Angin malam berhembus pelan, menyapu rambut Mauryn yang sedikit acak-acakan setelah keluar dari bar. Langkahnya sempoyongan, tiga botol bir yang dia habiskan mulai menunjukkan efeknya. Matanya berkilat-kilat, pipinya bersemu merah, dan bibirnya melengkung dalam senyum yang terlalu santai.Di belakangnya, Felix berjalan dengan tenang, matanya terus mengawasi setiap langkah wanita itu. Sesekali, laki-laki itu tersenyum melihat Mauryn yang kesulitan menyeimbangkan tubuhnya."Dia bilang bir itu minuman ringan? Aku tertipu lagi," gumam Felix, setengah pasrah.Mauryn yang awalnya berjalan dengan langkah konsisten, tiba-tiba berlari saat melihat sebuah bus yang sedang berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari mereka. Tanpa berpikir panjang, Mauryn mengejar bus itu dan bersiap untuk naik."Bapak ngapain? Ayo cepat naik! Bapak nggak mau pulang?" serunya sanbil melambai heboh ke arah Felix.Felix membeku sejenak, lalu menatap bus yang mulai menut
Mauryn terbangun dari tidurnya dengan kepala berat. Dia mengerang beberapa kali sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ini pertama kalinya dia bangun tanpa memikirkan Evan setelah sekian lama.Namun, bukan itu masalahnya. Kejadian tadi malam tiba-tiba menghampiri benaknya. Kejadian yang jauh lebih memalukan dibanding dia menghabiskan malam yang bergairah dengan Felix.Saat mengingat apa yang dia lakukan tadi malam, napas Mauryn tercekat. Matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar."Aku pasti gila," gumamnya. "Aku pasti gila!"Dia menenggelamkan wajahnya di balik selimut, tidak sanggup untuk menghadapi wajah Felix di kantor hari ini. Kenapa semua hal memalukan harus terjadi di hadapan bosnya itu?Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk merutuki kebodohannya, Mauryn turun dari tempat tidur menuju ruang makan. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja dan dia segera bergabung dengan Leona yang juga sudah rapi dengan seragam olahraganya. Ya, wanita itu memiliki bisnis gymnasium, juga
Langit pagi cerah dengan angin sepoi-sepoi yang menambah semarak Lumora Tech Anniversary Festival. Area outdoor yang luas sudah dihias dengan ornamen bertema Retro Party—lampu-lampu neon, poster warna-warni, dan panggung besar di tengah lapangan. Musik klasik era '80-an diputar, menciptakan suasana nostalgia yang unik.Mauryn melangkah ke area registrasi dengan semangat. Festival seperti ini adalah acara yang sulit ditolak—bukan hanya karena suasananya yang meriah, tetapi juga kesempatan langka unthk melupakan beban pekerjaan.Di meja registrasi, Nadine dan Bima sudah lebih dulu mengambil goodie bag mereka."Saya penasaran siapa yang kepikiran buat tema ini," gumam Bima sambil memeriksa isi tas kecil yang diberikan panitia. "Kita kayak disuruh cosplay jadi orang tua kita.""Jangan komplain," sela Nadine. "Seenggaknya kita nggak harus pakai wig afro."Mauryn tersenyum tipis dan menerima goodie bag serta kartu nama kecil yang disebut sebagai alat interaktif untuk permainan networking. D
Mauryn dan rekan kerja wanita yang lain berdiri di dekat wajan saat para pria sibuk mengaduk masakan yang mereka buat.Saat para pria sibuk mengaduk wajan besar, Anton, laki-laki yang mengenakan kemeja kotak-kotak mendekati Mauryn dan berdiri di sebelahnya. Dia adalah CPO (Chief Product Officer) yang memimpin divisi produk."Hei, Mbak Mauryn," sapanya."Iya?""Kalo mau membantu di sini, kenapa nggak ikut lomba nyanyi aja buat nanti malam?""Lomba nyanyi?"Anton mengangguk. "Kamu kan jago nyanyi."Mauryn menepuk tangannya. "Benar juga. Saya salah satu kontestan buat lomba itu, kan?""Ya begitulah. Saya kira divisi kita yang kecil ini akhirnya punya perwakilan di lomba nyanyi waktu saya jadi CPO, tapi kamu selalu menolak."Saat para pria selesai mengaduk masakan, tak sengaja masakan di dalam wajan itu terciprat ke baju para wanita yang berdiri di sekitarnya. Para wanita itu pun mengamuk karena pakaian mereka kotor, lalu segera pergi untuk menggantinya.Sementara itu, Mauryn masih berdir
Mauryn meneguk minumannya dengan gelisah, berharap Anton berhenti membujuknya untuk mengikuti kontes bernyanyi. Sejak tadi, sang CPO tidak menyerah, terus menyodorkan alasan demi alasan agar Mauryn bersedia naik ke panggung mewakili divisi mereka."Mauryn, ini bukan sekadar kompetisi," Anton berkata lagi dengan nada penuh harap. "Ini tentang kebanggaan tim! Dan kita butuh seseorang dengan suara yang benar-benar bisa diandalkan!""Bapak terlalu melebih-lebihkan," Mauryn menghela napas. "Suara siapa pun pasti cukup bagus buat acara santai kayak gini.""Nggak, nggak!" Nadine menyela dengan semangat. "Suara kita semua nggak ada yang sebagus punya Mbak! Saya kalo nyanyi lebih mirip ayam tercekik!"Bima tertawa. "Kalau saya lebih mirip radio rusak! Kalo kita benar-benar pengen menang, satu-satunya harapan kita ya Mbak Mauryn."Mauryn menggeleng cepat. "Saya tetap nggak mau. Cari orang lain saja.""Ayolah, Beb," Saskia kini ikut bersuara, menyilangkan tangan di dada. "Kamu ini Senior Product
Sorak-sorai masih menggema di area festival ketika rangkaian acara perlahan mencapai puncaknya. Panggung besar dihiasi dengan layar LED raksasa yang menampilkan berbagai visual dinamis. Lampu sorot menari di udara, menerangi kerumunan karyawan yang berkumpul menikmati suasana. Mauryn menarik napas lega, mengendurkan bahu setelah penampilannya di atas panggung."Sekarang kita memasuki sesi penghargaan yang paling ditunggu-tunggu!" Suara pembawa acara menggema, menarik perhatian seluruh hadirin. "Mari kita mulai dengan penghargaan bagi mereka yang telah memberikan kontribusi luar biasa selama setahun terakhir!"Para karyawan mulai berbisik, mencoba menebak siapa yang akan membawa pulang penghargaan bergengsi."Dan pemenang Best Employee of The Year adalah ... Sophia Zhang!"Mauryn tersenyum kecil saat melihat mentornya berjalan anggun ke atas panggung. Sophia menerima piala dengan ekspresi tenang namun penuh kebanggaan."Terima kasih kepada
Evan yang pergi ke toilet tak sengaja menemukan jepit rambut milik Mauryn yang terjatuh. Dia mengenali jepit rambut itu, lalu membuka bilik di depannya yang ternyata tak terkunci. Saat pintu bilik terbuka, dia melihat Mauryn dan Felix, berdiri berhadapan di dalam sana.Dua orang itu menatap terkejut ke arahnya, seakan tak kalah terkejutnya dengan dirinya.Evan berdecih ringan. "Kalian ngapain?"Mauryn ternganga, kehilangan kata-kata. Sementara itu, Felix ingin menjadi garda terdepan melindunginya."Kamu sendiri?" tanya Felix dengan wajah datar.Kening Evan berkerut. "Apa?""Kenapa kamu membuka pintunya?"Mauryn mengambil tas miliknya, lalu memakainya. Dia memandang sinis pada Evan. "Minggir sana. Aku harus ganti baju.""Apa? Ganti baju? Di sini? Sama dia?"Mauryn melirik pada Felix, lalu menatap Evan sambil melotot. "Dasar gila. Kamu mikir apa, sih?" Dia beralih pada Felix. "Pak Feli, Bapak juga keluar deh. Kalian ini kenapa?"Karena dua pria itu masih bergeming di tempatnya, justru M
Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela kaca gedung Lumora Tech ketika Mauryn melangkah masuk ke lobi utama. Biasanya, pagi-pagi begini hanya ada suara langkah sepatu formal dan sesekali tawa lelah dari para pegawai yang baru datang. Tapi pagi ini... ada yang berbeda. Suasana yang biasanya tenang kini terasa sesak. Sekumpulan orang berbaju formal, sebagian membawa kamera, berdiri di depan meja resepsionis. Suara mereka berbisik cepat, tangan menunjuk ke arah lift, dan wajah-wajah mereka menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Kecemasan. Kepanikan yang ditahan. Dia berjalan cepat menuju ruangannya. Ada sedikit masalah, tetapi Mauryn berharap itu bukan masalah besar dan tim keamanan bisa mengatasinya. Saat masuk ke dalam ruangan, dia bisa melihat Anton sedang berbincang dengan seorang wanita di ruangannya. Mauryn duduk di kursinya, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya. Tak lama kemudian, eorang staf wanita dari Tim HR datang ke ruangan Tim Product Development
Pintu apartemen terbuka pelan. Suara kunci diputar nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang masih menetes ringan di luar sana. Sepatu hak tinggi Mauryn menyentuh lantai kayu dengan langkah lesu. Tubuhnya lunglai. Kepala berdenyut. Perutnya terasa seperti dipelintir sejak siang. Dia hanya ingin meresap dalam diam, mengganti baju, lalu tenggelam dalam kasur.Namun yang menyambutnya justru bukan keheningan yang dia harapkan.Leona duduk di ujung sofa dengan tangan menyilang di dada, wajahnya kaku seperti batu karang. Tatapannya menusuk tajam, seperti bisa menembus seluruh kulit luar Mauryn dan melihat apa yang tersembunyi di dalam.Tessa berdiri di dekat jendela, tak kalah tenang tapi jelas-jelas menyimpan badai di balik tatapan matanya yang lembut."Baru pulang?" ucap Leona tanpa basa-basi, suaranya dingin, tajam, mengiris seperti belati.Mauryn berdiri mematung di ambang pintu, merasakan tengkuknya mulai dingin oleh hawa yang tiba-t
Mauryn dan orang-orang yang berada di tim gabungan, menyisir ulang akses dan log login. Satu nama muncul berulang—dengan pola waktu mencurigakan, lokasi yang sama, dan durasi login yang panjang dengan nama Luna Sasmita. Mauryn menahan napas. Luna. Pegawai baru yang hampir tak pernah bersuara di rapat. Yang masih terlihat canggung dan sering duduk paling pojok. Pegawai yang baru bekerja di Lumora Tech sejak masalah ini terjadi. Dan yang dulu ... bekerja sebagai SPG makanan beku di kantin basement kantor. "Dia masuk lewat jalur rekrutmen vendor," ucap Felix sambil menelusuri data HR. "Direkrut cepat karena katanya punya background teknik dari universitas luar negeri, tapi nggak pernah bisa diverifikasi penuh. Sulit bagi saya untuk menelusuri setiap karyawan baru, karena saya nggak langsung mewawancarai mereka." Mauryn merasa dadanya sesak. "Perangkat pribadinya?" tanya Sophia. "Udah di-clone tim forensic. Kami temukan pattern log mirip di ponselnya. Dan ... ada jejak komunikasi
Mauryn membuka laptopnya dengan tangan sedikit bergetar. Dia nyaris tidak tidur semalam. Di otaknya, log aktivitas aneh dan alamat IP dari co-working space itu terus berputar seperti kaset rusak. Dia tahu kalau ini benar-benar ulah orang luar, maka ini bukan sekadar insiden. Ini sudah level sabotase.Felix belum terlihat sejak pagi. Tapi tak lama setelah jam kantor dimulai, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, pesan dari Sophia Zhang."Meet me at Lab 7, 10 AM. Bring everything."***Satu jam kemudian, Mauryn berjalan cepat menuju lantai bawah tanah tempat ruang Lab 7 berada. Ruangan ini jarang dipakai, kecuali untuk riset mendalam yang melibatkan sistem keamanan canggih atau pengujian teknologi baru. Dinding-dindingnya dilapisi bahan kedap suara, dan hanya bisa diakses dengan sidik jari.Saat dia masuk, Sophia sudah duduk di depan tiga layar besar. Di belakangnya, layar hologram memproyeksikan arsitektur sistem logging Lumora Tech, berpijar dalam bayangan biru."Duduk," kata Sophia t
Mauryn keluar dari ruang periksa dengan langkah pelan, seperti mayat hidup. Dunia luar masih sama. Matahari menyelinap malu di balik awan, pepohonan bergetar pelan ditiup angin. Tapi semuanya terasa ... palsu. Di duduk di halte kecil di depan klinik, menyandarkan punggung ke dinding dan memejamkan mata. Tangan gemetar menyentuh perutnya. Belum ada tonjolan, belum ada bentuk. Tapi di sana—katanya—ada kehidupan. Ada makhluk kecil yang tumbuh, tanpa izin, tanpa permisi, di tengah hidup yang sedang porak-poranda. Mauryn ingin tertawa. Pahit. Lucu sekali nasib ini menertawakannya. Tuhan barangkali sedang iseng hari ini. Di mengingat Evan. Perselingkuhannya yang entah benar atau tidak. Kebohongannya. Betapa dia sempat berpikir, mungkin suatu hari mereka akan punya anak. Tapi bukan begini caranya. Dan Felix... Mauryn menggigit bibir bawahnya. Malam itu kabur. Dia mabuk. Terlalu mabuk. Dan ketika pagi datang, semuanya sudah terlambat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana memberitahunya
Mauryn pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Ini jelas masalah yang besar. Bahkan, PTSD Evan yang terjasi padanya lima tahun lalu kembali kambuh. Fakta bahwa seseorang dari dalam telah membuka pintu bagi peretas membuatnya gelisah. Ini bukan hanya tentang kelalaian, tapi pengkhianatan yang disengaja. Dan jika benar pelakunya adalah orang dalam, maka kemungkinan dia masih bebas berkeliaran di kantor, memantau setiap langkah mereka. Mauryn tahu dia tak bisa diam. Dia juga tahu, ini bukan waktunya untuk membuat keputusan gegabah. Di meja makan, Mauryn asyik melamun sembari mengaduk-aduk makanannya di atas piring. "Lo kenapa ngelamun gitu? Mikirin apa?" tanya Leona, saat melihat ada yang tak beres dengan sahabatnya. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Mauryn. Dia menghela napas berat. "Di kantor lagi ada masalah besar. Data pelanggan diretas dan situasi bener-bener kacau. PTSD Evan sampai kambuh gara-gara masalah ini. Udah lima tahun sejak terakhir kali dia kayak gini." "Maksud lo?
Di sisi lain, di ruangan berbeda, salah satu teknisi keamanan siber tiba-tiba berdiri dengan wajah pucat."Pak Evan, kami menemukan sesuatu," katanya dengan suara bergetar.Evan berjalan mendekat dengan cepat. "Apa?"Teknisi itu menelan ludah sebelum menunjuk layar komputernya. "Serangan ini ... tidak berasal dari luar."Hening seketika.Evan mendekat. "Maksud kamu?"Teknisi itu menoleh ke arah semua orang di ruangan. "Serangan ini datang dari dalam. Dari seseorang di kantor kita sendiri."Sunyi. Begitu sunyi hingga dentingan halus dari lampu neon yang bergetar di langit-langit terasa seperti dentuman. Tidak ada suara selain napas tertahan dan denyut ketegangan yang memenuhi ruangan.Evan berdiri di depan layar komputer, tubuhnya membeku seperti patung marmer. Kata-kata teknisi tadi terus terulang di kepalanya seperti gema yang menghantam dinding tanpa henti.Serangan ini datang dari dalam.Mat
Jam masih menunjukkan pukul delapan ketika Mauryn melangkah masuk ke ruang rapat kecil lantai 22, tempat yang biasanya dipakai untuk review sprint mingguan Tim IT & Security. Tapi pagi ini, ruangan itu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang, sebagian besar mengenakan hoodie bertuliskan "CyberSec" dan ekspresi mata yang belum tidur semalaman. Di ujung meja, Evan berdiri dengan laptop terbuka, mengangguk pelan begitu melihat Mauryn masuk. "Thanks udah datang tepat waktu," katanya, suara datarnya hanya sedikit lebih hangat dibanding AC yang menggigilkan ruangan. "Kita mulai." Mauryn duduk di sisi kanan meja, membuka laptopnya sendiri, mencoba tidak terganggu oleh tatapan sinis beberapa teknisi yang bahkan tidak berusaha menyembunyikan ketidakpercayaannya padanya. "Seperti yang kalian tau," Evan memulai, "Tiga puluh tujuh jam terakhir adalah mimpi buruk. Sistem kita kebobolan. Akses data sensitif terekam dalam skala yang belum pernah terjadi. Pihak legal sedang menyiapkan pernyataan untuk in
Siang harinya, setelah beberapa kali pertemuan singkat dengan tim pengembang dan bagian legal, Mauryn kembali ke ruangannya sendiri. Di hadapannya, laptop menyala dengan daftar nama pengguna yang tercatat dalam log akses sistem pada jam kejadian. Matanya bergerak cepat menelusuri baris-baris nama, kebanyakan akrab: anggota tim engineering, QA, bahkan beberapa dari tim marketing yang pernah diberi akses untuk demo produk. Tapi satu nama membuatnya berhenti. Satu baris, dengan timestamp mencurigakan: 03.42 AM. Itu adalah waktu ketika tidak ada aktivitas terjadwal apa pun. Dan nama itu adalah ... seseorang dari timnya sendiri. "Nadine ...," bisiknya pelan, hampir tidak percaya. Dia menatap layar lebih lama, berharap log itu salah. Atau ada glitch. Tapi tidak. Aksesnya valid. Permintaan datanya terekam dengan jelas. Bahkan IP yang digunakan adalah IP internal dari jaringan kantor. Mauryn meneguk napas dalam-dalam. Dia mengenal Nadine. Sejak bergabung dengan Lumora Tech enam bulan l
Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela kaca gedung Lumora Tech ketika Mauryn melangkah masuk ke lobi utama. Biasanya, pagi-pagi begini hanya ada suara langkah sepatu formal dan sesekali tawa lelah dari para pegawai yang baru datang. Tapi pagi ini... ada yang berbeda. Suasana yang biasanya tenang kini terasa sesak. Sekumpulan orang berbaju formal, sebagian membawa kamera, berdiri di depan meja resepsionis. Suara mereka berbisik cepat, tangan menunjuk ke arah lift, dan wajah-wajah mereka menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Kecemasan. Kepanikan yang ditahan. Dia berjalan cepat menuju ruangannya. Ada sedikit masalah, tetapi Mauryn berharap itu bukan masalah besar dan tim keamanan bisa mengatasinya. Saat masuk ke dalam ruangan, dia bisa melihat Anton sedang berbincang dengan seorang wanita di ruangannya. Mauryn duduk di kursinya, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya. Tak lama kemudian, eorang staf wanita dari Tim HR datang ke ruangan Tim Product Development