"Terlihat berbeda bukan?"
Anna berdiri disamping pria itu. Tidak, ia tidak menoleh kearahnya. Dia berpura-pura tertarik dengan lukisannya dan mengabaikan sosoknya agar pria itu tidak melabelinya sebagai salah satu dari wanita-wanita pengagumnya di belakang.
Pria disebelahnya mengangguk. Ia juga tidak menoleh kearahnya. Matanya tetap setia meneliti setiap goresan kuas dari lukisan didepannya.
"Fiori Nel Buio, aku tidak pernah melihat yang seperti ini dari lukisan lain. Penggambaran Persephone maksudku."
Anna menatap sosok Persephone yang dilukisnya. Setiap kali kisah dewi itu ditulis atau dibicarakan, mereka akan banyak berbicara tentang betapa cintanya dia dengan Hades hingga rela hidup di dunia bawah. Tetapi Anna tidak pernah berpikir Persephone melakukan itu dengan suka rela, atau berpikir bahwa Persephone mencintai Hades, suaminya.
Persephone di lukisannya tampak meronta dan dengan ekspresi terluka ketika Hades dengan keretanya menjemputnya dari tanah yang merekah terbuka. Itu bukan cinta, itu obsesi. Pikirnya. Anna tidak tahu mengapa seluruh kisah seolah-olah menggambarkan mereka dengan pasangan fairy tale sehingga ada banyak karya sastra yang terinspirasi dari kisah mereka dan kesemuanya memiliki akhir bahagia. Karena itulah dia membuat ini, membuat versinya sendiri.
"Itu bukan cinta, itu obsesi." Ia menyuarakan pikirannya.
Pria itu akhirnya menoleh kearahnya. Hanya sekilas lalu kembali memandang ke depan. "Begitu gelap." Ucapnya.
"Siapapun yang melukis ini, dia sangat berhasil mengeluarkan sisi Persephone yang tidak pernah aku lihat." Tambahnya.
Anna menyunggingkan senyum kecilnya. "Dia dewi musim semi. Untuk harus hidup di dunia bawah bersama dengan penculiknya merupakan sebuah pukulan keras untuknya. Tetapi sepertinya orang-orang melupakan itu." Dia sedikit menjelaskan detail lukisannya.
"Karena itulah sisi kanan lukisan dipenuhi bunga-bunga musim semi dengan warna-warna indah yang semakin memudar hingga ke ketiadaan." Pria itu melanjutkan. Kemudian dia tersenyum lebar dan mencodongkan tubuhnya kearahnya.
"Jason Dane." Dia berkata, memperkenalkan dirinya sendiri.
Jason Dane, ulang Anna dipikirannya. Namanya terlihat maskulin dan sangat cocok dengan pembawaannya.
Anna ingin membalasnya tetapi tubuhnya dirangkul dari belakang oleh orang lain. Dia menoleh dan mendapati Robert kembali mengintervensinya. Dia mulai sebal dengan gurunya itu.
Robert menatapnya dan berganti menatap ke pria disampingnya. Dia tersenyum lebar kearah pria itu. "Jason Dane bukan?" Tanyanya.
Jason, pria itu mengerutkan keningnya dan menjawab, "ya" dengan enggan. Dia tidak suka diskusi mereka disela.
Robert melirik kembali kearah Anna. "Rupanya kalian telah berkenalan. Anna, ini Jason Dane, orang yang menawar lukisanmu." Terangnya.
Anna mengerjap terkejut. Itu berita yang tidak dia antisipasi. Dia menatap Jason, sekarang setelah dia melihat lebih dekat dia bisa tahu kalau pakaian yang dikenakannya bermerek mahal. Dia jelas orang kaya.
Jason terkejut. Dia melihat nama yang tertera di bawah lukisan 'Annatasia Aleksi' lalu menoleh kearah teman diskusinya. "Itu kamu?" Tanyanya dalam keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan.
Dia tidak menyangka yang melukis lukisan Fiori Nel Buio di depannya ini adalah seorang wanita muda dan cantik disebelahnya. Ketika dia melihat nama pelukisnya, pikiran Jason langsung mengarah ke wanita dewasa yang secara tidak beruntung belum terkenal. Sedangkan perempuan ini? Dia begitu muda. Dia seperti masih seorang siswi. Pikirnya.
"Anna, kamu bisa mulai berbincang dengannya mengenai lukisanmu." Suruh Robert. Dia meninggalkan mereka berdua setelah memperkenalkan mereka.
"Well, aku harus berterimakasih kepadamu karena telah membeli lukisan ini dengan harga yang murah hati." Ucap Anna, dia menyunggingkan senyum profesional.
"Tidak tidak, itu harga yang pantas untuk sebuah lukisan yang indah ini." Balas Jason.
"Aku belum terkenal." Anna dengan percaya diri memilih kata 'belum'.
Jason mengambil kata itu. "Maka aku sedang membuat investasi yang bagus, Annatasia." Ia menjawab sambil tersenyum kecil.
Anna ikut tersenyum dengan alasan yang berbeda. Dia melihat bagaimana pipi Jason menampilkan lesung pipitnya ketika tersenyum dan itu semakin menambah kerupawanannya.
"Kau bisa memanggilku Anna." Anna berkata dalam nada rendah dan sedikkt menggoda. Ingin tahu apakah laki-laki itu akan mengambilnya atau tidak.
"Anna," Jason mengulang dengan penekanan. "-nama yang bagus." Pujinya.
"Nama pasaran sebenarnya."
"Yang bagus selalu dipakai banyak orang." Jason membalas. Dia menyukai selera humor perempuan disampingnya ini.
Perempuan ini tidak hanya cantik, tetapi juga berbakat. Jason yakin namanya akan semakin dikenal di tahun-tahun mendatang nantinya. Dia menunggu untuk itu sehingga dia bisa memamerkan lukisan didepannya ini yang telah dia beli.
"Jadi..., apakah dia bahagia?" Tanya Jason. Dia menjadi bertanya-tanya tentang nasib Persephone.
"Bahagia adalah kata yang terlalu kuat untuk mendeskripsikan perasaannya." Anna menatap sosok dewi cantik yang dilukisnya.
Bagi Anna, ketika dia tengah melukis, dia selalu membayangkan menjadi sosok yang ia lukis. Kemarahan, kesedihan, kebahagiaan, dengan begitulah dia bisa menangkap perasaan dan mengeluarkannya dalam bentuk gambar. Untuk kasus Persephone, selama dia menorehkan kuasnya, dia memiliki gambaran nasib dewi itu setelah peristiwa penculikan. Kemarahan dan kesedihan yang berangsur-angsur memudar setelah sekian lama dan berganti dengan penerimaan. Dia menjadi ratu dunia bawah pada akhirnya. Tetapi kebahagiaan? Dia meragukannya.
"Aku jadi membayangk-" suara Jason berhenti ketika melihat Anna memberi kode. Anna mengeluarkan ponselnya dari saku rok spannya.
"Maaf, aku ada urusan sebentar." Anna mengangkat ponselnya.
Dia berjalan menjauh dan bersandar di sudut dinding yang tidak terlalu ramai. Membuka chat dari Eleanor, temannya.
"Shit!" Umpatnya ketika dengan ceroboh mem-play video yang dikirimkan wanita itu yang ternyata sebuah tape seks. Dia segera mempause-nya dan menatap sekeliling. Untungnya tidak ada orang yang berdiri dekat dengannya. Suara yang terdengar tadi bisa dikatakan keras karena dia lupa mengecilkan volumenya.
Anna segera membalas.
Anna : Ada apa denganmu?
Sedetik kemudian ada balasan.
Eleanor : Sudahkah aku dianggap anggota dalam? Lol.
Anna membacanya. Eleanor adalah mahasiswi akuntansi tahun ke empat yang mulai mendekati kelompok mereka sejak dua bulan yang lalu. Anna mengenalnya ketika dia dengan berani bertanya kepadanya apakah dia boleh bergabung ke pesta seks mereka. Cara dia menanyakan seolah-olah mereka adalah sekumpulan pendosa yang melakukan seks ramai-ramai. Anna hanya pernah melakukan threesome dua kali, itu pun yang satu ketika dia dalam keadaan mabuk berat. Pada akhirnya, dia menmbolehkan dia bergabung dengan menjadi anggota tidak tetap. Eleanor paling dekat dengan Leo. Tampaknya dia bertekad untuk menjadi anggota tetap dan dengan berani sering menge-share videonya ke anggota yang lain.
Dia mengetik,
Anna : Jangan bertanya kepadaku Lol. Gaya bagus omong-omong.
Dia lalu mematikan datanya. Dia tidak menunggu jawaban Eleanor. Eleanor bagus, dia sama gilanya dengan dia tetapi kelompoknya belum ingin menambah anggota setelah insiden di Verona.
Anna mengantongi ponselnya dan menatap kearah Jason yang sekarang sedang sibuk meladeni wanita-wanita lain yang mengerubunginya setelah kepergiannya. Ini seperti teori dimana orang baru berbondong bondong mendekati sesuatu setelah melihat orang lain mendekatinya terlebih dahulu. Tidak ada yang berani mendekat kearahnya sebelum dia bernisiatif dan sekarang setelah dia berani, yang lain memgikuti langkahnya.
Jason Dane. Pikirnya. Laki-laki itu sesempurna patung David karya Michaelangelo. Dia berambut brunette gelap, hidung mancung tipe yunani, jawline yang tegas, dan matanya berwarna coklat madu yang indah. Dia menyukai pria ini. Dia akan membuatnya menjadi modelnya. Dia telah memutuskan.
Anna merapikan diri, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya ketika ingin mendekati seseorang. Dia akan menyelamatkan Adonisnya dari pengagum-pengagumnya.
Dia baru selangkah dalam berjalan ketika tangannya ditarik dari belakang oleh seseorang.
Orang yang menariknya membawanya menjauhi kerumunan dan mengarahkannya ke toilet pria yang tampak kosong. Pria itu kemudian membuka setiap bilik pintu, memastikan tidak ada pria malang didalam ruangan. Lalu dia kembali kedepan untuk memajang papan 'Sedang Diperbaiki' ke depan pintu toilet dan menguncinya dari dalam.Anna melihatnya melakukan semua itu dalam diam.Setelah selesai dan memastikan tidak ada gangguan. Pria itu kemudian menatap Anna dan mendekat kearahnya. Matanya menatap bibir merah perempuan itu dengan pandangan keinginan untuk segera melumatnya.Anna menyeringai melihatnya dan tangannya mendorong pria itu masuk ke dalah satu bilik dan mendudukkannya di dudukan toilet. Dia kemudian duduk diatasnya.Mata mereka saling mengunci dan Anna dengan senyum bermain-main di wajahnya dengan sengaja menggoda laki-laki itu yang sangat ingin menciumnya."Kumohon," bisik pria itu dengan serak."Katakan itu lagi." Perintahnya."Kumohon A
Anna belum mendapatkan nomornya, tetapi Jason Dane telah mengajaknya ke restoran mewah malam ini dan dia harus puas dengan pengaturan itu. Dia telah pergi sekarang, hal pekerjaan katanya. Anna tersenyum dan mengendikkan bahu untuk salam perpisahan dan melihat Jason pergi dalam diam."Siapa itu?"Anna menoleh ke Genevra yang langsung mendekatinya setelah kepergian Jason. Sudah pasti dia mengawasi mereka entah untuk berapa lama. Anna melihatnya dan menyadari penampilan Genevra menjadi lebih kacau dan dia tampak seperti wanita hipsy yang suka meramal."Dia yang membeli lukisanku." Jawabnya."Ah!" Genevra berseru. "Si lima ratus juga!"Suara kerasnya membuat beberapa orang menoleh kearah mereka. Tetapi tampaknya Genevra yang terlalu heboh tidak menyadari itu. "Dia masih muda. Siapa namanya?" Tanyanya ingin tahu."Aku tidak tahu. Aku tidak menanyakan." Anna berbohong. Dia ingin melepaskan diri dari Genevra. Wanita itu manis dan baik, tetapi kepri
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
Pacaran tidak ada dalam kamusnya. Memangnya apa bagusnya hubungan yang mengikat itu jika ada hubungan lain yang lebih fleksibel? Pacaran atau kegiatan mengikat lain dalam jangka waktu lama bukanlah hal yang dia minati. Anna cepat bosan, dan jika dia masuk ke dalam hubungan pacaran, dia tidak bisa leluasa mencari kesenangan dengan pria lain. Meskipun dia di cap wanita brengsek, dia tidak ingin berselingkuh. Maksudnya, dari hubungannya yang sudah-sudah, ia tidak bisa dikatakan pacaran karena memang dia tidak. Itu hanya hubungan terbuka singkat yang berakhir dalam hitungan hari. Dia mengerang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Sudah dua jam dia duduk di kursi belajarnya dan dia tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong layar monitor dalam proses berpikirnya. Secara teoritis, Anna tidak pernah pacaran. Pacaran berarti tanggung jawab, dan Anna tidak mau melakukan hal itu. Jika dia menerima tawaran Jason, maka laki-laki itu akan menjadi pacar pertamanya. Tapi sekali
Kelas selesai ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Isabel dan Leo mengambil langkah cepat keluar kelas dan meninggalkan Anna dan Evan yang lebih santai dalam menghabiskan sore hari ini."Carla tidak pernah curiga. Dia gadis manis." Kata Evan.Anna mengangguk-angguk mendengar cerita Evan mengenai pacarnya. Dia tidak terkesan dengan pria ini. Evan bisa menjadi lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia terkesan seperti pria baik-baik namun dibalik semua fasad itu, Evan tidak ada ubahnya seperti mereka."Kenapa? Aku akan melakukannya jika dia-""Anna,"Panggilan itu menginterupsi mereka berdua yang langsung beralih melihat ke arah si pemanggil. Evan menatap bingung saat melihat pemilik Dane Holding, Jason Dane, berjalan mendekat dengan tatapan tertuju pada Anna. Dia segera melirik wanita disampingnya."Kau mengenalnya?" Dia bertanya.Anna tidak menjawab. Dia hanya merapikan blouse biru laut yang ia pakai, -sesuatu yang ia la
Pikiran Anna sedang tidak difokuskan ke tempat dia berada sekarang ini, melainkan ia sekarang tengah sibuk menerka-nerka kemungkinan mengapa Jason Dane menelponnya setelah lima hari menghilang yang membuatnya yakin pria itu tidak akan menghubunginya lagi. Anna baru sadar pada dini hari bahwa ada telpon masuk disekitar waktu ketika dia sedang 'bersama' dengan Nile. Yang lebih mengejutkan lagi, nama peneleponnya adalah Jason Dane. Haruskah dia menelpon balik? Setelah memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk membiarkannya saja. Jason mungkin salah pencet nomor. Alasan rasional apa lagi selain opsi ini? Jason jelas-jelas seorang perawan suci tak tersentuh. Virgin Boy, sesuai julukan Isabel. Dia tidak mungkin menelponnya dengan sengaja. Ia terkesiap ketika lengan atasnya disenggol oleh Isabel yang duduk disampingnya. "Bumi untuk Anna." Sindir gadis itu. Kesal ketika Anna tidak menjawab pertanyaannya. "Apa? Kau tanya apa tadi?" Seperti
Klub berisik seperti biasa. Mereka pada akhirnya pergi ke Spazio yang merupakan salah satu klub terbaik di kota. Letaknya juga jauh dari area universitas sehingga kecil kemungkinan dia menemukan mahasiswa satu almamaternya disini selain grup nya tentu saja.Anna duduk di kursi bar paling sudut, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat karena ingin menikmati Daiquiri malam ini terlebih dahulu. Dia duduk menyilangkan kakinya, gelas tersemat di tangan kirinya. Sambil menyesap perlahan, matanya tertuju ke area dance floor yang penuh dengan orang yang saling berjoget ria. Teman-temannya berada diantara kerumunan itu. Yang mengejutkan, Julian ikut kali ini, yang membuat Isabel semakin bersemangat."Mojito, tolong."Anna melirik sekilas seorang pria pirang berpakaian rapi yang datang entah dari mana sebelum mengambil kursi disampingnya dan membuat pesanan. Anna kembali memusatkan tatapannya pada pemandangan didepannya. Dia hanya memberi perhatian singkat kepada orang di
"Katakan lagi apa? Hahahaha....!"Suara tawa menghiasi meja paling ujung di kantin fakultas seni. Pelakunya tak lain adalah Isabel. Wanita berambut ikal coklat itu tertawa tak terkontrol hingga memegangi perutnya saking tak tertahankannya mendengar cerita Anna yang sekarang tengah menatapnya dengan pandangan sinis."Tertawalah sampai mati." Gerutu sang pelukis cantik itu.Anna Aleksi masih tidak percaya pertemuannya dengan Jason Dane akan berakhir dengan... Kekacauan. Lupakan untuk menjadikannya modelnya. Pria itu jelas-jelas menipu dengan penampilannya. Siapa yang tahu, dengan wajah dan tubuh seperti itu, Jason Dane ternyata masih virgin.Dia harus menerima kenyataan. Jason tidak mengontaknya lagi setelah peristiwa malam itu dan Anna yakin laki-laki itu pasti telah menghapus nomornya. Sehingga dia mau tidak mau harus melupakan Adonisnya karena Adonisnya ternyata mirip dengan Narcissus yang menurutnya menyedihkan."Dia seorang perawan katamu?
"APA?!" Jason secara otomatis mengambil langkah ke belakang satu langkah untuk menjauhkan diri dari Anna. Tangannya disilangkan ke dada, tampak defensif melindungi tubuhnya. Eskpresi menggoda Anna tergelincir dan berubah menjadi kebingungan dalam waktu singkat. Apa? Kenapa? Pikir Anna saat melihat reaksi Jason yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Apa apaan ini?! Pikirnya lagi. Dia kesal suasana romantisnya yang dibangun harus hancur dalam sekejap karena respon Jason. "T-tunggu Anna," Jason merentangkan tangan kirinya ke depan. Mencegah Anna yang ingin berjalan mendekat kearahnya. "Kurasa kita salah paham akan hal ini." Lanjutnya masih dalam kegugupan. Jantung Jason masih berdebar debar dengan keras. "Kamu kesini untuk tidur denganku kan?" Anna memastikan. Rencana melihat lukisan di rumahnya hanyalah kegiatan sampingan lain. Anna sudah paham dengan taktik ini dimana orang seolah-olah berkata ingin pergi ke rumah tem
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama