"Kadang, kita harus lewat jalan yang paling tidak terduga untuk menemukan kenyataan yang paling menyakitkan." – Mauryn Alexandra Devina
*** Sebelumnya, Mauryn pulang ke rumah dalam keadaan kacau dan disambut oleh kepanikan dua sahabatnya, Leona dan Tessa. Setelah menceritakan apa yang terjadi, sesuai harapan, Leona yang memiliki tempramen tinggi langsung bersiap untuk membocorkan kepala Evan. Namun, semua berubah saat dia menceritakan bahwa dia menjalani one night stand dengan seseorang yang sangat tidak terduga. Felix, yang dulu merupakan senior kampus mereka bertiga. Dua sahabat Mauryn langsung mengejeknya, mengatakan betapa mereka mengingat bagaimana dulu Mauryn menolak pria itu saat tiba-tiba saja dia mengajak Mauryn berpacaran. Meskipun begitu, bercerita pada Leona dan Tessa bisa menekan rasa khawatir dan sedih yang masih melanda hati Mauryn saat ini. Yang jelas, itu adalah 24 jam paling kacau yang pernah terjadi dalam hidupnya. Setelah sedikit tenang, dia memutuskan untuk pergi keluar sendirian. Dia butuh udara segar untuk menenangkan hatinya. Dia berjalan-jalan di pusat kota, masuk ke beberapa toko, dan bahkan membeli beberapa barang yang tidak terlalu penting-hanya karena dia merasa perlu membeli sesuatu. Saat itulah Mauryn menyadari bahwa langit tidak runtuh, dan semua yang ada di bumi masih ada. Dunia masih sama seperti kemarin. Dan satu-satunya yang berubah adalah dia. Saat sedang melihat-lihat sepatu di butik, seorang pegawai toko mendekatinya dengan senyum profesional. "Lagi mencari sesuatu yang spesifik, Mbak?" Mauryn hanya tersenyum. "Nggak, cuma liat-liat." Dia akhirnya membeli sepasang sepatu hak tinggi yang sama sekali tidak dia butuhkan. Tapi setidaknya, menggesek kartu kredit untuk mendapatkan poin sedikit mengalihkan pikirannya dari kekacauan hidupnya. Setelah beberapa jam berjalan-jalan, dia akhirnya duduk di sebuah kafe, menatap ke luar jendela. Hatinya masih terasa gelisah. Dia merasa kecewa dan frustasi dalam waktu bersamaan. Perselingkuhan Evan masih menusuknya seperti duri yang belum bisa dicabut. Dan kejadian dengan Felix? Itu masih terlalu absurd untuk dia cerna. Mauryn menghembuskan napas panjang. "Apa aku akan bisa melewati ini?" Dia tidak tahu jawabannya. Lalu, waktu seperti berlalu begitu saja. Hari sudah gelap dan Mauryn berjalan sendirian di antara toko-toko dengan tatapan nanar tanpa menyadari orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Tiba-tiba saja, kilas balik mengenai pengkhianatan Evan kembali terlintas dalam benaknya hanya karena dia mendengar sebuah musik yang menjadi musik favoritnya dan Evan mengalun di salah satu cafe yang ada di sana. Mata Mauryn mulai memanas, air mata telah menggenang di pelupuk matanya tanpa dia sadari. Lalu, kenangan bersama Evan terus berputar di kepalanya. Cukup untuk sekedar menghancurkan kembali perasaannya. "Bedebah," lirihnya sebelum akhirnya dia terduduk begitu saja karena kakinya tiba-tiba melemah. Dia menangis sejadi-jadinya di tempat itu tanpa menghiraukan tatapan aneh orang-orang kepadanya. Setelah cukup lama dia berdiam diri di sana, dengan susah payah Mauryn kembali berdiri lalu masuk ke dalam mobil yang berbaris di antara para taksi. Dengan sesegukan, dia memberitahu alamat rumahnya pada sang sopir lalu setelah itu asyik menangis sembari menutup wajahnya sendiri. Namun, yang di dalam mobil itu bukanlah sopir. Mobil yang dia naiki pun bukan taksi. Itu adalah Felix dan mobilnya. Felix yang saat ini menatap Mauryn dengan kebingungan. Tetapi sebelum dia sempat mencerna apa yang terjadi pada Mauryn, taksi di belakangnya membunyikan klakson pertanda dia harus segera menjalankan mobilnya. Mau tidak mau, Felix pun segera pergi membelah jalanan Jakarta dengan ditemani isak tangis Mauryn di sepanjang perjalanan. Untuk mengatasi situasi canggung itu, Felix memutuskan untuk menyalakan musik agar suara tangisan Mauryn tidak terlalu terdengar, tetapi isak tangis itu justru beradu dengan suara musik yang dia putar. Sementara itu, Mauryn sama sekali tak menyadari siapa yang bersamanya saat ini karena lebih memilih untuk melihat ke jendela mobil. Tak lama kemudian, mereka pun tiba di depan rumah Mauryn. "Kita sudah sampai," ucap Felix. Dengan tangis yang masih sesegukan, Mauryn membuka dompetnya lalu memberikan salah satu kartunya pada Felix tanpa sama sekali melirik ke arahnya. Felix mengambil kartu itu dengan bingung, memperhatikannya, lalu mengembalikannya pada Mauryn. Setelah itu, Mauryn pun segera keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Mauryn pergi menuju dapur lalu mengambil beberapa kaleng bir dan menenggaknya. Hingga tak tahu sudah berapa kaleng bir yang dia minum saat ini, bicaranya mulai melantur. "Tuhan nggak pernah ngasih penderitaan melebihi kemampuan manusia. Bukannya itu luar biasa? Gue ini pasti dianggap sebagai an amazing bitch. Oh my gosh! You're overestimating me! Aku nggak bisa menangani cobaan seberat ini." Mauryn yang mabuk berat meraba kaleng-kaleng bir di atas meja. Sedangkan, dua sahabatnya yaitu Leona dan Tessa hanya duduk sembari memperhatikan kegiatan wanita itu. "Eh habis? Biar gue ambil lagi." Mauryn berdiri dari duduknya dengan sempoyongan lalu berjalan susah payah menuju kulkas. Melihat itu, Tessa yang mulai jengah pun buka suara. "Bir kita udah habis loh, Ryn." "Lagian gue juga nggak mau," sahut Leona. Langkah kaki Mauryn terhenti. "Kalo gitu, kita minum wine aja," ucapnya dengan sumringah. Dia berlari dengan setengah berjinjit, lalu mengambil sebotol wine yang tertata rapi di atas meja. Namun, suasana hatinya langsung berubah 180 derajat setelah melihat pot bunga di atas meja itu. Tolong bicara yang baik sama aku. Mauryn membaca tulisan yang tertempel pada pot bunga itu, sesaat kemudian dia kembali meledak-ledak. "Bicara yang baik? Gimana bisa? Semuanya hancur! Kamu pengen aku bicara baik-baik? Kamu salah, tapi nggak mau disalahin? Kamu pikir seseorang akan menghibur kamu? Sadar, dong. Di dunia yang dingin dan keras ini, nggak ada seorang pun yang berada di pihak kamu! Orang-orang menunggu kehancuran kamu. Orang-orang senang kamu sengsara!" Mauryn mengomel pada pot bunga itu dengan suara nyaring. Leona dan Tessa tak sanggup lagi menghadapinya, mereka berdua langsung berdiri dari duduknya. "Ayo kita bawa dia ke tempat tidur," ucap Leona. Mereka terus membujuk agar Mauryn mau dibawa ke kamar meski wanita itu terus berusaha untuk menghindar dan menolak. Tapi Leona dan Tessa tahu bahwa Mauryn yang seperti ini tak bisa dibiarkan. Meskipun harus setengah diseret, mereka harus tetap membawa Mauryn ke kamar. Mereka memahami bahwa saat ini Mauryn berada di titik terendah hidupnya. Diselingkuhi oleh orang yang sudah dia pacari selama hampir 12 tahun sama sekali bukan hal yang mudah dan itu sangat sulit untuk bisa diterima. Rasa sakitnya pasti tak tertahankan. Wajar jika Mauryn sampai menjadi seperti sekarang ini."Sebelas tahun cinta bisa runtuh dalam hitungan detik. Dan yang lebih ironis, orang yang dulu tak sengaja kupermalukan justru menjadi saksi kejatuhanku." -Mauryn Alexandra Devina***Di pagi hari yang cukup cerah ini, Mauryn berjalan dengan langkah gontai dari parkiran menuju kantor yang jaraknya lumayan jauh dengan kepala berat. Bukan hanya karena heels-nya yang kebesaran setengah ukuran—meskipun itu juga berkontribusi pada penderitaannya pagi ini—tetapi karena isi kepalanya yang masih berkabut oleh kejadian semalam.Dia menemukan kekasih yang sudah dia pacari selama sebelas tahun telah berselingkuh darinya. Lalu, ada satu insiden yang terjadi bersama seseorang dengan nama tak terduga.Felix Nathaniel Mahardika.Felix yang dulu pernah dia tolak dengan alasan paling konyol seumur hidupnya. Felix yang semalam entah bagaimana bisa terlibat dalam malam tergelapnya. Dia menghabiskan seluruh harinya dengan memikirkan masalah itu.Mauryn masih belum mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi
Mauryn tidak langsung pulang setelah jam kerja berakhir. Hari ini terlalu melelahkan, terlalu banyak drama, dan dia butuh pelarian.Bagaimana tidak? Sepanjang hari, Mauryn seperti bermain petak umpet dengan Felix. Setiap kali dia mendengar langkah kaki di lorong, dia langsung menghindar. Setiap kali ada yang mengetuk pintu ruangannya, dia memastikan dulu dari jendela kaca sebelum membuka. Bahkan, surel yang dikirim Felix padanya pun sama sekali tak digubris. Hingga akhirnya, dia berhasil melewati satu hari itu tanpa bertemu Felix hingga dia pulang.Mauryn sudah membuat janji untuk menongkrong di kafe bersama Leona dan Tessa, tetapi Leona tidak bisa datang.Begitu tiba di kafe, Mauryn langsung melihat Tessa sudah duduk di meja pojok dengan dua gelas kopi di depannya."Gue tau lo pasti butuh ini," kata Tessa sambil mendorong salah satu gelas ke arah Mauryn."Makasih, ya. Lo emang penyelamat gue deh."Mauryn menyesap kopinya sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Hari ini ... benar-be
"Kepercayaan itu rapuh, seperti kaca. Sekali retak, meski diperbaiki, bekasnya akan selalu ada." ***Mauryn Alexandra Devina berjalan di koridor apartemen menuju unit milik Evan, kekasihnya, dengan langkah yang riang, sembari membayangkan betapa romantisnya malam yang akan dia lalui bersama Evan. Semua beban di dalam kepalanya seakan lenyap saat mengingat bahwa dia punya seseorang untuk pulang, kekasih yang sudah dia pacari selama 11 tahun sejak mereka masih kuliah.Senyum sumringah mengembang di bibirnya saat dia tiba di depan pintu apartemen. Dia memasukkan sandi pada kunci pintu otomatis, lalu masuk ke dalam apartemen itu dengan berjalan mundur."Sayang, coba tebak apa yang aku siapin buat kita malam ini. Surprise!" Senyum di wajah Mauryn langsung luntur ketika dia membalikkan badan dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Evan di sofa.Laki-laki itu sedang bercumbu penuh gairah dengan seorang wanita yang wajahnya terlindung dari pandangan Mauryn.Mauryn berdiri mematung di temp
"Di tengah kekacauan, sering kali takdir bekerja dengan caranya sendiri untuk menyambung kembali cerita yang pernah terputus."***Langit malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Mauryn berjalan tanpa arah di trotoar yang sepi, udara dingin menusuk kulitnya meskipun dia telah mengenakan blazer dengan bahan tebal. Langkahnya tidak stabil. Bukan karena mabuk, tetapi karena beban pikiran yang mengaburkan pikirannya. Bayangan Evan dan wanita itu di sofa terus menghantui pikirannya, berputar seperti film yang diputar ulang tanpa henti."Sial! Kenapa semuanya harus terjadi malam ini, sih?" Mauryn menggerutu, mencoba mengabaikan rasa sakit di dadanya. Sabtu malam yang terasa begitu mengerikan.Dia berhenti di depan sebuah kelab malam dengan papan neon berwarna biru dan merah yang berkedip-kedip. Nama tempat itu, Eclipse, bersinar terang seperti memanggilnya untuk masuk. Mauryn tidak pernah menjadi orang yang suka menghabiskan malam di tempat seperti ini, tetapi malam ini berbeda. Dia butu
Mauryn tidak langsung pulang setelah jam kerja berakhir. Hari ini terlalu melelahkan, terlalu banyak drama, dan dia butuh pelarian.Bagaimana tidak? Sepanjang hari, Mauryn seperti bermain petak umpet dengan Felix. Setiap kali dia mendengar langkah kaki di lorong, dia langsung menghindar. Setiap kali ada yang mengetuk pintu ruangannya, dia memastikan dulu dari jendela kaca sebelum membuka. Bahkan, surel yang dikirim Felix padanya pun sama sekali tak digubris. Hingga akhirnya, dia berhasil melewati satu hari itu tanpa bertemu Felix hingga dia pulang.Mauryn sudah membuat janji untuk menongkrong di kafe bersama Leona dan Tessa, tetapi Leona tidak bisa datang.Begitu tiba di kafe, Mauryn langsung melihat Tessa sudah duduk di meja pojok dengan dua gelas kopi di depannya."Gue tau lo pasti butuh ini," kata Tessa sambil mendorong salah satu gelas ke arah Mauryn."Makasih, ya. Lo emang penyelamat gue deh."Mauryn menyesap kopinya sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Hari ini ... benar-be
"Sebelas tahun cinta bisa runtuh dalam hitungan detik. Dan yang lebih ironis, orang yang dulu tak sengaja kupermalukan justru menjadi saksi kejatuhanku." -Mauryn Alexandra Devina***Di pagi hari yang cukup cerah ini, Mauryn berjalan dengan langkah gontai dari parkiran menuju kantor yang jaraknya lumayan jauh dengan kepala berat. Bukan hanya karena heels-nya yang kebesaran setengah ukuran—meskipun itu juga berkontribusi pada penderitaannya pagi ini—tetapi karena isi kepalanya yang masih berkabut oleh kejadian semalam.Dia menemukan kekasih yang sudah dia pacari selama sebelas tahun telah berselingkuh darinya. Lalu, ada satu insiden yang terjadi bersama seseorang dengan nama tak terduga.Felix Nathaniel Mahardika.Felix yang dulu pernah dia tolak dengan alasan paling konyol seumur hidupnya. Felix yang semalam entah bagaimana bisa terlibat dalam malam tergelapnya. Dia menghabiskan seluruh harinya dengan memikirkan masalah itu.Mauryn masih belum mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi
"Kadang, kita harus lewat jalan yang paling tidak terduga untuk menemukan kenyataan yang paling menyakitkan." – Mauryn Alexandra Devina *** Sebelumnya, Mauryn pulang ke rumah dalam keadaan kacau dan disambut oleh kepanikan dua sahabatnya, Leona dan Tessa. Setelah menceritakan apa yang terjadi, sesuai harapan, Leona yang memiliki tempramen tinggi langsung bersiap untuk membocorkan kepala Evan.Namun, semua berubah saat dia menceritakan bahwa dia menjalani one night stand dengan seseorang yang sangat tidak terduga.Felix, yang dulu merupakan senior kampus mereka bertiga.Dua sahabat Mauryn langsung mengejeknya, mengatakan betapa mereka mengingat bagaimana dulu Mauryn menolak pria itu saat tiba-tiba saja dia mengajak Mauryn berpacaran.Meskipun begitu, bercerita pada Leona dan Tessa bisa menekan rasa khawatir dan sedih yang masih melanda hati Mauryn saat ini. Yang jelas, itu adalah 24 jam paling kacau yang pernah terjadi dalam hidupnya.Setelah sedikit tenang, dia memutuskan untuk perg
"Di tengah kekacauan, sering kali takdir bekerja dengan caranya sendiri untuk menyambung kembali cerita yang pernah terputus."***Langit malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Mauryn berjalan tanpa arah di trotoar yang sepi, udara dingin menusuk kulitnya meskipun dia telah mengenakan blazer dengan bahan tebal. Langkahnya tidak stabil. Bukan karena mabuk, tetapi karena beban pikiran yang mengaburkan pikirannya. Bayangan Evan dan wanita itu di sofa terus menghantui pikirannya, berputar seperti film yang diputar ulang tanpa henti."Sial! Kenapa semuanya harus terjadi malam ini, sih?" Mauryn menggerutu, mencoba mengabaikan rasa sakit di dadanya. Sabtu malam yang terasa begitu mengerikan.Dia berhenti di depan sebuah kelab malam dengan papan neon berwarna biru dan merah yang berkedip-kedip. Nama tempat itu, Eclipse, bersinar terang seperti memanggilnya untuk masuk. Mauryn tidak pernah menjadi orang yang suka menghabiskan malam di tempat seperti ini, tetapi malam ini berbeda. Dia butu
"Kepercayaan itu rapuh, seperti kaca. Sekali retak, meski diperbaiki, bekasnya akan selalu ada." ***Mauryn Alexandra Devina berjalan di koridor apartemen menuju unit milik Evan, kekasihnya, dengan langkah yang riang, sembari membayangkan betapa romantisnya malam yang akan dia lalui bersama Evan. Semua beban di dalam kepalanya seakan lenyap saat mengingat bahwa dia punya seseorang untuk pulang, kekasih yang sudah dia pacari selama 11 tahun sejak mereka masih kuliah.Senyum sumringah mengembang di bibirnya saat dia tiba di depan pintu apartemen. Dia memasukkan sandi pada kunci pintu otomatis, lalu masuk ke dalam apartemen itu dengan berjalan mundur."Sayang, coba tebak apa yang aku siapin buat kita malam ini. Surprise!" Senyum di wajah Mauryn langsung luntur ketika dia membalikkan badan dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Evan di sofa.Laki-laki itu sedang bercumbu penuh gairah dengan seorang wanita yang wajahnya terlindung dari pandangan Mauryn.Mauryn berdiri mematung di temp