Anna belum mendapatkan nomornya, tetapi Jason Dane telah mengajaknya ke restoran mewah malam ini dan dia harus puas dengan pengaturan itu. Dia telah pergi sekarang, hal pekerjaan katanya. Anna tersenyum dan mengendikkan bahu untuk salam perpisahan dan melihat Jason pergi dalam diam.
"Siapa itu?"
Anna menoleh ke Genevra yang langsung mendekatinya setelah kepergian Jason. Sudah pasti dia mengawasi mereka entah untuk berapa lama. Anna melihatnya dan menyadari penampilan Genevra menjadi lebih kacau dan dia tampak seperti wanita hipsy yang suka meramal.
"Dia yang membeli lukisanku." Jawabnya.
"Ah!" Genevra berseru. "Si lima ratus juga!"
Suara kerasnya membuat beberapa orang menoleh kearah mereka. Tetapi tampaknya Genevra yang terlalu heboh tidak menyadari itu. "Dia masih muda. Siapa namanya?" Tanyanya ingin tahu.
"Aku tidak tahu. Aku tidak menanyakan." Anna berbohong. Dia ingin melepaskan diri dari Genevra. Wanita itu manis dan baik, tetapi kepribadian cerahnya yang memiliki energi berlebih tidak cocok dengan miliknya.
"Aku pergi," pamitnya.
Dengan Jason yang telah meninggalkan pameran, juga lukisannya yang telah terjual dengan harga tinggi, Anna tidak memiliki alasan lain untuk tetap berada didalamya. Dia bahkan berhasil bertukar patah kata dengan Vikas Ignazio. Itu menjadikan hari ini dengan mudah masuk dalam daftar hari keberuntungannya.
Ketika dia berjalan ke pintu keluar, dia berpapasan dengan Nathan dan pacarnya Emilia, anak sastra inggris. Emilia juga menjadi pengisi suara untuk radio kampus di hari-hari tertentu. Nathan berpura-pura tidak melihat dirinya sedangkan pacarnya menyapanya singkat. Anna membalasnya dengan anggukan singkat dan pergi.
Ini bukan akhir dari harinya.
Anna tidak memiliki kelas hari ini tetapi dia ingin mampir ke studio lukis kelasnya untuk melanjutkan tugas melukisnya. Jadi dia hanya mampir ke rumah, mengubah pakaian formalnya menjadi kaos warna putih berlogo kanker payudara di sisi kiri atas dadanya dan jeans. Anna juga mengubah tatanan rambutnya dengan kunciran kuda. Dia tidak terlalu mengambil banyak untuk tampil lebih baik karena dia akan berhadapan dengan banyak cat.
Dia mengambil tasnya, membukanya untuk memastikan cat serta peralatan lukisnya telah didalamnya.
Anna bersenandung sepanjang perjalanan. Dia tidak sabar menanti malam tiba untuk bisa makan malam dengan Jason Dane, pria kaya tampan yang akan segera menjadi next modelnya. Dia akan merayunya malam ini, mungkin jika suasana mendukung, mungkin mereka akan berakhir di kamar hotel.
***
"Ini dia bintang kita hari ini!"
Ketika Anna melangkah masuk ke studio kelas dua A, dia segera disambut oleh kumpulan pasang mata yang melihatnya di tempat kerjanya masing-masing. Giovani, anak laki-laki berambut cokelat keriting yang paling dekat dengan pintu dan yang berseru menyambutnya segera mendatanginya dan merangkulnya.
"Bagaimana dengan makan malam kelas? Kamu yang mentraktir. Kau tahu, lima ratus juta." Giovani mencoba membuat acara makan gratis.
Anna melepaskan rangkulannya dan berdiri dalam keadaan bingung. Dia tidak membuat status apapun tentang lukisannya yang terjual dan sekarang tampaknya seluruh kelas telah mengetahui nominal lima ratus juta. Pikiran Anna langsung mengarah ke Robert, mengingat pria itu memiliki mulut yang tipis dan suka pamer.
"Bayar makananmu sendiri Gio." Balasnya. Dia langsung berjalan menuju mejanya sendiri yang berada disamping Isabel yang sejak ia datang, gadis itu telah melupakan lukisan didepannya dan menatapnya.
"Lihatlah gadis ini." Isabel berkata dalam intonasi lambat dan menyeringai. "Namamu menjadi hot topik di antara mahasiswa sekarang."
Anna meletakkan tasnya di kursi, kemudian berjalan ke lokernya yang terletak di sudut ruangan, dia mengambil celemek warna pastel dan memakainya.
Anna menyeringai sambil tangannya dengan sibuk menyiapkan palet dan kuasnya ke mejanya. Ia melepaskan kain putih yang ia gunakan untuk melindungi lukisannya yang dia tempatkan di easel, alat penyangga kanvasnya, itu kemudian menampilkan citra pemandangan di salah satu sudut kota Napoli di malam hari buatannya yang masih setengah jadi.
"Lima ratus juta. Kita harus merayakan ini." Ucap Isabel. Dia telah kembali mengambil kuasnya dan kembali melukis.
"Aku membuang Nathan." Anna memberitahu.
Isabel menghentikan gerakan kuasnya. Dia menoleh menatapnya. "Bagus, kita bisa ke klub malam ini, mencari pria imut lain untuk digunakan."
Klub adalah tempat favorit mereka untuk mencari pria. Ada banyak pria brengsek berwajah tampan yang bisa mereka jadikan one night stand yang mudah dilupakan. Jika Anna beruntung, dia bisa mendapatkan pria yang mau dilukis.
"Aku sudah mendapatkan potensial modelku." Jawab Anna.
Posisi mereka yang berada di sudut membuat mereka bisa leluasa mengobrol satu sama lain dengan suara pelan tanpa mengganggu yang lain. Juga, sekarang sedang tidak dilakukan kelas resmi sehingga hanya ada setengah dari total siswa di kelas mereka yang datang hari ini.
"Apa?! Begitu cepat."
"Aku belum menanyakannya. Tetapi dia mengajakku makan malam nanti."
Isabel bersiul pelan. "Jadi, dia mengajakmu makan malam di pertemuan pertama kalian?"
"Dia terlihat percaya diri dan berpengalaman. Akan mudah untuk mengajaknya." Komentar Anna. Dia menyeringai saat mengingat pembawaan Jason yang berani mengajaknya untuk makan malam meski mereka baru kenal. Hanya pria bernyali yang berani menanyakan itu.
"Aku jadi penasaran dengan potensial modelmu kali ini. Siapa dia?" Tanya brunette yang tengah menatap hasil lukisannya, mencari kecacatan dalam pekerjaannya sebelum melakukan finishing.
"Tidak ada yang spesial darinya kecuali dia yang membeli lukisanku."
Isabel menatapnya dengan keterkejutan murni. Fokus utamanya sekarang berada di temannya yang tampaknya memiliki kehidupan yang mulus. Annatasia, temannya ini memang memiliki kecantikan yang mudah untuk menggaet pria, tetapi Isabel masih tidak menyangka dia berhasil merayu pria kelas kakap. Pria yang membeli lukisannya itu jelas-jelas pria kaya, siapalagi orang yang senang memberi lukisan berharga mahal? Juga, dia pasti menarik karena Anna tidak akan memberi perhatian ke orang sekaya apapun jika mereka tidak menarik di matanya.
Seringainya muncul, "Orang kaya." Dia berkokok.
"Aku tidak akan terkejut jika dia mengajakmu makan malam di restoran mewah malam ini."
"Zi Teresa." Ungkap Anna. Dia tahu restoran itu termasuk salah satu restoran mewah dan mahal di Napoli. Anna terkadang pergi ke sana untuk sekadar makan sambil menikmati melihat yatch dan suasana laut.
"Jackpot." Isabel bersiul sambil menaik turunkan alisnya. "Kau selalu mendapat buruan terbaik."
"Ya," Anna menjawab sambil sibuk melukis realis sesuai foto yang ia potret di sudut jalan Spaccanapoli yang penuh dengan kesan bangunan tua dan bernilai historis. Meski dia tengah fokus dengan lukisannya, dia masih bisa melihat citra sempurna Jason dalam bayangannya.
"Aku beruntung menemukannya. Dia memiliki wajah yang akan membuat Apollo malu." Ucapnya setelahnya.
Apollo adalah dewa favoritnya dan itu merupakan kehormatan bagi Jason karena dia telah membuat komentar itu.
"Hermes untukku." Balas Isabel.
Mata mereka saling bertatapan dan mereka menyeringai setelahnya.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama