"Maaf tanpa penyesalan hanyalah jeda sebelum luka yang lebih dalam."
*** "Maksud lo apa? Nggak ada cinta lagi? Lo nggak berdebar-debar lagi waktu bersama dia? Itu wajar. Gimana mungkin lo selalu berdebar-debar tanpa penyakit? Gue juga udah lama nggak berdebar-debar karena Tessa," ucap Arhan dengan suara yang terdengar setengah bercanda, tetapi juga setengah serius. Evan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap gelas di depannya. "Gue berdebar-debar saat berpikir bakal nikahin dia. Waktu gue bangun di pagi hari, Mauryn akan ada di rumah, sambil memegang segelas jus yang entah terbuat dari apa. Waktu gue pulang kerja, Mauryn bakal ada di rumah, sambil mengeluh tentang harinya lalu nyuruh gue mandi." "Yaiyalah. Itu alasan kebanyakan orang menikah. Selalu bersama saat weekend, hari raya, dan liburan. Selalu bareng 24 jam, 365 hari. Makan, tidur, dan melakukan semuanya sama-sama." Arhan meneguk minumannya. Kepala Evan menggeleng pelan, seakan ada beban besar yang menindih dadanya. "Sekeras apa pun gue berpikir, gue nggak bisa." "Jangan berlebihan. Lo cuma takut sama hal sepele. Mauryn itu orang yang tenang. Dia mungkin akan membiarkan itu." "Mungkin aja dia akan membiarkan itu. Dia akan menganggap dirinya sebagai orang yang sangat pemaaf, jadi gue dimaafin. Tapi tetap aja dia bakal menganggap gue bersalah sampai mati." Suara Evan sedikit bergetar, nadanya tersengar getir. "Selama 10 tahun gue menjalani hubungan sama dia, memang benar kalo gue cinta sama dia. Tapi satu tahun belakangan ini, gue mulai merasa jenuh. Dulu gue pengen banget cepat-cepat nikahin dia. Tapi dia selalu punya alasan buat menunda itu. Mauryn terlalu sibuk sama pekerjaannya. Dia ambisius, tapi membosankan. Gue merasa kayak pacaran sama robot. Bahkan sekarang ini dia lagi fokus banget buat mengejar promosi, pasti dia nggak akan mau diajak nikah. Gue udah jengah banget sama sikapnya. Lo pikir gue bisa hidup sama orang kayak gitu? Bayangin apa yang bakal terjadi sama pernikahan gue nantinya," lanjutnya. Di balik pintu, Mauryn berdiri membeku. Kata-kata Evan seperti pisau tajan yang menusuk tepat di jantungnya. Air matanya menggenang, tetapi dengan sekuat tenaga dia menahannya agar tak jatuh. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu tak cukup untuk membuatnya bernapas. Tega sekali Evan mengatakan hal seperti itu tentang dirinya. "Tapi lo udah banyak banget mengukir kenangan sama dia. Lo mau lupain itu gitu aja? Bukannya dulu waktu kuliah, lo sama Felix mati-matian memperebutkan dia?" Arhan menatap Evan dengan alis berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Udah gue bilang, dulu gue emang cinta banget sama dia. Tapi lo nggak tau Mauryn. Dia bisa tiba-tiba lengket banget dan bikin gue ngerasa tercekik. Waktu gue bersama dia, rasanya berat banget buat bisa bernapas. Itu bukan cinta, kan? Rasanya cinta gue buat dia perlahan udah menghilang. Terus gimana gue bisa nikahin dia?" ucap Evan. "Jadi lo benar-benar nggak sayang lagi sama dia?" tanya Arhan, suaranya lebih pelan kali ini. Evan terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab lirih, "Gue nggak tahu." Tessa yang berdiri di samping Mauryn mengepalkan tangan. Tatapan penuh amarahnya berkilat, seakan siap menelan Evan hidup-hidup. "Bajingan." Mauryn meremas ujung bajunya, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit itu terlalu nyata, terlalu menyakitkan untuk disangkal. "Kalo gitu, kenapa lo belum putus sama dia?" Suara Arhan terdengar tajam. "Gue cuma menunggu waktu yang pas." Menunggu waktu yang pas? Jadi selama ini Evan hanya menunda perpisahan? Membiarkan Mauryn menggantung, sementara perasaannya sendiri sudah mati? Mauryn menutup mulutnya, menahan isak yang hampir pecah. Rasanya dunia yang selama ini dia bangun bersama Evan hancur berkeping-keping dalam sekejap. "Dengar, Evan," suara Arhan terdengar serius. "Kalo lo emang udah nggak ada perasaan, jangan menggantungkan dia." Ada jeda sebelum Evan akhirnya berkata, "Ya ... mungkin gue emang harus menyudahi ini secepatnya." Itu cukup bagi Mauryn. Dia berbalik dengan tatapan nanar dan melangkah keluar tanpa suara. Tessa yang berdiri di tempatnya menjadi linglung, lalu memutuskan untuk menegur Arhan dan Evan. Dia membuka pintu di depannya dan langsung menegur mereka. "Kalian berdua ngapain, sih? Kalian bener-bener menjijikkan dan rendahan," ucap Tessa dengan tatapan tajam. Arhan sangat syok saat melihat istrinya berdiri di sana, hingga dia membeku dengan mulut ternganga. "Arhan, kita bicara nanti," lanjut Tessa sebelum akhirnya pergi mengejar Mauryn. Di sisi lain, Mauryn yang sudah tiba di kamarnya, meringkuk di atas tempat tidur. Tangisnya pecah, membanjiri pipinya yang sudah memerah. Tessa duduk di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. "Anehnya gue sama sekali nggak ingat apa yang barusan gue dengar. Dia bilang nggak mau nikah sama gue, kan? Dia bilang dia udah nggak mencintai gue lagi, dan seluruh badannya terasa berat. Apa lagi katanya? Dia merasa tercekik. Tapi emang bener kalo gue terlalu sibuk sama karir gue. Jadi ayo kita anggap aja dia selingkuh. Gue pikir nggak ada yang lebih buruk dari itu, tapi justru ada lebih buruk," ucap Mauryn seraya menyeka air matanya yang terjatuh. "Mauryn ...." "Tessa, gue nggak tau harus gimana sekarang. Gue harus gimana?" Mauryn menangis sesegukan sambil meringkuk di atas tempat tidurnya. Sementara itu, Leona yang merasa ada yang tidak beres pun langsung bergabung dengan mereka. "Ada apa ini? Kenapa Mauryn tiba-tiba jadi kayak gini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan wajah panik. "Kita bahas di luar aja. Biarin Mauryn istirahat dulu sekarang." Tessa pun segera berdiri sambil mendorong Leona keluar dari kamar. *** Setelah semua kekacauan itu, Tessa pulang ke rumahnya. Dia cukup melihat reaksi Leona yang seakan siap untuk membunuh Evan, dan mempercayakan Mauryn padanya. Sementara itu, dia juga harus mengurus hubungannya dengan suaminya. Saat masuk ke dalam rumah, Tessa disambut oleh senyuman Arhan, tetapi tubuh laki-laki itu gemetar. Dia berlalu begitu saja dari hadapan suaminya dan hendak masuk ke dalam kamar, tetapi mengurungkan niatnya dan berbalik mendekati Arhan, lalu memandangnya dengan tajam hingga sang suami merasa jantungnya akan copot. "Kamu tau, kan?" tanya Tessa. "Ta-tau apa?" "Kamu tau maksud aku. Perselingkuhan Evan. Kamu itu kan sahabatnya. Aku tau kok laki-laki tuh suka pura-pura nggak tau dan saling membantu bikin alibi." "Nggak, nggak. Aku beneran nggak tau. Itu sebabnya aku nanya apa dia melakukan itu," ucap Arhan. "Itu juga. Kenapa kamu menanyakan hal yang kayak gitu? Kalian anggap perselingkuhan itu bukan hal yang serius ... asal nggak ketahuan?" tanya Tessa dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu." Arhan menelan salivanya. "Laki-laki cuma bicara tanpa filter, kayak bercanda." Tessa mengerutkan keningnya. "Bercanda? Kata-kata bahwa kamu nggak berdebar-debar lagi dan menghafalkan kata cinta itu ... lelucon semacam itu? Suara istri kalian di kamar mandi bahkan bikin kalian takut. Bahwa kalian para suami cuma hidup bersama istri sebagai loyalitas aja. Lelucon laki-laki yang udah menikah kayak gini bener-bener bikin aku muak. Tapi malah suami aku sendiri yang bikin lelucon kayak gitu. Pasangan yang nggak saling menyayangi, dan seorang suami yang nggak tertarik sama istrinya, apa itu lucu bagi kamu?" Mulut Arhan terasa kelu sehabis mendengarkan kata-kata itu. "Sayang ... kamu tau bukan kayak gitu maksud aku. Jangan marah--" "Aku pikir kamu beda. Aku pikir kita beda dari pasangan lain. Aku bukannya marah, tapi aku sedih." Setelah mengucapkan itu dengan suara bergetar, Tessa segera masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. Arhan masih berdiri di tempatnya. Lalu, sesaat kemudian, pintu kamar terbuka lagi. Arhan ingin masuk, tetapi sebuah bantal justru melayang ke hadapannya. Pertanda bahwa dia harus tidur di luar malam ini. Atau ... mungkin juga malam-malam berikutnya. Sementara itu, Mauryn masih meratapi kesedihannya. Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar dan masuk sebuah pesan dari Evan. Dia hanya membaca pesan itu dari notifikasi. "Maaf." Hanya satu kata. Tidak ada penjelasan. Tidak ada usaha untuk memperbaiki apa pun. Mauryn menatap layar ponselnya lama. Jari-jarinya gemetar. "Aku tidak akan mengulanginya lagi, maafkan aku, kamu satu-satunya bagiku. Aku mencintaimu." Kata maaf, seharusnya diikuti dengan kata-kata semacam itu. Pengakuan rasa bersalah dan penyesalan. Namun, yang Mauryn terima hanya satu kata itu saja. Seakan dirinya dan sebelas tahun kenangan mereka tak berarti apa-apa."Kadang yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan adalah kehilangan penghargaan akan semua yang telah diperjuangkan."***Peristiwa yang terjadi tadi malam membuat tubuh Mauryn drop hingga terpaksa dia tidak bisa masuk kerja hari ini.Setelah mendengar Evan mengatakan hal-hal menyakitkan tentangnya tadi malam, dia merasa seperti kehilangan energi. Demamnya mencapai 40 derajat yang membuatnya hampir opname di rumah sakit, tetapi dia menolaknya dan memilih untuk diinfus di rumah saja. Jantungnya sakit, perutnya mual, bahkan untuk menelan makanan pun terasa sulit.Leona, yang sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya, dengan sigap mengambil alih segala yang dibutuhkan oleh Mauryn."Minum ini dulu, Ryn," kata Leona, menyodorkan segelas air putih.Mauryn menatap gelas itu dengan mata sayu. "Gue nggak haus.""Lo mau mati? Jangan bodoh."Leona memang bukan tipe yang lembut dalam berbicara, tapi dia tahu kapan harus menjadi sahabat yang baik. Dia membantu Mauryn duduk dengan hati-hati, lalu
"Kamu tau bukan kayak gitu. Terlepas dari dia, kita udah--""Kita kenapa? Apa? Kita udah punya masalah? Itu alasan kamu melakukan ini? Itu cuma hal yang mau kamu percayai. Meskipun seseorang udah mau mati, kalo kamu membunuh dia, tetap aja itu namanya pembunuhan. Meskipun kita punya masalah, kamu mengakhiri itu dengan buruk. Jadi, hentikan omong kosong itu!"Nada suara Mauryn meninggi, membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dia merintih, memegang sisi kepalanya yang terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat.Sementara itu, Evan tetap diam dengan wajah penuh kejengkelan yang dia tahan."Oke. Aku nggak bisa bilang kalo aku nggak tau sama sekali. Sikap kamu jadi dingin, aku jadi lebih gelisah. Aku juga sadar akan hal itu. Biarpun begitu, aku berusaha lebih keras. Karena itu semuanya menjadi lebih baik. Tapi kamu merusak semuanya." Mauryn menatapnya dengan mata penuh luka tak terlihat.Evan menghela napas, dia semakin lelah menghadapi Mauryn. "Berusaha itu bukan cinta.""Cinta? Apa hu
Pagi ini, sinar matahari menembus jendela taksi yang dinaiki Mauryn, memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang madih menyiratkan sisa-sisa kelelahan. Kepalanya bersandar pada kaca, matanya kosong menatap jalanan Jakarta yang ramai, tetapi pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sama sekali berbeda. Sesekali, dia menghela napas panjang, seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran yanh terus menghantuinya sejak tadi malam.Terlebih lagi, dia tidak tahu bagaimana bisa bersikap jika tak sengaja berpapasan dengan Evan di kantor. Itu akan menjadi suasana yang sangat canggung bagi mereka setelah hubungan yang berakhir dengan cara yang rendahan dan penuh drama.Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Bayangan Evan dengan senyum andalannya, yang dulu selalu berhasil membuatnya luluh, kini hanya meninggalkan perasaan pahit."Harusnya aku nggak usah khawatir. Emangnya kenapa kalo ketemu? Aku cuma harus berusaha move on sekarang dan buktiin kalo aku bisa bahagia meskipun tanpa dia," gumam Mauryn
Suara dering telepon dan notifikasi pesan bersahut-sahutan memenuhi ruangan open space, terkhusus Tim Product Development yang berada di bawah Divisi Product Lumora Tech. Monitor-monitor menyala dengan tab-tab penuh grafik dan dokumen, sementara para karyawan tampak sibuk menelepon, mengetik, atau berdiskusi dengan ekspresi tegang. Mauryn, selaku Senior Product Manager 1 baru saja meletakkan tasnya di meja ketika Nadine, Head of Product Development, bergegas menghampiri. "Mbak Mauryn! Klien besar kita, CloudWave, minta fitur baru di platform mereka diluncurkan dalam waktu tiga minggu! Mereka bilang kalo kita nggak bisa penuhi, mereka akan pertimbangkan pindah ke vendor lain!" Nadine hampir kehabisan napas saat mengatakannya. Mauryn membeku sejenak. Tiga minggu? Mustahil. Fitur yang diminta CloudWave, yaitu integrasi otomatis data pengguna lintas platform dengan tingkat keamanan tinggi, masih dalam tahap awal pengembangan. "Tiga minggu?! Mereka pikir kita punya tongkat sihir apa?!" M
Seakan tidak memberi kesempatan bagi Mauryn untuk bernapas sebentar saja, Felix menghampiri Mauryn yang sedang asyik menyantap makan siang di kantin kantor. Kebetulan, wanita itu sedang duduk sendiri.Saat menyadari kedatangan seseorang, Mauryn hanya menatapnya tanpa berkata apa pun sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya."Nggak enak kalau makan sendiri," ucap Felix, bersiap menyuap makanannya."Saya nggak makan sendirian." Mauryn melirik ke belakang, tepat saat Saskia dan Nadine berjalan membawa nampan makanan menuju ke arah mejanya, menggerutu karena pelayanan makan siang sangat lalai.Felix menyadari kehadiran mereka, sedikir canggung tetapi tetap mempertahankan sikapnya."Bukan kamu, tapi saya," ucapnya pada akhirnya.Dia kenapa, sih? Nggak bisa biarin aku tenang sehari aja, batin Mauryn.Saskia dan Nadine bergabung dengan mereka dengan ekspresi bingung. Bagaimana mungkin Mauryn sudah akrab dengan CEO baru mereka? Dan yang elbih aneh, untuk apa seorang CEO mekilih makan
Mauryn memandangnya dengan tatapan waspada. "Maksud Bapak apa?"Felix menyeringai kecil. "Kamu bilang, dulu, waktu kita masih kuliah ... kamu pernah suka sama saya."Mendengar itu, jantung Mauryn langsung berhenti satu detik."Saya—apa?""Ya," kata Felix santai. "Saya nggak tau apa kamu masih ingat. Tapi kamu mengatakan itu dengan cukup jelas malam itu."Mauryn terdiam. "Itu ... saya pasti lagi mengigau."Jujur, dia tidak ingat pernah mengatakan hal semacam itu.Felix tetawa pelan. "Mungkin." Lalu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya merendah. "Atau mungkin nggak."Mauryn berusaha keras mengingat apa benar dia mengatakan itu dengan gelisah. Apa benar dia memang mengatakannya? Jika iya, semuanya telah kacau.Namun, di tengah situasi yang menegangkan bagi Mauryn itu, seseorang datang membuyarkannya."Pak Felix!"Mauryn dan Felix langsung menoleh ke sumber suara. Seorang staf dengan pakaian ketat yang memperlihatkan tubuh seksinya, kancing bajunya sengaja dibuka sedi
Saat menunggu jadwal film mereka diputar, Mauryn dan Felix duduk di kafetaria yang ada di bioskop itu sembari menikmati popcorn dan kopi. Awalnya semua berjalan biasa saja. Obrolan ringan tentang pekerjaan, dilm, dan hal-hal sepele lainnya mengisi waktu mereka. Tapi, seperti takdir bermain-main, mata Mauryn tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing baginya. Evan. Bersama Freya. Seakan waktu melambat, mata mereka betemu sesaat. Alih-alih merasa bersalah atau canggung, Evan justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia tak pernah menyakuti Mauryn. Seolah-olah, mereka tidak memiliki sejarah panjang yang berakhir dengan pengkhianatan. Mauryn langsung merasa mual. Dia sudah cukup menjatuhkan air mata tadi siang. Tapi malam ini? Tidak lagi. Biar bagaimanapun, dia masih memiliki yang namanya harga diri. Jika Evan bisa hidup bahagia setelah mencampakkannya, maka dia juga bisa. Dia menegakkan punggungnya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum kecil sebelum menoleh ke Felix.
Mauryn terdiam selama beberapa saat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Namun, dia rasa juga harus bercerita agar bisa sedikit menghilangkan beban pikirannya.Wanita itu tersenyum pahit lalu menatap nanar ke depan."Dia potong rambut, dan saya baru melihat kemeja itu. Itu artinya dia pergi ke salon untuk memotong rambutnya dengan model yang lagi trend belakangan ini. Lalu dia juga mencoba kemeja itu di depan cermin ... selagi saya seperti ini." Mauryn menarik napas berat. "Saya akui saya kalah. Saya cuma seorang pecundang. Ini menggelikan, kan?""Nggak ada menang atau kalah dalam hubungan," ucap Felix."Kenapa nggak? Bahkan kenangan pun cuma untuk pemenang. Saat dia memikirkan saya, dia berpikir bahwa saya adalah perempuan yang pernah dia cintai. Cuma itu. Tapi saya justru akan sangat kacau, dan Bapak juga udah liat, kan?"Felix menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, sedikit tidak setuju dengan opini Mauryn. "Kalo memang kamu kalah, terus kenapa? Harusnya kamu berpikir biarpun kamu ka
Pintu apartemen terbuka pelan. Suara kunci diputar nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang masih menetes ringan di luar sana. Sepatu hak tinggi Mauryn menyentuh lantai kayu dengan langkah lesu. Tubuhnya lunglai. Kepala berdenyut. Perutnya terasa seperti dipelintir sejak siang. Dia hanya ingin meresap dalam diam, mengganti baju, lalu tenggelam dalam kasur.Namun yang menyambutnya justru bukan keheningan yang dia harapkan.Leona duduk di ujung sofa dengan tangan menyilang di dada, wajahnya kaku seperti batu karang. Tatapannya menusuk tajam, seperti bisa menembus seluruh kulit luar Mauryn dan melihat apa yang tersembunyi di dalam.Tessa berdiri di dekat jendela, tak kalah tenang tapi jelas-jelas menyimpan badai di balik tatapan matanya yang lembut."Baru pulang?" ucap Leona tanpa basa-basi, suaranya dingin, tajam, mengiris seperti belati.Mauryn berdiri mematung di ambang pintu, merasakan tengkuknya mulai dingin oleh hawa yang tiba-t
Mauryn dan orang-orang yang berada di tim gabungan, menyisir ulang akses dan log login. Satu nama muncul berulang—dengan pola waktu mencurigakan, lokasi yang sama, dan durasi login yang panjang dengan nama Luna Sasmita. Mauryn menahan napas. Luna. Pegawai baru yang hampir tak pernah bersuara di rapat. Yang masih terlihat canggung dan sering duduk paling pojok. Pegawai yang baru bekerja di Lumora Tech sejak masalah ini terjadi. Dan yang dulu ... bekerja sebagai SPG makanan beku di kantin basement kantor. "Dia masuk lewat jalur rekrutmen vendor," ucap Felix sambil menelusuri data HR. "Direkrut cepat karena katanya punya background teknik dari universitas luar negeri, tapi nggak pernah bisa diverifikasi penuh. Sulit bagi saya untuk menelusuri setiap karyawan baru, karena saya nggak langsung mewawancarai mereka." Mauryn merasa dadanya sesak. "Perangkat pribadinya?" tanya Sophia. "Udah di-clone tim forensic. Kami temukan pattern log mirip di ponselnya. Dan ... ada jejak komunikasi
Mauryn membuka laptopnya dengan tangan sedikit bergetar. Dia nyaris tidak tidur semalam. Di otaknya, log aktivitas aneh dan alamat IP dari co-working space itu terus berputar seperti kaset rusak. Dia tahu kalau ini benar-benar ulah orang luar, maka ini bukan sekadar insiden. Ini sudah level sabotase.Felix belum terlihat sejak pagi. Tapi tak lama setelah jam kantor dimulai, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, pesan dari Sophia Zhang."Meet me at Lab 7, 10 AM. Bring everything."***Satu jam kemudian, Mauryn berjalan cepat menuju lantai bawah tanah tempat ruang Lab 7 berada. Ruangan ini jarang dipakai, kecuali untuk riset mendalam yang melibatkan sistem keamanan canggih atau pengujian teknologi baru. Dinding-dindingnya dilapisi bahan kedap suara, dan hanya bisa diakses dengan sidik jari.Saat dia masuk, Sophia sudah duduk di depan tiga layar besar. Di belakangnya, layar hologram memproyeksikan arsitektur sistem logging Lumora Tech, berpijar dalam bayangan biru."Duduk," kata Sophia t
Mauryn keluar dari ruang periksa dengan langkah pelan, seperti mayat hidup. Dunia luar masih sama. Matahari menyelinap malu di balik awan, pepohonan bergetar pelan ditiup angin. Tapi semuanya terasa ... palsu. Di duduk di halte kecil di depan klinik, menyandarkan punggung ke dinding dan memejamkan mata. Tangan gemetar menyentuh perutnya. Belum ada tonjolan, belum ada bentuk. Tapi di sana—katanya—ada kehidupan. Ada makhluk kecil yang tumbuh, tanpa izin, tanpa permisi, di tengah hidup yang sedang porak-poranda. Mauryn ingin tertawa. Pahit. Lucu sekali nasib ini menertawakannya. Tuhan barangkali sedang iseng hari ini. Di mengingat Evan. Perselingkuhannya yang entah benar atau tidak. Kebohongannya. Betapa dia sempat berpikir, mungkin suatu hari mereka akan punya anak. Tapi bukan begini caranya. Dan Felix... Mauryn menggigit bibir bawahnya. Malam itu kabur. Dia mabuk. Terlalu mabuk. Dan ketika pagi datang, semuanya sudah terlambat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana memberitahunya
Mauryn pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Ini jelas masalah yang besar. Bahkan, PTSD Evan yang terjasi padanya lima tahun lalu kembali kambuh. Fakta bahwa seseorang dari dalam telah membuka pintu bagi peretas membuatnya gelisah. Ini bukan hanya tentang kelalaian, tapi pengkhianatan yang disengaja. Dan jika benar pelakunya adalah orang dalam, maka kemungkinan dia masih bebas berkeliaran di kantor, memantau setiap langkah mereka. Mauryn tahu dia tak bisa diam. Dia juga tahu, ini bukan waktunya untuk membuat keputusan gegabah. Di meja makan, Mauryn asyik melamun sembari mengaduk-aduk makanannya di atas piring. "Lo kenapa ngelamun gitu? Mikirin apa?" tanya Leona, saat melihat ada yang tak beres dengan sahabatnya. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Mauryn. Dia menghela napas berat. "Di kantor lagi ada masalah besar. Data pelanggan diretas dan situasi bener-bener kacau. PTSD Evan sampai kambuh gara-gara masalah ini. Udah lima tahun sejak terakhir kali dia kayak gini." "Maksud lo?
Di sisi lain, di ruangan berbeda, salah satu teknisi keamanan siber tiba-tiba berdiri dengan wajah pucat."Pak Evan, kami menemukan sesuatu," katanya dengan suara bergetar.Evan berjalan mendekat dengan cepat. "Apa?"Teknisi itu menelan ludah sebelum menunjuk layar komputernya. "Serangan ini ... tidak berasal dari luar."Hening seketika.Evan mendekat. "Maksud kamu?"Teknisi itu menoleh ke arah semua orang di ruangan. "Serangan ini datang dari dalam. Dari seseorang di kantor kita sendiri."Sunyi. Begitu sunyi hingga dentingan halus dari lampu neon yang bergetar di langit-langit terasa seperti dentuman. Tidak ada suara selain napas tertahan dan denyut ketegangan yang memenuhi ruangan.Evan berdiri di depan layar komputer, tubuhnya membeku seperti patung marmer. Kata-kata teknisi tadi terus terulang di kepalanya seperti gema yang menghantam dinding tanpa henti.Serangan ini datang dari dalam.Mat
Jam masih menunjukkan pukul delapan ketika Mauryn melangkah masuk ke ruang rapat kecil lantai 22, tempat yang biasanya dipakai untuk review sprint mingguan Tim IT & Security. Tapi pagi ini, ruangan itu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang, sebagian besar mengenakan hoodie bertuliskan "CyberSec" dan ekspresi mata yang belum tidur semalaman. Di ujung meja, Evan berdiri dengan laptop terbuka, mengangguk pelan begitu melihat Mauryn masuk. "Thanks udah datang tepat waktu," katanya, suara datarnya hanya sedikit lebih hangat dibanding AC yang menggigilkan ruangan. "Kita mulai." Mauryn duduk di sisi kanan meja, membuka laptopnya sendiri, mencoba tidak terganggu oleh tatapan sinis beberapa teknisi yang bahkan tidak berusaha menyembunyikan ketidakpercayaannya padanya. "Seperti yang kalian tau," Evan memulai, "Tiga puluh tujuh jam terakhir adalah mimpi buruk. Sistem kita kebobolan. Akses data sensitif terekam dalam skala yang belum pernah terjadi. Pihak legal sedang menyiapkan pernyataan untuk in
Siang harinya, setelah beberapa kali pertemuan singkat dengan tim pengembang dan bagian legal, Mauryn kembali ke ruangannya sendiri. Di hadapannya, laptop menyala dengan daftar nama pengguna yang tercatat dalam log akses sistem pada jam kejadian. Matanya bergerak cepat menelusuri baris-baris nama, kebanyakan akrab: anggota tim engineering, QA, bahkan beberapa dari tim marketing yang pernah diberi akses untuk demo produk. Tapi satu nama membuatnya berhenti. Satu baris, dengan timestamp mencurigakan: 03.42 AM. Itu adalah waktu ketika tidak ada aktivitas terjadwal apa pun. Dan nama itu adalah ... seseorang dari timnya sendiri. "Nadine ...," bisiknya pelan, hampir tidak percaya. Dia menatap layar lebih lama, berharap log itu salah. Atau ada glitch. Tapi tidak. Aksesnya valid. Permintaan datanya terekam dengan jelas. Bahkan IP yang digunakan adalah IP internal dari jaringan kantor. Mauryn meneguk napas dalam-dalam. Dia mengenal Nadine. Sejak bergabung dengan Lumora Tech enam bulan l
Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela kaca gedung Lumora Tech ketika Mauryn melangkah masuk ke lobi utama. Biasanya, pagi-pagi begini hanya ada suara langkah sepatu formal dan sesekali tawa lelah dari para pegawai yang baru datang. Tapi pagi ini... ada yang berbeda. Suasana yang biasanya tenang kini terasa sesak. Sekumpulan orang berbaju formal, sebagian membawa kamera, berdiri di depan meja resepsionis. Suara mereka berbisik cepat, tangan menunjuk ke arah lift, dan wajah-wajah mereka menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Kecemasan. Kepanikan yang ditahan. Dia berjalan cepat menuju ruangannya. Ada sedikit masalah, tetapi Mauryn berharap itu bukan masalah besar dan tim keamanan bisa mengatasinya. Saat masuk ke dalam ruangan, dia bisa melihat Anton sedang berbincang dengan seorang wanita di ruangannya. Mauryn duduk di kursinya, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya. Tak lama kemudian, eorang staf wanita dari Tim HR datang ke ruangan Tim Product Development