Di kamar Gina ketiga gadis itu duduk melingkar di atas ranjang dengan makanan yang Ratih bawa pulang di tengahnya. Mereka mendengarkan Ratih bercerita tentang pengalamannya barusan, tentang dikejar sekelompok pemotor yang tujuannya hanya menguji katanya. "Hm, sepertinya kau tau siapa yang menyuruh mereka kan?" ucap Gina yang di benarkan oleh Reva. "Ya, bahkan sampai kirim salam!" seru Reva sembari menirukan Ratih mengangkat kedua jari tengahnya. "Heh, turunkan tanganmu!" tegur Gina menampar kecil tangan Reva. "Hehe, iya." "Ya, aku tau orang itu." Ratih mengambil makanan dan memakannya, Gina memperhatikan dalam diam gadis itu tengah berpikir. "Hah, ayo skincare an saja. Mumpung kita bisa tidur bersama hehe!" seru Gina bersemangat. Reva berdiri dan melompat, "ayo! Aku juga ingin cantik seperti kalian!" teriaknya. "Heh, tenanglah. Sangat pecicilan sekali!" Mereka bertiga bergantian cuci muka dan mengenakan baju tidur Gina, rasanya nyaman dan hangat. Jarang sekali bisa berkumpul
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Sejak kejadian memilukan yang menimpa sang ibu, Ratih menjadi gadis pendiam dan dingin. Cahaya hidupnya meredup, hanya menanggapi segala hal dengan singkat. Sungguh menyayat hati bila diingat, wanita cantik berlumuran darah tanpa busana tak bernyawa tergeletak begitu saja di kebun karet. Siapapun yang melihatnya akan ikut merasakan deritanya, lecet di seluruh badan, lebam dibeberapa bagian, dan paling pilu bagian kemaluannya robek seperti disayat benda tajam."Bu, Ratih bersumpah ..., para keparat itu akan kubuat sekarat," Lirih Ratih didepan makam sang ibu, tangannya mencengkram erat tanah basah, air matanya luruh tanpa aba.Orang-orang sudah pulang setelah pemakaman diselesaikan, tinggal Ratih yang seolah tak ingin beranjak meninggalkan. Langit mendung seperti ikut merasakan kemalangan, tak lama gerimis turun bagai tangisan.Ratih mendekat ke nisan dan menciumnya dalam, memaksakan senyum untuk sang ibu yang sudah di alam baka. "Ratih akan sering berkunjung ke sini, ibu yang tenang
Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan
Di kamar Gina ketiga gadis itu duduk melingkar di atas ranjang dengan makanan yang Ratih bawa pulang di tengahnya. Mereka mendengarkan Ratih bercerita tentang pengalamannya barusan, tentang dikejar sekelompok pemotor yang tujuannya hanya menguji katanya. "Hm, sepertinya kau tau siapa yang menyuruh mereka kan?" ucap Gina yang di benarkan oleh Reva. "Ya, bahkan sampai kirim salam!" seru Reva sembari menirukan Ratih mengangkat kedua jari tengahnya. "Heh, turunkan tanganmu!" tegur Gina menampar kecil tangan Reva. "Hehe, iya." "Ya, aku tau orang itu." Ratih mengambil makanan dan memakannya, Gina memperhatikan dalam diam gadis itu tengah berpikir. "Hah, ayo skincare an saja. Mumpung kita bisa tidur bersama hehe!" seru Gina bersemangat. Reva berdiri dan melompat, "ayo! Aku juga ingin cantik seperti kalian!" teriaknya. "Heh, tenanglah. Sangat pecicilan sekali!" Mereka bertiga bergantian cuci muka dan mengenakan baju tidur Gina, rasanya nyaman dan hangat. Jarang sekali bisa berkumpul
Ratih termenung di depan kaca toilet, matanya memerah dengan suhu tubuh yang kian memanas. Ia hela napasnya sejenak, hingga merasa lebih baik dan terkontrol. Perbincangannya dengan seseorang barusan membuatnya begitu kepikiran. "Sepertinya aku terlalu menunda-nunda, huh." Setelah merapikan penampilannya barulah ia keluar dari sana dan kembali menghampiri Safar yang sudah menunggunya. Ia lihat di meja sudah ada pesanannya tersedia, Safar tersenyum manis menyambut Ratih datang."Kau baik-baik saja?" tanya Safar setelah Ratih duduk."Um, ya. Aku baik, maaf membuatmu menunggu lama.""Ah tidak sama sekali," sahut Safar menggigit bibirnya menahan ucapannya. "Ah iya, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Safar pelan dengan tatapan mata yang dalam."Iya? Membicarakan apa?" tanya Ratih.Safar terlihat gugup dan ragu, ia menahan napasnya sebelum berkata."Apakah kau membutuhkan pasangan?" tanya Safar memberanikan diri.Dalam hatinya Safar berteriak, seharusnya bukan itu yang ia ucapkan. Benar
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi