Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.
Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.
Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna.
"Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya.
"Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
"Aku tidak berjanji untuk itu." Goda Anna. Dia menjadi lebih terbuka kepada laki-laki itu sejak ia mengiyakan ajakannya.
Ya, Jason telah mengatakan 'ya' untuk tawarannya. Semudah itu.
Anna akan tidur dengannya, melukisnya, mungkin selama satu atau dua bulan jika dia menyukainya. Setelah itu semuanya akan menjadi sejarah.
"Maka aku harus menemuimu secara langsung di... universitas?"
"Kau tidak tahu jadwal kelasku."
"Aku yakin teman-teman mahasiswa senimu memiliki nomormu." Tutup Jason dengan tawa.
Dia melihat jam di pergelangan tangannya, "Oh..., sudah jam sembilan. Waktu berlalu dengan cepat saat bersamamu miss Aleksi."
"Dan salah siapa itu Mr. Dane?"
Mereka tertawa bersama sebelum kembali menyesap sampanye.
"Aku sangat tertarik untuk melihat lukisan-lukisanmu yang lain suatu hari. Juga, jika kamu ingin mencari dana, sponsor, atau lainnya untuk membuka galeri, kamu bisa mengajukan proposalmu kepadaku. Aku dengan senang hati akan menandatanginya." Jason berterus terang. Dia menyukai talenta muda berbakat seperti Anna didepannya.
"Aku bisa mengajakmu melihatnya sekarang di rumahku. Dan terimakasih atas tawaran murah hatimu." Balasnya.
"Ini sudah malam, Anna. Aku akan mengambil itu lain kali." Putus Jason setelah berpikir.
Anna menyelipkan rambutnya ke belakang punggung. "Terserah kamu."
Mereka menghabiskan satu gelas lagi masing-masing sebelum Jason berkata bahwa mereka harus selesai untuk hari ini karena sudah malam. Anna sedikit kecewa pria itu tidak mau pulang ke rumahnya hanya karena masalah manner bertamu. Lagipula Anna tidak pernah menganggap jam sembilan malam menjadi 'jam malam' di kamusnya.
"Kamu memakai apa untuk kesini?" Tanya Jason.
Dia akan memberinya tumpangan dan tidak akan mengijinkannya menaiki taksi online atau semacamnya.
"Aku mengendarai mobilku."
Jason mengangguk. "Jadi, perpisahan untuk hari ini. Goodnight Anna."
"Goodnight Jason."
***
Anna menghela nafas lelah dan merebahkan diri kasurnya selepas pertemuan malam ini. Meskipun begitu, tercetak senyuman di wajahnya ketika mengingat Jason yang akan segera dia miliki. Dia tidak sabar untuk menidurinya.
Setelah terlentang dalam beberapa menit, dia bangkit untuk meletakkan tasnya ke mejanya, menanggalkan gaunnya dan berganti memakai sweater dan hotpants, pakaian andalannya sewaktu di rumah.
Dia berjalan menuju ke belakang rumahnya, menempatkan gaunnya ke keranjang pakaian kotor, lalu pergi ke dapur untuk mengambil sebotol air mineral dan membawa kembali menuju kamar.
Anna menghapus riasannya dan memakai masker wajah. Dia menjepit rambutnya, meregangkan tubuh lalu menghidupkan komputernya. Dia akan mencari pencarian dengan keyword 'Jason Dane'.
Ada banyak artikel yang muncul. Anna sedikit terkejut dia begitu dikenal di internet. Dia mengklik salah satu artikel yang menuliskan biografi singkatnya.
Anna menyeringai ketika selesai membacanya. Dia mengetahui seluruh profil sekolah yang pria itu masuki dan dia bisa bilang bahwa Jason tidak sesederhana yang ditampilkan.
"Memang laki-laki yang berkualitas." Gumamnya, terpesona atas sosok Jason Dane. Itu membuatnya lebih bersemangat untuk bisa melukis Jason dalam keadaan telanjang.
Bel pintunya berdering.
Anna bangkit dari kursinya. Berjalan cepat menuruni tangga menuju pintu rumahnya dan membukanya.
"Hai,"
Leo Connor berdiri tepat didepan pintu rumahnya dengan kedua tangan terangkat membawa plastik yang berisi makanan fast food.
Anna menaikkan alisnya, menuntut pria itu untuk menjelaskan kedatangan pada jam ini.
"Biarkan aku masuk?" Tanya Leo.
Anna melangkah kesamping untuk membiarkannya masuk. Dia menutup pintu dan kembali menguncinya lalu mengikuti Leo yang langsung naik ke lantai dua seolah-olah dia yang punya rumah.
"Aku menginap disini." Leo memberitahu. Dia meletakkan barang bawaannya ke atas meja depan tv.
"Aku belum mandi sore. Dilemarimu masih ada pakaianku kan?" Ia menoleh ke arah Anna yang memilih duduk di sofa, tengah membuka kardus ayam goreng yang dibelinya dalam perjalanan.
Anna mengangguk. Sudah bukan hal aneh melihat Leo menjadikan rumahnya sebagai hotelnya. Mandi, makan, tidur, Leo bahkan dengan sengaja menyimpan pakaiannya ke lemarinya. Anna membiarkannya, dia terkadang membutuhkan teman di rumahnya agar tidak terlalu kesepian dan Leo adalah teman yang cocok selain Isabel.
Dia menghidupkan televisi yang telah tersambung dengan Netflix, mencari tayangan series yang ia ikuti dan memutarnya sambil menunggu Leo selesai mandi.
Sepuluh menit kemudian, Anna merasakan pelukan dari belakang.
"Siapa itu Jason Dane?" Tanya Leo yang bersuara rendah tepat didepan telinganya.
"Model lain."
Leo langsung mengambil tempat disampingnya. Handuk tersampir di kepalanya dimana rambut pirang curlinya masih meneteskan air. Dia tidak menanyakan lebih lanjut lagi untuk menghargai privasi Anna. Leo tidak peduli dia berhubungan dengan banyak pria, karena Leo sendiri hidup seperti itu, bermain-main dengan wanita.
"Mereka bertengkar lagi." Ungkapnya.
Leo tinggal bersama dengan orang tuanya di rumahnya. Jarak rumahnya hanya lima blok dari rumah Anna dan sepuluh blok dari universitas Naples tempat mereka berkuliah. Hidup bersama orang tua memang lebih mudah dibanding hidup mandiri apalagi jika orang tuamu punya banyak uang. Tetapi itu berubah menjadi neraka ketika mereka mulai berteriak satu sama lain dan memecahkan barang-barang.
Leo telah hidup seperti itu sejak dia berada di kelas satu junior high school. Tampaknya Alexander Connor dan Cara D'angelo telah tidak tahan lagi untuk berpura-pura menjadi orang tua yang baik bagi satu-satunya anaknya. Hasilnya? Mereka saling membenci satu sama lain, saling memiliki selingkuhan, dan mereka tidak akan pernah bercerai karena keduanya seorang politikan berkedudukan tinggi. Ibu Leo mungkin bisa saja menjadi presiden Italia selanjutnya.
"Apa kali ini?" Tanya Anna.
Dia mengerti tentang kehidupan Leo dibanding yang lain karena mereka telah berteman sejak awal. Anna mengenal Leo sejak mereka bersama-sama bersekolah di sekolah tinggi Naples. Mereka tidak langsung saling kenal namun harus diperkenalkan terlebih dahulu oleh teman mereka, Christina. Setelah tahu satu sama lain, mereka langsung menjadi dekat karena kesamaan memiliki orang tua yang harmonis dimata publik tetapi 'saling bunuh' ketika di rumah. Keadaan psikis Anna membaik ketika dia mendapatkan rumah ini dari ayahnya sebagai hadiah atas keberhasilannya masuk universitas Naples. Tetapi Leo menjadi lebih buruk.
"Hal sepele lain." Jawab Leo yang enggan menceritakan orang tuanya. Dia tidak memiliki rasa bangga sekecilpun untuk mereka.
Mereka menonton tayangan dalam diam setelahnya. Sebelum kemudian Anna berbicara lagi mengenai topik yang berbeda.
"Eleanor ingin menjadi anggota tetap grup kita." Ungkap Anna.
Kelompok mereka tidak memiliki nama, tetapi secara de jure beranggotakan lima orang.
"Aku tahu. Aku baik-baik saja dengan pengaturan itu."
"Aku juga tidak memiliki alasan untuk bilang tidak." Anna mengaku. Terlebih Eleanor sudah lama bersama mereka.
"Kau masih mengingat kejadian di Verona?" Tanyanya.
Leo menoleh menatap Anna. "Masih Anna."
"Verona selalu menghantui mimpiku." Ia mengaku.
Anna membelai punggung Leo untuk menguatkan laki-laki itu.
"Apa yang Christina sedang lakukan sekarang?" Anna menyeringai. Mungkin dia akan berkata 'persetan dengan ini, aku pergi!'
Leo tertawa dan membayangkannya juga. "Berpesta di surga?"
Itu berhasil membuat Anna tertawa. "Surga? Tidak Leo, kita bisa dipastikan masuk neraka."
"Persetan neraka." Umpat Leo. "Mungkin dia sedang minum teh dengan Marilyn Monroe." Ia menyeringai.
Mereka tertawa bersama. Malam dihabiskan untuk mengobrol mengenai teman mereka. Tv telah dilupakan, Leo telah menggeser meja agar mereka bisa tiduran di atas karpet.
"Aku merindukannya."
"Kita semua merindukannya."
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Hujan malam itu menambah dinginnya kota Napoli, membuat sebagian penduduknya tengah bergelung dibawah selimut, mencari kehangatan dan terlelap dalam mimpi. Menunggu matahari terbit yang jika sesuai jadwal akan berlangsung tiga jam kemudian.Perempuan penghuni rumah bercat abu-abu di jalan Via del Sole seri Mettere nomor 97 tak terkecuali. Dia mengetatkan selimutnya hingga ke atas dadanya. Bedanya, dia tidak mencoba kembali melanjutkan tidurnya dan memilih terjaga lebih awal dari jadwal bangunnya yang biasa. Dia menghidupkan lampu tidurnya, menghasilkan cahaya remang-remang yang membuatnya bisa melihat suasana kamarnya dalam pendar keemasan yang dihasilkan dari bohlam lampu.Kamarnya terlihat berantakan. Pakaiannya tersebar di lantai, teronggok bersama pakaian pria. Selimutnya kusut akibat dari kegiatan panas yang ia lakukan tadi malam. Dia menoleh kesamping dan menatap pria yang terbaring miring menghadapnya, tangannya terulur keatas tubuhnya.Perempuan itu meny
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama