Saiful mondar-mandir di dalam sel nya, pria itu sangat bingung dan ketakutan. Ini sudah hari ke 3 sejak Ratih memberikannya penawaran kebebasan, ke-dua temannya hanya diam sembari saling menatap penasaran.
Suara langkah kaki dari kejauhan terdengar menggema, itu adalah pengawas penjara dan menghampiri sel Saiful. Pria buncit berseragam polisi membuka kunci gembok dan menatap tajam tiga orang didalamnya."Atas nama Saifullah, ada yang ingin menemui Anda." Ucapan sang pengawas itu membuat Saiful tercekat sejenak, pria itu mengangguk lemas dan bersiap keluar.Tangannya di borgol sembari di tuntun berjalan ke ruang pertemuan, di kursi sana sudah duduk seorang gadis dengan aura gelap yang mencekam.Ratih memandang rendah Saiful didepannya, gadis itu mengulas senyum manis palsu sebagai ungkapan sambutan dengan telepon penghubung yang sudah ia angkat.Saiful mengangkat telepon penghubung dengan gemetaran, keringat dingin membasahi tubuhnya bagian dalam."Apa jawaban mu?" Tanya Ratih membuka percakapan.Saiful terdiam di seberang sana, pria itu sudah memikirkan jawabannya sejak tadi. Gelengan kecil nan pelan pria itu sudah menjawab pertanyaan Ratih barusan, membuat gadis itu tersenyum manis karena sudah menduga jawabannya."Ah, nampaknya kau meragukan ku."Ratih perlahan mengambil ponselnya dan menunjukkan gambar yang membuat Saiful berteriak kesetanan.Pria itu berlari mendekati kaca pembatas dan menggedor-gedor kaca itu hingga sedikit retakan terjadi di sana. Napasnya memburu hebat dengan wajah memerah.Ratih masih duduk tenang memandangi Saiful, pengawas datang dan mengamankan Saiful. Pria itu dibawa kembali kedalam sel tahanan meninggalkan Ratih yang masih diam tenang di sana.***Tak ada yang tahu siapa dalang di balik penghilangan nyawa ibu dan anak itu, kabar yang beredar hanya penemuannya tanpa jejak pembunuhan yang tertinggal.Adam yang masih dalam masa hukumannya yaitu di pasung sebulan pun ikut menangis mendengar berita duka, ia menyalahkan diri sendiri seolah ia penyebab semuanya terjadi."Ya Allah kasihan sekali, apa kau sudah melihat bekas sayatan di tubuh wanita itu?""Iya aku melihatnya dengan jelas, aku tidak bisa makan setelahnya.""Ku dengar pak RT juga mendapatkan teror dari pembunuh nya, beliau di tinggali satu keresek berisi daging sapi yang masih berdarah-darah.""Astaga mengerikan sekali, ada apa dengan desa kita?""Pasti karma akibat zina itu!"Sudah mati saja masih difitnah, betapa malangnya nasib wanita satu itu. Para warga yang berkerumun di area sekitar tempat ditemukannya Sarah dan Rama masih berceloteh mengemukakan pendapat masing-masing."Bagaimana kita memandikannya?""Bungkus saja langsung, merepotkan."Keduanya ditemukan dalam keadaan mengenaskan, baju robek-robek dengan luka sayatan yang dalam. Di area kemaluan Sarah itu juga ditemukan seperti bekas dimasuki benda tajam yang menyebabkan darah mengucur deras. Sedangkan Rama, bocah itu seperti di cekik kuat hingga napasnya berhenti sebelum disayat pelaku.Proses penyemayaman jenazah keduanya berlangsung dalam diam, beberapa warga takut untuk sekedar menyentuhnya. Jadinya jenazah tak dimandikan hanya di balut kain kafan kemudian dikuburkan di hutan nan jauh dari pemakaman umum.***Reva sedang bersiap-siap didalam kamarnya, gadis itu mengangkat baju-bajunya untuk disesuaikan dengan dirinya sendiri didepan cermin."Cantik-cantik, jarang-jarang diajak liburan. Sekali liburan ke tempat yang jauh nan menawan, hihi."Deringan telepon masuk mengalihkan perhatiannya, Reva meletakkan bajunya sebelum mengambil ponselnya.Message (2)Regina : Hei, sudah bersiap-siap?Regina : Ayah tidak ikut ada kerjaan mendadak, jadi hanya kau dan aku. Bagaimana jika kita mengajak Ratih?Revalina : Oh begitu? Coba kau chat dia, aku masih berkemas-kemas.Regina : BaiklahDi lain tempat Ratih sedang makan di warung yang tampak sepi di siang ini, soto didepannya ia santap dalam diam beberapa lelaki di tempat duduk lain memperhatikan dirinya kagum. Ratih tampak mencolok dengan jaket hitam dan celana jeans-nya, membuatnya terlihat sangat keren.Ting!Notifikasi masuk membuatnya berhenti makan sejenak.Tiga Dara Menggoda (3)Regina : Ratih ayo kita liburan, kau senggang tidak?Regina : Kita berlibur 2 hari, tenang saja nanti aku yang izinkan ke wali kelas.Revalina : Ayolah Rat, ikut ya!Weningratih : Kemana?Regina : Ke pantai Lakadeksa dan gunung Rajawarta. Ayo!Ratih berpikir sejenak, ia memiliki rencana besar untuk hari esok jika ia liburan maka rencananya akan tertunda.Weningratih : Aku tidak bisa, ada kerjaan.Revalina : Yah! Ayolah sekali-kali, ayah Gina yang akan membiayai kau tinggal berangkat saja.Regina : Iya, ayahku yang akan membayar semuanya.Weningratih : Tidak bisa, kalian saja yang berlibur.Regina : Yah, ya sudah kalau begitu.Revalina : :')Ratih menutup ponselnya melanjutkan makannya, ia sedikit waspada di sini sejak tadi ia merasa ada yang mengawasi dari kejauhan.Mempercepat makannya Ratih bergegas menghabiskan soto dan minumannya, berlalu membayar dan pergi dari sana.Dalam perjalanan pulang ke rumah, gadis itu di buntuti dua lelaki besar yang tampak seperti preman. Ratih membelokkan arah ke gang sempit di kiri dan berjongkok di belakang pohon mangga besar."Kemana tuh cewe?" Salah satu di antara lelaki itu bertanya, badannya terlihat seperti preman kasar dengan gigi kawatnya."Cari, jangan sampe ilang!"Keduanya berpencar mencari Ratih, sedangkan Ratih berpikir keras haruskah ia melawan keduanya. Ia tak mungkin menang dengan mudah jika tangan kosong, ia harus membuat rencana.Ratih mengambil korek api dan mengendap-endap mendekati salah satu yang sedang dekat di areanya. Posisinya aman karena semak belukar menutupi tubuhnya, didepan sana preman itu berdiri membelakangi.Dengan pelan Ratih menyulut api ke arah celana pria itu hingga perlahan apinya merambat ke atas. Setelahnya Ratih berpindah dan mendekati yang satunya lagi, si botak itu sedang mencari-cari dibelakang tumpukan kayu."Bau apa nih?""Kaya ada yang gosong," ungkap salah satunya.Bruak!Ratih menendang perut tengah si botak kemudian menindihnya, lalu dengan kuat ia siku dada si botak dari atas. Setelahnya ia tonjok beberapa kali wajahnya hingga jeritan pilu menggema, sedangkan di sisi lain si preman itu berlarian kebingungan."Argh! Panas, panas!"Ia segera melepaskan celananya dan membuangnya sejauh mungkin, melepaskan juga pakaiannya hingga hanya memakai dalaman tanpa baju. Seperti tuyul dewasa dilihat-lihat membuat Ratih tertawa ngakak, ia bangun dari si botak dengan cepat menghentakkan kakinya keras di area kemaluannya."Arghhhh! Cewe gila!""Hahha, sudah tahu gila kok di kejar juga! Goblok!"Tak puas hanya begitu saja Ratih mendekati salah satunya yang masih mengipasi dirinya, betapa menyedihkannya pria itu kena luka bakar menjalar dari kaki hingga pupu dalamnya."Masih kurang?" Tanya Ratih sembari mengangkat korek apinya.Si preman hanya bisa menggelengkan kepalanya, rasanya ia ingin menangis gila. Malu dan takut menjadi satu, ia telanjang hanya dengan celana dalam berwarna merahnya."Hahahha, dah tahu kecil kok pecicilan!"Tatapan Ratih remeh menuju arah selakangan pria itu, menggeleng sejenak gadis itu berjongkok mendekat."Siapa yang nyuruh?"Si preman masih diam, pandangannya ke arah temannya yang masih berbaring lemah di jauh sana."Aku bisa saja menghabisi kalian sekarang, hm?"Ratih mengeluarkan besi kecil dari tasnya bentuknya seperti linggis, itu buatannya sendiri. Dengan bentuk runcing di bagian ujung kemudian di ujung satunya tumpul bagai palu."Mau bagian mana dulu nih?" Tawar Ratih senang."A-ampun, kami cuma nurutin kemauan orang."Ratih mengangkat besi itu ke depan wajah si preman."A-ampun, maafkan kami! Kami cuma suruhan, kami tidak tahu apa-apa!" Suaranya yang cempreng membuat Ratih murka, dengan kejam gadis itu memukul kening si preman."Siapa?" Lanjutnya setelah kening si preman lecet dipukulnya."Tu-tuan Herdian, iya! Kami mohon ampun!"Mengerutkan keningnya dan menatap tajam lawan bicara, Ratih mendekatkan besinya ke mulut si preman."Herdian siapa ha?""Tu-tuan Herdian Gairelo.""Hei ini apa?" Tanya Reva ke Gina, mereka berdua tengah berada dalam perjalanan di mobil."Oh ini untuk mengatur suhu AC mobil, kau kedinginan tidak?" jelas Gina."Oh iya iya, tidak kok. Apa masih lama sampainya?" "Hm, kurang tahu." "Pak, berapa lama lagi kita akan sampai?" Tanya Gina ke sang sopir."Sekitar tiga jam lagi, Non." Gina mengangguk saja, gadis itu mengeluarkan jajanannya dari tas."Biar tidak bosan," ungkap Gina menyodorkan beberapa camilan."Ah, aku kenyang Na. Aku merasa bosan, Ratih online tidak?" Gina masih mengunyah makanan nya, ia menyodorkan ponselnya ke Reva. "Coba kau hubungi, video call!" perintahnya."Hehhe oke!" seru Reva segera mengambil ponsel Gina dan mencari Ratih.Hanya bunyi deringan terdengar, sepertinya Ratih sedang tidak aktif. Reva terduduk lesu, mengembalikan kembali ponsel Gina dan mencomot makanannya."Perasaan ku tidak tenang, apakah Ratih baik-baik saja?" ungkap Reva menunjukkan keresahannya."Em, aku juga merasa ganjal. Semoga dia baik-baik
Disebuah tempat nan jauh dalam hutan, tampak dua lelaki tengah berusaha menyusun kayu. Mereka membuat gubuk dengan benda seadanya, hanya bermodalkan ranting-ranting dan dedaunan."Sampai kapan kita disini?" "Entahlah, bos cuma bilang bakalan jemput kalau keadaan udah membaik.""Tapi sampai kapan?" "Sampai kiamat! Udah kerjain ini, udah mau malem!" gerutu seorang pria. Akhirnya Anton kicep dimarahi oleh Farid, kini mereka berdua melanjutkan pekerjaannya. Dengan kayu yang ditata rapat menancap tanah, kemudian atapnya di beri alas daun kelapa. "Kita ga bawa makan apa? Laper gila!" Anton mengeluh kembali."Habis ini nyari ikan di sungai, ga usah ngeluh mulu." Anton diam kembali, dengan terpaksa bekerja meski perutnya keroncongan meminta di beri asupan. Farid, pria itu bolak-balik mengangkut kayu dan daun kelapa. Mengikatkan daun kelapa dengan pelepah pisang, kemudian membuat pintu dari daun pisang. Hari sudah mulai petang, gelap sekali di tengah hutan ini. "Gue takut bre. Kenapa si
"Pelatih tidak bisa datang, kita latihan sendiri." Ucapan senior itu meredupkan semangat para anggota junior, apalagi yang anak-anak. Tampak wajah mereka langsung berubah masam, mereka merindukan pelatih karena orangnya sangat baik dan supportif. "Yah, kenapa kak? Beliau kemana?" tanya seorang bocah lelaki. "Beliau pergi ke luar negeri, bisnis." Jawaban itu mendapat anggukan dari beberapa orang. "Kalau begitu biar Kak Safar yang ngajar, setuju?" ungkap bocah tadi. "Setuju!!" Ratih hanya tersenyum saja, kemudian mereka semua mulai berbaris dan melakukan pemanasan. Sejak tadi Safar yang berdiri di depan sana tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Ratih, namun Ratih abaikan, gadis itu tampak sangat fokus dengan pemanasannya. "Ah, Bang Safar gak fokus ih!" seru bocah perempuan di depan Ratih. "He'em, matanya jelalatan mulu!" sahut bocah lelaki disebelahnya. "Heh astaga bocah ini," gumam Safar lirih. Bocah perempuan itu berbalik badan menatap ke belakang, "mending kak Ratih
Reva dan Gina sedang berbincang melalui video call dengan Ratih. Ketiganya membahas hal random apa saja, bahkan sejak tadi Reva tak henti-hentinya berceloteh ria."Ah kau tau, saat di pantai tadi aku melihat bule! Astaga tampan sekali, aku menyukainya!" ungkap Reva girang."Murahan sekali hatimu ini, ada yang tampan sedikit langsung suka!" ejek Gina, gadis itu berada di belakang Reva sedang mewarnai kukunya."Ck yang cintanya bertepuk sebelah tangan diam saja!" ucap Reva tak terima yang membuat Gina menyenggol gadis itu hingga jatuh dari kasur."Aw, ah dasar!" Ratih di seberang hanya tertawa kecil memperhatikan keduanya seolah seperti biasa, sembari gadis itu membaca lembaran kertas sejak tadi."Oh ya Ratih, bagaimana di sekolah? Kau baik-baik saja kan?" tanya Gina cemas.Tablet Gina diletakkan di atas meja yang membuat jarak tangkapan video menjadi lebih lebar, Reva masih di bawah malas naik hanya terlihat kepalanya saja."Ya baik, bagaimana dengan kalian? Apakah liburannya menyenan
Begitu hening malam ini, selepas Ratih berbincang dengan teman-temannya ia membaca satu-persatu informasi yang telah dikumpulkannya. Masih banyak yang janggal, Ratih kesulitan mengorek lebih dalam lagi. "Hm kalung yang indah ...," kagumnya pelan memandangi kalung berbandul hati itu. Kilatan cahaya yang memantul dari bandul itu begitu indah, Ratih pun mendekati ke cermin dan memakainya. Kalung emas putih dengan bandul berbentuk hati itu tampak pas di lehernya yang jenjang dan cerah. "Um cantik," pujinya. Kembali duduk dan mulai mengisi data formulir beasiswa itu, akan ia manfaatkan kesempatan ini. Otaknya berpikir keras bila suatu hari ia melanggar harus membayar denda, ia harus kaya setidaknya memiliki tabungan lebih dari 1 Miliar. Ratih mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Apa tawaranmu masih berlaku?" tanyanya setelah panggilan terhubung. "Tentu masih, kau menerimanya?" tanya seorang lelaki di seberang sana dengan nada senang. "Ya, ku terima." Setelahnya sese
Setelah olahraga lanjut fisika, tubuh yang lelah harus dipaksa berpikir keras memahami berbagai materi ini. Teman-teman kelasnya sudah pada tepar, bahkan masih ada yang mengenakan kaos olahraga. Kipas kelas di nyalakan maksimal membuat bau keringat berhamburan."Woi, siapa yang ga mandi!" jerit Gibran."Baunya gila!" sahut Safar, pemuda itu sudah memakai seragam Pramuka nya. Safar mendekat ke salah satu murid yang dekat kipas angin, murid itu begitu berisi lemak masih mengenakan kaosnya. Beberapa temannya masih ada yang tengah sibuk menyalin jawaban untuk PR fisika ini, tak begitu memperhatikan sekitar. Ada pula yang tengah pijit di belakang sana."Oh ternyata! Ini orangnya!" seru Safar menuduh. Safar mendekat dan mencoba mengendus-endus area sekitar nya."Ganti gak!" Safar memaksa murid itu berdiri yang akhirnya si murid itu menyerah."Iya iya!" jawab murid itu pasrah.Setelah murid itu pergi perlahan bau tak
Suasana rumah Gina begitu kelam dan mencekam, padahal hari masih siang dengan terik matahari yang menyengat di luar sana. Ratih bersama Gina tengah duduk di kursi tamu menghadap sang ayah, Herdian. Reva masih tidur di kamar Gina, gadis itu kelelahan di perjalanan pulang."Sepertinya Saya belum terlalu mengenali diri mu," ucap Herdian. Pria itu duduk dengan kaki yang di silangkan bagai penguasa. "Yah, ini teman ku. Satu kelas, Ratih namanya." Gina bergegas menjelaskan sebelum ayahnya bertanya macam-macam.Herdian mengangguk perlahan, tangannya menyentuh area dagu seolah berpikir. Ratih yang di samping Gina masih diam, gadis itu waspada sembari matanya mencuri-curi pandang ke area sekitar."Ratih ya, hmm." "Perkenalkan, Saya adalah ayah Gina." Dapat Ratih lihat Herdian seolah-olah sedang berusaha menjadi manusia ramah dengan senyum palsunya. Ratih mengulas senyum kecil tanpa membalas ucapan Herdian. Ia tahan supaya tidak mengamuk saat itu juga, ingin sekali ia robek mulut sok manis p
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi
Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan
Di kamar Gina ketiga gadis itu duduk melingkar di atas ranjang dengan makanan yang Ratih bawa pulang di tengahnya. Mereka mendengarkan Ratih bercerita tentang pengalamannya barusan, tentang dikejar sekelompok pemotor yang tujuannya hanya menguji katanya. "Hm, sepertinya kau tau siapa yang menyuruh mereka kan?" ucap Gina yang di benarkan oleh Reva. "Ya, bahkan sampai kirim salam!" seru Reva sembari menirukan Ratih mengangkat kedua jari tengahnya. "Heh, turunkan tanganmu!" tegur Gina menampar kecil tangan Reva. "Hehe, iya." "Ya, aku tau orang itu." Ratih mengambil makanan dan memakannya, Gina memperhatikan dalam diam gadis itu tengah berpikir. "Hah, ayo skincare an saja. Mumpung kita bisa tidur bersama hehe!" seru Gina bersemangat. Reva berdiri dan melompat, "ayo! Aku juga ingin cantik seperti kalian!" teriaknya. "Heh, tenanglah. Sangat pecicilan sekali!" Mereka bertiga bergantian cuci muka dan mengenakan baju tidur Gina, rasanya nyaman dan hangat. Jarang sekali bisa berkumpul
Ratih termenung di depan kaca toilet, matanya memerah dengan suhu tubuh yang kian memanas. Ia hela napasnya sejenak, hingga merasa lebih baik dan terkontrol. Perbincangannya dengan seseorang barusan membuatnya begitu kepikiran. "Sepertinya aku terlalu menunda-nunda, huh." Setelah merapikan penampilannya barulah ia keluar dari sana dan kembali menghampiri Safar yang sudah menunggunya. Ia lihat di meja sudah ada pesanannya tersedia, Safar tersenyum manis menyambut Ratih datang."Kau baik-baik saja?" tanya Safar setelah Ratih duduk."Um, ya. Aku baik, maaf membuatmu menunggu lama.""Ah tidak sama sekali," sahut Safar menggigit bibirnya menahan ucapannya. "Ah iya, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Safar pelan dengan tatapan mata yang dalam."Iya? Membicarakan apa?" tanya Ratih.Safar terlihat gugup dan ragu, ia menahan napasnya sebelum berkata."Apakah kau membutuhkan pasangan?" tanya Safar memberanikan diri.Dalam hatinya Safar berteriak, seharusnya bukan itu yang ia ucapkan. Benar
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi