Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletak di Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jeruk mandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.
Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.
Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalan Scappnapoli yang selalu ramai di saat malam, Anna segera mengambil tas jinjingnya dan pergi.
Ketika dia tiba, dia langsung mengarah ke resepsionis untuk menanyakan reservasi meja atas nama Jason Dane. Anna mendapatkan pelayan pribadi yang mengantarnya ke mejanya.
Dia melihat laki-laki itu sudah duduk di tempat dan tampak menikmati alunan orchestra yang sayup-sayup terdengar dari meja mereka. Jason akhirnya menyadari keberadaannya dan langsung berdiri untuk menyambutnya.
Anna menduduki kursi yang telah ditarik oleh pelayan yang segera berdiri di sudut. Anna berterimakasih kepadanya lalu memusatkan perhatiannya kepada Jason.
"Apa aku terlambat?" Anna bertanya, dia juga melirik jam di tangannya untuk memastikan. Masih kurang lima menit sebelum angka menunjuk ke pukul tujuh.
"Kamu tepat waktu. Aku hanya datang lebih cepat." Jason menjawab.
Jason lega kekhawatirannya mengenai dia tidak datang telah terangkat. Dia bahkan terlihat menakjubkan daripada tadi pagi.
Dia berdehem, "Kamu terlihat cantik." Pujinya.
Anna tersenyum sambil menanggapi, "Terimakasih Mr. Dane, kamu juga terlihat menakjubkan."
"Kamu bisa memanggilku Jason." Jason menawarkan.
"Jason," Anna mengulang. Nama itu terlihat pas diucapkan.
Nafas Jason sedikit tercekat ketika melihat Anna menatap tepat kearahnya sambil mengucapkan namanya. Dia terpana melihat bagaimana netra hijau gelap Anna berhasil menghipnotisnya dalam waktu singkat.
"Mari kita memesan." Dia memutuskan.
Mereka makan dalam diam. Anna memesan Capriccio dan Shiitake sedang Jason rupanya penggemar salad dengan memesan Marano dan Squadra Azura. Setelah selesai dengan makanan penutup, Jason memesan sampanye dalam rangka menemani mereka untuk kegiatan bincang-bincang setelah ini.
"Fiori Nel Buio," Jason memulai inti dari ajakan makan malam ini dengan menyebut nama lukisan yang telah dia beli darinya, "- adakah alasan tersendiri kenapa kamu membuatnya? Maksudku, beberapa artis memiliki latar belakang tersendiri ketika membuat karyanya. Aku bertanya-tanya apa kamu punya?"
Anna mengangguk paham dan tersenyum atas pertanyaan yang diajukan. Tipikal pertanyaan yang sering diajukan kepada seniman. Dia berpikir sejenak sebelum mulai menjawab.
"Aku hanya merasa marah." Jawabnya.
Dia melanjutkan, "Semua orang mengglorifikasi cerita Persephone yang rela turun ke bawah demi Hades, dan melupakan aspek penting kenapa dewi itu mau. Mereka melupakan itu demi menciptakan cerita cinta seindah mungkin. Bukan hal yang mengejutkan, manusia selalu melakukan itu." Ia mengejek dan terlihat satir akan statemennya tentang manusia.
"Selalu menutupi hal-hal yang menurut merek harus ditutupi, dibuang, kalau bisa." Pungkasnya.
Anna secara tidak sengaja memikirkan dua orang yang dia benci dengan seluruh hidupnya. Matanya memandang air laut disamping mereka yang mengeluarkan suara deburan ombak kecil dalam ritme acak. Maximino Aleksi dan Marquise Sienna Montrell, dua orang yang menjadi orangtuanya dalam kertas. Karena Anna tidak pernah merasa mereka melakukan tugas mengasuh dirinya. Anna senang menyalahkan orang lain untuk suatu hal yang menimpanya sehingga dia menyalahkan dua orang itu atas kehidupannya saat ini. Tanpa ia sadari, tangan kanannya yang diatas meja mengepal erat, dan itu tidak luput dari pandangan Jason.
Anna mengerjap untuk memusatkan kembali pikirannya. Dia menatap Jason.
"Apa kau pikir Persephone mencintai Hades?" Tanyanya.
Jason menatapnya dalam diam dan menunggu penjelasannya.
Anna menggeleng. "Tidak, menurutku dia tidak."
"Sampai kapanpun dia tidak pernah mencintainya. Dia mau menikahinya karena terlanjur memakan delima, jadi daripada tidak menjadi siapa-siapa, dia lebih baik menjadi ratu dunia bawah. Lagipula dia tidak akan seterkenal ini jika tidak menjadi istri Hades." Jelasnya.
"Aku tidak menyalahkan Pershepone untuk itu, dia telah memilih langkah yang tepat. Karena itulah seluruh cerita tentang mereka berdua, aku tidak pernah menganggapnya cerita cinta. Karena itu bukan." Sama seperti Maximino dan Sienna. Mereka menikah karena keterpaksaan dan publisitas. Tidak ada cinta diantara mereka berdua yang kemudian mereka turunkan dengan tidak ada cinta untuk anak mereka, yang membuat mereka lebih buruk dari Persephone dan Hades, pikir Anna getir.
Jason terhenyak di kursinya. Masih memproses penjelasan Anna. Itu bukan cerita yang ingin dia dengar. Jason mengharapkan cinta akan bersemi di sisi Persephone.
"Bagaimana dengan Stockholm sindrom?" Ia mengeluarkan apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
"Aa... Stockholm," Anna tidak bisa untuk tidak mengejek itu. "Sindrom itu tidak seindah apa yang orang pikir. Akan lebih buruk bagi Persephone untuk jatuh cinta dengan penculiknya, dia bisa dimanipulasi dan dia pada akhirnya menjadi pihak yang paling menderita. Cinta tidak akan bekerja untuk yang ini."
"Kamu memiliki sudut pandang yang unik, itu bagus."
Jason mengangkat gelas wine nya ke udara. Anna bergabung dan mereka saling mendentingkan gelas sebelum menyesap minuman masing-masing.
Mereka minum dalam diam. Jason melihat kearah kumpulan yatch yang terparkir yang bergoyang-goyang lembut karena ombak. Melihatnya membuat Jason mengingat ia sudah lama tidak menaiki yatch pribadinya. Dia jarang menaikinya karena dia tidak memiliki banyak teman untuk diundang.
Anna memilih melihat langit malam yang kelabu. Hanya ada satu dua bintang yang sinarnya bisa dia lihat yang menemani bulan berbentuk sabit di angkasa. Dia lalu memusatkan pandangannya ke Jason. Dari samping, laki-laki itu memiliki rasio sempurna untuk rahang dan hidung. Anna bisa menikmati memandanginya sampi berjam-jam tanpa merasa bosan.
"Jujur saja aku masih penasaran Jason," ia memulai pembicaraan. "Kenapa kamu membeli lukisan itu dengan harga tinggi? Ada banyak pelukis lain yang bisa membuat seperti itu. Aku senang, tentu saja. Tetapi aku ingin tahu kenapa kamu membelinya." Anna mengungkit kembali soal lima ratus juta.
Jason memakluminya. Meski dia masih berpikir harga yang ia tawarkan pantas untuk lukisan itu yang memiliki arti luas didalamnya. Disamping itu, dia bisa mengajaknya makan malam.
"Sudah kubilang, lukisanmu bagus dan anggap saja aku sedang berinvestasi, Anna. Aku menyukainya dan aku punya uang, jadi... Kenapa tidak?" Jawabnya.
Jari tangan kanan Anna memutar-mutar gelas di atas meja. Senyum muncul di bibirnya kearah Jason.
"Kamu harus sangat kaya bukan?"
Jason mengangguk. "Seperti itu "
"Apa pekerjaannmu, Jason?"
"Hanya memimpin perusahaan."
Anna memahami. Sebenarnya dia telah menebak itu, ia hanya ingin memastikan. Presdir, CEO, direktur, pengacara mungkin, atau dokter. Sekarang dokter bisa menghasilkan banyak uang. Banyak uang untuk sekadar membeli lukisan dan memakai pakaian merek Brioni Vanquish II yang sangat ekslusif.
"Hanya?" Ia membercandainya.
Pipi Jason sedikit bersemu karena itu.
"Ceritakan tentang itu." Pintanya.
"Aku mengembangkan start up milik ibuku menjadi perusahaan multinasional." Jelas Jason, dia menangkupkan tangannya ke atas meja, mengubah posturnya menadi profesional. "Ini awalnya bergerak dibidang hasil teknologi pangan, tapi kemudian aku berhasil meluaskannya ke sektor lain, makanan instan misalnya. Dane Holdings. Tapi kadang-kadang aku mengatakannya sebagai Dance Holdings."
Anna terkekeh mendengar kelakarnya mengenai nama perusahaan. Jason punya sisi humor yang lucu. Anna juga tahu nama perusahaan yang disebutkannya. Dane Holdings, dia pernah melihatnya di label makanan instan. Sebetulnya, namanya ada dimana-mana.
"Itu bagus untuk berhasil membuatnya menjadi besar di usiamu yang masih terbilang muda." Komentarnya.
"Ya, aku beruntung dikelilingi tim yang sangat produktif dan profesional untuk membuatnya semakin besar tiap tahun." Balas Jason dalam kerendahan hati. "Sebenarnya aku juga masih tidak menyangka Dane Holdings akan menjadi sebesar ini"
"Kenapa tidak? Kamu pemimpin yang cakap."
"Terimakasih Anna." Dia menyukai pujiannya. "Bagaimana dengan dirimu?"
"Aku masih mahasiswi di universitas Naples. Tahun kedua tepatnya. Awalnya aku ingin menjadi politikan," Anna mendengus mengingat cita-cita terdahulunya. "Tapi aku menyadari aku tidak cocok didalamnya dan aku menyukai seni jadi yah... seniman? Kenapa tidak?" Dia tersenyum dan tertawa kecil diakhir.
Jason tertawa juga. Senang melihat Anna antusias menceritakan hidupnya. Dia juga menyukai suaranya dan bagaimana dia berbicara.
"Aku senang melukis realisme. Terkadang aku menggunakan model manusia asli, memfotonya, atau melukisnya langsung di studio di rumahku."
Anna menatap Jason untuk melihat reaksinya. Dia masih mendengarkan ceritanya dan belum mengambil pancingannya.
Anna rasa ini sudah saatnya untuk bertanya. Jadi dengan senyum menggoda, dia mencodongkan tubuhnya dan menatap tepat ke mata coklat madu Jason.
"Maukah kau menjadi model lukisanku, Jason?"
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama