Seakan tidak memberi kesempatan bagi Mauryn untuk bernapas sebentar saja, Felix menghampiri Mauryn yang sedang asyik menyantap makan siang di kantin kantor. Kebetulan, wanita itu sedang duduk sendiri.Saat menyadari kedatangan seseorang, Mauryn hanya menatapnya tanpa berkata apa pun sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya."Nggak enak kalau makan sendiri," ucap Felix, bersiap menyuap makanannya."Saya nggak makan sendirian." Mauryn melirik ke belakang, tepat saat Saskia dan Nadine berjalan membawa nampan makanan menuju ke arah mejanya, menggerutu karena pelayanan makan siang sangat lalai.Felix menyadari kehadiran mereka, sedikir canggung tetapi tetap mempertahankan sikapnya."Bukan kamu, tapi saya," ucapnya pada akhirnya.Dia kenapa, sih? Nggak bisa biarin aku tenang sehari aja, batin Mauryn.Saskia dan Nadine bergabung dengan mereka dengan ekspresi bingung. Bagaimana mungkin Mauryn sudah akrab dengan CEO baru mereka? Dan yang elbih aneh, untuk apa seorang CEO mekilih makan
Mauryn memandangnya dengan tatapan waspada. "Maksud Bapak apa?"Felix menyeringai kecil. "Kamu bilang, dulu, waktu kita masih kuliah ... kamu pernah suka sama saya."Mendengar itu, jantung Mauryn langsung berhenti satu detik."Saya—apa?""Ya," kata Felix santai. "Saya nggak tau apa kamu masih ingat. Tapi kamu mengatakan itu dengan cukup jelas malam itu."Mauryn terdiam. "Itu ... saya pasti lagi mengigau."Jujur, dia tidak ingat pernah mengatakan hal semacam itu.Felix tetawa pelan. "Mungkin." Lalu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya merendah. "Atau mungkin nggak."Mauryn berusaha keras mengingat apa benar dia mengatakan itu dengan gelisah. Apa benar dia memang mengatakannya? Jika iya, semuanya telah kacau.Namun, di tengah situasi yang menegangkan bagi Mauryn itu, seseorang datang membuyarkannya."Pak Felix!"Mauryn dan Felix langsung menoleh ke sumber suara. Seorang staf dengan pakaian ketat yang memperlihatkan tubuh seksinya, kancing bajunya sengaja dibuka sedi
Saat menunggu jadwal film mereka diputar, Mauryn dan Felix duduk di kafetaria yang ada di bioskop itu sembari menikmati popcorn dan kopi. Awalnya semua berjalan biasa saja. Obrolan ringan tentang pekerjaan, dilm, dan hal-hal sepele lainnya mengisi waktu mereka. Tapi, seperti takdir bermain-main, mata Mauryn tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing baginya. Evan. Bersama Freya. Seakan waktu melambat, mata mereka betemu sesaat. Alih-alih merasa bersalah atau canggung, Evan justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia tak pernah menyakuti Mauryn. Seolah-olah, mereka tidak memiliki sejarah panjang yang berakhir dengan pengkhianatan. Mauryn langsung merasa mual. Dia sudah cukup menjatuhkan air mata tadi siang. Tapi malam ini? Tidak lagi. Biar bagaimanapun, dia masih memiliki yang namanya harga diri. Jika Evan bisa hidup bahagia setelah mencampakkannya, maka dia juga bisa. Dia menegakkan punggungnya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum kecil sebelum menoleh ke Felix.
Mauryn terdiam selama beberapa saat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Namun, dia rasa juga harus bercerita agar bisa sedikit menghilangkan beban pikirannya.Wanita itu tersenyum pahit lalu menatap nanar ke depan."Dia potong rambut, dan saya baru melihat kemeja itu. Itu artinya dia pergi ke salon untuk memotong rambutnya dengan model yang lagi trend belakangan ini. Lalu dia juga mencoba kemeja itu di depan cermin ... selagi saya seperti ini." Mauryn menarik napas berat. "Saya akui saya kalah. Saya cuma seorang pecundang. Ini menggelikan, kan?""Nggak ada menang atau kalah dalam hubungan," ucap Felix."Kenapa nggak? Bahkan kenangan pun cuma untuk pemenang. Saat dia memikirkan saya, dia berpikir bahwa saya adalah perempuan yang pernah dia cintai. Cuma itu. Tapi saya justru akan sangat kacau, dan Bapak juga udah liat, kan?"Felix menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, sedikit tidak setuju dengan opini Mauryn. "Kalo memang kamu kalah, terus kenapa? Harusnya kamu berpikir biarpun kamu ka
Setelah malam yang panjang, suasana pagi di kantor Lumora Tech masih terasa berat. Kurang tidur dan tekanan tinggi mulai mempengaruhi anggota tim. Mauryn menyesap kopi dinginnya—entah sudah berapa cangkir yang dia minum sejak semalam—sambil menatap jadwal kerja yang semakin padat di layar laptopnya. Email-email berisi eskalasi terus berdatangan, dan tekanan dari pelanggan semakin meningkat.Nadine datang dengan ekspresi lelah, matanya sedikit bengkak. "Saya barusan dapat email dari CloudWave," katanya pelan. "Mereka mempertimbangkan opsi lain kalau kita nggak bisa kasih kepastian minggu ini."Jantung Mauryn berdegup lebih cepat. "Kita bahkan belum mulai uji coba sistemnya! Kalau mereka cabut, dampaknya akan gila-gilaan."Di sudut ruangan, Daffa dan tim teknis sudah mulai mengeluh. Beberapa dari mereka terpaksa mengorbankan akhir pekan demi mengejar timeline yang tidak realistis."Ini nggak bisa diteruskan seperti ini, Bu Mauryn," kata Daffa dengan nada serius. "Tim kita udah mulai kel
Suasana rapat kali ini terasa lebih panas dari rapat sebelumnya yang dilaksanakan tiga jam yang lalu, meskipun pendingin ruangan bekerja maksimal. Suasana tegang sejak rapat sebelumnya masih menggantung di udara. Tim Product Development, Tim Software Engineering, dan Tim Marketing kini duduk melingkar di ruang meeting yang lebih kecil. Tidak ada suara selain ketukan jari di keyboard dan desahan napas berat.Mauryn duduk dengan tangan terlipat di depan dada, mengamati dokumen proyeksi di layar besar. Di sampingnya, Nadine sibuk mengetik catatan diskusi, sementara Daffa terlihat frustasi, meremas botol minumnya."Bagaimana kalau kita coba pilot project? Kita bisa uji teknologi baru dalam skala kecil dulu, sambil tetap memastikan fitur utama yang diminta CloudWave bisa berjalan." Mauryn mencoba untuk memberikan solusi yang paling masuk akal saat ini.Daffa mengernyit. "Kamu maksud MVP dengan limited user?""Exactly," jawab Sophia. "Kalau kita bisa tunjukkan progres dan hasil awal dalam b
Mauryn menampar wajah Evan. Dia sudah tak tahan lagi mendengar kata-kata kejam yang terus-menerus menusuk hatinya."Maaf," ucapnya lirih setelah menyadari apa yang baru saja dia lakukan. "Evan ...."Evan tak menanggapinya. Tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan masuk ke dalam apartemennya, meninggalkan Mauryn yang berdiri di depan lobi dengan air mata mengalir deras.Mauryn melangkah gontai ke bangku di depan gedung apartemen dan duduk di sana. Sesak di dadanya terasa semakin berat dia menunduk, mencoba meredakan tangisnya, tetapi tak lama kemudian, dia merasakan kehadiran seseorang.Saat mendongak, dia melihat Felix berdiri di hadapannya. Mata pria itu menatapnya dengan iba, merasa kasihan pada Mauryn.Jika saja dahulu dia tidak menyerah, apakah jalan ceritanya akan berbeda? Setidaknya dia tahu bahwa dia tidak akan menyakiti Mauryn dan membuatnya hancur seperti ini, pikir Felix.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Felix segera duduk di samping wanita itu. Namun, Mauryn juga tidak
Keesokan harinya, hujan deras mengguyur pagi yang tertutup oleh langit kelabu. Awan mendung menggantung berat, seolah mencerminkan perasaan yang berkecamuk di dalam hati Mauryn. Saat dia keluar dari mobilnya, langkahnya tertahan sesaat ketika melihat Freya di parkiran. Namun, wanita itu tetap berada di dalam mobilnya, dan Mauryn memilih untuk mengabaikannya.Tanpa memedulikan dinginnya udara pagi, dia membuka payung dan berjalan cepat menuju gedung kantor, membelah hujan yang tak memberi ampun. Namun, dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tak asing—Evan baru saja tiba.Hati Mauryn mencelos saat melihat laki-laki itu berjalan menuju mobil Freya. Dengan gerakan yang begitu familiar, Evan membuka payungnya dan melindungi wanita itu dari hujan. Satu pemandangan sederhana yang mampu menorehkan luka yang lebih dalam di hatinya.Perih. Itu yang Mauryn rasakan. Tadi malam, dia datang pada Evan dalam keadaan mabuk, berharap ada sisa rasa yang masih bisa dia genggam, memohon dan memelas b
Felix menunjuk tim darurat dalam hitungan menit. Di tak ragu menarik orang-orang yang dianggapnya paling bisa diandalkan."Sophia, kamu bertanggung jawab atas teknis. Tim engineering harus bekerja cepat untuk mengidentifikasi celah keamanan. Nolan, pastikan tim marketing mengelola komunikasi publik agar kita tidak kehilangan kepercayaan pelanggan. Evan, kamu dan tim keamanan siber harus segera mencari tahu sumber serangan ini."Mauryn duduk diam di kursinya yang diapit oleh Anton dan Saskia, mengamati dengan seksama. Dia sudah bisa menebak tanggung jawabnya, dan benar saja—Felix menatap langsung ke arahnya."Mauryn, kamu masuk ke komite darurat juga. Kita butuh perwakilan dari Product Development."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Evan, yang duduk di seberangnya, mengangkat alis. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit meremehkan. "Serangan ini menyasar sistem keamanan, bukan produk."Mauryn menegang. Semua mata beralih ke arahnya, menunggu reaksinya.Felix bersedekap. "
Pagi itu dimulai seperti biasa—atau setidaknya begitu yang dipikirkan Mauryn. Ia sedang menyesap kopi di meja kerjanya, menikmati aroma hangat yang sedikit memberi ketenangan sebelum hari kerja dimulai. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik. Layar laptopnya tiba-tiba membeku. Garis-garis aneh muncul, diikuti suara notifikasi bertubi-tubi dari rekan-rekan satu lantainya.Ia menoleh ke arah Bima dan Nadine, yang tampak sama bingungnya."Kenapa sistem MindFlow malah nge-freeze?" gumam Nadine, mencoba me-refresh layar.Tak sampai satu menit, kekacauan meledak.Monitor di ruang meeting menampilkan peringatan merah mencolok: "Unauthorized Access Detected. Security Breach Ongoing."Seluruh ruangan langsung gempar. Beberapa karyawan berdiri dari kursi mereka, sementara yang lain panik menekan tombol keyboard dan mengutak-atik layar sentuh perangkat mereka. Alarm pelanggaran keamanan berbunyi dari divisi IT."Serangan siber!" seru seseorang dari ujung ruangan.Nadi Mauryn berd
Evan yang pergi ke toilet tak sengaja menemukan jepit rambut milik Mauryn yang terjatuh. Dia mengenali jepit rambut itu, lalu membuka bilik di depannya yang ternyata tak terkunci. Saat pintu bilik terbuka, dia melihat Mauryn dan Felix, berdiri berhadapan di dalam sana.Dua orang itu menatap terkejut ke arahnya, seakan tak kalah terkejutnya dengan dirinya.Evan berdecih ringan. "Kalian ngapain?"Mauryn ternganga, kehilangan kata-kata. Sementara itu, Felix ingin menjadi garda terdepan melindunginya."Kamu sendiri?" tanya Felix dengan wajah datar.Kening Evan berkerut. "Apa?""Kenapa kamu membuka pintunya?"Mauryn mengambil tas miliknya, lalu memakainya. Dia memandang sinis pada Evan. "Minggir sana. Aku harus ganti baju.""Apa? Ganti baju? Di sini? Sama dia?"Mauryn melirik pada Felix, lalu menatap Evan sambil melotot. "Dasar gila. Kamu mikir apa, sih?" Dia beralih pada Felix. "Pak Feli, Bapak juga keluar deh. Kalian ini kenapa?"Karena dua pria itu masih bergeming di tempatnya, justru M
Sorak-sorai masih menggema di area festival ketika rangkaian acara perlahan mencapai puncaknya. Panggung besar dihiasi dengan layar LED raksasa yang menampilkan berbagai visual dinamis. Lampu sorot menari di udara, menerangi kerumunan karyawan yang berkumpul menikmati suasana. Mauryn menarik napas lega, mengendurkan bahu setelah penampilannya di atas panggung."Sekarang kita memasuki sesi penghargaan yang paling ditunggu-tunggu!" Suara pembawa acara menggema, menarik perhatian seluruh hadirin. "Mari kita mulai dengan penghargaan bagi mereka yang telah memberikan kontribusi luar biasa selama setahun terakhir!"Para karyawan mulai berbisik, mencoba menebak siapa yang akan membawa pulang penghargaan bergengsi."Dan pemenang Best Employee of The Year adalah ... Sophia Zhang!"Mauryn tersenyum kecil saat melihat mentornya berjalan anggun ke atas panggung. Sophia menerima piala dengan ekspresi tenang namun penuh kebanggaan."Terima kasih kepada
Mauryn meneguk minumannya dengan gelisah, berharap Anton berhenti membujuknya untuk mengikuti kontes bernyanyi. Sejak tadi, sang CPO tidak menyerah, terus menyodorkan alasan demi alasan agar Mauryn bersedia naik ke panggung mewakili divisi mereka."Mauryn, ini bukan sekadar kompetisi," Anton berkata lagi dengan nada penuh harap. "Ini tentang kebanggaan tim! Dan kita butuh seseorang dengan suara yang benar-benar bisa diandalkan!""Bapak terlalu melebih-lebihkan," Mauryn menghela napas. "Suara siapa pun pasti cukup bagus buat acara santai kayak gini.""Nggak, nggak!" Nadine menyela dengan semangat. "Suara kita semua nggak ada yang sebagus punya Mbak! Saya kalo nyanyi lebih mirip ayam tercekik!"Bima tertawa. "Kalau saya lebih mirip radio rusak! Kalo kita benar-benar pengen menang, satu-satunya harapan kita ya Mbak Mauryn."Mauryn menggeleng cepat. "Saya tetap nggak mau. Cari orang lain saja.""Ayolah, Beb," Saskia kini ikut bersuara, menyilangkan tangan di dada. "Kamu ini Senior Product
Mauryn dan rekan kerja wanita yang lain berdiri di dekat wajan saat para pria sibuk mengaduk masakan yang mereka buat.Saat para pria sibuk mengaduk wajan besar, Anton, laki-laki yang mengenakan kemeja kotak-kotak mendekati Mauryn dan berdiri di sebelahnya. Dia adalah CPO (Chief Product Officer) yang memimpin divisi produk."Hei, Mbak Mauryn," sapanya."Iya?""Kalo mau membantu di sini, kenapa nggak ikut lomba nyanyi aja buat nanti malam?""Lomba nyanyi?"Anton mengangguk. "Kamu kan jago nyanyi."Mauryn menepuk tangannya. "Benar juga. Saya salah satu kontestan buat lomba itu, kan?""Ya begitulah. Saya kira divisi kita yang kecil ini akhirnya punya perwakilan di lomba nyanyi waktu saya jadi CPO, tapi kamu selalu menolak."Saat para pria selesai mengaduk masakan, tak sengaja masakan di dalam wajan itu terciprat ke baju para wanita yang berdiri di sekitarnya. Para wanita itu pun mengamuk karena pakaian mereka kotor, lalu segera pergi untuk menggantinya.Sementara itu, Mauryn masih berdir
Langit pagi cerah dengan angin sepoi-sepoi yang menambah semarak Lumora Tech Anniversary Festival. Area outdoor yang luas sudah dihias dengan ornamen bertema Retro Party—lampu-lampu neon, poster warna-warni, dan panggung besar di tengah lapangan. Musik klasik era '80-an diputar, menciptakan suasana nostalgia yang unik.Mauryn melangkah ke area registrasi dengan semangat. Festival seperti ini adalah acara yang sulit ditolak—bukan hanya karena suasananya yang meriah, tetapi juga kesempatan langka unthk melupakan beban pekerjaan.Di meja registrasi, Nadine dan Bima sudah lebih dulu mengambil goodie bag mereka."Saya penasaran siapa yang kepikiran buat tema ini," gumam Bima sambil memeriksa isi tas kecil yang diberikan panitia. "Kita kayak disuruh cosplay jadi orang tua kita.""Jangan komplain," sela Nadine. "Seenggaknya kita nggak harus pakai wig afro."Mauryn tersenyum tipis dan menerima goodie bag serta kartu nama kecil yang disebut sebagai alat interaktif untuk permainan networking. D
Mauryn terbangun dari tidurnya dengan kepala berat. Dia mengerang beberapa kali sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ini pertama kalinya dia bangun tanpa memikirkan Evan setelah sekian lama.Namun, bukan itu masalahnya. Kejadian tadi malam tiba-tiba menghampiri benaknya. Kejadian yang jauh lebih memalukan dibanding dia menghabiskan malam yang bergairah dengan Felix.Saat mengingat apa yang dia lakukan tadi malam, napas Mauryn tercekat. Matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar."Aku pasti gila," gumamnya. "Aku pasti gila!"Dia menenggelamkan wajahnya di balik selimut, tidak sanggup untuk menghadapi wajah Felix di kantor hari ini. Kenapa semua hal memalukan harus terjadi di hadapan bosnya itu?Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk merutuki kebodohannya, Mauryn turun dari tempat tidur menuju ruang makan. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja dan dia segera bergabung dengan Leona yang juga sudah rapi dengan seragam olahraganya. Ya, wanita itu memiliki bisnis gymnasium, juga
Angin malam berhembus pelan, menyapu rambut Mauryn yang sedikit acak-acakan setelah keluar dari bar. Langkahnya sempoyongan, tiga botol bir yang dia habiskan mulai menunjukkan efeknya. Matanya berkilat-kilat, pipinya bersemu merah, dan bibirnya melengkung dalam senyum yang terlalu santai.Di belakangnya, Felix berjalan dengan tenang, matanya terus mengawasi setiap langkah wanita itu. Sesekali, laki-laki itu tersenyum melihat Mauryn yang kesulitan menyeimbangkan tubuhnya."Dia bilang bir itu minuman ringan? Aku tertipu lagi," gumam Felix, setengah pasrah.Mauryn yang awalnya berjalan dengan langkah konsisten, tiba-tiba berlari saat melihat sebuah bus yang sedang berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari mereka. Tanpa berpikir panjang, Mauryn mengejar bus itu dan bersiap untuk naik."Bapak ngapain? Ayo cepat naik! Bapak nggak mau pulang?" serunya sanbil melambai heboh ke arah Felix.Felix membeku sejenak, lalu menatap bus yang mulai menut