Sejak kejadian memilukan yang menimpa sang ibu, Ratih menjadi gadis pendiam dan dingin. Cahaya hidupnya meredup, hanya menanggapi segala hal dengan singkat.
Sungguh menyayat hati bila diingat, wanita cantik berlumuran darah tanpa busana tak bernyawa tergeletak begitu saja di kebun karet. Siapapun yang melihatnya akan ikut merasakan deritanya, lecet di seluruh badan, lebam dibeberapa bagian, dan paling pilu bagian kemaluannya robek seperti disayat benda tajam."Bu, Ratih bersumpah ..., para keparat itu akan kubuat sekarat," Lirih Ratih didepan makam sang ibu, tangannya mencengkram erat tanah basah, air matanya luruh tanpa aba.Orang-orang sudah pulang setelah pemakaman diselesaikan, tinggal Ratih yang seolah tak ingin beranjak meninggalkan. Langit mendung seperti ikut merasakan kemalangan, tak lama gerimis turun bagai tangisan.Ratih mendekat ke nisan dan menciumnya dalam, memaksakan senyum untuk sang ibu yang sudah di alam baka."Ratih akan sering berkunjung ke sini, ibu yang tenang di sana ya."Dengan berat hati kakinya melangkah, meninggalkan bunga mawar merah dan jejak. Berjalan dengan naungan awan hitam dan gerimis menuntunnya untuk cepat pulang.Sebelum sampai ke rumah Ratih pergi ke kantor polisi yang menangani kejadian rudapaksa ibunya, tak banyak yang ia dapat disana, para pelaku pandai bermain seolah sudah terbiasa melakukan.Sementara itu, pihak berwenang sedang berusaha keras untuk menyelesaikan kasus ini. Kecurigaan Ratih bertambah besar dengan salah satu barang bukti yang ditemukan. Ada celurit kecil dengan ukiran naga di gagangnya, ia seperti tidak asing dengan ukirannya.Mereka menemukan 7 sidik jari di tempat kejadian, 3 tersangka yang akan ditangkap ternyata masih satu desa membuat kepolisian mudah menangkapnya. Kehadiran 4 tersangka lain yang masih bebas membuat Ratih semakin marah dan bertekad untuk membalas dendam atas kematian ibunya.Dorongan emosional Ratih yang bergejolak menyulutkan api kemarahan di dalam dirinya. Dengan tekad yang bulat, dia bersumpah untuk membawa para pelaku kejahatan tersebut ke hadapan hukum, sehingga keadilan dapat terwujud bagi ibunya.Kalaupun hukum tidak sanggup memberikan keadilan, maka Ratih sendiri yang akan memberikan mereka hukuman. Akan ia buat neraka dunia untuk mereka, hingga kematian menjadi asa bagi mereka.Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah Ratih berhasil memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam? Atau apakah masih ada rahasia yang tersembunyi di balik pembunuhan ibunya?"Tuhan akan melaknat para keparat itu, aku takkan membiarkan mereka bertaubat!" Ratih kembali menjalani hari-harinya dengan sisa tenaga yang ia punya, rasanya aneh jika rumah begitu sepi tanpa siapapun selain dirinya. Malam yang begitu sunyi dan senyap, hanya suara televisi yang memenuhi ruangan.Melongok ke dapur memandang sendu, biasanya malam sebelum hari berganti Ratih memasak bersama ibunya dan membuat beberapa makanan untuk dijual dikemudian hari. Kini ia sendirian duduk di ruang tengah dengan televisi yang menyala menontonnya. Ratih terbangun dengan pegal di sekujur tubuhnya, posisinya sungguh tak karuan, kakinya di atas dengan badannya menyamping kebawah. Selimutnya teronggok tak berdaya dilantai dengan bantal kecil disebelahnya."Sial, ini sungguh pegal," gerutu Ratih memegangi pinggangnya. Televisi masih menyala belum dimatikan, untungnya tidak meledak karena terlalu lama dinyalakan. Mencari remote control dan menekan tombol power off, Ratih melihat ke ponselnya sudah men
Dibawah hujan deras Ratih berlatih dengan keras, dipukulnya berkali-kali samsak buatannya dari campuran pasir halus yang dibalut kumpulan kain. Samsak itu ia kaitkan dengan dahan pohon, bunyi pukulan dan kecipak air saling bersahutan.Keringatnya meluruh bersamaan dengan air hujan yang mengguyur tubuhnya, Ratih tidak terlalu terlihat karena hanya lentera kecil dari atas yang menyinari kegiatannya. Bugh, bugh, bugh. Bunyi hantaman meredam bercampur air hujan."Argh! Hahh, hah!" Nafas Ratih tak beraturan, ia berhenti memukul dan memeluk erat samsak, matanya terpejam menikmati aliran air hujan yang dingin ditubuhnya.Buku-buku tangannya lecet berdarah, meski lelah Ratih paksa untuk tetap terjaga di sana. Dinginnya hujan malam sedikit membuatnya menggigil, dirasa cukup berlatih ia kembali naik ke rumah pohon dengan basah kuyup.Tiap langkah nya meninggalkan bercak air di lantai, suara hujan diluar meramaikan sunyinya ruangan kecil ini. Mengambil handuk kecil dan mengeringkan dirinya, Rat
Setelah Gina dan Reva pamit pulang, Ratih pergi ke kantor polisi menemui salah satu pelaku. Dihadapannya ada pria kurus berkulit sawo matang, kantung matanya menghitam berkerut. "Aku bisa membebaskan mu," tawar Ratih melalui telepon penghubung, meski amarah menguasainya ia tetap berusaha terlihat tenang. Kaca pembatas menjadi tameng untuk Saiful, si tahanan itu. Ingin sekali Ratih pecahkan kaca pembatas itu dan menyayat kulit Saiful dengan pecahan itu, mencoblos matanya dengan bagian kaca yang tajam, juga menusuk-nusuk kasar batang kemaluannya."Tawaran mu tidak menarik," sahut Saiful meremehkan. Ratih menunduk sejenak, membasahi bibirnya menyeringai kecil. Tangannya mengambil ponsel dan mencari sesuatu yang ingin ia tunjukkan."Mata hitam penuh sangat langka, ini akan dihargai sangat tinggi." Ratih berucap senang menunjukkan foto seorang bocah lelaki yang tersenyum manis menatap kamera.Saiful mengepalkan tangannya, raut wajahnya memerah menahan diri. Itu adalah foto anaknya yang
Berita kebakaran ruko kecil begitu tersebar dengan cepat, naasnya menelan 3 korban jiwa dan 2 orang luka-luka parah. Entah untung atau tidak, ruko itu terpisah beberapa langkah dari bangunan sebelahnya jadi apinya tidak merembet kemana-mana."Kebocoran gas?""Katanya begitu, tapi aku tidak tahu."Reva dan Gina sedang berbincang di kelas menunggu Ratih datang. Mereka membahas tentang kebakaran tadi, ruko kecil itu tak jauh dari sekolah."Ayah bilang ada maling, ya .... Kebakaran itu untuk menghilangkan jejaknya, begitu." Gina menyampaikan apa ayahnya bilang tadi pagi sebelum dirinya berangkat sekolah.Reva mengangguk paham, "Pintar juga, bisa dicontoh!" ucapnya yang mendapatkan sentilan dari Gina."Dasar bodoh."Terlihat dari tempat mereka duduk Ratih yang berjalan masuk ke bangkunya, gadis itu tampak lesu dan kurang tidur."Kau belum sarapan ya?" tanya Gina setelah Ratih sampai.Ratih hanya menggeleng."Astaga!" Gina mengeluarkan jajanan roti dan air mineral, menyodorkannya kepada Rat
Gina berlari kecil keluar dari gudang itu, bel pulang sudah berbunyi setengah jam lalu. Gadis itu di spam telepon oleh Reva sejak tadi, dengan kejam Gina memblokir nomornya sementara."Kau diblokir," ungkap Ratih yang sejak tadi menonton Reva bolak-balik sembari menggigit bibirnya."Hah? Diblokir?" Tanya Reva linglung setelah berhenti.Ratih hanya mengangguk saja, toh Gina sudah besar jadi tenang saja tak perlu panik seperti ini. Reva meluruh ke lantai, ingin sekali gadis itu menyentil dahi Gina, ia khawatir sejak tadi gadis itu belum kembali.Kelas sudah sepi menyisakan mereka berdua, Ratih masih sibuk di bangkunya dengan bukunya. Reva masih panik di bawah sana, pasalnya gadis itu di kirimi pesan oleh ayahnya Gina."Rat, menurutmu tuan Herdian galak tidak?" "Kenapa tiba-tiba?" Heran Ratih, tak biasanya mereka membicarakan hal seperti ini."Bacalah," pinta Reva menyodorkan ponselnya yang berisi chat antara dirinya dengan ayah Gina.Ratih menerimanya dan membacanya, keningnya berkerut
Saiful mondar-mandir di dalam sel nya, pria itu sangat bingung dan ketakutan. Ini sudah hari ke 3 sejak Ratih memberikannya penawaran kebebasan, ke-dua temannya hanya diam sembari saling menatap penasaran.Suara langkah kaki dari kejauhan terdengar menggema, itu adalah pengawas penjara dan menghampiri sel Saiful. Pria buncit berseragam polisi membuka kunci gembok dan menatap tajam tiga orang didalamnya."Atas nama Saifullah, ada yang ingin menemui Anda." Ucapan sang pengawas itu membuat Saiful tercekat sejenak, pria itu mengangguk lemas dan bersiap keluar.Tangannya di borgol sembari di tuntun berjalan ke ruang pertemuan, di kursi sana sudah duduk seorang gadis dengan aura gelap yang mencekam. Ratih memandang rendah Saiful didepannya, gadis itu mengulas senyum manis palsu sebagai ungkapan sambutan dengan telepon penghubung yang sudah ia angkat.Saiful mengangkat telepon penghubung dengan gemetaran, keringat dingin membasahi tubuhnya bagian dalam."Apa jawaban mu?" Tanya Ratih membuka
"Hei ini apa?" Tanya Reva ke Gina, mereka berdua tengah berada dalam perjalanan di mobil."Oh ini untuk mengatur suhu AC mobil, kau kedinginan tidak?" jelas Gina."Oh iya iya, tidak kok. Apa masih lama sampainya?" "Hm, kurang tahu." "Pak, berapa lama lagi kita akan sampai?" Tanya Gina ke sang sopir."Sekitar tiga jam lagi, Non." Gina mengangguk saja, gadis itu mengeluarkan jajanannya dari tas."Biar tidak bosan," ungkap Gina menyodorkan beberapa camilan."Ah, aku kenyang Na. Aku merasa bosan, Ratih online tidak?" Gina masih mengunyah makanan nya, ia menyodorkan ponselnya ke Reva. "Coba kau hubungi, video call!" perintahnya."Hehhe oke!" seru Reva segera mengambil ponsel Gina dan mencari Ratih.Hanya bunyi deringan terdengar, sepertinya Ratih sedang tidak aktif. Reva terduduk lesu, mengembalikan kembali ponsel Gina dan mencomot makanannya."Perasaan ku tidak tenang, apakah Ratih baik-baik saja?" ungkap Reva menunjukkan keresahannya."Em, aku juga merasa ganjal. Semoga dia baik-baik
Disebuah tempat nan jauh dalam hutan, tampak dua lelaki tengah berusaha menyusun kayu. Mereka membuat gubuk dengan benda seadanya, hanya bermodalkan ranting-ranting dan dedaunan."Sampai kapan kita disini?" "Entahlah, bos cuma bilang bakalan jemput kalau keadaan udah membaik.""Tapi sampai kapan?" "Sampai kiamat! Udah kerjain ini, udah mau malem!" gerutu seorang pria. Akhirnya Anton kicep dimarahi oleh Farid, kini mereka berdua melanjutkan pekerjaannya. Dengan kayu yang ditata rapat menancap tanah, kemudian atapnya di beri alas daun kelapa. "Kita ga bawa makan apa? Laper gila!" Anton mengeluh kembali."Habis ini nyari ikan di sungai, ga usah ngeluh mulu." Anton diam kembali, dengan terpaksa bekerja meski perutnya keroncongan meminta di beri asupan. Farid, pria itu bolak-balik mengangkut kayu dan daun kelapa. Mengikatkan daun kelapa dengan pelepah pisang, kemudian membuat pintu dari daun pisang. Hari sudah mulai petang, gelap sekali di tengah hutan ini. "Gue takut bre. Kenapa si
Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan
Di kamar Gina ketiga gadis itu duduk melingkar di atas ranjang dengan makanan yang Ratih bawa pulang di tengahnya. Mereka mendengarkan Ratih bercerita tentang pengalamannya barusan, tentang dikejar sekelompok pemotor yang tujuannya hanya menguji katanya. "Hm, sepertinya kau tau siapa yang menyuruh mereka kan?" ucap Gina yang di benarkan oleh Reva. "Ya, bahkan sampai kirim salam!" seru Reva sembari menirukan Ratih mengangkat kedua jari tengahnya. "Heh, turunkan tanganmu!" tegur Gina menampar kecil tangan Reva. "Hehe, iya." "Ya, aku tau orang itu." Ratih mengambil makanan dan memakannya, Gina memperhatikan dalam diam gadis itu tengah berpikir. "Hah, ayo skincare an saja. Mumpung kita bisa tidur bersama hehe!" seru Gina bersemangat. Reva berdiri dan melompat, "ayo! Aku juga ingin cantik seperti kalian!" teriaknya. "Heh, tenanglah. Sangat pecicilan sekali!" Mereka bertiga bergantian cuci muka dan mengenakan baju tidur Gina, rasanya nyaman dan hangat. Jarang sekali bisa berkumpul
Ratih termenung di depan kaca toilet, matanya memerah dengan suhu tubuh yang kian memanas. Ia hela napasnya sejenak, hingga merasa lebih baik dan terkontrol. Perbincangannya dengan seseorang barusan membuatnya begitu kepikiran. "Sepertinya aku terlalu menunda-nunda, huh." Setelah merapikan penampilannya barulah ia keluar dari sana dan kembali menghampiri Safar yang sudah menunggunya. Ia lihat di meja sudah ada pesanannya tersedia, Safar tersenyum manis menyambut Ratih datang."Kau baik-baik saja?" tanya Safar setelah Ratih duduk."Um, ya. Aku baik, maaf membuatmu menunggu lama.""Ah tidak sama sekali," sahut Safar menggigit bibirnya menahan ucapannya. "Ah iya, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Safar pelan dengan tatapan mata yang dalam."Iya? Membicarakan apa?" tanya Ratih.Safar terlihat gugup dan ragu, ia menahan napasnya sebelum berkata."Apakah kau membutuhkan pasangan?" tanya Safar memberanikan diri.Dalam hatinya Safar berteriak, seharusnya bukan itu yang ia ucapkan. Benar
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi