Berita kebakaran ruko kecil begitu tersebar dengan cepat, naasnya menelan 3 korban jiwa dan 2 orang luka-luka parah. Entah untung atau tidak, ruko itu terpisah beberapa langkah dari bangunan sebelahnya jadi apinya tidak merembet kemana-mana.
"Kebocoran gas?""Katanya begitu, tapi aku tidak tahu."Reva dan Gina sedang berbincang di kelas menunggu Ratih datang. Mereka membahas tentang kebakaran tadi, ruko kecil itu tak jauh dari sekolah."Ayah bilang ada maling, ya .... Kebakaran itu untuk menghilangkan jejaknya, begitu." Gina menyampaikan apa ayahnya bilang tadi pagi sebelum dirinya berangkat sekolah.Reva mengangguk paham, "Pintar juga, bisa dicontoh!" ucapnya yang mendapatkan sentilan dari Gina."Dasar bodoh."Terlihat dari tempat mereka duduk Ratih yang berjalan masuk ke bangkunya, gadis itu tampak lesu dan kurang tidur."Kau belum sarapan ya?" tanya Gina setelah Ratih sampai.Ratih hanya menggeleng."Astaga!" Gina mengeluarkan jajanan roti dan air mineral, menyodorkannya kepada Ratih, "Ini makanlah, kau seperti zombie! Pucat!""Awas digigit, rawr!" sahut Reva berlagak menggigit dengan ke-dua tangannya berpose mencakar.Ratih menerimanya dan memakan dengan lemah, "Terimakasih Na," ucapnya lemah, sungguh pemandangannya membuat Reva dan Gina prihatin."Hei, jika ada apa-apa bilang saja ke kami. Jangan dipendam sendiri, oke?" ungkap Gina.Ratih mengangguk memaksakan senyumnya, Reva mendekat dan memijat bahu Ratih perlahan."Kau ini terlalu mandiri, ayolah kami bukan orang asing!" kesal Reva, baginya Ratih terlalu tertutup sekarang dan menjaga jarak.Mereka bertiga juga sudah jarang bermain bersama setelah naik kelas 11 saat itu, ya hanya beberapa kali tidak sering."Eh tanganmu kenapa?" Reva tidak sengaja melihat tangan Ratih yang terluka, luka itu seperti masih baru."Hm, tidak sengaja kena api pagi tadi." jawaban Ratih tidak memuaskan rasa penasaran Reva."Hah? Api apa?" tanya Gina."Tungku api, masak pagi."Gina dan Reva mengangguk saja, dilihat-lihat luka itu seperti sulutan rokok."Eh, saat kau berangkat tadi lewat ruko yang kebakaran itu kan?" tanya Reva kepada Ratih."Ya? Kenapa?""Um, tak apa sebenarnya." Ratih mengelak, raut wajah Ratih tak enak di ajak berbincang begitu dingin dan datar mengintimidasi.Ratih melanjutkan makannya, mereka bertiga sibuk dengan kegiatan masing-masing. Reva membaca sosial media dan Gina yang menyalin beberapa catatan dari teman sebelah.Jam pertama dimulai, pelajaran sejarah terasa membosankan bila si pengajar tidak memiliki kemampuan bercerita yang enak. Reva sudah meletakkan kepalanya di meja sejak tadi, guru sejarah didepan juga tidak menghiraukan."Akhirnya! Bangun, bangun!" Teriakan Gina mengguncang punggung Reva."Hah kenapa? Ada apa?" Reva terbangun linglung, ilernya membasahi buku membuat Gina mengernyit jijik."Jorok sekali, payah! Cuci muka sana!"Gina mendorong-dorong Reva dari bangkunya, menjauhkan buku dari area amannya. Ratih hanya diam dibelakang, gadis itu sibuk membaca melalui ponselnya.Reva kesal dan berlalu dari sana, bagai anak kecil kakinya ia hentakkan setiap melangkah."Bocah itu ...," dengus Gina.Gina menghadap ke belakang, ke arah Ratih sembari mengeluarkan beberapa berkas yang ia bawa."Aku menemukan ini di meja ayah, kuharap bisa membantu."Ratih menerima berkas yang Gina sodorkan, "Departemen kesehatan Katula? Apa hubungannya?" Tanya gadis itu."Bacalah, kau akan ternganga setelahnya."Ratih pun mulai membukanya, tidak ada yang aneh. Hanya informasi bangunan dan deskripsi lainnya."Lihat ini," tunjuk Gina saat Ratih membuka lembar berisi beberapa foto."Bukankah ini gedung di foto itu? Kau ingat tidak?" Pertanyaan Gina barusan membuat Ratih terdiam."Ini sangat membantu, terimakasih banyak!" ucap Ratih setelah menyadarinya.Ratih dengan teliti membaca kembali, di sana tertulis Katula adalah nama dari departemen kesehatan tadi. Bukan rumah sakit atau puskesmas, ini seperti tempat swasta yang beroperasi di dunia kesehatan. Bangunannya mirip gedung di kota pada umumnya, dengan tingkat 7 dan satu lantai bawah tanah untuk parkir.Departemen ini sudah beroperasi sejak 2007 hingga sekarang, tidak ada cabangnya hanya di satu tempat saja. Katula namanya, gedung yang digunakan juga bekas dari sebuah kantor yang entah tak tertulis jelas deskripsinya disana."Apakah ini asli? Maksudku apa tak apa kau ambil?" Tanya Ratih."Tenang, ini hanya fotocopy. Yang asli ku kembalikan setelah meng-copy nya," jelas Gina, semalam setelah ayahnya pergi gadis itu pergi ke ruang kerja sang ayah."Hah, baiklah. Maaf mencurigai ayahmu, disini tertulis bila Tuan Herdian Gairelo pemilik gedung ini."Ada jeda sejenak sebelum Gina menjawab."Aku tahu, saat membacanya aku juga terkejut. Aku bingung, harus bagaimana?" Jelas Gina yang dibalas anggukan oleh Ratih."Kau yakin ayah mu tidak memasang CCTV di ruangan nya?""Em ya, sepertinya tidak. Hanya kita bertiga dirumah, untuk apa? Bibi juga orang kepercayaan ayah sejak aku kecil."Ratih merenung sejenak, baginya ini sedikit aneh."Em baiklah. Tak ada hal yang aneh kutemui di sini, tapi bolehkah ku bawa?" Pinta Ratih."Ya, tentu. Aku memang membawanya untukmu, sepertinya masih ada hal lain yang mungkin bisa kubawa kan." Gina menengadah keatas, menatap langit-langit kelas yang indah dengan hiasan bulan dan bintang."Ya, terimakasih sekali lagi. Ah, aku ingin menunjukkan sesuatu."Gina beranjak dan duduk di sebelah Ratih, gadis itu ikut melihat sesuatu yang Ratih tunjukkan."Ini adalah gadis yang ku lihat di toilet kemarin, aku mendengar percakapannya dengan seseorang melalui telepon. Mereka membicarakan ku, meski aku tidak terlalu paham.""Hm, membicarakan mu? Apa?" Gina masih kebingungan."Hanya bertanya kenal aku atau tidak, sepertinya gadis itu berniat untuk kenalan.""Jangan-jangan seorang penggemar?" Tanya Gina."Itu tidak mungkin," bantah Ratih.Reva kembali ke kelas dengan muka yang sudah segar, gadis itu masih terlihat lesu dari cara jalannya."Kau pasti akan kecewa," ucap Reva kepada Gina, gadis itu duduk di bangkunya menghadap ke belakang."Hah? Kenapa?""Aku melihat Zidan bergandengan tangan dengan gadis cantik, hahha. Ya! Sepertinya mereka pacaran!" Ungkap Reva senang.Gina hanya mendengus malas, berlagak tak peduli meski dalam hatinya sedikit memanas."Siapa Zidan?" Ratih bingung tak mengerti apa yang dibicarakan."Biasa, gebetannya Gina. Kau tau? Dia berencana ingin menembaknya saat kelulusan!"Gina murka mendengar Reva membocorkan niatnya, gadis itu berdiri dan menjewer telinga Reva kecil."Hei, tidak ya! Jangan bicara sembarangan!""Aw, aw! Ratih lihatlah ...., dia galak sekali padahal aku hanya bercanda!" Rengekan Reva terdengar nyaring menggema, telinganya memerah dan ia berusaha kabur menghindar dari Gina."Itu tidak lucu!"Gina mencubit kecil pinggang Reva hingga gadis itu terjatuh ke bawah."Rasakan itu ember! Huh!" Gina merajuk dan berlalu dari kelas.Reva yang dibawah hanya tertawa, mengusili Gina merupakan kesenangan tersendiri. Raut cemberut gadis itu begitu lucu karena pipinya yang tembam."Ah, pinggang ku pegal." Reva mengeluh dan dibantu bangun oleh Ratih.***Dibawah taman belakang sekolah Gina duduk dengan tenang, gadis itu sedang nyemil jajan yang ia beli di kantin. Suasana taman yang sepi dan asri sangat menenangkan hati, rambutnya berkibar kecil ketika angin berlalu."Ah! Tampannya!" Serunya senang, Gina menonton foto sang gebetan yang barusan di unggah."Hah? Siapa ini?" Tanyanya sendiri ketika menggeser foto kedua, di sana ada seorang gadis namun tak begitu tampak karena difoto dari belakang.Gina sedih, Zidan sang gebetan menandai seorang gadis di postingan nya. Rasanya moodnya memburuk seketika, mau melanjutkan mengemil pun sudah tidak nafsu lagi."Mana cantik orangnya, huh!"Gina merasa rendah diri, padahal yang orang lihat dirinya merupakan salah satu gadis tercantik di sekolah ini setara dengan primadona sekolah. Hanya saja Gina tertutup dan tidak terlalu suka menebar pesona di sosial media.Ting!"Apa lagi?"Dengan malas Gina mengecek ponselnya ternyata notifikasi dari teman sendiri.Tiga Dara Menggoda (1 message)Revalina : Gina! Kau dimana hei, Yuna mencari mu!Regina : Di taman? Kenapa?Revalina : Kau menunggak kas kelas 10 kali! Cepat bayar, Yuna sedang dalam mode galak!Regina : Astaga! Kau bayarkan dulu lah!Revalina : Aku tidak punya uang ya!Weningratih : KasihanRevalina : Heh, sesama rakyat jelata jangan begitu.Regina : Bilang ke Yuna, berapa nomor rekeningnya.Revalina : Ah merepotkan, cepat kemari!Revalina : Hei Yuna berlalu ke taman belakang! Lindungi dirimu Gina, sampai jumpa!Regina : Reva kampret!Weningratih : Aku yang bilangRegina : ...Gina menutup ponselnya dengan kesal dan membereskan jajanannya, gadis itu terburu-buru karena membayangkan Yuna yang biasanya lemah lembut menjadi galak itu sangat menakutkan. Karena itulah Gina bisa menunggak hingga berkali-kali, ini menegangkan."REGINA GAIRELA!"Gina terdiam sejenak mendengar seseorang menyerukan namanya, menoleh ke belakang melihat Yuna di sana membawa buku dan penggaris kayu."Oh tidak, bantengnya terlepas," lirih Gina.Gina berlari kabur dari sana, sungguh meski ia membawa uang untuk membayar tunggakannya ia sangat takut. Yuna mengejar dari belakang dengan tangannya terangkat membawa penggaris.Aksi kejar-kejaran itu menjadi pusat perhatian, wajah Yuna tampak memerah entah marah atau lelah. Gina masih didepan mencari jalan pintas, ia ingin bersembunyi namun bingung.Saat ini di lapangan pojok jarang di pakai Gina berada, Yuna tertinggal jauh dibelakang sana. Gina merapat ke gudang terbengkalai, aman tidak ada apapun di sini."Huh, huh."Mengatur napasnya yang memburu, keringat meluruh begitu saja di tubuhnya."Gudang apa ini?"Gudang ini tidak besar hanya sekitar 3×5 m, dengan lemari besar dipojok ruangan dan atap tanpa plafon."Eh apa itu?"Gina menemukan buku tebal berdebu di sudut lemari, gadis itu berjinjit berusaha mengambilnya."Uhuk, uhuk."Bukunya terjatuh menimbulkan kepulan debu beterbangan, tak hanya itu sebuah amplop juga terjatuh disebelahnya."Kotor sekali, hm."Gina berlutut untuk mengambilnya, gadis itu masih batuk-batuk kecil. Di bersihkan nya sampul buku itu dan terlihatlah tulisan di sana."Cara memindahkan organ ke tubuh lain?"Gina bingung membaca judulnya, dibukanya perlahan-lahan buku itu di lembar pertama berisi pengantar."Katula?"BughBuku itu Gina jatuhkan, jantungnya berdegup kencang saat membaca bagian bawah."Hah? Tidak mungkin?"Gina masih sedikit takut, ia keluarkan tas lipat berbahan plastik yang selalu ia bawa dan memasukkan buku itu kesana."Ini juga," ungkap Gina mengambil amplop disebelahnya."Mungkin ada yang lainnya?"Gina mencoba mencari-cari di lemari besar itu, hanya ada beberapa peralatan yang sudah berkarat tak terpakai. Tangannya memindai dengan cepat, mungkin ia ketinggalan kelasnya namun tak apa.Ponselnya berdering sejak tadi.Gina berhenti sejenak dan memeriksa ponselnya sembari berdiri.Panggilan tak terjawab (2)Pesan belum dibaca (7)---------Ratih Cantik (3)Maafkan aku, kau dimana?Yuna tidak menabokmu kan?Hei, ku bilang ke guru jika kau di UKS.Bocah Cerewet (2)Hei, jangan marah! Aku punya nomor Zidan, jadi maafkan aku, oke?Bu Maya sudah masuk, Ratih beralibi kau di UKS jadi jangan kemari.Ayah (2)Pulang sekolah ikut ayahAjak temanmu----------"Tumben?"Gina heran membaca chat terakhir dari sang ayah, tak biasanya begini. Dan juga ia lebih sering ditinggal sendirian di rumah daripada diajak oleh sang ayah."Masih satu jam lagi pulang, huh."Gina berlari kecil keluar dari gudang itu, bel pulang sudah berbunyi setengah jam lalu. Gadis itu di spam telepon oleh Reva sejak tadi, dengan kejam Gina memblokir nomornya sementara."Kau diblokir," ungkap Ratih yang sejak tadi menonton Reva bolak-balik sembari menggigit bibirnya."Hah? Diblokir?" Tanya Reva linglung setelah berhenti.Ratih hanya mengangguk saja, toh Gina sudah besar jadi tenang saja tak perlu panik seperti ini. Reva meluruh ke lantai, ingin sekali gadis itu menyentil dahi Gina, ia khawatir sejak tadi gadis itu belum kembali.Kelas sudah sepi menyisakan mereka berdua, Ratih masih sibuk di bangkunya dengan bukunya. Reva masih panik di bawah sana, pasalnya gadis itu di kirimi pesan oleh ayahnya Gina."Rat, menurutmu tuan Herdian galak tidak?" "Kenapa tiba-tiba?" Heran Ratih, tak biasanya mereka membicarakan hal seperti ini."Bacalah," pinta Reva menyodorkan ponselnya yang berisi chat antara dirinya dengan ayah Gina.Ratih menerimanya dan membacanya, keningnya berkerut
Saiful mondar-mandir di dalam sel nya, pria itu sangat bingung dan ketakutan. Ini sudah hari ke 3 sejak Ratih memberikannya penawaran kebebasan, ke-dua temannya hanya diam sembari saling menatap penasaran.Suara langkah kaki dari kejauhan terdengar menggema, itu adalah pengawas penjara dan menghampiri sel Saiful. Pria buncit berseragam polisi membuka kunci gembok dan menatap tajam tiga orang didalamnya."Atas nama Saifullah, ada yang ingin menemui Anda." Ucapan sang pengawas itu membuat Saiful tercekat sejenak, pria itu mengangguk lemas dan bersiap keluar.Tangannya di borgol sembari di tuntun berjalan ke ruang pertemuan, di kursi sana sudah duduk seorang gadis dengan aura gelap yang mencekam. Ratih memandang rendah Saiful didepannya, gadis itu mengulas senyum manis palsu sebagai ungkapan sambutan dengan telepon penghubung yang sudah ia angkat.Saiful mengangkat telepon penghubung dengan gemetaran, keringat dingin membasahi tubuhnya bagian dalam."Apa jawaban mu?" Tanya Ratih membuka
"Hei ini apa?" Tanya Reva ke Gina, mereka berdua tengah berada dalam perjalanan di mobil."Oh ini untuk mengatur suhu AC mobil, kau kedinginan tidak?" jelas Gina."Oh iya iya, tidak kok. Apa masih lama sampainya?" "Hm, kurang tahu." "Pak, berapa lama lagi kita akan sampai?" Tanya Gina ke sang sopir."Sekitar tiga jam lagi, Non." Gina mengangguk saja, gadis itu mengeluarkan jajanannya dari tas."Biar tidak bosan," ungkap Gina menyodorkan beberapa camilan."Ah, aku kenyang Na. Aku merasa bosan, Ratih online tidak?" Gina masih mengunyah makanan nya, ia menyodorkan ponselnya ke Reva. "Coba kau hubungi, video call!" perintahnya."Hehhe oke!" seru Reva segera mengambil ponsel Gina dan mencari Ratih.Hanya bunyi deringan terdengar, sepertinya Ratih sedang tidak aktif. Reva terduduk lesu, mengembalikan kembali ponsel Gina dan mencomot makanannya."Perasaan ku tidak tenang, apakah Ratih baik-baik saja?" ungkap Reva menunjukkan keresahannya."Em, aku juga merasa ganjal. Semoga dia baik-baik
Disebuah tempat nan jauh dalam hutan, tampak dua lelaki tengah berusaha menyusun kayu. Mereka membuat gubuk dengan benda seadanya, hanya bermodalkan ranting-ranting dan dedaunan."Sampai kapan kita disini?" "Entahlah, bos cuma bilang bakalan jemput kalau keadaan udah membaik.""Tapi sampai kapan?" "Sampai kiamat! Udah kerjain ini, udah mau malem!" gerutu seorang pria. Akhirnya Anton kicep dimarahi oleh Farid, kini mereka berdua melanjutkan pekerjaannya. Dengan kayu yang ditata rapat menancap tanah, kemudian atapnya di beri alas daun kelapa. "Kita ga bawa makan apa? Laper gila!" Anton mengeluh kembali."Habis ini nyari ikan di sungai, ga usah ngeluh mulu." Anton diam kembali, dengan terpaksa bekerja meski perutnya keroncongan meminta di beri asupan. Farid, pria itu bolak-balik mengangkut kayu dan daun kelapa. Mengikatkan daun kelapa dengan pelepah pisang, kemudian membuat pintu dari daun pisang. Hari sudah mulai petang, gelap sekali di tengah hutan ini. "Gue takut bre. Kenapa si
"Pelatih tidak bisa datang, kita latihan sendiri." Ucapan senior itu meredupkan semangat para anggota junior, apalagi yang anak-anak. Tampak wajah mereka langsung berubah masam, mereka merindukan pelatih karena orangnya sangat baik dan supportif. "Yah, kenapa kak? Beliau kemana?" tanya seorang bocah lelaki. "Beliau pergi ke luar negeri, bisnis." Jawaban itu mendapat anggukan dari beberapa orang. "Kalau begitu biar Kak Safar yang ngajar, setuju?" ungkap bocah tadi. "Setuju!!" Ratih hanya tersenyum saja, kemudian mereka semua mulai berbaris dan melakukan pemanasan. Sejak tadi Safar yang berdiri di depan sana tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Ratih, namun Ratih abaikan, gadis itu tampak sangat fokus dengan pemanasannya. "Ah, Bang Safar gak fokus ih!" seru bocah perempuan di depan Ratih. "He'em, matanya jelalatan mulu!" sahut bocah lelaki disebelahnya. "Heh astaga bocah ini," gumam Safar lirih. Bocah perempuan itu berbalik badan menatap ke belakang, "mending kak Ratih
Reva dan Gina sedang berbincang melalui video call dengan Ratih. Ketiganya membahas hal random apa saja, bahkan sejak tadi Reva tak henti-hentinya berceloteh ria."Ah kau tau, saat di pantai tadi aku melihat bule! Astaga tampan sekali, aku menyukainya!" ungkap Reva girang."Murahan sekali hatimu ini, ada yang tampan sedikit langsung suka!" ejek Gina, gadis itu berada di belakang Reva sedang mewarnai kukunya."Ck yang cintanya bertepuk sebelah tangan diam saja!" ucap Reva tak terima yang membuat Gina menyenggol gadis itu hingga jatuh dari kasur."Aw, ah dasar!" Ratih di seberang hanya tertawa kecil memperhatikan keduanya seolah seperti biasa, sembari gadis itu membaca lembaran kertas sejak tadi."Oh ya Ratih, bagaimana di sekolah? Kau baik-baik saja kan?" tanya Gina cemas.Tablet Gina diletakkan di atas meja yang membuat jarak tangkapan video menjadi lebih lebar, Reva masih di bawah malas naik hanya terlihat kepalanya saja."Ya baik, bagaimana dengan kalian? Apakah liburannya menyenan
Begitu hening malam ini, selepas Ratih berbincang dengan teman-temannya ia membaca satu-persatu informasi yang telah dikumpulkannya. Masih banyak yang janggal, Ratih kesulitan mengorek lebih dalam lagi. "Hm kalung yang indah ...," kagumnya pelan memandangi kalung berbandul hati itu. Kilatan cahaya yang memantul dari bandul itu begitu indah, Ratih pun mendekati ke cermin dan memakainya. Kalung emas putih dengan bandul berbentuk hati itu tampak pas di lehernya yang jenjang dan cerah. "Um cantik," pujinya. Kembali duduk dan mulai mengisi data formulir beasiswa itu, akan ia manfaatkan kesempatan ini. Otaknya berpikir keras bila suatu hari ia melanggar harus membayar denda, ia harus kaya setidaknya memiliki tabungan lebih dari 1 Miliar. Ratih mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Apa tawaranmu masih berlaku?" tanyanya setelah panggilan terhubung. "Tentu masih, kau menerimanya?" tanya seorang lelaki di seberang sana dengan nada senang. "Ya, ku terima." Setelahnya sese
Setelah olahraga lanjut fisika, tubuh yang lelah harus dipaksa berpikir keras memahami berbagai materi ini. Teman-teman kelasnya sudah pada tepar, bahkan masih ada yang mengenakan kaos olahraga. Kipas kelas di nyalakan maksimal membuat bau keringat berhamburan."Woi, siapa yang ga mandi!" jerit Gibran."Baunya gila!" sahut Safar, pemuda itu sudah memakai seragam Pramuka nya. Safar mendekat ke salah satu murid yang dekat kipas angin, murid itu begitu berisi lemak masih mengenakan kaosnya. Beberapa temannya masih ada yang tengah sibuk menyalin jawaban untuk PR fisika ini, tak begitu memperhatikan sekitar. Ada pula yang tengah pijit di belakang sana."Oh ternyata! Ini orangnya!" seru Safar menuduh. Safar mendekat dan mencoba mengendus-endus area sekitar nya."Ganti gak!" Safar memaksa murid itu berdiri yang akhirnya si murid itu menyerah."Iya iya!" jawab murid itu pasrah.Setelah murid itu pergi perlahan bau tak
Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan
Di kamar Gina ketiga gadis itu duduk melingkar di atas ranjang dengan makanan yang Ratih bawa pulang di tengahnya. Mereka mendengarkan Ratih bercerita tentang pengalamannya barusan, tentang dikejar sekelompok pemotor yang tujuannya hanya menguji katanya. "Hm, sepertinya kau tau siapa yang menyuruh mereka kan?" ucap Gina yang di benarkan oleh Reva. "Ya, bahkan sampai kirim salam!" seru Reva sembari menirukan Ratih mengangkat kedua jari tengahnya. "Heh, turunkan tanganmu!" tegur Gina menampar kecil tangan Reva. "Hehe, iya." "Ya, aku tau orang itu." Ratih mengambil makanan dan memakannya, Gina memperhatikan dalam diam gadis itu tengah berpikir. "Hah, ayo skincare an saja. Mumpung kita bisa tidur bersama hehe!" seru Gina bersemangat. Reva berdiri dan melompat, "ayo! Aku juga ingin cantik seperti kalian!" teriaknya. "Heh, tenanglah. Sangat pecicilan sekali!" Mereka bertiga bergantian cuci muka dan mengenakan baju tidur Gina, rasanya nyaman dan hangat. Jarang sekali bisa berkumpul
Ratih termenung di depan kaca toilet, matanya memerah dengan suhu tubuh yang kian memanas. Ia hela napasnya sejenak, hingga merasa lebih baik dan terkontrol. Perbincangannya dengan seseorang barusan membuatnya begitu kepikiran. "Sepertinya aku terlalu menunda-nunda, huh." Setelah merapikan penampilannya barulah ia keluar dari sana dan kembali menghampiri Safar yang sudah menunggunya. Ia lihat di meja sudah ada pesanannya tersedia, Safar tersenyum manis menyambut Ratih datang."Kau baik-baik saja?" tanya Safar setelah Ratih duduk."Um, ya. Aku baik, maaf membuatmu menunggu lama.""Ah tidak sama sekali," sahut Safar menggigit bibirnya menahan ucapannya. "Ah iya, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Safar pelan dengan tatapan mata yang dalam."Iya? Membicarakan apa?" tanya Ratih.Safar terlihat gugup dan ragu, ia menahan napasnya sebelum berkata."Apakah kau membutuhkan pasangan?" tanya Safar memberanikan diri.Dalam hatinya Safar berteriak, seharusnya bukan itu yang ia ucapkan. Benar
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi