"Maaf tanpa penyesalan hanyalah jeda sebelum luka yang lebih dalam."
*** "Maksud lo apa? Nggak ada cinta lagi? Lo nggak berdebar-debar lagi waktu bersama dia? Itu wajar. Gimana mungkin lo selalu berdebar-debar tanpa penyakit? Gue juga udah lama nggak berdebar-debar karena Tessa," ucap Arhan dengan suara yang terdengar setengah bercanda, tetapi juga setengah serius. Evan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap gelas di depannya. "Gue berdebar-debar saat berpikir bakal nikahin dia. Waktu gue bangun di pagi hari, Mauryn akan ada di rumah, sambil memegang segelas jus yang entah terbuat dari apa. Waktu gue pulang kerja, Mauryn bakal ada di rumah, sambil mengeluh tentang harinya lalu nyuruh gue mandi." "Yaiyalah. Itu alasan kebanyakan orang menikah. Selalu bersama saat weekend, hari raya, dan liburan. Selalu bareng 24 jam, 365 hari. Makan, tidur, dan melakukan semuanya sama-sama." Arhan meneguk minumannya. Kepala Evan menggeleng pelan, seakan ada beban besar yang menindih dadanya. "Sekeras apa pun gue berpikir, gue nggak bisa." "Jangan berlebihan. Lo cuma takut sama hal sepele. Mauryn itu orang yang tenang. Dia mungkin akan membiarkan itu." "Mungkin aja dia akan membiarkan itu. Dia akan menganggap dirinya sebagai orang yang sangat pemaaf, jadi gue dimaafin. Tapi tetap aja dia bakal menganggap gue bersalah sampai mati." Suara Evan sedikit bergetar, nadanya tersengar getir. "Selama 10 tahun gue menjalani hubungan sama dia, memang benar kalo gue cinta sama dia. Tapi satu tahun belakangan ini, gue mulai merasa jenuh. Dulu gue pengen banget cepat-cepat nikahin dia. Tapi dia selalu punya alasan buat menunda itu. Mauryn terlalu sibuk sama pekerjaannya. Dia ambisius, tapi membosankan. Gue merasa kayak pacaran sama robot. Bahkan sekarang ini dia lagi fokus banget buat mengejar promosi, pasti dia nggak akan mau diajak nikah. Gue udah jengah banget sama sikapnya. Lo pikir gue bisa hidup sama orang kayak gitu? Bayangin apa yang bakal terjadi sama pernikahan gue nantinya," lanjutnya. Di balik pintu, Mauryn berdiri membeku. Kata-kata Evan seperti pisau tajan yang menusuk tepat di jantungnya. Air matanya menggenang, tetapi dengan sekuat tenaga dia menahannya agar tak jatuh. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu tak cukup untuk membuatnya bernapas. Tega sekali Evan mengatakan hal seperti itu tentang dirinya. "Tapi lo udah banyak banget mengukir kenangan sama dia. Lo mau lupain itu gitu aja? Bukannya dulu waktu kuliah, lo sama Felix mati-matian memperebutkan dia?" Arhan menatap Evan dengan alis berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Udah gue bilang, dulu gue emang cinta banget sama dia. Tapi lo nggak tau Mauryn. Dia bisa tiba-tiba lengket banget dan bikin gue ngerasa tercekik. Waktu gue bersama dia, rasanya berat banget buat bisa bernapas. Itu bukan cinta, kan? Rasanya cinta gue buat dia perlahan udah menghilang. Terus gimana gue bisa nikahin dia?" ucap Evan. "Jadi lo benar-benar nggak sayang lagi sama dia?" tanya Arhan, suaranya lebih pelan kali ini. Evan terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab lirih, "Gue nggak tahu." Tessa yang berdiri di samping Mauryn mengepalkan tangan. Tatapan penuh amarahnya berkilat, seakan siap menelan Evan hidup-hidup. "Bajingan." Mauryn meremas ujung bajunya, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit itu terlalu nyata, terlalu menyakitkan untuk disangkal. "Kalo gitu, kenapa lo belum putus sama dia?" Suara Arhan terdengar tajam. "Gue cuma menunggu waktu yang pas." Menunggu waktu yang pas? Jadi selama ini Evan hanya menunda perpisahan? Membiarkan Mauryn menggantung, sementara perasaannya sendiri sudah mati? Mauryn menutup mulutnya, menahan isak yang hampir pecah. Rasanya dunia yang selama ini dia bangun bersama Evan hancur berkeping-keping dalam sekejap. "Dengar, Evan," suara Arhan terdengar serius. "Kalo lo emang udah nggak ada perasaan, jangan menggantungkan dia." Ada jeda sebelum Evan akhirnya berkata, "Ya ... mungkin gue emang harus menyudahi ini secepatnya." Itu cukup bagi Mauryn. Dia berbalik dengan tatapan nanar dan melangkah keluar tanpa suara. Tessa yang berdiri di tempatnya menjadi linglung, lalu memutuskan untuk menegur Arhan dan Evan. Dia membuka pintu di depannya dan langsung menegur mereka. "Kalian berdua ngapain, sih? Kalian bener-bener menjijikkan dan rendahan," ucap Tessa dengan tatapan tajam. Arhan sangat syok saat melihat istrinya berdiri di sana, hingga dia membeku dengan mulut ternganga. "Arhan, kita bicara nanti," lanjut Tessa sebelum akhirnya pergi mengejar Mauryn. Di sisi lain, Mauryn yang sudah tiba di kamarnya, meringkuk di atas tempat tidur. Tangisnya pecah, membanjiri pipinya yang sudah memerah. Tessa duduk di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. "Anehnya gue sama sekali nggak ingat apa yang barusan gue dengar. Dia bilang nggak mau nikah sama gue, kan? Dia bilang dia udah nggak mencintai gue lagi, dan seluruh badannya terasa berat. Apa lagi katanya? Dia merasa tercekik. Tapi emang bener kalo gue terlalu sibuk sama karir gue. Jadi ayo kita anggap aja dia selingkuh. Gue pikir nggak ada yang lebih buruk dari itu, tapi justru ada lebih buruk," ucap Mauryn seraya menyeka air matanya yang terjatuh. "Mauryn ...." "Tessa, gue nggak tau harus gimana sekarang. Gue harus gimana?" Mauryn menangis sesegukan sambil meringkuk di atas tempat tidurnya. Sementara itu, Leona yang merasa ada yang tidak beres pun langsung bergabung dengan mereka. "Ada apa ini? Kenapa Mauryn tiba-tiba jadi kayak gini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan wajah panik. "Kita bahas di luar aja. Biarin Mauryn istirahat dulu sekarang." Tessa pun segera berdiri sambil mendorong Leona keluar dari kamar. *** Setelah semua kekacauan itu, Tessa pulang ke rumahnya. Dia cukup melihat reaksi Leona yang seakan siap untuk membunuh Evan, dan mempercayakan Mauryn padanya. Sementara itu, dia juga harus mengurus hubungannya dengan suaminya. Saat masuk ke dalam rumah, Tessa disambut oleh senyuman Arhan, tetapi tubuh laki-laki itu gemetar. Dia berlalu begitu saja dari hadapan suaminya dan hendak masuk ke dalam kamar, tetapi mengurungkan niatnya dan berbalik mendekati Arhan, lalu memandangnya dengan tajam hingga sang suami merasa jantungnya akan copot. "Kamu tau, kan?" tanya Tessa. "Ta-tau apa?" "Kamu tau maksud aku. Perselingkuhan Evan. Kamu itu kan sahabatnya. Aku tau kok laki-laki tuh suka pura-pura nggak tau dan saling membantu bikin alibi." "Nggak, nggak. Aku beneran nggak tau. Itu sebabnya aku nanya apa dia melakukan itu," ucap Arhan. "Itu juga. Kenapa kamu menanyakan hal yang kayak gitu? Kalian anggap perselingkuhan itu bukan hal yang serius ... asal nggak ketahuan?" tanya Tessa dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu." Arhan menelan salivanya. "Laki-laki cuma bicara tanpa filter, kayak bercanda." Tessa mengerutkan keningnya. "Bercanda? Kata-kata bahwa kamu nggak berdebar-debar lagi dan menghafalkan kata cinta itu ... lelucon semacam itu? Suara istri kalian di kamar mandi bahkan bikin kalian takut. Bahwa kalian para suami cuma hidup bersama istri sebagai loyalitas aja. Lelucon laki-laki yang udah menikah kayak gini bener-bener bikin aku muak. Tapi malah suami aku sendiri yang bikin lelucon kayak gitu. Pasangan yang nggak saling menyayangi, dan seorang suami yang nggak tertarik sama istrinya, apa itu lucu bagi kamu?" Mulut Arhan terasa kelu sehabis mendengarkan kata-kata itu. "Sayang ... kamu tau bukan kayak gitu maksud aku. Jangan marah--" "Aku pikir kamu beda. Aku pikir kita beda dari pasangan lain. Aku bukannya marah, tapi aku sedih." Setelah mengucapkan itu dengan suara bergetar, Tessa segera masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. Arhan masih berdiri di tempatnya. Lalu, sesaat kemudian, pintu kamar terbuka lagi. Arhan ingin masuk, tetapi sebuah bantal justru melayang ke hadapannya. Pertanda bahwa dia harus tidur di luar malam ini. Atau ... mungkin juga malam-malam berikutnya. Sementara itu, Mauryn masih meratapi kesedihannya. Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar dan masuk sebuah pesan dari Evan. Dia hanya membaca pesan itu dari notifikasi. "Maaf." Hanya satu kata. Tidak ada penjelasan. Tidak ada usaha untuk memperbaiki apa pun. Mauryn menatap layar ponselnya lama. Jari-jarinya gemetar. "Aku tidak akan mengulanginya lagi, maafkan aku, kamu satu-satunya bagiku. Aku mencintaimu." Kata maaf, seharusnya diikuti dengan kata-kata semacam itu. Pengakuan rasa bersalah dan penyesalan. Namun, yang Mauryn terima hanya satu kata itu saja. Seakan dirinya dan sebelas tahun kenangan mereka tak berarti apa-apa."Kadang yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan adalah kehilangan penghargaan akan semua yang telah diperjuangkan."***Peristiwa yang terjadi tadi malam membuat tubuh Mauryn drop hingga terpaksa dia tidak bisa masuk kerja hari ini.Setelah mendengar Evan mengatakan hal-hal menyakitkan tentangnya tadi malam, dia merasa seperti kehilangan energi. Demamnya mencapai 40 derajat yang membuatnya hampir opname di rumah sakit, tetapi dia menolaknya dan memilih untuk diinfus di rumah saja. Jantungnya sakit, perutnya mual, bahkan untuk menelan makanan pun terasa sulit.Leona, yang sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya, dengan sigap mengambil alih segala yang dibutuhkan oleh Mauryn."Minum ini dulu, Ryn," kata Leona, menyodorkan segelas air putih.Mauryn menatap gelas itu dengan mata sayu. "Gue nggak haus.""Lo mau mati? Jangan bodoh."Leona memang bukan tipe yang lembut dalam berbicara, tapi dia tahu kapan harus menjadi sahabat yang baik. Dia membantu Mauryn duduk dengan hati-hati, lalu
"Kamu tau bukan kayak gitu. Terlepas dari dia, kita udah--""Kita kenapa? Apa? Kita udah punya masalah? Itu alasan kamu melakukan ini? Itu cuma hal yang mau kamu percayai. Meskipun seseorang udah mau mati, kalo kamu membunuh dia, tetap aja itu namanya pembunuhan. Meskipun kita punya masalah, kamu mengakhiri itu dengan buruk. Jadi, hentikan omong kosong itu!"Nada suara Mauryn meninggi, membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dia merintih, memegang sisi kepalanya yang terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat.Sementara itu, Evan tetap diam dengan wajah penuh kejengkelan yang dia tahan."Oke. Aku nggak bisa bilang kalo aku nggak tau sama sekali. Sikap kamu jadi dingin, aku jadi lebih gelisah. Aku juga sadar akan hal itu. Biarpun begitu, aku berusaha lebih keras. Karena itu semuanya menjadi lebih baik. Tapi kamu merusak semuanya." Mauryn menatapnya dengan mata penuh luka tak terlihat.Evan menghela napas, dia semakin lelah menghadapi Mauryn. "Berusaha itu bukan cinta.""Cinta? Apa hu
Pagi ini, sinar matahari menembus jendela taksi yang dinaiki Mauryn, memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang madih menyiratkan sisa-sisa kelelahan. Kepalanya bersandar pada kaca, matanya kosong menatap jalanan Jakarta yang ramai, tetapi pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sama sekali berbeda. Sesekali, dia menghela napas panjang, seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran yanh terus menghantuinya sejak tadi malam.Terlebih lagi, dia tidak tahu bagaimana bisa bersikap jika tak sengaja berpapasan dengan Evan di kantor. Itu akan menjadi suasana yang sangat canggung bagi mereka setelah hubungan yang berakhir dengan cara yang rendahan dan penuh drama.Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Bayangan Evan dengan senyum andalannya, yang dulu selalu berhasil membuatnya luluh, kini hanya meninggalkan perasaan pahit."Harusnya aku nggak usah khawatir. Emangnya kenapa kalo ketemu? Aku cuma harus berusaha move on sekarang dan buktiin kalo aku bisa bahagia meskipun tanpa dia," gumam Mauryn
Suara dering telepon dan notifikasi pesan bersahut-sahutan memenuhi ruangan open space, terkhusus Tim Product Development yang berada di bawah Divisi Product Lumora Tech. Monitor-monitor menyala dengan tab-tab penuh grafik dan dokumen, sementara para karyawan tampak sibuk menelepon, mengetik, atau berdiskusi dengan ekspresi tegang. Mauryn, selaku Senior Product Manager 1 baru saja meletakkan tasnya di meja ketika Nadine, Head of Product Development, bergegas menghampiri. "Mbak Mauryn! Klien besar kita, CloudWave, minta fitur baru di platform mereka diluncurkan dalam waktu tiga minggu! Mereka bilang kalo kita nggak bisa penuhi, mereka akan pertimbangkan pindah ke vendor lain!" Nadine hampir kehabisan napas saat mengatakannya. Mauryn membeku sejenak. Tiga minggu? Mustahil. Fitur yang diminta CloudWave, yaitu integrasi otomatis data pengguna lintas platform dengan tingkat keamanan tinggi, masih dalam tahap awal pengembangan. "Tiga minggu?! Mereka pikir kita punya tongkat sihir apa?!" M
Seakan tidak memberi kesempatan bagi Mauryn untuk bernapas sebentar saja, Felix menghampiri Mauryn yang sedang asyik menyantap makan siang di kantin kantor. Kebetulan, wanita itu sedang duduk sendiri.Saat menyadari kedatangan seseorang, Mauryn hanya menatapnya tanpa berkata apa pun sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya."Nggak enak kalau makan sendiri," ucap Felix, bersiap menyuap makanannya."Saya nggak makan sendirian." Mauryn melirik ke belakang, tepat saat Saskia dan Nadine berjalan membawa nampan makanan menuju ke arah mejanya, menggerutu karena pelayanan makan siang sangat lalai.Felix menyadari kehadiran mereka, sedikir canggung tetapi tetap mempertahankan sikapnya."Bukan kamu, tapi saya," ucapnya pada akhirnya.Dia kenapa, sih? Nggak bisa biarin aku tenang sehari aja, batin Mauryn.Saskia dan Nadine bergabung dengan mereka dengan ekspresi bingung. Bagaimana mungkin Mauryn sudah akrab dengan CEO baru mereka? Dan yang elbih aneh, untuk apa seorang CEO mekilih makan
Mauryn memandangnya dengan tatapan waspada. "Maksud Bapak apa?"Felix menyeringai kecil. "Kamu bilang, dulu, waktu kita masih kuliah ... kamu pernah suka sama saya."Mendengar itu, jantung Mauryn langsung berhenti satu detik."Saya—apa?""Ya," kata Felix santai. "Saya nggak tau apa kamu masih ingat. Tapi kamu mengatakan itu dengan cukup jelas malam itu."Mauryn terdiam. "Itu ... saya pasti lagi mengigau."Jujur, dia tidak ingat pernah mengatakan hal semacam itu.Felix tetawa pelan. "Mungkin." Lalu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya merendah. "Atau mungkin nggak."Mauryn berusaha keras mengingat apa benar dia mengatakan itu dengan gelisah. Apa benar dia memang mengatakannya? Jika iya, semuanya telah kacau.Namun, di tengah situasi yang menegangkan bagi Mauryn itu, seseorang datang membuyarkannya."Pak Felix!"Mauryn dan Felix langsung menoleh ke sumber suara. Seorang staf dengan pakaian ketat yang memperlihatkan tubuh seksinya, kancing bajunya sengaja dibuka sedi
Saat menunggu jadwal film mereka diputar, Mauryn dan Felix duduk di kafetaria yang ada di bioskop itu sembari menikmati popcorn dan kopi. Awalnya semua berjalan biasa saja. Obrolan ringan tentang pekerjaan, dilm, dan hal-hal sepele lainnya mengisi waktu mereka. Tapi, seperti takdir bermain-main, mata Mauryn tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing baginya. Evan. Bersama Freya. Seakan waktu melambat, mata mereka betemu sesaat. Alih-alih merasa bersalah atau canggung, Evan justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia tak pernah menyakuti Mauryn. Seolah-olah, mereka tidak memiliki sejarah panjang yang berakhir dengan pengkhianatan. Mauryn langsung merasa mual. Dia sudah cukup menjatuhkan air mata tadi siang. Tapi malam ini? Tidak lagi. Biar bagaimanapun, dia masih memiliki yang namanya harga diri. Jika Evan bisa hidup bahagia setelah mencampakkannya, maka dia juga bisa. Dia menegakkan punggungnya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum kecil sebelum menoleh ke Felix.
Mauryn terdiam selama beberapa saat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Namun, dia rasa juga harus bercerita agar bisa sedikit menghilangkan beban pikirannya.Wanita itu tersenyum pahit lalu menatap nanar ke depan."Dia potong rambut, dan saya baru melihat kemeja itu. Itu artinya dia pergi ke salon untuk memotong rambutnya dengan model yang lagi trend belakangan ini. Lalu dia juga mencoba kemeja itu di depan cermin ... selagi saya seperti ini." Mauryn menarik napas berat. "Saya akui saya kalah. Saya cuma seorang pecundang. Ini menggelikan, kan?""Nggak ada menang atau kalah dalam hubungan," ucap Felix."Kenapa nggak? Bahkan kenangan pun cuma untuk pemenang. Saat dia memikirkan saya, dia berpikir bahwa saya adalah perempuan yang pernah dia cintai. Cuma itu. Tapi saya justru akan sangat kacau, dan Bapak juga udah liat, kan?"Felix menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, sedikit tidak setuju dengan opini Mauryn. "Kalo memang kamu kalah, terus kenapa? Harusnya kamu berpikir biarpun kamu ka
Felix menunjuk tim darurat dalam hitungan menit. Di tak ragu menarik orang-orang yang dianggapnya paling bisa diandalkan."Sophia, kamu bertanggung jawab atas teknis. Tim engineering harus bekerja cepat untuk mengidentifikasi celah keamanan. Nolan, pastikan tim marketing mengelola komunikasi publik agar kita tidak kehilangan kepercayaan pelanggan. Evan, kamu dan tim keamanan siber harus segera mencari tahu sumber serangan ini."Mauryn duduk diam di kursinya yang diapit oleh Anton dan Saskia, mengamati dengan seksama. Dia sudah bisa menebak tanggung jawabnya, dan benar saja—Felix menatap langsung ke arahnya."Mauryn, kamu masuk ke komite darurat juga. Kita butuh perwakilan dari Product Development."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Evan, yang duduk di seberangnya, mengangkat alis. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit meremehkan. "Serangan ini menyasar sistem keamanan, bukan produk."Mauryn menegang. Semua mata beralih ke arahnya, menunggu reaksinya.Felix bersedekap. "
Pagi itu dimulai seperti biasa—atau setidaknya begitu yang dipikirkan Mauryn. Ia sedang menyesap kopi di meja kerjanya, menikmati aroma hangat yang sedikit memberi ketenangan sebelum hari kerja dimulai. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik. Layar laptopnya tiba-tiba membeku. Garis-garis aneh muncul, diikuti suara notifikasi bertubi-tubi dari rekan-rekan satu lantainya.Ia menoleh ke arah Bima dan Nadine, yang tampak sama bingungnya."Kenapa sistem MindFlow malah nge-freeze?" gumam Nadine, mencoba me-refresh layar.Tak sampai satu menit, kekacauan meledak.Monitor di ruang meeting menampilkan peringatan merah mencolok: "Unauthorized Access Detected. Security Breach Ongoing."Seluruh ruangan langsung gempar. Beberapa karyawan berdiri dari kursi mereka, sementara yang lain panik menekan tombol keyboard dan mengutak-atik layar sentuh perangkat mereka. Alarm pelanggaran keamanan berbunyi dari divisi IT."Serangan siber!" seru seseorang dari ujung ruangan.Nadi Mauryn berd
Evan yang pergi ke toilet tak sengaja menemukan jepit rambut milik Mauryn yang terjatuh. Dia mengenali jepit rambut itu, lalu membuka bilik di depannya yang ternyata tak terkunci. Saat pintu bilik terbuka, dia melihat Mauryn dan Felix, berdiri berhadapan di dalam sana.Dua orang itu menatap terkejut ke arahnya, seakan tak kalah terkejutnya dengan dirinya.Evan berdecih ringan. "Kalian ngapain?"Mauryn ternganga, kehilangan kata-kata. Sementara itu, Felix ingin menjadi garda terdepan melindunginya."Kamu sendiri?" tanya Felix dengan wajah datar.Kening Evan berkerut. "Apa?""Kenapa kamu membuka pintunya?"Mauryn mengambil tas miliknya, lalu memakainya. Dia memandang sinis pada Evan. "Minggir sana. Aku harus ganti baju.""Apa? Ganti baju? Di sini? Sama dia?"Mauryn melirik pada Felix, lalu menatap Evan sambil melotot. "Dasar gila. Kamu mikir apa, sih?" Dia beralih pada Felix. "Pak Feli, Bapak juga keluar deh. Kalian ini kenapa?"Karena dua pria itu masih bergeming di tempatnya, justru M
Sorak-sorai masih menggema di area festival ketika rangkaian acara perlahan mencapai puncaknya. Panggung besar dihiasi dengan layar LED raksasa yang menampilkan berbagai visual dinamis. Lampu sorot menari di udara, menerangi kerumunan karyawan yang berkumpul menikmati suasana. Mauryn menarik napas lega, mengendurkan bahu setelah penampilannya di atas panggung."Sekarang kita memasuki sesi penghargaan yang paling ditunggu-tunggu!" Suara pembawa acara menggema, menarik perhatian seluruh hadirin. "Mari kita mulai dengan penghargaan bagi mereka yang telah memberikan kontribusi luar biasa selama setahun terakhir!"Para karyawan mulai berbisik, mencoba menebak siapa yang akan membawa pulang penghargaan bergengsi."Dan pemenang Best Employee of The Year adalah ... Sophia Zhang!"Mauryn tersenyum kecil saat melihat mentornya berjalan anggun ke atas panggung. Sophia menerima piala dengan ekspresi tenang namun penuh kebanggaan."Terima kasih kepada
Mauryn meneguk minumannya dengan gelisah, berharap Anton berhenti membujuknya untuk mengikuti kontes bernyanyi. Sejak tadi, sang CPO tidak menyerah, terus menyodorkan alasan demi alasan agar Mauryn bersedia naik ke panggung mewakili divisi mereka."Mauryn, ini bukan sekadar kompetisi," Anton berkata lagi dengan nada penuh harap. "Ini tentang kebanggaan tim! Dan kita butuh seseorang dengan suara yang benar-benar bisa diandalkan!""Bapak terlalu melebih-lebihkan," Mauryn menghela napas. "Suara siapa pun pasti cukup bagus buat acara santai kayak gini.""Nggak, nggak!" Nadine menyela dengan semangat. "Suara kita semua nggak ada yang sebagus punya Mbak! Saya kalo nyanyi lebih mirip ayam tercekik!"Bima tertawa. "Kalau saya lebih mirip radio rusak! Kalo kita benar-benar pengen menang, satu-satunya harapan kita ya Mbak Mauryn."Mauryn menggeleng cepat. "Saya tetap nggak mau. Cari orang lain saja.""Ayolah, Beb," Saskia kini ikut bersuara, menyilangkan tangan di dada. "Kamu ini Senior Product
Mauryn dan rekan kerja wanita yang lain berdiri di dekat wajan saat para pria sibuk mengaduk masakan yang mereka buat.Saat para pria sibuk mengaduk wajan besar, Anton, laki-laki yang mengenakan kemeja kotak-kotak mendekati Mauryn dan berdiri di sebelahnya. Dia adalah CPO (Chief Product Officer) yang memimpin divisi produk."Hei, Mbak Mauryn," sapanya."Iya?""Kalo mau membantu di sini, kenapa nggak ikut lomba nyanyi aja buat nanti malam?""Lomba nyanyi?"Anton mengangguk. "Kamu kan jago nyanyi."Mauryn menepuk tangannya. "Benar juga. Saya salah satu kontestan buat lomba itu, kan?""Ya begitulah. Saya kira divisi kita yang kecil ini akhirnya punya perwakilan di lomba nyanyi waktu saya jadi CPO, tapi kamu selalu menolak."Saat para pria selesai mengaduk masakan, tak sengaja masakan di dalam wajan itu terciprat ke baju para wanita yang berdiri di sekitarnya. Para wanita itu pun mengamuk karena pakaian mereka kotor, lalu segera pergi untuk menggantinya.Sementara itu, Mauryn masih berdir
Langit pagi cerah dengan angin sepoi-sepoi yang menambah semarak Lumora Tech Anniversary Festival. Area outdoor yang luas sudah dihias dengan ornamen bertema Retro Party—lampu-lampu neon, poster warna-warni, dan panggung besar di tengah lapangan. Musik klasik era '80-an diputar, menciptakan suasana nostalgia yang unik.Mauryn melangkah ke area registrasi dengan semangat. Festival seperti ini adalah acara yang sulit ditolak—bukan hanya karena suasananya yang meriah, tetapi juga kesempatan langka unthk melupakan beban pekerjaan.Di meja registrasi, Nadine dan Bima sudah lebih dulu mengambil goodie bag mereka."Saya penasaran siapa yang kepikiran buat tema ini," gumam Bima sambil memeriksa isi tas kecil yang diberikan panitia. "Kita kayak disuruh cosplay jadi orang tua kita.""Jangan komplain," sela Nadine. "Seenggaknya kita nggak harus pakai wig afro."Mauryn tersenyum tipis dan menerima goodie bag serta kartu nama kecil yang disebut sebagai alat interaktif untuk permainan networking. D
Mauryn terbangun dari tidurnya dengan kepala berat. Dia mengerang beberapa kali sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ini pertama kalinya dia bangun tanpa memikirkan Evan setelah sekian lama.Namun, bukan itu masalahnya. Kejadian tadi malam tiba-tiba menghampiri benaknya. Kejadian yang jauh lebih memalukan dibanding dia menghabiskan malam yang bergairah dengan Felix.Saat mengingat apa yang dia lakukan tadi malam, napas Mauryn tercekat. Matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar."Aku pasti gila," gumamnya. "Aku pasti gila!"Dia menenggelamkan wajahnya di balik selimut, tidak sanggup untuk menghadapi wajah Felix di kantor hari ini. Kenapa semua hal memalukan harus terjadi di hadapan bosnya itu?Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk merutuki kebodohannya, Mauryn turun dari tempat tidur menuju ruang makan. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja dan dia segera bergabung dengan Leona yang juga sudah rapi dengan seragam olahraganya. Ya, wanita itu memiliki bisnis gymnasium, juga
Angin malam berhembus pelan, menyapu rambut Mauryn yang sedikit acak-acakan setelah keluar dari bar. Langkahnya sempoyongan, tiga botol bir yang dia habiskan mulai menunjukkan efeknya. Matanya berkilat-kilat, pipinya bersemu merah, dan bibirnya melengkung dalam senyum yang terlalu santai.Di belakangnya, Felix berjalan dengan tenang, matanya terus mengawasi setiap langkah wanita itu. Sesekali, laki-laki itu tersenyum melihat Mauryn yang kesulitan menyeimbangkan tubuhnya."Dia bilang bir itu minuman ringan? Aku tertipu lagi," gumam Felix, setengah pasrah.Mauryn yang awalnya berjalan dengan langkah konsisten, tiba-tiba berlari saat melihat sebuah bus yang sedang berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari mereka. Tanpa berpikir panjang, Mauryn mengejar bus itu dan bersiap untuk naik."Bapak ngapain? Ayo cepat naik! Bapak nggak mau pulang?" serunya sanbil melambai heboh ke arah Felix.Felix membeku sejenak, lalu menatap bus yang mulai menut