Dibawah hujan deras Ratih berlatih dengan keras, dipukulnya berkali-kali samsak buatannya dari campuran pasir halus yang dibalut kumpulan kain. Samsak itu ia kaitkan dengan dahan pohon, bunyi pukulan dan kecipak air saling bersahutan.
Keringatnya meluruh bersamaan dengan air hujan yang mengguyur tubuhnya, Ratih tidak terlalu terlihat karena hanya lentera kecil dari atas yang menyinari kegiatannya.Bugh, bugh, bugh. Bunyi hantaman meredam bercampur air hujan."Argh! Hahh, hah!" Nafas Ratih tak beraturan, ia berhenti memukul dan memeluk erat samsak, matanya terpejam menikmati aliran air hujan yang dingin ditubuhnya.Buku-buku tangannya lecet berdarah, meski lelah Ratih paksa untuk tetap terjaga di sana. Dinginnya hujan malam sedikit membuatnya menggigil, dirasa cukup berlatih ia kembali naik ke rumah pohon dengan basah kuyup.Tiap langkah nya meninggalkan bercak air di lantai, suara hujan diluar meramaikan sunyinya ruangan kecil ini. Mengambil handuk kecil dan mengeringkan dirinya, Ratih melepaskan seragam beladiri itu dan menggantinya dengan kaos."Tuhan ...," panggilnya lirih, Ratih memeras pakaian basahnya di luar dan menjemurnya di jendela."Sepertinya aku akan tidur disini untuk malam ini."Mengambil ponselnya di meja, Ratih baru sadar jika sudah tengah malam pukul 11.48 yang artinya hampir 5 jam an ia berlatih sejak Maghrib tadi. Berjalan pelan menuju ranjang kecil, ia menyamankan posisinya untuk rebahan.Ratih membuka grub chat di aplikasi hijau.Tiga Dara Menggoda (3 messages)Revalina : Dimanakah Gina yang pintar dan baik hati itu?Regina : Memuji jika ada maunya, dasar bermuka dua!Revalina : Iya bermuka dua saat berkaca, hahaha.Weningratih : PR kalian sudah selesai?Regina : Oh lihatlah, sekarang ada 5 muka disini!Revalina : Ayolah, guru matematika itu galak, jangan sampai kita didepak.Regina mengirimkan foto.Regina : Dimana rasa terimakasih mu wahai kisanak?Revalina : Terimakasih banyak yang mulia!Weningratih : Terimakasih.Regina : Pastikan jawaban kalian dibedakan, aku tidak mau dihukum karena ketahuan memberi contekan ya!Revalina : Mudah! Tinggal mengubah rumusnya saja!Weningratih : Akan lebih parah, bisa jadi hasilnya berbeda. Bu Anjar orang yang sangat teliti, kau pasti akan di interogasi.Regina : Benar! Hah, asal kalian tahu ya, wanita itu lebih galak daripada guru BK.Revalina : Ya, ya ya. Semoga Bu Anjar tidak masuk kelas, aameen!Weningratih & Regina : Aameen!Regina : Sedikit mustahil tapi aku aameen kan!Revalina : Sebentar, aku memiliki sesuatu untuk kalian.Revalina mengirimkan foto.Revalina : Sebenarnya aku tak sengaja melihatnya saat penasaran dengan adik kelas yang tampan itu, aku menemukan ini.Weningratih : Maksudmu? Wali kelasnya?Revalina : Ya benar! Haha, sulit mendapatkan foto si tampan, karena itu aku mencarinya di foto kelas bersama.Regina : Lalu apa? Aku bingung!Revalina : Astaga, lihatlah dengan cermat dahi kanan wali kelas itu, yang mulia!Weningratih : Ini, sungguh?Ratih menatap foto yang Reva kirimkan di ponselnya, ia perbesar bagian dahi pria itu dan memperjelas gambarnya. Benar dugaannya, tato naga itu terlihat jelas di sana, meski warnanya samar bentuknya begitu ketara.Regina : Haruskah kita meneliti semua guru dan karyawan di sekolah?Revalina : Harus! Ini akan membawa kita menemukan ujung benang merah yang kusut!Weningratih : Setelah pulang sekolah besok akan ku ajak kalian ke suatu tempat, mau?Revalina : Ayo ayo ayo! Aku tidak sabar, tempat apa? Bukan rumah kosong kan?Regina : Dasar penakut.Revalina : Dasar pemberani!Regina : Dasar cerewet!Revalina : Cermin di mana cermin?Weningratih : Ke rumah pohon.Regina : Wah! Yang benar saja? Punya siapa?Revalina : Jangan bilang kita akan ke tempat rekreasi.Weningratih : Lihat saja besok, aku tidur dulu.Revalina : Ya, semoga tidurmu nyenyak! Aku akan datang menghiasi mimpi indah mu!Regina : Selama tidur Ratih, ingatlah bahwa kau tidak sendirian! Kami berdua akan selalu menemani mu.Regina : Jangan biarkan Reva merusak mimpi indah mu! Usir saja saat kau melihatnya di sana!Revalina : Gina, awas saja. Akan ku berikan foto aib mu kepada Zidan!Weningratih : Terimakasih, sampai jumpa kalian.Ratih keluar dari aplikasi hijau itu walau Gina dan Reva masih saling bertukar pesan, berlalu menggulir layar mencari jam dan mengatur alarm, pukul 4 pagi sepertinya waktu yang pas, ia akan membuat PR nya nanti.Ditaruhnya ponsel itu di meja kecil dan bergerak mematikan obor, Ratih hanya menyisakan satu lentera kecil sebagai penerangan. Selimut tipis membalut tubuhnya, hujan di luar masih deras meski sudah tidak ada petir yang bergemuruh riuh, menyisakan suara kala air-air itu menyentuh atap dan dedaunan.Ratih masih terjaga dengan mata yang terpejam, dirinya tidak bisa tidur sejak tadi. Pikirannya kemana-mana, berkecamuk mengaduk memori. Suara tokek dari jauh terdengar samar, hujan masih setia menyirami bumi."Tuhan, peluk aku ..., aku tidak bisa tidur dengan nyenyak."Memeluk dirinya sendiri dengan erat, Ratih meringkuk memepet dinding. Gadis itu menangis dalam diam, bahunya bergetar kecil dengan tangannya yang memeluk erat selimut.Bagaimanapun juga Ratih masih sedih, bayangan sang ibu yang setiap hari menemaninya, memberinya hadiah setiap ia mendapatkan juara kelas, memasakkan makanan untuknya, mencium puncak kepalanya sebelum tidur, mengajarkan apapun kepadanya, semuanya masuk berdesakan memenuhi pikiran.Ratih tertidur karena lelah menangis, Tuhan membuatnya tidur sebagai istirahat setelah kesedihan yang mendalam. Menangis itu melelahkan, perasaan dan pikiran bertabrakan keluar menjadi air mata. Pikiran memutar ingatan, perasaan bereaksi dengan empati.Fajar pertama menyingsing dari arah timur, guratan cahaya begitu terlihat indah dari kejauhan. Cahaya putih nan suci menyinari langit yang masih bersih tanpa awan, Ratih terbangun dengan perasaan lega."Em, jam setengah 5? Kenapa alarmnya tidak terdengar," gumam Ratih serak, matanya masih mengantuk menatap ponselnya.Menguap kecil dan menutupinya dengan punggung tangan, Ratih mengucek matanya sebentar. Mata cantik itu berkedip-kedip menyesuaikan pandangan, lenteranya sudah mati ia hanya bisa melihat yang terkena cahaya ponselnya.Ratih bangun berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhnya, ia menggunakan ponselnya untuk penerangan. Dibereskan nya tempat tidur, melipat selimut, menata bantalnya dan berlalu mengambil seragam di jendela."Masih basah," gumam Ratih memasukkan seragam itu ke keresek berlalu mematikan senter ponsel dan membawanya keluar.Ratih turun ke bawah, pandangannya tertuju ke arah samsak buatannya, sedikit heran karena samsak itu rusak parah."Sekeras itu kah?" tanyanya heran.Disentuhnya bagian bagian yang robek, ia baru menyadari jika tangannya lecet, meski sudah mengering sebagian tetap saja rasa perihnya belum hilang."Astaga ...."Ratih berjalan pulang ke rumah, langit masih sedikit gelap, sinar matahari pagi belum terlihat dengan jelas. Jalanan begitu becek sisa hujan semalam menimbulkan suara kecipak air tiap kakinya melangkah. Udara pagi yang dingin ditambah kabut tipis sedikit menghalangi pandangannya.Sampai di rumah Ratih bergegas ke kamar mandi mencuci kakinya, sekalian mencuci seragamnya dan menjemurnya di teras belakang. Membersihkan jejaknya dengan pel saat masuk tadi, ia dapati pintu kamarnya terbuka tidak dikunci."Apa yang? Apa ini?" monolognya menemukan kalung yang tergeletak dilantai kamarnya.Kalung emas putih dengan bandul berbentuk hati itu tampak begitu indah, ia seperti pernah melihatnya, tapi dimana? tanyanya dalam hati.Netranya memperhatikan ruang kamarnya, tidak ada yang hilang hanya saja Ratih ingat barang-barangnya bergeser tidak sesuai tempatnya semula."Maling di tempat orang miskin itu rugi."Bergegas mencari buku matematika dan menyelesaikan tugasnya, Ratih mengerjakannya sendiri bukan hasil contekan dari Gina semalam. Ia paham betul, menyontek hanya akan membuatnya menjadi pemalas karena ingin hasil tanpa usaha."Akhirnya selesai, terimakasih Tuhan telah melancarkan otakku."***"Yang ku tau naga itu melambangkan kekuatan dan kekuasaan, dia kan menyemburkan api dari mulutnya."Mereka bertiga sedang duduk di kelas menunggu jam pelajaran masuk, Gina dan Ratih mendengarkan pendapat Reva yang bersemangat sejak tadi."Tapi ya, api yang dikeluarkannya itu berbahaya jika tidak digunakan untuk kebaikan, itu bisa membakar desa bahkan hutan!" Reva menjelaskan pendapat nya, tadi pagi sebelum berangkat gadis itu mencari-cari tahu tentang perdebatannya dengan Gina semalam."Itu benar! Tapi sepertinya naga yang ini jahat, apinya membakar asa kehidupan."Reva dan Ratih terdiam, benar apa yang Gina katakan. Asa kehidupan Ratih sudah terbakar habis, menyisakan serpihan abu dalam jiwanya yang kemudian mengotori air jernih pikirannya.Kelas pertama matematika sudah di mulai, semuanya mengerjakan PR dan tidak ada hukuman untuk hari ini. Bu Anjar terlihat lebih bahagia dari sebelumnya, wajahnya tidak dingin seperti biasa."Do'a kita tertolak, padahal kita anak baik," bisik Gina sedih."Tapi sebagai gantinya Bu Anjar terlihat lebih manusiawi," sahut Reva berbisik membalas."Kau benar, baru kali ini aku merasa aman diajar olehnya.""Ya, biasanya kau sampai berkeringat dingin."Ratih yang duduk sendirian dibelakang hanya diam, apa yang ke-dua temannya lihat tak seperti yang ia lihat. Dari sini Ratih menduga Bu Anjar bahagia seperti ketiban durian, matanya berkilat saat menatap layar ponselnya."Baiklah, sekarang kita masuk ke materi selanjutnya."Suara Bu Anjar terdengar merdu, namun menakutkan karena bergema. Ratih tidak bisa tenang sedari tadi, ia memutuskan untuk izin ke toilet, dan yang mengherankan adalah Bu Anjar memperbolehkannya, biasanya tidak boleh kecuali buang air atau mual.Ratih berlalu keluar dari kelas, ia menghela nafas lega. Sepanjang berjalan di koridor sekolah terasa nyaman, begitu sepi karena masih jam pembelajaran. Gadis itu masuk ke toilet perempuan di sana kosong tidak ada siapapun, ia masuk ke toilet paling pojok dan duduk di kloset setelah menutup pintunya."Apalagi ini?" tanyanya lagi, Ratih melihat ponselnya di sana ada kasus yang baru saja terjadi, motifnya sama yaitu pemerkosaan di hutan, korbannya juga merupakan seorang janda."Parah, bahkan polisi tidak mampu mengungkap pelakunya! Bodoh sekali mereka!" geramnya ketika membaca kelanjutan berita itu, kasus itu dibiarkan begitu saja seolah bukan hal yang penting untuk ditangani.Terdengar suara pintu dibuka dan langkah seseorang masuk, Ratih diam mendengarkan telinganya ia pasang lebar-lebar."Ya, aku sudah mendapatkan datanya," ucap orang itu, sepertinya sedang berbicara di telepon.Lawan bicaranya tidak terdengar begitu jelas, hanya seperti gumaman bernada. Ratih masih diam sembari mengangkat kakinya ke atas, agar tidak ketahuan jika disini ada orang lain."Benar, putrinya bersekolah di sini. Aku lupa namanya, sebentar."Ada jeda sejenak, Ratih ikut menebak penasaran dari dalam sana."Weningratih, ya itu namanya. Gadis itu kelas 12 MIPA 3."Ratih yang di dalam toilet terdiam terpaku itu adalah dirinya, hanya ada satu Weningratih di kelas 12 MIPA 3. Putrinya? Berarti mereka sedang membicarakan ibuku, batin Ratih."Aku tidak terlalu kenal dengan gadis itu, dia terlalu dingin dan tertutup sekarang."Disahut dengan gumaman yang tidak terlalu jelas dari tempat Ratih mendengar, ia sungguh penasaran apa yang mereka bicarakan."Akan ku coba, berhasil tidaknya aku sudah berusaha.""Ya, kirimkan saja uangnya ke nomor rekening ku. Apa? Oh iya, oke baiklah, tentu dengan senang hati. Terimakasih kembali!"Percakapan mereka sudah berakhir, kini Ratih bingung haruskah ia keluar dan langsung bertanya atau tetap menunggu dan diam di sini."Ratih, Ratih ...., kasihan sekali hidup mu, selalu dikejar-kejar kematian." Meski suara seseorang itu pelan Ratih masih bisa mendengarnya.Ratih mendekat ke sela-sela pintu, ia mengintip dari sana dan melihat gadis yang sedang bercermin membenarkan bulu mata palsunya. Ia tidak kenal dengan gadis itu siapa kiranya, haruskah kenalan sekarang? batin Ratih bimbang."Ah, sudah ganti pelajaran, aku harus cepat," ucap gadis itu lagi, bel tanda pembelajaran berganti barusan berbunyi.Setelah gadis itu pergi dari sana barulah Ratih keluar dan mendekati wastafel tadi, tidak ada apapun yang mencurigakan. Ia mencuci tangan dan wajahnya, sesudahnya kembali berjalan ke kelas.***"Sejak kapan ada rumah pohon sebagus ini di sini! Astaga, kenapa kau tidak memberitahuku sejak dulu! Aku pasti akan sering mampir ke rumahmu sebelum pulang!" Gina berseru senang, gadis itu memanjat tangga naik ke rumah pohon Ratih.Saat ini Ratih mengajak Gina dan Reva ke rumah pohonnya, Gina terlihat sangat antusias sedangkan Reva masih mengitari sekeliling."Kau yakin ini aman? Tidak ada binatang buas disini kan?" tanya Reva memastikan, ia sedikit parno karena yang dirinya tahu setiap alam liar pasti ada hewan melata didalamnya."Aman, tidak pernah ada." Ratih menjawab biasa saja, selama ia berumah pohon di sini tak pernah ia temui binatang buas, mungkin hanya burung hantu yang bertengger di dahan pohon dan laba-laba menghiasi langit ruangan."Amanlah kalau begitu, ini apa?" tanya Reva, gadis itu memegang samsak buatannya yang masih rusak."Ah, cuma samsak.""Hah? Samsak? Kenapa rusak? Kau yang menggunakannya?"Ratih hanya menggeleng dan ikut Gina naik ke rumah pohon."Hei! Aku ikut!""Astaga licin sekali!" gerutu Reva, meski sedikit takut terjatuh ia tetap naik ke atas.Gina sudah anteng rebahan dengan ponsel ditangannya, sedangkan Ratih menulis di pojokan."Kalian membosankan!" seru Reva, sejak tadi ia masuk tidak ada perbincangan apa pun semua saling diam di dunianya masing-masing.Ratih melirik Reva, berjalan mendekatinya menyerahkan kertas yang sudah ia tulis sesuatu."Agar tidak bosan.""Hm? Bukankah ini nama guru-guru kita?" tanya Reva yang membuat Gina mendekat penasaran.Gina ikut melirik kertas itu, "Iya benar? Kenapa kau menuliskan nama mereka?"Ratih mengeluarkan ponselnya memperhatikan beberapa gambar, ini adalah gambar yang ia temukan dari sosial media."Lihatlah mereka saling berkaitan, perhatikan ruangan sebagai latar belakangnya. Semuanya sama bukan? Hanya objeknya yang berbeda, jika dilihat-lihat ruangan ini seperti ruangan tertutup. Aku tidak bisa menemukan di website menggunakan gambarnya."Gina dan Reva memperhatikan dengan cermat, di sana ada beberapa foto dengan latar tempat yang sama. Foto pertama berisi 1 gurunya dengan 4 orang asing, foto selanjutnya berisi 3 gurunya dengan 2 orang yang mereka ingat adalah pelaku tersangka kemarin."Astaga otakku tidak sampai, kau paham tidak?" ungkap Gina menoleh ke arah Reva."Sama, bisa saja ini kebetulan bukan?" sahut Reva."Sebentar, aku menemukan ini lagi." Ratih menunjukkan beberapa foto lagi, kali ini adalah foto orang-orang asing itu."Lihat, mereka semua memiliki tato kecil di dahi, kenapa tidak dibelakang telinga? Karena beda kasta, dahi untuk atasan dan belakang telinga untuk bawahan," jelas Ratih."Astaga aku semakin tidak paham!" kesal Gina."Begini maksudku, dahi untuk berpikir dan telinga untuk mendengar. Orang-orang ini atasan dan kemarin yang pelaku tersangka adalah bawahan."Reva dan Gina tersentak mendengarnya, kesimpulan yang dibuat oleh Ratih sedikit tidak mereka pahami."Maksudmu? Orang-orang ini menyuruh untuk meng-anu ibumu?" tanya Gina setelahnya.Ratih mengangguk sebagai jawaban, Reva masih terdiam mencerna hal ini.Setelah Gina dan Reva pamit pulang, Ratih pergi ke kantor polisi menemui salah satu pelaku. Dihadapannya ada pria kurus berkulit sawo matang, kantung matanya menghitam berkerut. "Aku bisa membebaskan mu," tawar Ratih melalui telepon penghubung, meski amarah menguasainya ia tetap berusaha terlihat tenang. Kaca pembatas menjadi tameng untuk Saiful, si tahanan itu. Ingin sekali Ratih pecahkan kaca pembatas itu dan menyayat kulit Saiful dengan pecahan itu, mencoblos matanya dengan bagian kaca yang tajam, juga menusuk-nusuk kasar batang kemaluannya."Tawaran mu tidak menarik," sahut Saiful meremehkan. Ratih menunduk sejenak, membasahi bibirnya menyeringai kecil. Tangannya mengambil ponsel dan mencari sesuatu yang ingin ia tunjukkan."Mata hitam penuh sangat langka, ini akan dihargai sangat tinggi." Ratih berucap senang menunjukkan foto seorang bocah lelaki yang tersenyum manis menatap kamera.Saiful mengepalkan tangannya, raut wajahnya memerah menahan diri. Itu adalah foto anaknya yang
Berita kebakaran ruko kecil begitu tersebar dengan cepat, naasnya menelan 3 korban jiwa dan 2 orang luka-luka parah. Entah untung atau tidak, ruko itu terpisah beberapa langkah dari bangunan sebelahnya jadi apinya tidak merembet kemana-mana."Kebocoran gas?""Katanya begitu, tapi aku tidak tahu."Reva dan Gina sedang berbincang di kelas menunggu Ratih datang. Mereka membahas tentang kebakaran tadi, ruko kecil itu tak jauh dari sekolah."Ayah bilang ada maling, ya .... Kebakaran itu untuk menghilangkan jejaknya, begitu." Gina menyampaikan apa ayahnya bilang tadi pagi sebelum dirinya berangkat sekolah.Reva mengangguk paham, "Pintar juga, bisa dicontoh!" ucapnya yang mendapatkan sentilan dari Gina."Dasar bodoh."Terlihat dari tempat mereka duduk Ratih yang berjalan masuk ke bangkunya, gadis itu tampak lesu dan kurang tidur."Kau belum sarapan ya?" tanya Gina setelah Ratih sampai.Ratih hanya menggeleng."Astaga!" Gina mengeluarkan jajanan roti dan air mineral, menyodorkannya kepada Rat
Gina berlari kecil keluar dari gudang itu, bel pulang sudah berbunyi setengah jam lalu. Gadis itu di spam telepon oleh Reva sejak tadi, dengan kejam Gina memblokir nomornya sementara."Kau diblokir," ungkap Ratih yang sejak tadi menonton Reva bolak-balik sembari menggigit bibirnya."Hah? Diblokir?" Tanya Reva linglung setelah berhenti.Ratih hanya mengangguk saja, toh Gina sudah besar jadi tenang saja tak perlu panik seperti ini. Reva meluruh ke lantai, ingin sekali gadis itu menyentil dahi Gina, ia khawatir sejak tadi gadis itu belum kembali.Kelas sudah sepi menyisakan mereka berdua, Ratih masih sibuk di bangkunya dengan bukunya. Reva masih panik di bawah sana, pasalnya gadis itu di kirimi pesan oleh ayahnya Gina."Rat, menurutmu tuan Herdian galak tidak?" "Kenapa tiba-tiba?" Heran Ratih, tak biasanya mereka membicarakan hal seperti ini."Bacalah," pinta Reva menyodorkan ponselnya yang berisi chat antara dirinya dengan ayah Gina.Ratih menerimanya dan membacanya, keningnya berkerut
Saiful mondar-mandir di dalam sel nya, pria itu sangat bingung dan ketakutan. Ini sudah hari ke 3 sejak Ratih memberikannya penawaran kebebasan, ke-dua temannya hanya diam sembari saling menatap penasaran.Suara langkah kaki dari kejauhan terdengar menggema, itu adalah pengawas penjara dan menghampiri sel Saiful. Pria buncit berseragam polisi membuka kunci gembok dan menatap tajam tiga orang didalamnya."Atas nama Saifullah, ada yang ingin menemui Anda." Ucapan sang pengawas itu membuat Saiful tercekat sejenak, pria itu mengangguk lemas dan bersiap keluar.Tangannya di borgol sembari di tuntun berjalan ke ruang pertemuan, di kursi sana sudah duduk seorang gadis dengan aura gelap yang mencekam. Ratih memandang rendah Saiful didepannya, gadis itu mengulas senyum manis palsu sebagai ungkapan sambutan dengan telepon penghubung yang sudah ia angkat.Saiful mengangkat telepon penghubung dengan gemetaran, keringat dingin membasahi tubuhnya bagian dalam."Apa jawaban mu?" Tanya Ratih membuka
"Hei ini apa?" Tanya Reva ke Gina, mereka berdua tengah berada dalam perjalanan di mobil."Oh ini untuk mengatur suhu AC mobil, kau kedinginan tidak?" jelas Gina."Oh iya iya, tidak kok. Apa masih lama sampainya?" "Hm, kurang tahu." "Pak, berapa lama lagi kita akan sampai?" Tanya Gina ke sang sopir."Sekitar tiga jam lagi, Non." Gina mengangguk saja, gadis itu mengeluarkan jajanannya dari tas."Biar tidak bosan," ungkap Gina menyodorkan beberapa camilan."Ah, aku kenyang Na. Aku merasa bosan, Ratih online tidak?" Gina masih mengunyah makanan nya, ia menyodorkan ponselnya ke Reva. "Coba kau hubungi, video call!" perintahnya."Hehhe oke!" seru Reva segera mengambil ponsel Gina dan mencari Ratih.Hanya bunyi deringan terdengar, sepertinya Ratih sedang tidak aktif. Reva terduduk lesu, mengembalikan kembali ponsel Gina dan mencomot makanannya."Perasaan ku tidak tenang, apakah Ratih baik-baik saja?" ungkap Reva menunjukkan keresahannya."Em, aku juga merasa ganjal. Semoga dia baik-baik
Disebuah tempat nan jauh dalam hutan, tampak dua lelaki tengah berusaha menyusun kayu. Mereka membuat gubuk dengan benda seadanya, hanya bermodalkan ranting-ranting dan dedaunan."Sampai kapan kita disini?" "Entahlah, bos cuma bilang bakalan jemput kalau keadaan udah membaik.""Tapi sampai kapan?" "Sampai kiamat! Udah kerjain ini, udah mau malem!" gerutu seorang pria. Akhirnya Anton kicep dimarahi oleh Farid, kini mereka berdua melanjutkan pekerjaannya. Dengan kayu yang ditata rapat menancap tanah, kemudian atapnya di beri alas daun kelapa. "Kita ga bawa makan apa? Laper gila!" Anton mengeluh kembali."Habis ini nyari ikan di sungai, ga usah ngeluh mulu." Anton diam kembali, dengan terpaksa bekerja meski perutnya keroncongan meminta di beri asupan. Farid, pria itu bolak-balik mengangkut kayu dan daun kelapa. Mengikatkan daun kelapa dengan pelepah pisang, kemudian membuat pintu dari daun pisang. Hari sudah mulai petang, gelap sekali di tengah hutan ini. "Gue takut bre. Kenapa si
"Pelatih tidak bisa datang, kita latihan sendiri." Ucapan senior itu meredupkan semangat para anggota junior, apalagi yang anak-anak. Tampak wajah mereka langsung berubah masam, mereka merindukan pelatih karena orangnya sangat baik dan supportif. "Yah, kenapa kak? Beliau kemana?" tanya seorang bocah lelaki. "Beliau pergi ke luar negeri, bisnis." Jawaban itu mendapat anggukan dari beberapa orang. "Kalau begitu biar Kak Safar yang ngajar, setuju?" ungkap bocah tadi. "Setuju!!" Ratih hanya tersenyum saja, kemudian mereka semua mulai berbaris dan melakukan pemanasan. Sejak tadi Safar yang berdiri di depan sana tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Ratih, namun Ratih abaikan, gadis itu tampak sangat fokus dengan pemanasannya. "Ah, Bang Safar gak fokus ih!" seru bocah perempuan di depan Ratih. "He'em, matanya jelalatan mulu!" sahut bocah lelaki disebelahnya. "Heh astaga bocah ini," gumam Safar lirih. Bocah perempuan itu berbalik badan menatap ke belakang, "mending kak Ratih
Reva dan Gina sedang berbincang melalui video call dengan Ratih. Ketiganya membahas hal random apa saja, bahkan sejak tadi Reva tak henti-hentinya berceloteh ria."Ah kau tau, saat di pantai tadi aku melihat bule! Astaga tampan sekali, aku menyukainya!" ungkap Reva girang."Murahan sekali hatimu ini, ada yang tampan sedikit langsung suka!" ejek Gina, gadis itu berada di belakang Reva sedang mewarnai kukunya."Ck yang cintanya bertepuk sebelah tangan diam saja!" ucap Reva tak terima yang membuat Gina menyenggol gadis itu hingga jatuh dari kasur."Aw, ah dasar!" Ratih di seberang hanya tertawa kecil memperhatikan keduanya seolah seperti biasa, sembari gadis itu membaca lembaran kertas sejak tadi."Oh ya Ratih, bagaimana di sekolah? Kau baik-baik saja kan?" tanya Gina cemas.Tablet Gina diletakkan di atas meja yang membuat jarak tangkapan video menjadi lebih lebar, Reva masih di bawah malas naik hanya terlihat kepalanya saja."Ya baik, bagaimana dengan kalian? Apakah liburannya menyenan
Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan
Di kamar Gina ketiga gadis itu duduk melingkar di atas ranjang dengan makanan yang Ratih bawa pulang di tengahnya. Mereka mendengarkan Ratih bercerita tentang pengalamannya barusan, tentang dikejar sekelompok pemotor yang tujuannya hanya menguji katanya. "Hm, sepertinya kau tau siapa yang menyuruh mereka kan?" ucap Gina yang di benarkan oleh Reva. "Ya, bahkan sampai kirim salam!" seru Reva sembari menirukan Ratih mengangkat kedua jari tengahnya. "Heh, turunkan tanganmu!" tegur Gina menampar kecil tangan Reva. "Hehe, iya." "Ya, aku tau orang itu." Ratih mengambil makanan dan memakannya, Gina memperhatikan dalam diam gadis itu tengah berpikir. "Hah, ayo skincare an saja. Mumpung kita bisa tidur bersama hehe!" seru Gina bersemangat. Reva berdiri dan melompat, "ayo! Aku juga ingin cantik seperti kalian!" teriaknya. "Heh, tenanglah. Sangat pecicilan sekali!" Mereka bertiga bergantian cuci muka dan mengenakan baju tidur Gina, rasanya nyaman dan hangat. Jarang sekali bisa berkumpul
Ratih termenung di depan kaca toilet, matanya memerah dengan suhu tubuh yang kian memanas. Ia hela napasnya sejenak, hingga merasa lebih baik dan terkontrol. Perbincangannya dengan seseorang barusan membuatnya begitu kepikiran. "Sepertinya aku terlalu menunda-nunda, huh." Setelah merapikan penampilannya barulah ia keluar dari sana dan kembali menghampiri Safar yang sudah menunggunya. Ia lihat di meja sudah ada pesanannya tersedia, Safar tersenyum manis menyambut Ratih datang."Kau baik-baik saja?" tanya Safar setelah Ratih duduk."Um, ya. Aku baik, maaf membuatmu menunggu lama.""Ah tidak sama sekali," sahut Safar menggigit bibirnya menahan ucapannya. "Ah iya, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Safar pelan dengan tatapan mata yang dalam."Iya? Membicarakan apa?" tanya Ratih.Safar terlihat gugup dan ragu, ia menahan napasnya sebelum berkata."Apakah kau membutuhkan pasangan?" tanya Safar memberanikan diri.Dalam hatinya Safar berteriak, seharusnya bukan itu yang ia ucapkan. Benar
Gaun coklat muda berenda itu tampak semakin cantik di tubuh ramping Ratih. Kulit Ratih yang cerah terlihat lebih bercahaya berkat sapuan pelembab kulit yang Gina pakaikan ke tubuhnya. Rambut hitam bergelombang nan menawan tampak seperti badai di tengah laut malam, begitu menggelora di mata. "Foto dulu!" jerit Reva, tak henti-hentinya gadis itu mengekor kesana-kemari membujuk Ratih berfoto.Ratih mendengus malas, "tidak mau! Jangan memaksaku!" kesalnya."Sekali saja, ya ya ya! Ayolah, tidak ku publikasikan di sosial media kok!" bujuk Reva dengan wajah yang mencoba imut. Reva sudah membuka kamera ponselnya dan mengarahkannya ke Ratih. Gina masih di depan cermin bertaut diri, gadis itu lelah setelah mendandani Ratih karena baru pertama kali."Hei cepatlah ganti bajumu! Sudah hampir jam setengah 8!" suruh Gina ke Reva, yang membuat Reva memanyunkan bibirnya."Iya iya! Kalau begitu, selfie sendiri! Plis, aku hanya ingin mengenang masa-masa ini!" Karena Reva yang bersikeras membujuk akhi