” “Iya iya deh, tapi asal kamu tahu ya, seberapa dewasa pun kamu, di mata kakak kamu tetap adik kecil Kakak. Maka dari itu Kakak selalu khawatir ngelepas kamu sendirian, Kakak takut ada orang yang akan menyakiti kamu, Vivin.” Mata Davina berkaca-kaca mendengar penuturan David, kakak tirinya yang amat sangat menyayanginya sejak ia kecil sampai saat ini. Davina merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada Sang Kakak agar memeluknya. Dengan sepenuh hati Davin memeluk tubuh Davina lalu mengecup kening adiknya itu lumayan lama. “I'm gonna miss you, Vivin.” “Me too, Brother!” “Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya?” Davina menganggukkan kepalanya. “Kata Mom sama Papa kamu h