Mauryn menampar wajah Evan. Dia sudah tak tahan lagi mendengar kata-kata kejam yang terus-menerus menusuk hatinya."Maaf," ucapnya lirih setelah menyadari apa yang baru saja dia lakukan. "Evan ...."Evan tak menanggapinya. Tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan masuk ke dalam apartemennya, meninggalkan Mauryn yang berdiri di depan lobi dengan air mata mengalir deras.Mauryn melangkah gontai ke bangku di depan gedung apartemen dan duduk di sana. Sesak di dadanya terasa semakin berat dia menunduk, mencoba meredakan tangisnya, tetapi tak lama kemudian, dia merasakan kehadiran seseorang.Saat mendongak, dia melihat Felix berdiri di hadapannya. Mata pria itu menatapnya dengan iba, merasa kasihan pada Mauryn.Jika saja dahulu dia tidak menyerah, apakah jalan ceritanya akan berbeda? Setidaknya dia tahu bahwa dia tidak akan menyakiti Mauryn dan membuatnya hancur seperti ini, pikir Felix.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Felix segera duduk di samping wanita itu. Namun, Mauryn juga tidak
Keesokan harinya, hujan deras mengguyur pagi yang tertutup oleh langit kelabu. Awan mendung menggantung berat, seolah mencerminkan perasaan yang berkecamuk di dalam hati Mauryn. Saat dia keluar dari mobilnya, langkahnya tertahan sesaat ketika melihat Freya di parkiran. Namun, wanita itu tetap berada di dalam mobilnya, dan Mauryn memilih untuk mengabaikannya.Tanpa memedulikan dinginnya udara pagi, dia membuka payung dan berjalan cepat menuju gedung kantor, membelah hujan yang tak memberi ampun. Namun, dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tak asing—Evan baru saja tiba.Hati Mauryn mencelos saat melihat laki-laki itu berjalan menuju mobil Freya. Dengan gerakan yang begitu familiar, Evan membuka payungnya dan melindungi wanita itu dari hujan. Satu pemandangan sederhana yang mampu menorehkan luka yang lebih dalam di hatinya.Perih. Itu yang Mauryn rasakan. Tadi malam, dia datang pada Evan dalam keadaan mabuk, berharap ada sisa rasa yang masih bisa dia genggam, memohon dan memelas b
"Sekarang aku ngerti kenapa kamu kayak gitu. Oke, aku nggak akan memohon buat kembali sama kamu lagi. Silakan dapatkan semua perempuan yang mau kamu pacari. Aku nggak akan ganggu kamu lagi," ucap Mauryn, menatap Evan yang berdiri di depannya saat mereka sudah tiba di taman kantor. Nada suaramya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Evan menyilangkan tangan di dadanya, matanya menyipit menatap Mauryn. "Kamu ngajak aku ke sini cuma buat ngasih tau itu?" Dia menyeringai tipis. "Tapi ... belum lama sejak kita putus tapi kamu udah dekat-dekat sama CEO perusahaan ini? Kamu menempel sama dia kayak lem. Semoga dia nggak muak dan nggak merasa tertekan sama sikap kamu."Mauryn memutar bola matanya seolah mendengar lelucon basi. "Emangnya dia itu kamu? Dia sama sekali beda sama kamu. Dia nggak pernah merasa nggak nyaman dengan kehadiran aku. Dan mungkin kamu lupa, dia kan pernah naksir aku. Aku ini emang bego malah milih laki-laki nggak tau diri dibanding membersamai laki-laki mapan itu. Harusnya
Dua hari kemudian, tim kembali berkumpul untuk mengulas data dari hasil pilot project."Jadi, berita baiknya, sistem kita cukup stabil untuk dilanjutkan. Berita buruknya... kita menemukan beberapa celah keamanan yang bisa menjadi masalah besar," kata Daffa.Sophia meletakkan dokumen di meja. "We need to fix this before the report is sent to CloudWave."Mauryn mengerutkan kening. "Seberapa besar risikonya?"Daffa menunjuk ke layar. "Jika hacker cukup pintar, mereka bisa mengeksploitasi titik lemah ini dan mengakses data pengguna."Ruangan menjadi sunyi. Ancaman keamanan adalah masalah serius.Felix mengetuk jarinya ke meja. "Prioritaskan ini. Kita tidak bisa memberikan CloudWave alasan untuk menarik diri."Mauryn merasakan tekanan di dadanya meningkat. Waktu semakin menipis, dan tantangan semakin besar.Di luar, hujan mulai turun, menambah atmosfer tegang yang melingkupi tim.Mauryn pergi menuju pantry untuk membuat kopi. Secangkir kopi yang bertengger di tangannya entah kenapa membuat
Mauryn memandangi tanaman kecil di ambang jendela, tanaman yang pernah diberikan Evan kepadanya. Mauryn menghela napas, jari-jarinya menyentuh daun yang mulai layu. Satu bagian kecil dari dirinya masih merasa berat membuangnya, seakan membuang tanaman itu sama dengan benar-benar menghapus Evan dari hidupnya.Mauryn terus memandanginya, hingga beberapa saat kemudian Leona juga bergabung dengannya."Itu sekarat, dan kutukan lo bikin dia hidup lagi. Impressive, kan?" ucap Leona."Sangat tangguh." Mauryn mengambil botol air mineral yang barusan dia minum, lalu menyiraminya. "Oke, semoga kamu panjang umur. Kamu udah menghadapi banyak kebencian.""Bener-bener amazing." Leona masih terpesona dengan kondisi tanaman yang hampir mati, tetapi kemudian hidup lagi."Gue merasa bangga. Terlepas dari semua hinaan itu," ucap Mauryn.Kemudian, setelah cukup memandangi tanaman itu, di hari libur ini dia ingin lebih produktif, menjadikan libur sebagai ajang terapi mental. Dia melakukan banyak kegiatan s
"Ketulusan yang indah hanya bertahan sekejap. Setelah itu, ia bisa menjadi belenggu atau justru hilang begitu saja."***Seminggu berlalu dengan kecepatan yang gila. Tim teknis bekerja keras memperbaiki celah keamanan, sementara tim produk dan pemasaran memastikan CloudWave tetap terlibat dalam prosesnya. Ada gesekan di sana-sini, tetapi sesuatu mulai berubah—kepercayaan mulai tumbuh.Salah satu perubahan yang paling terasa adalah interaksi antara Felix dan Mauryn. Mereka tidak hanya berbicara dalam konteks pekerjaan lagi. Ada momen-momen singkat di mana mereka berbagi pandangan yang lebih dalam, saling memahami tanpa kata-kata.Malam itu, Mauryn kembali bekerja lembur di kantornya. Lampu-lampu di luar sudah mulai redup, menandakan sebagian besar orang sudah pulang. Ia menghela napas, meneguk kopi yang sudah dingin, lalu meraih dokumennya lagi.Felix mengetuk pintu kaca dan masuk tanpa menunggu jawaban. "Masih di sini?"Mauryn mendengus. "Saya bisa menanyakan hal yang sama ke Bapak."
Angin malam berhembus pelan, menyapu rambut Mauryn yang sedikit acak-acakan setelah keluar dari bar. Langkahnya sempoyongan, tiga botol bir yang dia habiskan mulai menunjukkan efeknya. Matanya berkilat-kilat, pipinya bersemu merah, dan bibirnya melengkung dalam senyum yang terlalu santai.Di belakangnya, Felix berjalan dengan tenang, matanya terus mengawasi setiap langkah wanita itu. Sesekali, laki-laki itu tersenyum melihat Mauryn yang kesulitan menyeimbangkan tubuhnya."Dia bilang bir itu minuman ringan? Aku tertipu lagi," gumam Felix, setengah pasrah.Mauryn yang awalnya berjalan dengan langkah konsisten, tiba-tiba berlari saat melihat sebuah bus yang sedang berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari mereka. Tanpa berpikir panjang, Mauryn mengejar bus itu dan bersiap untuk naik."Bapak ngapain? Ayo cepat naik! Bapak nggak mau pulang?" serunya sanbil melambai heboh ke arah Felix.Felix membeku sejenak, lalu menatap bus yang mulai menut
Mauryn terbangun dari tidurnya dengan kepala berat. Dia mengerang beberapa kali sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ini pertama kalinya dia bangun tanpa memikirkan Evan setelah sekian lama.Namun, bukan itu masalahnya. Kejadian tadi malam tiba-tiba menghampiri benaknya. Kejadian yang jauh lebih memalukan dibanding dia menghabiskan malam yang bergairah dengan Felix.Saat mengingat apa yang dia lakukan tadi malam, napas Mauryn tercekat. Matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar."Aku pasti gila," gumamnya. "Aku pasti gila!"Dia menenggelamkan wajahnya di balik selimut, tidak sanggup untuk menghadapi wajah Felix di kantor hari ini. Kenapa semua hal memalukan harus terjadi di hadapan bosnya itu?Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk merutuki kebodohannya, Mauryn turun dari tempat tidur menuju ruang makan. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja dan dia segera bergabung dengan Leona yang juga sudah rapi dengan seragam olahraganya. Ya, wanita itu memiliki bisnis gymnasium, juga
Pintu apartemen terbuka pelan. Suara kunci diputar nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang masih menetes ringan di luar sana. Sepatu hak tinggi Mauryn menyentuh lantai kayu dengan langkah lesu. Tubuhnya lunglai. Kepala berdenyut. Perutnya terasa seperti dipelintir sejak siang. Dia hanya ingin meresap dalam diam, mengganti baju, lalu tenggelam dalam kasur.Namun yang menyambutnya justru bukan keheningan yang dia harapkan.Leona duduk di ujung sofa dengan tangan menyilang di dada, wajahnya kaku seperti batu karang. Tatapannya menusuk tajam, seperti bisa menembus seluruh kulit luar Mauryn dan melihat apa yang tersembunyi di dalam.Tessa berdiri di dekat jendela, tak kalah tenang tapi jelas-jelas menyimpan badai di balik tatapan matanya yang lembut."Baru pulang?" ucap Leona tanpa basa-basi, suaranya dingin, tajam, mengiris seperti belati.Mauryn berdiri mematung di ambang pintu, merasakan tengkuknya mulai dingin oleh hawa yang tiba-t
Mauryn dan orang-orang yang berada di tim gabungan, menyisir ulang akses dan log login. Satu nama muncul berulang—dengan pola waktu mencurigakan, lokasi yang sama, dan durasi login yang panjang dengan nama Luna Sasmita. Mauryn menahan napas. Luna. Pegawai baru yang hampir tak pernah bersuara di rapat. Yang masih terlihat canggung dan sering duduk paling pojok. Pegawai yang baru bekerja di Lumora Tech sejak masalah ini terjadi. Dan yang dulu ... bekerja sebagai SPG makanan beku di kantin basement kantor. "Dia masuk lewat jalur rekrutmen vendor," ucap Felix sambil menelusuri data HR. "Direkrut cepat karena katanya punya background teknik dari universitas luar negeri, tapi nggak pernah bisa diverifikasi penuh. Sulit bagi saya untuk menelusuri setiap karyawan baru, karena saya nggak langsung mewawancarai mereka." Mauryn merasa dadanya sesak. "Perangkat pribadinya?" tanya Sophia. "Udah di-clone tim forensic. Kami temukan pattern log mirip di ponselnya. Dan ... ada jejak komunikasi
Mauryn membuka laptopnya dengan tangan sedikit bergetar. Dia nyaris tidak tidur semalam. Di otaknya, log aktivitas aneh dan alamat IP dari co-working space itu terus berputar seperti kaset rusak. Dia tahu kalau ini benar-benar ulah orang luar, maka ini bukan sekadar insiden. Ini sudah level sabotase.Felix belum terlihat sejak pagi. Tapi tak lama setelah jam kantor dimulai, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, pesan dari Sophia Zhang."Meet me at Lab 7, 10 AM. Bring everything."***Satu jam kemudian, Mauryn berjalan cepat menuju lantai bawah tanah tempat ruang Lab 7 berada. Ruangan ini jarang dipakai, kecuali untuk riset mendalam yang melibatkan sistem keamanan canggih atau pengujian teknologi baru. Dinding-dindingnya dilapisi bahan kedap suara, dan hanya bisa diakses dengan sidik jari.Saat dia masuk, Sophia sudah duduk di depan tiga layar besar. Di belakangnya, layar hologram memproyeksikan arsitektur sistem logging Lumora Tech, berpijar dalam bayangan biru."Duduk," kata Sophia t
Mauryn keluar dari ruang periksa dengan langkah pelan, seperti mayat hidup. Dunia luar masih sama. Matahari menyelinap malu di balik awan, pepohonan bergetar pelan ditiup angin. Tapi semuanya terasa ... palsu. Di duduk di halte kecil di depan klinik, menyandarkan punggung ke dinding dan memejamkan mata. Tangan gemetar menyentuh perutnya. Belum ada tonjolan, belum ada bentuk. Tapi di sana—katanya—ada kehidupan. Ada makhluk kecil yang tumbuh, tanpa izin, tanpa permisi, di tengah hidup yang sedang porak-poranda. Mauryn ingin tertawa. Pahit. Lucu sekali nasib ini menertawakannya. Tuhan barangkali sedang iseng hari ini. Di mengingat Evan. Perselingkuhannya yang entah benar atau tidak. Kebohongannya. Betapa dia sempat berpikir, mungkin suatu hari mereka akan punya anak. Tapi bukan begini caranya. Dan Felix... Mauryn menggigit bibir bawahnya. Malam itu kabur. Dia mabuk. Terlalu mabuk. Dan ketika pagi datang, semuanya sudah terlambat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana memberitahunya
Mauryn pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Ini jelas masalah yang besar. Bahkan, PTSD Evan yang terjasi padanya lima tahun lalu kembali kambuh. Fakta bahwa seseorang dari dalam telah membuka pintu bagi peretas membuatnya gelisah. Ini bukan hanya tentang kelalaian, tapi pengkhianatan yang disengaja. Dan jika benar pelakunya adalah orang dalam, maka kemungkinan dia masih bebas berkeliaran di kantor, memantau setiap langkah mereka. Mauryn tahu dia tak bisa diam. Dia juga tahu, ini bukan waktunya untuk membuat keputusan gegabah. Di meja makan, Mauryn asyik melamun sembari mengaduk-aduk makanannya di atas piring. "Lo kenapa ngelamun gitu? Mikirin apa?" tanya Leona, saat melihat ada yang tak beres dengan sahabatnya. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Mauryn. Dia menghela napas berat. "Di kantor lagi ada masalah besar. Data pelanggan diretas dan situasi bener-bener kacau. PTSD Evan sampai kambuh gara-gara masalah ini. Udah lima tahun sejak terakhir kali dia kayak gini." "Maksud lo?
Di sisi lain, di ruangan berbeda, salah satu teknisi keamanan siber tiba-tiba berdiri dengan wajah pucat."Pak Evan, kami menemukan sesuatu," katanya dengan suara bergetar.Evan berjalan mendekat dengan cepat. "Apa?"Teknisi itu menelan ludah sebelum menunjuk layar komputernya. "Serangan ini ... tidak berasal dari luar."Hening seketika.Evan mendekat. "Maksud kamu?"Teknisi itu menoleh ke arah semua orang di ruangan. "Serangan ini datang dari dalam. Dari seseorang di kantor kita sendiri."Sunyi. Begitu sunyi hingga dentingan halus dari lampu neon yang bergetar di langit-langit terasa seperti dentuman. Tidak ada suara selain napas tertahan dan denyut ketegangan yang memenuhi ruangan.Evan berdiri di depan layar komputer, tubuhnya membeku seperti patung marmer. Kata-kata teknisi tadi terus terulang di kepalanya seperti gema yang menghantam dinding tanpa henti.Serangan ini datang dari dalam.Mat
Jam masih menunjukkan pukul delapan ketika Mauryn melangkah masuk ke ruang rapat kecil lantai 22, tempat yang biasanya dipakai untuk review sprint mingguan Tim IT & Security. Tapi pagi ini, ruangan itu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang, sebagian besar mengenakan hoodie bertuliskan "CyberSec" dan ekspresi mata yang belum tidur semalaman. Di ujung meja, Evan berdiri dengan laptop terbuka, mengangguk pelan begitu melihat Mauryn masuk. "Thanks udah datang tepat waktu," katanya, suara datarnya hanya sedikit lebih hangat dibanding AC yang menggigilkan ruangan. "Kita mulai." Mauryn duduk di sisi kanan meja, membuka laptopnya sendiri, mencoba tidak terganggu oleh tatapan sinis beberapa teknisi yang bahkan tidak berusaha menyembunyikan ketidakpercayaannya padanya. "Seperti yang kalian tau," Evan memulai, "Tiga puluh tujuh jam terakhir adalah mimpi buruk. Sistem kita kebobolan. Akses data sensitif terekam dalam skala yang belum pernah terjadi. Pihak legal sedang menyiapkan pernyataan untuk in
Siang harinya, setelah beberapa kali pertemuan singkat dengan tim pengembang dan bagian legal, Mauryn kembali ke ruangannya sendiri. Di hadapannya, laptop menyala dengan daftar nama pengguna yang tercatat dalam log akses sistem pada jam kejadian. Matanya bergerak cepat menelusuri baris-baris nama, kebanyakan akrab: anggota tim engineering, QA, bahkan beberapa dari tim marketing yang pernah diberi akses untuk demo produk. Tapi satu nama membuatnya berhenti. Satu baris, dengan timestamp mencurigakan: 03.42 AM. Itu adalah waktu ketika tidak ada aktivitas terjadwal apa pun. Dan nama itu adalah ... seseorang dari timnya sendiri. "Nadine ...," bisiknya pelan, hampir tidak percaya. Dia menatap layar lebih lama, berharap log itu salah. Atau ada glitch. Tapi tidak. Aksesnya valid. Permintaan datanya terekam dengan jelas. Bahkan IP yang digunakan adalah IP internal dari jaringan kantor. Mauryn meneguk napas dalam-dalam. Dia mengenal Nadine. Sejak bergabung dengan Lumora Tech enam bulan l
Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela kaca gedung Lumora Tech ketika Mauryn melangkah masuk ke lobi utama. Biasanya, pagi-pagi begini hanya ada suara langkah sepatu formal dan sesekali tawa lelah dari para pegawai yang baru datang. Tapi pagi ini... ada yang berbeda. Suasana yang biasanya tenang kini terasa sesak. Sekumpulan orang berbaju formal, sebagian membawa kamera, berdiri di depan meja resepsionis. Suara mereka berbisik cepat, tangan menunjuk ke arah lift, dan wajah-wajah mereka menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Kecemasan. Kepanikan yang ditahan. Dia berjalan cepat menuju ruangannya. Ada sedikit masalah, tetapi Mauryn berharap itu bukan masalah besar dan tim keamanan bisa mengatasinya. Saat masuk ke dalam ruangan, dia bisa melihat Anton sedang berbincang dengan seorang wanita di ruangannya. Mauryn duduk di kursinya, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya. Tak lama kemudian, eorang staf wanita dari Tim HR datang ke ruangan Tim Product Development