Saat menunggu jadwal film mereka diputar, Mauryn dan Felix duduk di kafetaria yang ada di bioskop itu sembari menikmati popcorn dan kopi. Awalnya semua berjalan biasa saja. Obrolan ringan tentang pekerjaan, dilm, dan hal-hal sepele lainnya mengisi waktu mereka. Tapi, seperti takdir bermain-main, mata Mauryn tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing baginya. Evan. Bersama Freya. Seakan waktu melambat, mata mereka betemu sesaat. Alih-alih merasa bersalah atau canggung, Evan justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia tak pernah menyakuti Mauryn. Seolah-olah, mereka tidak memiliki sejarah panjang yang berakhir dengan pengkhianatan. Mauryn langsung merasa mual. Dia sudah cukup menjatuhkan air mata tadi siang. Tapi malam ini? Tidak lagi. Biar bagaimanapun, dia masih memiliki yang namanya harga diri. Jika Evan bisa hidup bahagia setelah mencampakkannya, maka dia juga bisa. Dia menegakkan punggungnya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum kecil sebelum menoleh ke Felix.
Mauryn terdiam selama beberapa saat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Namun, dia rasa juga harus bercerita agar bisa sedikit menghilangkan beban pikirannya.Wanita itu tersenyum pahit lalu menatap nanar ke depan."Dia potong rambut, dan saya baru melihat kemeja itu. Itu artinya dia pergi ke salon untuk memotong rambutnya dengan model yang lagi trend belakangan ini. Lalu dia juga mencoba kemeja itu di depan cermin ... selagi saya seperti ini." Mauryn menarik napas berat. "Saya akui saya kalah. Saya cuma seorang pecundang. Ini menggelikan, kan?""Nggak ada menang atau kalah dalam hubungan," ucap Felix."Kenapa nggak? Bahkan kenangan pun cuma untuk pemenang. Saat dia memikirkan saya, dia berpikir bahwa saya adalah perempuan yang pernah dia cintai. Cuma itu. Tapi saya justru akan sangat kacau, dan Bapak juga udah liat, kan?"Felix menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, sedikit tidak setuju dengan opini Mauryn. "Kalo memang kamu kalah, terus kenapa? Harusnya kamu berpikir biarpun kamu ka
Setelah malam yang panjang, suasana pagi di kantor Lumora Tech masih terasa berat. Kurang tidur dan tekanan tinggi mulai mempengaruhi anggota tim. Mauryn menyesap kopi dinginnya—entah sudah berapa cangkir yang dia minum sejak semalam—sambil menatap jadwal kerja yang semakin padat di layar laptopnya. Email-email berisi eskalasi terus berdatangan, dan tekanan dari pelanggan semakin meningkat.Nadine datang dengan ekspresi lelah, matanya sedikit bengkak. "Saya barusan dapat email dari CloudWave," katanya pelan. "Mereka mempertimbangkan opsi lain kalau kita nggak bisa kasih kepastian minggu ini."Jantung Mauryn berdegup lebih cepat. "Kita bahkan belum mulai uji coba sistemnya! Kalau mereka cabut, dampaknya akan gila-gilaan."Di sudut ruangan, Daffa dan tim teknis sudah mulai mengeluh. Beberapa dari mereka terpaksa mengorbankan akhir pekan demi mengejar timeline yang tidak realistis."Ini nggak bisa diteruskan seperti ini, Bu Mauryn," kata Daffa dengan nada serius. "Tim kita udah mulai kel
Suasana rapat kali ini terasa lebih panas dari rapat sebelumnya yang dilaksanakan tiga jam yang lalu, meskipun pendingin ruangan bekerja maksimal. Suasana tegang sejak rapat sebelumnya masih menggantung di udara. Tim Product Development, Tim Software Engineering, dan Tim Marketing kini duduk melingkar di ruang meeting yang lebih kecil. Tidak ada suara selain ketukan jari di keyboard dan desahan napas berat.Mauryn duduk dengan tangan terlipat di depan dada, mengamati dokumen proyeksi di layar besar. Di sampingnya, Nadine sibuk mengetik catatan diskusi, sementara Daffa terlihat frustasi, meremas botol minumnya."Bagaimana kalau kita coba pilot project? Kita bisa uji teknologi baru dalam skala kecil dulu, sambil tetap memastikan fitur utama yang diminta CloudWave bisa berjalan." Mauryn mencoba untuk memberikan solusi yang paling masuk akal saat ini.Daffa mengernyit. "Kamu maksud MVP dengan limited user?""Exactly," jawab Sophia. "Kalau kita bisa tunjukkan progres dan hasil awal dalam b
Mauryn menampar wajah Evan. Dia sudah tak tahan lagi mendengar kata-kata kejam yang terus-menerus menusuk hatinya."Maaf," ucapnya lirih setelah menyadari apa yang baru saja dia lakukan. "Evan ...."Evan tak menanggapinya. Tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan masuk ke dalam apartemennya, meninggalkan Mauryn yang berdiri di depan lobi dengan air mata mengalir deras.Mauryn melangkah gontai ke bangku di depan gedung apartemen dan duduk di sana. Sesak di dadanya terasa semakin berat dia menunduk, mencoba meredakan tangisnya, tetapi tak lama kemudian, dia merasakan kehadiran seseorang.Saat mendongak, dia melihat Felix berdiri di hadapannya. Mata pria itu menatapnya dengan iba, merasa kasihan pada Mauryn.Jika saja dahulu dia tidak menyerah, apakah jalan ceritanya akan berbeda? Setidaknya dia tahu bahwa dia tidak akan menyakiti Mauryn dan membuatnya hancur seperti ini, pikir Felix.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Felix segera duduk di samping wanita itu. Namun, Mauryn juga tidak
Keesokan harinya, hujan deras mengguyur pagi yang tertutup oleh langit kelabu. Awan mendung menggantung berat, seolah mencerminkan perasaan yang berkecamuk di dalam hati Mauryn. Saat dia keluar dari mobilnya, langkahnya tertahan sesaat ketika melihat Freya di parkiran. Namun, wanita itu tetap berada di dalam mobilnya, dan Mauryn memilih untuk mengabaikannya.Tanpa memedulikan dinginnya udara pagi, dia membuka payung dan berjalan cepat menuju gedung kantor, membelah hujan yang tak memberi ampun. Namun, dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tak asing—Evan baru saja tiba.Hati Mauryn mencelos saat melihat laki-laki itu berjalan menuju mobil Freya. Dengan gerakan yang begitu familiar, Evan membuka payungnya dan melindungi wanita itu dari hujan. Satu pemandangan sederhana yang mampu menorehkan luka yang lebih dalam di hatinya.Perih. Itu yang Mauryn rasakan. Tadi malam, dia datang pada Evan dalam keadaan mabuk, berharap ada sisa rasa yang masih bisa dia genggam, memohon dan memelas b
"Sekarang aku ngerti kenapa kamu kayak gitu. Oke, aku nggak akan memohon buat kembali sama kamu lagi. Silakan dapatkan semua perempuan yang mau kamu pacari. Aku nggak akan ganggu kamu lagi," ucap Mauryn, menatap Evan yang berdiri di depannya saat mereka sudah tiba di taman kantor. Nada suaramya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Evan menyilangkan tangan di dadanya, matanya menyipit menatap Mauryn. "Kamu ngajak aku ke sini cuma buat ngasih tau itu?" Dia menyeringai tipis. "Tapi ... belum lama sejak kita putus tapi kamu udah dekat-dekat sama CEO perusahaan ini? Kamu menempel sama dia kayak lem. Semoga dia nggak muak dan nggak merasa tertekan sama sikap kamu."Mauryn memutar bola matanya seolah mendengar lelucon basi. "Emangnya dia itu kamu? Dia sama sekali beda sama kamu. Dia nggak pernah merasa nggak nyaman dengan kehadiran aku. Dan mungkin kamu lupa, dia kan pernah naksir aku. Aku ini emang bego malah milih laki-laki nggak tau diri dibanding membersamai laki-laki mapan itu. Harusnya
Dua hari kemudian, tim kembali berkumpul untuk mengulas data dari hasil pilot project."Jadi, berita baiknya, sistem kita cukup stabil untuk dilanjutkan. Berita buruknya... kita menemukan beberapa celah keamanan yang bisa menjadi masalah besar," kata Daffa.Sophia meletakkan dokumen di meja. "We need to fix this before the report is sent to CloudWave."Mauryn mengerutkan kening. "Seberapa besar risikonya?"Daffa menunjuk ke layar. "Jika hacker cukup pintar, mereka bisa mengeksploitasi titik lemah ini dan mengakses data pengguna."Ruangan menjadi sunyi. Ancaman keamanan adalah masalah serius.Felix mengetuk jarinya ke meja. "Prioritaskan ini. Kita tidak bisa memberikan CloudWave alasan untuk menarik diri."Mauryn merasakan tekanan di dadanya meningkat. Waktu semakin menipis, dan tantangan semakin besar.Di luar, hujan mulai turun, menambah atmosfer tegang yang melingkupi tim.Mauryn pergi menuju pantry untuk membuat kopi. Secangkir kopi yang bertengger di tangannya entah kenapa membuat
Felix menunjuk tim darurat dalam hitungan menit. Di tak ragu menarik orang-orang yang dianggapnya paling bisa diandalkan."Sophia, kamu bertanggung jawab atas teknis. Tim engineering harus bekerja cepat untuk mengidentifikasi celah keamanan. Nolan, pastikan tim marketing mengelola komunikasi publik agar kita tidak kehilangan kepercayaan pelanggan. Evan, kamu dan tim keamanan siber harus segera mencari tahu sumber serangan ini."Mauryn duduk diam di kursinya yang diapit oleh Anton dan Saskia, mengamati dengan seksama. Dia sudah bisa menebak tanggung jawabnya, dan benar saja—Felix menatap langsung ke arahnya."Mauryn, kamu masuk ke komite darurat juga. Kita butuh perwakilan dari Product Development."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Evan, yang duduk di seberangnya, mengangkat alis. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit meremehkan. "Serangan ini menyasar sistem keamanan, bukan produk."Mauryn menegang. Semua mata beralih ke arahnya, menunggu reaksinya.Felix bersedekap. "
Pagi itu dimulai seperti biasa—atau setidaknya begitu yang dipikirkan Mauryn. Ia sedang menyesap kopi di meja kerjanya, menikmati aroma hangat yang sedikit memberi ketenangan sebelum hari kerja dimulai. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik. Layar laptopnya tiba-tiba membeku. Garis-garis aneh muncul, diikuti suara notifikasi bertubi-tubi dari rekan-rekan satu lantainya.Ia menoleh ke arah Bima dan Nadine, yang tampak sama bingungnya."Kenapa sistem MindFlow malah nge-freeze?" gumam Nadine, mencoba me-refresh layar.Tak sampai satu menit, kekacauan meledak.Monitor di ruang meeting menampilkan peringatan merah mencolok: "Unauthorized Access Detected. Security Breach Ongoing."Seluruh ruangan langsung gempar. Beberapa karyawan berdiri dari kursi mereka, sementara yang lain panik menekan tombol keyboard dan mengutak-atik layar sentuh perangkat mereka. Alarm pelanggaran keamanan berbunyi dari divisi IT."Serangan siber!" seru seseorang dari ujung ruangan.Nadi Mauryn berd
Evan yang pergi ke toilet tak sengaja menemukan jepit rambut milik Mauryn yang terjatuh. Dia mengenali jepit rambut itu, lalu membuka bilik di depannya yang ternyata tak terkunci. Saat pintu bilik terbuka, dia melihat Mauryn dan Felix, berdiri berhadapan di dalam sana.Dua orang itu menatap terkejut ke arahnya, seakan tak kalah terkejutnya dengan dirinya.Evan berdecih ringan. "Kalian ngapain?"Mauryn ternganga, kehilangan kata-kata. Sementara itu, Felix ingin menjadi garda terdepan melindunginya."Kamu sendiri?" tanya Felix dengan wajah datar.Kening Evan berkerut. "Apa?""Kenapa kamu membuka pintunya?"Mauryn mengambil tas miliknya, lalu memakainya. Dia memandang sinis pada Evan. "Minggir sana. Aku harus ganti baju.""Apa? Ganti baju? Di sini? Sama dia?"Mauryn melirik pada Felix, lalu menatap Evan sambil melotot. "Dasar gila. Kamu mikir apa, sih?" Dia beralih pada Felix. "Pak Feli, Bapak juga keluar deh. Kalian ini kenapa?"Karena dua pria itu masih bergeming di tempatnya, justru M
Sorak-sorai masih menggema di area festival ketika rangkaian acara perlahan mencapai puncaknya. Panggung besar dihiasi dengan layar LED raksasa yang menampilkan berbagai visual dinamis. Lampu sorot menari di udara, menerangi kerumunan karyawan yang berkumpul menikmati suasana. Mauryn menarik napas lega, mengendurkan bahu setelah penampilannya di atas panggung."Sekarang kita memasuki sesi penghargaan yang paling ditunggu-tunggu!" Suara pembawa acara menggema, menarik perhatian seluruh hadirin. "Mari kita mulai dengan penghargaan bagi mereka yang telah memberikan kontribusi luar biasa selama setahun terakhir!"Para karyawan mulai berbisik, mencoba menebak siapa yang akan membawa pulang penghargaan bergengsi."Dan pemenang Best Employee of The Year adalah ... Sophia Zhang!"Mauryn tersenyum kecil saat melihat mentornya berjalan anggun ke atas panggung. Sophia menerima piala dengan ekspresi tenang namun penuh kebanggaan."Terima kasih kepada
Mauryn meneguk minumannya dengan gelisah, berharap Anton berhenti membujuknya untuk mengikuti kontes bernyanyi. Sejak tadi, sang CPO tidak menyerah, terus menyodorkan alasan demi alasan agar Mauryn bersedia naik ke panggung mewakili divisi mereka."Mauryn, ini bukan sekadar kompetisi," Anton berkata lagi dengan nada penuh harap. "Ini tentang kebanggaan tim! Dan kita butuh seseorang dengan suara yang benar-benar bisa diandalkan!""Bapak terlalu melebih-lebihkan," Mauryn menghela napas. "Suara siapa pun pasti cukup bagus buat acara santai kayak gini.""Nggak, nggak!" Nadine menyela dengan semangat. "Suara kita semua nggak ada yang sebagus punya Mbak! Saya kalo nyanyi lebih mirip ayam tercekik!"Bima tertawa. "Kalau saya lebih mirip radio rusak! Kalo kita benar-benar pengen menang, satu-satunya harapan kita ya Mbak Mauryn."Mauryn menggeleng cepat. "Saya tetap nggak mau. Cari orang lain saja.""Ayolah, Beb," Saskia kini ikut bersuara, menyilangkan tangan di dada. "Kamu ini Senior Product
Mauryn dan rekan kerja wanita yang lain berdiri di dekat wajan saat para pria sibuk mengaduk masakan yang mereka buat.Saat para pria sibuk mengaduk wajan besar, Anton, laki-laki yang mengenakan kemeja kotak-kotak mendekati Mauryn dan berdiri di sebelahnya. Dia adalah CPO (Chief Product Officer) yang memimpin divisi produk."Hei, Mbak Mauryn," sapanya."Iya?""Kalo mau membantu di sini, kenapa nggak ikut lomba nyanyi aja buat nanti malam?""Lomba nyanyi?"Anton mengangguk. "Kamu kan jago nyanyi."Mauryn menepuk tangannya. "Benar juga. Saya salah satu kontestan buat lomba itu, kan?""Ya begitulah. Saya kira divisi kita yang kecil ini akhirnya punya perwakilan di lomba nyanyi waktu saya jadi CPO, tapi kamu selalu menolak."Saat para pria selesai mengaduk masakan, tak sengaja masakan di dalam wajan itu terciprat ke baju para wanita yang berdiri di sekitarnya. Para wanita itu pun mengamuk karena pakaian mereka kotor, lalu segera pergi untuk menggantinya.Sementara itu, Mauryn masih berdir
Langit pagi cerah dengan angin sepoi-sepoi yang menambah semarak Lumora Tech Anniversary Festival. Area outdoor yang luas sudah dihias dengan ornamen bertema Retro Party—lampu-lampu neon, poster warna-warni, dan panggung besar di tengah lapangan. Musik klasik era '80-an diputar, menciptakan suasana nostalgia yang unik.Mauryn melangkah ke area registrasi dengan semangat. Festival seperti ini adalah acara yang sulit ditolak—bukan hanya karena suasananya yang meriah, tetapi juga kesempatan langka unthk melupakan beban pekerjaan.Di meja registrasi, Nadine dan Bima sudah lebih dulu mengambil goodie bag mereka."Saya penasaran siapa yang kepikiran buat tema ini," gumam Bima sambil memeriksa isi tas kecil yang diberikan panitia. "Kita kayak disuruh cosplay jadi orang tua kita.""Jangan komplain," sela Nadine. "Seenggaknya kita nggak harus pakai wig afro."Mauryn tersenyum tipis dan menerima goodie bag serta kartu nama kecil yang disebut sebagai alat interaktif untuk permainan networking. D
Mauryn terbangun dari tidurnya dengan kepala berat. Dia mengerang beberapa kali sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ini pertama kalinya dia bangun tanpa memikirkan Evan setelah sekian lama.Namun, bukan itu masalahnya. Kejadian tadi malam tiba-tiba menghampiri benaknya. Kejadian yang jauh lebih memalukan dibanding dia menghabiskan malam yang bergairah dengan Felix.Saat mengingat apa yang dia lakukan tadi malam, napas Mauryn tercekat. Matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar."Aku pasti gila," gumamnya. "Aku pasti gila!"Dia menenggelamkan wajahnya di balik selimut, tidak sanggup untuk menghadapi wajah Felix di kantor hari ini. Kenapa semua hal memalukan harus terjadi di hadapan bosnya itu?Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk merutuki kebodohannya, Mauryn turun dari tempat tidur menuju ruang makan. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja dan dia segera bergabung dengan Leona yang juga sudah rapi dengan seragam olahraganya. Ya, wanita itu memiliki bisnis gymnasium, juga
Angin malam berhembus pelan, menyapu rambut Mauryn yang sedikit acak-acakan setelah keluar dari bar. Langkahnya sempoyongan, tiga botol bir yang dia habiskan mulai menunjukkan efeknya. Matanya berkilat-kilat, pipinya bersemu merah, dan bibirnya melengkung dalam senyum yang terlalu santai.Di belakangnya, Felix berjalan dengan tenang, matanya terus mengawasi setiap langkah wanita itu. Sesekali, laki-laki itu tersenyum melihat Mauryn yang kesulitan menyeimbangkan tubuhnya."Dia bilang bir itu minuman ringan? Aku tertipu lagi," gumam Felix, setengah pasrah.Mauryn yang awalnya berjalan dengan langkah konsisten, tiba-tiba berlari saat melihat sebuah bus yang sedang berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari mereka. Tanpa berpikir panjang, Mauryn mengejar bus itu dan bersiap untuk naik."Bapak ngapain? Ayo cepat naik! Bapak nggak mau pulang?" serunya sanbil melambai heboh ke arah Felix.Felix membeku sejenak, lalu menatap bus yang mulai menut