Orang yang menariknya membawanya menjauhi kerumunan dan mengarahkannya ke toilet pria yang tampak kosong. Pria itu kemudian membuka setiap bilik pintu, memastikan tidak ada pria malang didalam ruangan. Lalu dia kembali kedepan untuk memajang papan 'Sedang Diperbaiki' ke depan pintu toilet dan menguncinya dari dalam.
Anna melihatnya melakukan semua itu dalam diam.
Setelah selesai dan memastikan tidak ada gangguan. Pria itu kemudian menatap Anna dan mendekat kearahnya. Matanya menatap bibir merah perempuan itu dengan pandangan keinginan untuk segera melumatnya.
Anna menyeringai melihatnya dan tangannya mendorong pria itu masuk ke dalah satu bilik dan mendudukkannya di dudukan toilet. Dia kemudian duduk diatasnya.
Mata mereka saling mengunci dan Anna dengan senyum bermain-main di wajahnya dengan sengaja menggoda laki-laki itu yang sangat ingin menciumnya.
"Kumohon," bisik pria itu dengan serak.
"Katakan itu lagi." Perintahnya.
"Kumohon Anna."
Dengan itu Anna menciumnya. Pria itu menyambut ciumannya dan melumatnya. Lidah mereka saling bertaut dan terlihat saling ingin memakan satu sama lain. Anna menggeliat di pangkuan pria itu. Tangannya menjalari punggung kokohnya. Setelah lima menit berciuman panas, mereka melepaskan ciuman satu sama lain dan terengah-engah. Keringat muncul di wajah mereka masing yang sama-sama menyeringai satu sama lain.
"Aku menginginkanmu." Pria itu berkata dengan memohon.
Tangan Anna memegang bahu pria itu, tampak nyaman dengan paha sebagai kursi duduknya.
"Tidakkah kau berpikir jahat untuk melakukan ini, Nathan?" Ia bertanya dengan alis kanannya terangkat. "Pacar kecilmu mungkin sedang menunggumu sekarang."
"Dia bukan pacarku." Ucap Nathan. Tangannya masih memegangi pinggang Anna dan membelainya lembut.
"Bohong."
"Yang aku inginkan sekarang adalah kamu Anna." Bisiknya. Ia dengan berani mulai menempatkan tangannya ke bagian tubuh lain.
Anna menghentikannya. Dia tidak ingin pakaiannya kusut. Dia masih ada urusan dengan Jason Dane, memikatnya untuk menjadi modelnya. Dia tidak boleh terlihat seperti wanita kacau yang habis melakukan make out di toilet.
Nathan membuat ekspresi memohon dengan kedua alisnya melengkung ke bawah dan mata birunya seperti anak anjing yang sedang memohon makanan kepada majikannya. Dia benar-benar sangat desperate ingin melakukan itu dengan Anna di toilet pria.
Anna menatapnya dengan ekspresi datarnya. Dia kemudian turun dari pangkuan pria itu. Berdiri didepannya dan dengan gerakan lambat melepaskan blazernya dari tubuhnya. Nathan tersenyum melihatnya dan mengambil blazernya untuk disampirkan ke gantungan yang tertempel di dinding tipis antar bilik.
"Lepaskan pakaianmu." Anna berkata. Dia selalu menjadi yang dominan diantara pria-prianya.
Nathan melepaskan pakaiannya seperti yang diminta. Dia telah berdiri dan saling berhadapan kembali satu sama lain. Tangan Nathan memegangi sisi kepala Anna sebelum mulai turun ke bawah, menyusup kedalam kemeja putih wanita itu dan melepaskan ikatan bra.
***
"Ini yang terakhir." Ungkap Anna.
"Apa?"
"Ini yang terakhir. Aku membuangmu." Ulang Anna. Tanpa menunggu balasan dari lawannya, dia keluar dari bilik dan mencuci tangannya di wastafel serta menatap pantulannya dicermin. Selain lipstik di bibirnya yang berantakan, dia tampak baik.
Dia mengeluarkan lipstik dari tas yang ia letakkan di wastafel selama seks singkat berlangsung. Saat dia mengoleskan benda itu ke bibirnya, ia melihat dari cermin bahwa Nathan telah keluar dari bilik.
"Tapi mengapa?!" Pria itu bertanya bingung. Dia menuntut penjelasan.
Anna memasukkan kembali lipstiknya dan memakai tas selempangnya lalu berbalik menghadapi Nathan. Ini bukan yang pertama dia berurusan dengan laki-laki yang menuntut penjelasannya setelah dia mencampakkannya.
"Kau sudah tahu hal ini akan terjadi Nathan. Atau kau berpikir ini akan berjalan selamanya?" Tersemat nada mengejek di kalimat terakhir.
"Tapi kita baru lima hari!" Protes Nathan.
Anna memutar bola matanya. "Itu angka yang cukup lama jika menurut perhitungan Leo."
"Pokoknya, kita sudah selesai. Kamu membawa wanita lain di sini. Cobalah menjadi pacar yang baik." Anna memberi nasehat.
"Sekarang kamu mendadak bertingkah menjadi orang bijak." Cibir Nathan. Dia masih ingin bersama dengan Anna.
Anna membuka pintu toilet, dan sebelum dia keluar, dia melihat Nathan untuk terakhir kalinya. Ia menyeringai.
"Kenapa tidak?"
Dia bertemu dengan pria yang terkejut melihatnya keluar dari toilet pria dan menyingkirkan tanda toilet rusak. Anna tersenyum kearahnya dan berjalan dengan percaya diri menuju ruangan depan tempat dimana pameran masih berlangsung.
***Jason tengah mengobrol dengan sekelompok wanita yang mendatanginya jika segala cekikikan dari bibir mereka dihitung sebagai obrolan. Dia sekarang telah berada di depan lukisan lain, lukisan karya pelukis terkenal Vikas Ignazio yang menjadi bintang dalam pameran hari ini meskipun Jason secara personal menyatakan bahwa karya Anna lebih berkesan di benaknya.
"Kami sangat terkejut melihatmu disini, Mr. Dane." Ucap si rambut hitam yang langsung terkikik dengan yang lain.
Ada apa antara wanita dengan cekikikan? Pikir Jason. Dia mencoba bertahan dalam obrolan sambil melihat-lihat sekeliling untuk mencari pelukis wanita berbakat yang berhasil menarik perhatiannya.
Dia tidak pulang kan? Dia bertanya-tanya khawatir.
Senyumnya muncul ketika dia melihat wanita berambut hitam yang tersanggul rapi muncul ke pandangannya. Jason menyukai cara berjalannya yang merepresentasikan kepercayaan diri. Dia suka orang-orang yang percaya diri.
"Permisi nona-nona." Ia berkata. Berhasil keluar dari percakapan dengan tiga wanita yang ternyata karyawan perusahaannya dan mengenalinya.
Dia berjalan menuju Anna yang tampak melihat-lihat lukisan lain yang tak kalah indahnya. Jason menepuk punggungnya.
"Hai," ia menyapa.
"Hai,"
Anna membalas. Tersenyum ketika Jason yang menyapa dan menemukannya lebih dulu.
"Kamu menghilang tiba-tiba." Ujar Jason.
"Hanya menyelesaikan hal lain." Anna mengendikkan bahu, ia tidak sepenuhnya bohong dengan jawabannya. Dia telah menyelesaikan hal dengan Nathan. Sekarang dia tidak memiliki pria lain dan dia menginginkan pria didepannya ini untuk menjadi pengganti Nathan.
Apa sekarang waktunya? Anna bertanya kepada dirinya sendiri. Menanyakan apakah dia mau menjadi modelnya? Bukankah ini terlalu cepat? Tetapi dia tidak ingin kehilangan Adonisnya. Jason lebih tampan dan lebih terkesan berbahaya dibanding Nathan. Dia pasti telah berpengalaman dengan wanita dan akan menjadi model yang sangat bagus untuk lukisannya. Dia membutuhkan pria yang berpengalaman dan tahu apa yang diinginkannya dalam hubungan yang akan dia tawarkan.
Setidaknya tanyai nomor ponselnya. Anna memutuskan. Dia harus mendapat kontak nomor Jason.
"Maukah kamu makan malam denganku?"
"Maaf?" Anna terkejut. Dia tengah tersesat dalam pikirannya dan tidak mendengar dengan jelas perkataan Jason tetapi menangkap kata makan malam.
Pria didepannya tampak menunduk sebelum menatapnya lagi. "Maukah kamu makan malam denganku?" Tanyanya.
Batin Anna tersenyum kemenangan. Jason membuat langkah yang akan dia sambut dengan senang hati. Pria ini, pikirnya. Dia lebih berani dari yang ia kira dan itu hal yang sangat bagus. Dia tidak pernah salah dalam memilih pria.
"Dan untuk apa makan malam ini, Mr. Dane?" Tanyanya, dia memiringkan kepalanya dan menatapnya penuh minat. Ia tengah merayunya.
Jason berdehem gugup. "Kamu adalah seniman yang berbakat. Aku ingin mendengar penjelasan lain dari Fiori Nel Buio dan lukisan-lukisanmu yang lain." Katanya.
"Kamu boleh menolak jika tidak mau." Ia dengan cepat menambahkan.
Anna tersenyum. Bukan senyum palsu kali ini, melainkan senyuman asli.
"Tentu saja aku bersedia."
"Baik," Jason mengangguk dan ikut tersenyum lega. "Jadi, Zi Teresa jam enam malam ini?"
Anna belum mendapatkan nomornya, tetapi Jason Dane telah mengajaknya ke restoran mewah malam ini dan dia harus puas dengan pengaturan itu. Dia telah pergi sekarang, hal pekerjaan katanya. Anna tersenyum dan mengendikkan bahu untuk salam perpisahan dan melihat Jason pergi dalam diam."Siapa itu?"Anna menoleh ke Genevra yang langsung mendekatinya setelah kepergian Jason. Sudah pasti dia mengawasi mereka entah untuk berapa lama. Anna melihatnya dan menyadari penampilan Genevra menjadi lebih kacau dan dia tampak seperti wanita hipsy yang suka meramal."Dia yang membeli lukisanku." Jawabnya."Ah!" Genevra berseru. "Si lima ratus juga!"Suara kerasnya membuat beberapa orang menoleh kearah mereka. Tetapi tampaknya Genevra yang terlalu heboh tidak menyadari itu. "Dia masih muda. Siapa namanya?" Tanyanya ingin tahu."Aku tidak tahu. Aku tidak menanyakan." Anna berbohong. Dia ingin melepaskan diri dari Genevra. Wanita itu manis dan baik, tetapi kepri
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama