Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.
... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.
Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.
Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toilet pria. Dia mengacuhkannya sepenuhnya meski dia sadar pria itu beberapa kali ingin mencoba berhubungan kembali dengannya. Anna tidak pernah menawarkan hubungan dua kali. Dia tidak pernah kekurangan pria.
"Yo! Pelukis hebat kita!" Seru Isabel, mengangkat tangannya di salah satu meja kantin untuk menyapa Anna yang baru bergabung.
Dia duduk di samping Evan yang dengan gentle menarik kursi untuknya.
"Bagaimana kabarmu pelukis lima ratus juta?" Tanya pria itu.
"Jangan kamu juga Evan." Balas Anna sambil mendengus mendengar sebutan baru untuknya.
Hanya ada mereka bertiga kali ini. Mereka masih menunggu Leo dan Eleanor, sedangkan Julian? Dia seorang dosen. Untuk menghindari rumor, dia jarang berkumpul dengan mereka ketika di area kampus. Isabel sering menggerutu akan hal itu karena dia tidak bisa memamerkan kemesraannya ke teman-teman jurusannya.
"Sudah memesan?" Tanya Anna.
Isabel menggeleng, dia menyibakkan rambutnya dan saling bertukar seringai dengan Evan. "Kami menunggumu untuk membayar pesanan." Ucapnya blak-blakan.
"Uangku akan habis untuk memberi makan kalian semua." Balas Anna yang menggerutu. Meskipun begitu, dia tetap akan membayar pesanan mereka selama tujuh hari sesuai kesepakatan yang dibuat.
Lima menit kemudian, Leo dan Eleanor menampakkan diri bersama dan bergabung. Isabel dan Anna saling berpandangan karena kedatangan mereka.
"Rambutmu terlihat berbeda dear, kau potong rambut?" Tanya Isabel, mengomentari rambut pirang Eleanor yang berubah menjadi bob cut.
"Fresh look." Eleanor menyeringai dalam membalas. Dia lalu memusatkan perhatian kepada Anna. "Halo pelukis lima ratus juta."
Duo pirang itu lalu saling ber-tos ria.
"Tugas siapa untuk memesan?" Tanya Leo. Menoleh kearah Eleanor disampingnya, Evan dan juga Isabel. Dia mengecualikan Anna karena dia yang membayar.
"Evan kali ini." Jawab Eleanor.
Tanpa menolak, Evan berdiri dan mengambil kartu debit yang Anna acungkan kearahnya. Mereka saling mengucapkan pesanan dan laki-laki itu dengan tanpa keluhan seperti yang biasa dilakukan ketiganya ketika mendapat giliran, pergi menuju stan makanan.
"Tampaknya aku salah jurusan." Eleanor memulai.
"Masuklah jurusan ini Eleanor. Kesempatan menjadi Anna sekitar 0,2 persen kurasa." Balas Isabel, dia tidak bisa untuk tertawa mendengar ucapan Eleanor. Seni memang dihargai mahal, tetapi hanya ketika seniman itu sudah memiliki nama.
"Ya, aku tidak pernah menjual lukisanku lebih dari dua puluh juta." Leo menimpali.
"Siapa pembelinya?" Dia masih ingin tahu tentang seluk beluk bisnis seni seperti ini. Itu bagus untuk menambah wawasannya selain berkutat dengan angka di jurusan ekonomi.
"Pasti orang kaya kelebihan uang yang tidak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan uangnya?" Celetuk Leo.
Eleanor menyenggolnya untuk komentar itu.
Anna sama sekali tidak tersinggung. Dia sudah tahu watak tengil Leo. "Tidak dia tidak," dia membela Jason. "Dia sedikit mengerti tentang seni dan menyukainya. Dia juga menawari untuk mensponsoriku jika aku memutustan membuka galeri atau sejenisnya." Jelasnya.
Isabel bersiul ketika mendengar penjelasan Anna. "Benar-benar keberuntungan." Dia mengedip kepadanya.
"Bagaimana tampangnya? Aku ingin menjadi sugar babynya kalau dia sekaya itu." Komentar Eleanor. Dia tidak malu menyebut 'sugar baby' di muka umum.
"Siapa yang ingin menjadi sugar baby?" Evan membalas dari belakang. Dia kembali dengan membawa dua buah nampan besar di kedua tangannya. Dia dengan hati-hati meletakkannya ke meja.
"Dia pria tua." Balas Anna. "Dia mungkin sudah impoten." Dia berbohong.
Perkataannya itu membuat Isabel mendengus dan menatapnya geli.
***
Jason memberinya pesan siang tadi, selepas Anna makan siang dengan teman-temannya. Pesannya singkat, intinya dia ingin melihat lukisan-lukisannya sore ini sehingga Anna membalasnya dengan mengirim koordinat rumahnya.
Anna sempat khawatir Jason menjadi pasif setelah acara makan malam tiga hari yang lalu. Dia sudah membuat rencana akan membuat first move di hari keempat jika masih tidak ada pesan dari Jason tetapi sepertinya dia tidak perlu melakukannya sekarang.
Ia senang dengan pengaturan yang akan datang ini sehingga dia memutuskan untuk memakai lingeri merahnya sebagai pakaian dalam. Dia juga mengecek penempatan kamera di studionya, di ruang tamu lantai satunya, atau di kamarnya sebagai tempat potensial untuk berhubungan seks. Ya, Anna memiliki kamera tersembunyi di setiap ruangan rumahnya. Dia akan mengeceknya setiap satu bulan sekali untuk menghapus file-file tidak penting yang sebagian besar memang file itu.
Jam lima sore, dengan midi dress hitamnya, Anna telah stand by duduk di kursi ruang tamunya di lantai satu yang langsung mengarah ke pemandangan jalan raya didepannya. Rambutnya ia biarkan tergerai dan dia memakai riasan minimalis untuk menonjolkan mata hijaunya.
Senyumnya merekah ketika dia melihat Tesla terparkir di pelataran rumahnya. Anna melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Seperempat jam lebih awal dari waktu yang dituliskan. Dia langsung menyimpulkan datang lebih awal lima belas menit adalah kebiasaan Jason.
Anna berdiri dan berjalan membuka pintu untuk menyambutnya.
"Hai,"
Pria itu tersenyum menyapanya sambil menyodorkan parsel. Anna menerimanya, dia menyukai pilihan Jason yang memberikannya parsel buah-buahan segar dibanding buket bunga.
"Kau tidak perlu membawa ini," katanya. Dia menatap laki-laki itu yang sekarang sedang sibuk melepaskan sepatunya untuk diganti dengan sandal rumah bermotif kelinci. Anna tidak melihat motifnya saat membelinya jadi dia harus puas dengan benda imut itu sebagai sandal.
"Ini bukan hal yang besar." Balas Jason. Dia melihat-lihat sekeliling ruangan tamu Anna dan mengagumi tata ruangnya.
"Rumahmu unik." Pujinya.
"Terimakasih."
"Dimana orang tuamu? Aku ingin menyapanya." Jason bertanya, ia telah diiajarkan agar selalu menyapa pemilik rumah ketika bertamu.
Anna tertawa kecil mendengar pertanyaan Jason. "Aku tinggal sendiri Jason. Mereka tinggal di Talis Park.
"Oh?" Jason terkejut mendengarnya. "Bukankah berbahaya untuk tinggal sendirian, maksudku mengenai soal keamanan. Ada banyak kasus perampokan akhir-akhir ini." Balasnya khawatir.
Anna mengendikkan bahu, "Tidak ada gangguan disini." Dia menjelaskan. "Masuklah, akan aku tunjukkan studioku."
Jason terpana melihat keindahan interior rumah Anna. Dinding dalamnya bercat putih tulang yang jika di keadaan biasa akan menimbulkan rasa tidak nyaman seperti dinding rumah sakit, tetapi Jason tidak merasakan perasaan itu di rumah ini. Ia mengikuti Anna menuju ke dalam rumahnya, melewati koridor yang terdapat lukisan berjejer yang tidak bisa untuk ia lewatkan.
"Yang paling utara itu saat aku masih anak kecil. Satu-satunya yang tersisa." Anna memberitahu ketika Jason tertarik melihatnya.
Jason sangat menyukai ide memajang lukisan dari tahun ke tahun pembuatan. Ini menjadi bukti progres seorang seniman yang mengawali lukisannya dari acak-acakan khas anak kecil menjadi pelukis handal yang setiap lukisannya bisa membuat orang terpukau melihatnya. Anna benar-benar sangat berbakat di bidangnya.
Anna memberi kode agar Jason kembali mengikutinya. Lukisan di koridornya hanyalah permulaan, dia masih memiliki puluhan lain yang terpendam di studionya, sedang menunggu untuk dipamerkan.
"Jangan terkejut melihat ini." Katanya mewanti-wanti dalam nada jahil.
Anna membuka pintu studionya dan berjalan melangkah ke dalamnya dengan tangan terentang lebar.
"Voila!" Serunya.
Dia terkekeh geli ketika ia berbalik dan mendapati Jason berdiri membeku di depan pintu. Dia bisa melihat binar-binar takjub di matanya dan Anna merasa bangga pria didepannya ini terlihat menyukai lukisannya.
"God, ini sangat bagus Anna." Ia berseru kagum.
Jason tak tahan untuk tidak berkomentar. Dia berjalan menuju lukisan terdekatnya yang menggambarkan seorang Dewi sedang disembah rakyatnya. Jason tidak tahu dia Dewi apa, dia tidak peduli. Dia mengeluarkan suara tercekat dan tampak tidak percaya dengan karya-karya disekelilingnya yang menurutnya sangat berharga.
"Kau bisa membuka galeri dengan semua ini." Ucapnya lagi.
Anna sekali lagi tertawa dengan reaksi Jason. Dia berjalan menuju lebih ke dalam, dimana lukisan-lukisan nudenya terpajang. Jason mengikutinya dan pandangannya berubah ketika melihat tema lukisan tersebut.
Anna mengamati reaksinya. Jason belum berkomentar apapun mengenai lukisannya kali ini. Itu bisa diartikan sebagai hal yang bagus.
"Jason," panggilnya. Dia berjalan mendekatinya. Tanpa melepaskan kontak mata, tangannya terjulur menuju kancing kemeja atasnya. Dia berhasil membuka satu kancing dan akan membuka kancing lain jika tangannya tidak ditahan oleh Jason sendiri.
"T-tunggu,.." laki-laki itu terdengar gugup dan pipinya bersemu merah. "Kenapa?"
"Apa kamu masih ingin menjadi modelku, Jason?" Tanya Anna.
"Y-ya," Jason menjawab dengan susah payah. Jantungnya berdebar dengan keras.
"Ada syarat untuk menjadi modelku." Bisiknya. Dia tersenyum menggoda sekali lagi.
"Apa itu?"
"Tidur denganku."
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Hujan malam itu menambah dinginnya kota Napoli, membuat sebagian penduduknya tengah bergelung dibawah selimut, mencari kehangatan dan terlelap dalam mimpi. Menunggu matahari terbit yang jika sesuai jadwal akan berlangsung tiga jam kemudian.Perempuan penghuni rumah bercat abu-abu di jalan Via del Sole seri Mettere nomor 97 tak terkecuali. Dia mengetatkan selimutnya hingga ke atas dadanya. Bedanya, dia tidak mencoba kembali melanjutkan tidurnya dan memilih terjaga lebih awal dari jadwal bangunnya yang biasa. Dia menghidupkan lampu tidurnya, menghasilkan cahaya remang-remang yang membuatnya bisa melihat suasana kamarnya dalam pendar keemasan yang dihasilkan dari bohlam lampu.Kamarnya terlihat berantakan. Pakaiannya tersebar di lantai, teronggok bersama pakaian pria. Selimutnya kusut akibat dari kegiatan panas yang ia lakukan tadi malam. Dia menoleh kesamping dan menatap pria yang terbaring miring menghadapnya, tangannya terulur keatas tubuhnya.Perempuan itu meny
Anna mematikan musiknya setelah melihat kedua pria yang tidur di kasurnya terbangun. Leo menatapnya dengan kesal dan tampak ingin mencekiknya. Sedangkan Evan, laki-laki itu hanya menatapnya geli dan tampak baik-baik saja dengan pilihan lagu buruknya untuk mengawali hari."Langkah bagus Anna." Leo mencibir. Tidak bisakah dia tidur dengan nyaman? Punggungnya pegal karena tidur dalam posisi bersandar yang dia tidak tahu kenapa dia melakukannya. Kemudian setelah dia bisa tidur dengan nyaman di ranjang empuk milik Anna, dia dibangunkan terlalu cepat oleh lagu sialan itu."Ada apa denganmu?!"Isabel, wanita bersurai coklat dan memiliki postur seperti model memasuki kamar hanya dengan pakaian dalamnya yang berwarna merah. Ia menatap ke arah pelaku dengan kekesalan tingkat tinggi.Anna menyengir kuda, puas bahwa dia berhasil membuat mereka bangun tidur. Ini sebuah prestasi, terlebih untuk bisa membangunkan Evan."Isabel, apa kau melihat celana dalamk
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama