Mauryn tidak langsung pulang setelah jam kerja berakhir. Hari ini terlalu melelahkan, terlalu banyak drama, dan dia butuh pelarian.
Bagaimana tidak? Sepanjang hari, Mauryn seperti bermain petak umpet dengan Felix. Setiap kali dia mendengar langkah kaki di lorong, dia langsung menghindar. Setiap kali ada yang mengetuk pintu ruangannya, dia memastikan dulu dari jendela kaca sebelum membuka. Bahkan, surel yang dikirim Felix padanya pun sama sekali tak digubris. Hingga akhirnya, dia berhasil melewati satu hari itu tanpa bertemu Felix hingga dia pulang. Mauryn sudah membuat janji untuk menongkrong di kafe bersama Leona dan Tessa, tetapi Leona tidak bisa datang. Begitu tiba di kafe, Mauryn langsung melihat Tessa sudah duduk di meja pojok dengan dua gelas kopi di depannya. "Gue tau lo pasti butuh ini," kata Tessa sambil mendorong salah satu gelas ke arah Mauryn. "Makasih, ya. Lo emang penyelamat gue deh." Mauryn menyesap kopinya sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Hari ini ... benar-benar mimpi buruk tau nggak." Tessa menatapnya dengan penuh minat. "Emang ada apa, sih? Ceritakan semuanya." Mauryn menyandarkan punggungnya dan mulai berbicara. "Lo udah tahu kalo gue ketemu Felix di kelab malam, kan?" "Yaiyalah gue udah tau. Kan lo yang cerita. Lo mabuk, curhat ke dia, terus bangun di sebelahnya." Mauryn mengerang. "Tolong jangan diulang. Gue masih trauma." Tessa terkekeh. "Terus apa lagi? Apa dia menghubungi lo setelah itu?" Mauryn mengambil napas dalam-dalam. "Bukan cuma itu, Tes. Lo nggak akan percaya siapa CEO baru di perusahaan tempat gue kerja." Tessa mengangkat alis. "Siapa?" "Felix." Tessa terbatuk. "Tunggu. Apa?" "Felix. Felix Nathaniel Mahardika. Felix yang sama yang gue tolak mentah-mentah di kampus. Felix yang tidur sama gue. Felix yang sekarang jadi bos gue." Tessa menatapnya dengan mata membelalak. "Oh. My. God." Mauryn mengangguk pasrah. "Reaksi gue juga begitu waktu melihat tadi di aula." Tessa menutupi mulutnya, menahan tawa. "Tunggu ... jadi lo sekarang harus bekerja sama Felix setiap hari? Setelah apa yang terjadi di antara kalian?" Mauryn mengangguk lemah. "Gue nggak tau apa ini kutukan atau karma." Tessa akhirnya tidak bisa menahan tawanya. "Leona pasti bakal ketawa terbahak-bahak kalo mendengar ini. Gue nggak sabar ngeliat reaksinya." Mauryn tersenyum menyeringai. "Lo yakin? Sekretaris Felix yang selalu ke mana-mana sama dia itu mantannya Leona loh." Mata Tessa terbelalak. "Maksud lo, si Kayden? Yang dulu bela-belain ikut komunitas dance kampus gara-gara disuruh sama Leona?" Mauryn mengangguk pasti. "Kayaknya sampai sekarang dia belum bisa move on dari Leona." "Emang kayaknya mereka tuh masing saling cinta sebenarnya. Tapi entah kenapa malah putus tiba-tiba." "Tau tuh Leona. Walaupun agak cupu dikit, emang apa kurangnya sih si Kayden itu? Leona sampai sekarang juga masih gamon, kan? Gue penasaran banget alasan apa yang bikin dia mutusin Kayden." Tessa pun hanya mengendikkan bahunya karena dia juga tidak tahu. Setiap dia dan Mauryn membahas mengenai hubungan Leona dan Kayden, Leona selalu saja mengalihkan pembicaraan. Hal itu bisa membuat mereka mengerti bahwa Leona tidak ingin membahasnya. "Gimana hubungan lo sama Evan?" tanya Tessa. Mauryn terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Gue masih bingung." "Lo belum mutusin dia?" "Belum." "Gue masih nggak habis pikir kenapa sih ada perempuan yang mau jadi selingkuhan?" Mauryn tersenyum miring. "Lo tau nggak apa kesamaan Hugh Grant, Jude Law, sama Ethan Hawke? Mereka sama-sama tukang selingkuh. Kenapa para laki-laki sukses itu menyelingkuhi istri mereka yang nyaris sempurna? Karena perempuan-perempuan semacam itu selalu ada. Mereka nggak punya pendirian, jadi gampang ditangani, dan mereka tampak rela melakukan apa pun. Freya cocok banget sama deskripsi itu. Jadi nggak heran deh." "Terus, apa yang bakal lo lakukan setelah semua ini? Lo masih bingung buat mutusin dia atau nggak?" "Apa yang bisa gue lakuin? Setelah semua yang kami lalui, gimana bisa kami putus? Kalo dia bingung soal menikah dan bikin satu kesalahan bodoh, gue bisa membiarkan itu." Tessa menatapnya tajam. "Mauryn, lo tau dia bajingan, kan?" Mauryn tersenyum pahit. "Gue tau. Tapi ... gue juga tau kalo gue masih terlalu pengecut buat mengakhiri ini." Tessa menghela napas. "Lo harus tegas, Ryn. Jangan biarin diri lo tersakiti lebih lama." *** Evan datang ke bar milik Arhan, suami Tessa. Arhan pun mengajak Evan untuk pergi ke ruang tempat biasa mereka berbincang. "Ada apa?" tanya Arhan yang kini sudah duduk di hadapan Evan. Evan melirik ke sekelilingnya. "Tessa gimana?" "Emangnya Tessa kenapa?" "Dia nggak ngomong apa-apa sama lo?" "Ngomong apa?" Evan menghela napas panjang. "Ada apa, sih?" tanya Arhan. Evan memegangi pelipisnya. Dia terlihat sangat frustasi. Dan seharian ini, dia sudah dengan susah payah menghindari Mauryn di kantor karena tidak ingin urusan pribadi di antara mereka akan berimbas pada pekerjaan. Terlebih lagi, Felix, seniornya yang pernah menyukai Mauryn dulu kini menjadi CEO baru di perusahaan. "Gue butuh minuman," ucap Evan. Sementara itu, Mauryn dan Tessa juga sedang dalam perjalanan menuju bar yang sama karena mereka sepakat untuk menyesap beberapa gelas wiski. Tessa sudah meminta agar mereka pergi ke tempat lain, tetapi Mauryn bersikeras untuk minum di bar Arhan saja. Dan saat mereka tiba di depan bar, mereka melihat satu unit mobil yang tak asing terparkir di sana. "Kayaknya Evan ada di sini," celetuk Tessa. Mauryn memperhatikan mobil itu dengan saksama lalu berdecih. "Setelah melakukan semua itu, dia berani ke sini." "Terus gimana? Kita ke tempat lain?" "Emangnya kenapa? Ayo masuk. Kayaknya dia merencanakan strategi sama Arhan. Gue pengen tau apa yang mereka rencanakan." Mereka berdua pun segera masuk ke dalam bar. Namun, tak sengaja mendengar percakapan Evan dan Arhan. Mauryn dan Tessa langsung berhenti di tempat. "Wah, sial! Mauryn melihat itu? Gimana bisa lo tertangkap basah kayak gitu? Kalo itu terjadi sama gue-- nggak. Gue bahkan nggak mau mikirin itu." Mendengar suara Arhan yang menanyakan itu pada Evan, jantung Mauryn mulai berdegup kencang. Dia dan Tessa saling berpandangan, lalu berjalan mendekat ke arah pintu ruangan tempat dua pria itu berada. "Ngomong-ngomong, sejak kapan lo mulai memacari dia? Apa kalian ... udah bercinta? Apa cuma sekali itu aja? Ah gue yakin pasti udah sih. Lo nggak bisa ngomong apa pun," lanjut Arhan. "Itu--" Kata-kata Evan langsung dipotong oleh Arhan. "Nggak, jangan. Jangan kasih tau itu. Tessa bakal menanyai gue nanti. Gue nggak bisa nyimpan rahasia." Mauryn dan Tessa masih menguping pembicaraan mereka dari balik pintu. "Terus apa yang Mauryn bilang?" tanya Arhan. "Gue berusaha menghubungi dia, tapi nggak diangkat. Dia mungkin pengen gue memohon," ucap Evan dengan kepala tertunduk dalam. "Terus kenapa lo di sini? Sana pergi minta maaf dan berbaikan. Dari pengalaman gue, waktu lo menunda itu, lo harus menghadapi hal yang lebih berat." "Kalo kami baikan, gue mungkin harus nikahin dia." Dari balik pintu, Mauryn tertegun mendengarnya. "Maksud lo apa? Lo udah beli cincin," ucap Arhan. "Iya, gue emang berniat buat nikahin dia. Gue bisa aja nikahin dia. Tapi ... sekarang lebih jelas setelah apa yang terjadi. Dengan Mauryn, pernikahan itu nggak mungkin," ucap Evan. Mauryn merasakan hatinya mencelos. Sementara Tessa yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menutup mulut saking syoknya."Maaf tanpa penyesalan hanyalah jeda sebelum luka yang lebih dalam." *** "Maksud lo apa? Nggak ada cinta lagi? Lo nggak berdebar-debar lagi waktu bersama dia? Itu wajar. Gimana mungkin lo selalu berdebar-debar tanpa penyakit? Gue juga udah lama nggak berdebar-debar karena Tessa," ucap Arhan dengan suara yang terdengar setengah bercanda, tetapi juga setengah serius. Evan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap gelas di depannya. "Gue berdebar-debar saat berpikir bakal nikahin dia. Waktu gue bangun di pagi hari, Mauryn akan ada di rumah, sambil memegang segelas jus yang entah terbuat dari apa. Waktu gue pulang kerja, Mauryn bakal ada di rumah, sambil mengeluh tentang harinya lalu nyuruh gue mandi." "Yaiyalah. Itu alasan kebanyakan orang menikah. Selalu bersama saat weekend, hari raya, dan liburan. Selalu bareng 24 jam, 365 hari. Makan, tidur, dan melakukan semuanya sama-sama." Arhan meneguk minumannya. Kepala Evan menggeleng pelan, seakan ada beban besar yang menindih
"Kadang yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan adalah kehilangan penghargaan akan semua yang telah diperjuangkan."***Peristiwa yang terjadi tadi malam membuat tubuh Mauryn drop hingga terpaksa dia tidak bisa masuk kerja hari ini.Setelah mendengar Evan mengatakan hal-hal menyakitkan tentangnya tadi malam, dia merasa seperti kehilangan energi. Demamnya mencapai 40 derajat yang membuatnya hampir opname di rumah sakit, tetapi dia menolaknya dan memilih untuk diinfus di rumah saja. Jantungnya sakit, perutnya mual, bahkan untuk menelan makanan pun terasa sulit.Leona, yang sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya, dengan sigap mengambil alih segala yang dibutuhkan oleh Mauryn."Minum ini dulu, Ryn," kata Leona, menyodorkan segelas air putih.Mauryn menatap gelas itu dengan mata sayu. "Gue nggak haus.""Lo mau mati? Jangan bodoh."Leona memang bukan tipe yang lembut dalam berbicara, tapi dia tahu kapan harus menjadi sahabat yang baik. Dia membantu Mauryn duduk dengan hati-hati, lalu
"Kamu tau bukan kayak gitu. Terlepas dari dia, kita udah--""Kita kenapa? Apa? Kita udah punya masalah? Itu alasan kamu melakukan ini? Itu cuma hal yang mau kamu percayai. Meskipun seseorang udah mau mati, kalo kamu membunuh dia, tetap aja itu namanya pembunuhan. Meskipun kita punya masalah, kamu mengakhiri itu dengan buruk. Jadi, hentikan omong kosong itu!"Nada suara Mauryn meninggi, membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dia merintih, memegang sisi kepalanya yang terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat.Sementara itu, Evan tetap diam dengan wajah penuh kejengkelan yang dia tahan."Oke. Aku nggak bisa bilang kalo aku nggak tau sama sekali. Sikap kamu jadi dingin, aku jadi lebih gelisah. Aku juga sadar akan hal itu. Biarpun begitu, aku berusaha lebih keras. Karena itu semuanya menjadi lebih baik. Tapi kamu merusak semuanya." Mauryn menatapnya dengan mata penuh luka tak terlihat.Evan menghela napas, dia semakin lelah menghadapi Mauryn. "Berusaha itu bukan cinta.""Cinta? Apa hu
Pagi ini, sinar matahari menembus jendela taksi yang dinaiki Mauryn, memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang madih menyiratkan sisa-sisa kelelahan. Kepalanya bersandar pada kaca, matanya kosong menatap jalanan Jakarta yang ramai, tetapi pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sama sekali berbeda. Sesekali, dia menghela napas panjang, seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran yanh terus menghantuinya sejak tadi malam.Terlebih lagi, dia tidak tahu bagaimana bisa bersikap jika tak sengaja berpapasan dengan Evan di kantor. Itu akan menjadi suasana yang sangat canggung bagi mereka setelah hubungan yang berakhir dengan cara yang rendahan dan penuh drama.Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Bayangan Evan dengan senyum andalannya, yang dulu selalu berhasil membuatnya luluh, kini hanya meninggalkan perasaan pahit."Harusnya aku nggak usah khawatir. Emangnya kenapa kalo ketemu? Aku cuma harus berusaha move on sekarang dan buktiin kalo aku bisa bahagia meskipun tanpa dia," gumam Mauryn
Suara dering telepon dan notifikasi pesan bersahut-sahutan memenuhi ruangan open space, terkhusus Tim Product Development yang berada di bawah Divisi Product Lumora Tech. Monitor-monitor menyala dengan tab-tab penuh grafik dan dokumen, sementara para karyawan tampak sibuk menelepon, mengetik, atau berdiskusi dengan ekspresi tegang. Mauryn, selaku Senior Product Manager 1 baru saja meletakkan tasnya di meja ketika Nadine, Head of Product Development, bergegas menghampiri. "Mbak Mauryn! Klien besar kita, CloudWave, minta fitur baru di platform mereka diluncurkan dalam waktu tiga minggu! Mereka bilang kalo kita nggak bisa penuhi, mereka akan pertimbangkan pindah ke vendor lain!" Nadine hampir kehabisan napas saat mengatakannya. Mauryn membeku sejenak. Tiga minggu? Mustahil. Fitur yang diminta CloudWave, yaitu integrasi otomatis data pengguna lintas platform dengan tingkat keamanan tinggi, masih dalam tahap awal pengembangan. "Tiga minggu?! Mereka pikir kita punya tongkat sihir apa?!" M
Seakan tidak memberi kesempatan bagi Mauryn untuk bernapas sebentar saja, Felix menghampiri Mauryn yang sedang asyik menyantap makan siang di kantin kantor. Kebetulan, wanita itu sedang duduk sendiri.Saat menyadari kedatangan seseorang, Mauryn hanya menatapnya tanpa berkata apa pun sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya."Nggak enak kalau makan sendiri," ucap Felix, bersiap menyuap makanannya."Saya nggak makan sendirian." Mauryn melirik ke belakang, tepat saat Saskia dan Nadine berjalan membawa nampan makanan menuju ke arah mejanya, menggerutu karena pelayanan makan siang sangat lalai.Felix menyadari kehadiran mereka, sedikir canggung tetapi tetap mempertahankan sikapnya."Bukan kamu, tapi saya," ucapnya pada akhirnya.Dia kenapa, sih? Nggak bisa biarin aku tenang sehari aja, batin Mauryn.Saskia dan Nadine bergabung dengan mereka dengan ekspresi bingung. Bagaimana mungkin Mauryn sudah akrab dengan CEO baru mereka? Dan yang elbih aneh, untuk apa seorang CEO mekilih makan
Mauryn memandangnya dengan tatapan waspada. "Maksud Bapak apa?"Felix menyeringai kecil. "Kamu bilang, dulu, waktu kita masih kuliah ... kamu pernah suka sama saya."Mendengar itu, jantung Mauryn langsung berhenti satu detik."Saya—apa?""Ya," kata Felix santai. "Saya nggak tau apa kamu masih ingat. Tapi kamu mengatakan itu dengan cukup jelas malam itu."Mauryn terdiam. "Itu ... saya pasti lagi mengigau."Jujur, dia tidak ingat pernah mengatakan hal semacam itu.Felix tetawa pelan. "Mungkin." Lalu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya merendah. "Atau mungkin nggak."Mauryn berusaha keras mengingat apa benar dia mengatakan itu dengan gelisah. Apa benar dia memang mengatakannya? Jika iya, semuanya telah kacau.Namun, di tengah situasi yang menegangkan bagi Mauryn itu, seseorang datang membuyarkannya."Pak Felix!"Mauryn dan Felix langsung menoleh ke sumber suara. Seorang staf dengan pakaian ketat yang memperlihatkan tubuh seksinya, kancing bajunya sengaja dibuka sedi
Saat menunggu jadwal film mereka diputar, Mauryn dan Felix duduk di kafetaria yang ada di bioskop itu sembari menikmati popcorn dan kopi. Awalnya semua berjalan biasa saja. Obrolan ringan tentang pekerjaan, dilm, dan hal-hal sepele lainnya mengisi waktu mereka. Tapi, seperti takdir bermain-main, mata Mauryn tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing baginya. Evan. Bersama Freya. Seakan waktu melambat, mata mereka betemu sesaat. Alih-alih merasa bersalah atau canggung, Evan justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia tak pernah menyakuti Mauryn. Seolah-olah, mereka tidak memiliki sejarah panjang yang berakhir dengan pengkhianatan. Mauryn langsung merasa mual. Dia sudah cukup menjatuhkan air mata tadi siang. Tapi malam ini? Tidak lagi. Biar bagaimanapun, dia masih memiliki yang namanya harga diri. Jika Evan bisa hidup bahagia setelah mencampakkannya, maka dia juga bisa. Dia menegakkan punggungnya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum kecil sebelum menoleh ke Felix.
Pintu apartemen terbuka pelan. Suara kunci diputar nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang masih menetes ringan di luar sana. Sepatu hak tinggi Mauryn menyentuh lantai kayu dengan langkah lesu. Tubuhnya lunglai. Kepala berdenyut. Perutnya terasa seperti dipelintir sejak siang. Dia hanya ingin meresap dalam diam, mengganti baju, lalu tenggelam dalam kasur.Namun yang menyambutnya justru bukan keheningan yang dia harapkan.Leona duduk di ujung sofa dengan tangan menyilang di dada, wajahnya kaku seperti batu karang. Tatapannya menusuk tajam, seperti bisa menembus seluruh kulit luar Mauryn dan melihat apa yang tersembunyi di dalam.Tessa berdiri di dekat jendela, tak kalah tenang tapi jelas-jelas menyimpan badai di balik tatapan matanya yang lembut."Baru pulang?" ucap Leona tanpa basa-basi, suaranya dingin, tajam, mengiris seperti belati.Mauryn berdiri mematung di ambang pintu, merasakan tengkuknya mulai dingin oleh hawa yang tiba-t
Mauryn dan orang-orang yang berada di tim gabungan, menyisir ulang akses dan log login. Satu nama muncul berulang—dengan pola waktu mencurigakan, lokasi yang sama, dan durasi login yang panjang dengan nama Luna Sasmita. Mauryn menahan napas. Luna. Pegawai baru yang hampir tak pernah bersuara di rapat. Yang masih terlihat canggung dan sering duduk paling pojok. Pegawai yang baru bekerja di Lumora Tech sejak masalah ini terjadi. Dan yang dulu ... bekerja sebagai SPG makanan beku di kantin basement kantor. "Dia masuk lewat jalur rekrutmen vendor," ucap Felix sambil menelusuri data HR. "Direkrut cepat karena katanya punya background teknik dari universitas luar negeri, tapi nggak pernah bisa diverifikasi penuh. Sulit bagi saya untuk menelusuri setiap karyawan baru, karena saya nggak langsung mewawancarai mereka." Mauryn merasa dadanya sesak. "Perangkat pribadinya?" tanya Sophia. "Udah di-clone tim forensic. Kami temukan pattern log mirip di ponselnya. Dan ... ada jejak komunikasi
Mauryn membuka laptopnya dengan tangan sedikit bergetar. Dia nyaris tidak tidur semalam. Di otaknya, log aktivitas aneh dan alamat IP dari co-working space itu terus berputar seperti kaset rusak. Dia tahu kalau ini benar-benar ulah orang luar, maka ini bukan sekadar insiden. Ini sudah level sabotase.Felix belum terlihat sejak pagi. Tapi tak lama setelah jam kantor dimulai, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, pesan dari Sophia Zhang."Meet me at Lab 7, 10 AM. Bring everything."***Satu jam kemudian, Mauryn berjalan cepat menuju lantai bawah tanah tempat ruang Lab 7 berada. Ruangan ini jarang dipakai, kecuali untuk riset mendalam yang melibatkan sistem keamanan canggih atau pengujian teknologi baru. Dinding-dindingnya dilapisi bahan kedap suara, dan hanya bisa diakses dengan sidik jari.Saat dia masuk, Sophia sudah duduk di depan tiga layar besar. Di belakangnya, layar hologram memproyeksikan arsitektur sistem logging Lumora Tech, berpijar dalam bayangan biru."Duduk," kata Sophia t
Mauryn keluar dari ruang periksa dengan langkah pelan, seperti mayat hidup. Dunia luar masih sama. Matahari menyelinap malu di balik awan, pepohonan bergetar pelan ditiup angin. Tapi semuanya terasa ... palsu. Di duduk di halte kecil di depan klinik, menyandarkan punggung ke dinding dan memejamkan mata. Tangan gemetar menyentuh perutnya. Belum ada tonjolan, belum ada bentuk. Tapi di sana—katanya—ada kehidupan. Ada makhluk kecil yang tumbuh, tanpa izin, tanpa permisi, di tengah hidup yang sedang porak-poranda. Mauryn ingin tertawa. Pahit. Lucu sekali nasib ini menertawakannya. Tuhan barangkali sedang iseng hari ini. Di mengingat Evan. Perselingkuhannya yang entah benar atau tidak. Kebohongannya. Betapa dia sempat berpikir, mungkin suatu hari mereka akan punya anak. Tapi bukan begini caranya. Dan Felix... Mauryn menggigit bibir bawahnya. Malam itu kabur. Dia mabuk. Terlalu mabuk. Dan ketika pagi datang, semuanya sudah terlambat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana memberitahunya
Mauryn pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Ini jelas masalah yang besar. Bahkan, PTSD Evan yang terjasi padanya lima tahun lalu kembali kambuh. Fakta bahwa seseorang dari dalam telah membuka pintu bagi peretas membuatnya gelisah. Ini bukan hanya tentang kelalaian, tapi pengkhianatan yang disengaja. Dan jika benar pelakunya adalah orang dalam, maka kemungkinan dia masih bebas berkeliaran di kantor, memantau setiap langkah mereka. Mauryn tahu dia tak bisa diam. Dia juga tahu, ini bukan waktunya untuk membuat keputusan gegabah. Di meja makan, Mauryn asyik melamun sembari mengaduk-aduk makanannya di atas piring. "Lo kenapa ngelamun gitu? Mikirin apa?" tanya Leona, saat melihat ada yang tak beres dengan sahabatnya. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Mauryn. Dia menghela napas berat. "Di kantor lagi ada masalah besar. Data pelanggan diretas dan situasi bener-bener kacau. PTSD Evan sampai kambuh gara-gara masalah ini. Udah lima tahun sejak terakhir kali dia kayak gini." "Maksud lo?
Di sisi lain, di ruangan berbeda, salah satu teknisi keamanan siber tiba-tiba berdiri dengan wajah pucat."Pak Evan, kami menemukan sesuatu," katanya dengan suara bergetar.Evan berjalan mendekat dengan cepat. "Apa?"Teknisi itu menelan ludah sebelum menunjuk layar komputernya. "Serangan ini ... tidak berasal dari luar."Hening seketika.Evan mendekat. "Maksud kamu?"Teknisi itu menoleh ke arah semua orang di ruangan. "Serangan ini datang dari dalam. Dari seseorang di kantor kita sendiri."Sunyi. Begitu sunyi hingga dentingan halus dari lampu neon yang bergetar di langit-langit terasa seperti dentuman. Tidak ada suara selain napas tertahan dan denyut ketegangan yang memenuhi ruangan.Evan berdiri di depan layar komputer, tubuhnya membeku seperti patung marmer. Kata-kata teknisi tadi terus terulang di kepalanya seperti gema yang menghantam dinding tanpa henti.Serangan ini datang dari dalam.Mat
Jam masih menunjukkan pukul delapan ketika Mauryn melangkah masuk ke ruang rapat kecil lantai 22, tempat yang biasanya dipakai untuk review sprint mingguan Tim IT & Security. Tapi pagi ini, ruangan itu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang, sebagian besar mengenakan hoodie bertuliskan "CyberSec" dan ekspresi mata yang belum tidur semalaman. Di ujung meja, Evan berdiri dengan laptop terbuka, mengangguk pelan begitu melihat Mauryn masuk. "Thanks udah datang tepat waktu," katanya, suara datarnya hanya sedikit lebih hangat dibanding AC yang menggigilkan ruangan. "Kita mulai." Mauryn duduk di sisi kanan meja, membuka laptopnya sendiri, mencoba tidak terganggu oleh tatapan sinis beberapa teknisi yang bahkan tidak berusaha menyembunyikan ketidakpercayaannya padanya. "Seperti yang kalian tau," Evan memulai, "Tiga puluh tujuh jam terakhir adalah mimpi buruk. Sistem kita kebobolan. Akses data sensitif terekam dalam skala yang belum pernah terjadi. Pihak legal sedang menyiapkan pernyataan untuk in
Siang harinya, setelah beberapa kali pertemuan singkat dengan tim pengembang dan bagian legal, Mauryn kembali ke ruangannya sendiri. Di hadapannya, laptop menyala dengan daftar nama pengguna yang tercatat dalam log akses sistem pada jam kejadian. Matanya bergerak cepat menelusuri baris-baris nama, kebanyakan akrab: anggota tim engineering, QA, bahkan beberapa dari tim marketing yang pernah diberi akses untuk demo produk. Tapi satu nama membuatnya berhenti. Satu baris, dengan timestamp mencurigakan: 03.42 AM. Itu adalah waktu ketika tidak ada aktivitas terjadwal apa pun. Dan nama itu adalah ... seseorang dari timnya sendiri. "Nadine ...," bisiknya pelan, hampir tidak percaya. Dia menatap layar lebih lama, berharap log itu salah. Atau ada glitch. Tapi tidak. Aksesnya valid. Permintaan datanya terekam dengan jelas. Bahkan IP yang digunakan adalah IP internal dari jaringan kantor. Mauryn meneguk napas dalam-dalam. Dia mengenal Nadine. Sejak bergabung dengan Lumora Tech enam bulan l
Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela kaca gedung Lumora Tech ketika Mauryn melangkah masuk ke lobi utama. Biasanya, pagi-pagi begini hanya ada suara langkah sepatu formal dan sesekali tawa lelah dari para pegawai yang baru datang. Tapi pagi ini... ada yang berbeda. Suasana yang biasanya tenang kini terasa sesak. Sekumpulan orang berbaju formal, sebagian membawa kamera, berdiri di depan meja resepsionis. Suara mereka berbisik cepat, tangan menunjuk ke arah lift, dan wajah-wajah mereka menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Kecemasan. Kepanikan yang ditahan. Dia berjalan cepat menuju ruangannya. Ada sedikit masalah, tetapi Mauryn berharap itu bukan masalah besar dan tim keamanan bisa mengatasinya. Saat masuk ke dalam ruangan, dia bisa melihat Anton sedang berbincang dengan seorang wanita di ruangannya. Mauryn duduk di kursinya, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya. Tak lama kemudian, eorang staf wanita dari Tim HR datang ke ruangan Tim Product Development