Darah mengalir di lantai marmer Vila Wijaya. Seorang pria berseragam pelayan tergeletak dengan mata terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya masih mencengkeram sebuah amplop hitam yang kini berlumuran darah.
Di sudut ruangan, seorang bocah laki-laki berusia empat tahun duduk diam di atas ranjang. Matanya yang hitam pekat menatap kosong ke jendela, tangannya erat menggenggam boneka kayu yang mulai lusuh. Namanya Arka Wijaya. Di luar kamar, perdebatan sengit pecah di antara anggota keluarga. "Dia tetap anak dari darah Wijaya!" suara seorang pria muda menggema. "Dia bukan bagian dari keluarga ini!" sahut suara berat seorang pria tua dengan penuh otoritas. Pria tua itu adalah Darma Wijaya, kepala keluarga yang keras dan tanpa belas kasihan. "Jangan bodoh, Wisnu!" bentaknya pada pria muda itu. "Anak itu hanya akan membawa kehancuran bagi kita! Jika dia tumbuh dewasa, dia akan menjadi ancaman bagi keluarga ini!" Wisnu Wijaya, kakak tiri Arka, mengepalkan tinjunya. "Dia adik kandungku." Darma mendengus. "Dan kau adalah pewaris sejati keluarga ini. Tidak ada tempat untuk dia." Malam itu, keputusan dibuat. Arka akan dihapus dari sejarah keluarga. RAHASIA DI BALIK MALAM GELAP Jauh dari gemerlap pesta, di tengah hutan sunyi, seorang pria berjubah hitam berdiri dengan tangan bersilang. Guna, seorang ahli seni bela diri, pengobatan, dan kultivasi, menatap tajam ke arah pelayan yang membawa seorang bocah kecil dalam gendongannya. Pelayan itu menyerahkan Arka dengan tangan gemetar. "Bawa dia pergi... sebelum mereka berubah pikiran." Arka tidak menangis. Ia hanya menatap pria asing itu dengan mata polos. Guna berlutut, menepuk bahunya. "Mulai sekarang, kau akan hidup denganku." Dalam keheningan malam, Arka dibawa pergi, tanpa pernah menyadari bahwa darah yang mengalir di tubuhnya adalah bagian dari garis keturunan penuh ambisi dan pengkhianatan. LIMA BELAS TAHUN KEMUDIAN Petir menyambar langit gelap, menerangi hutan lebat di balik gunung. Di bawah derasnya hujan, seorang pemuda berdiri di tengah hutan dengan mata terpejam. Napasnya teratur. Tenang seperti air, kokoh seperti batu karang. Tiba-tiba, ia menggerakkan tangannya dengan cepat. Dalam sekejap, udara di sekelilingnya bergetar, menciptakan pusaran energi yang membuat daun-daun beterbangan. Sebuah batu besar di depannya meledak berkeping-keping. Dari kejauhan, Guna menyaksikan dengan tatapan puas. "Kau sudah menguasai dasar-dasarnya." Arka membuka matanya. "Aku masih belum cukup cepat." Guna terkekeh. "Jangan terburu-buru. Kekuasaan sejati bukan tentang kecepatan, tapi tentang pengendalian." Selama lima belas tahun, Arka tumbuh di bawah bimbingan Guna dan keluarganya—keturunan dari Klan Naga Langit, garis keturunan kuno yang menghilang dari dunia luar. Di desa tersembunyi itu, Arka belajar seni bela diri yang tak bisa ditemukan di mana pun. Ia menguasai teknik yang membuat tubuhnya secepat angin dan sekuat baja. Ia juga belajar seni kultivasi, teknik yang memungkinkan seseorang memperkuat tubuh dan pikirannya melampaui batas manusia biasa. Namun, meskipun tubuhnya kuat, hatinya penuh pertanyaan. "Guru," kata Arka suatu hari. "Siapa aku sebenarnya?" Guna terdiam sesaat. Sudah lama ia menunggu pertanyaan itu. "Sudah waktunya kau tahu," katanya akhirnya. Arka menatapnya penuh perhatian. "Kau adalah anak dari keluarga Wijaya," lanjut Guna. "Salah satu keluarga paling berpengaruh di negeri ini. Namun, karena perselisihan di antara mereka, kau dibuang dan dihapus dari sejarah keluarga." Arka mengernyit. Nama itu asing, tapi terasa familiar. "Aku membesarkanmu di sini karena itu adalah takdirmu," lanjut Guna. "Namun, dunia yang dulu membuangmu kini berada dalam bahaya. Keluarga yang pernah melupakanmu… mungkin akan mencarimu." Arka mengepalkan tinjunya. Selama ini, ia hanya ingin hidup tenang. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa masa lalunya belum selesai. "Jadi, mereka membuangku," gumamnya. Guna mengangguk. "Dan sekarang, kau punya pilihan. Tetap di sini, atau kembali menghadapi mereka." Arka terdiam lama. Namun sebelum ia bisa menjawab, sebuah ledakan terdengar dari arah desa! Guna menoleh cepat. "Itu dari kuil utama!" Arka langsung berlari, diikuti oleh Guna. Saat mereka tiba di desa, api sudah membakar beberapa rumah. Dari balik asap, sosok berjubah hitam muncul, membawa pedang merah berkilauan. "Di mana dia?" suara serak terdengar. Seorang lelaki tua dari desa gemetar. "S-siapa?" Orang berjubah itu tersenyum miring. "Anak yang seharusnya mati lima belas tahun lalu." Arka mengepalkan tangannya. Mereka datang mencarinya. Dari kejauhan, suara kuda mendekat. Lebih banyak musuh sedang datang. Guna menyempitkan matanya. "Arka, dengarkan aku. Jika mereka menginginkanmu... itu berarti kau lebih penting dari yang kita duga." Arka menarik napas panjang, matanya penuh tekad. "Aku tidak akan lari lagi." Namun, ia belum tahu bahwa di balik semua ini, seseorang dari keluarga Wijaya telah mengkhianatinya sejak awal.Petir menyambar di kejauhan, menyinari langit malam yang kelam. Di tepi tebing yang curam, Arka berdiri tegap, menatap hamparan hutan lebat di bawahnya. Angin malam bertiup kencang, mengibarkan jubahnya dan membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Hatinya bergolak. Semesta seolah memberikan pertanda bahwa perjalanannya baru saja dimulai. “Kenapa sekarang?” gumamnya, matanya menerawang ke dalam kegelapan. Suara langkah kaki mendekat dari belakang. Guna, sang guru, berdiri di sana dengan mata tajam yang menyiratkan kebijaksanaan dan rahasia yang belum terungkap. “Bukan soal kapan,” kata Guna dengan suara berat. “Tapi soal takdir.” Arka menoleh, menatap gurunya dengan penuh tanda tanya. “Takdir?” Guna mengangguk pelan. “Aku tidak mengatakan ini tanpa alasan. Kau sudah merasakannya, bukan? Keinginan untuk mencari tahu siapa dirimu sebenarnya.” Arka menghela napas, dadanya terasa sesak. “Aku t
Fajar baru saja menyingsing ketika Arka berdiri di atas tebing yang menghadap desa kecil tempat ia tumbuh besar. Angin pagi bertiup kencang, menerbangkan debu dan dedaunan kering di sekitarnya. Di kejauhan, hamparan hutan lebat tampak seperti samudra hijau yang tak berujung. Matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad dan keyakinan.Dari belakang, Guna berdiri dengan tangan bersedekap. "Jadi, kau sudah memutuskan?"Arka mengangguk. "Aku harus tahu siapa diriku sebenarnya, Guru."Guna menarik napas panjang. "Perjalanan ini tidak akan mudah. Dunia di luar sana jauh berbeda dari yang kau kenal."Arka tersenyum tipis. "Aku sudah siap. Ilmu yang kau ajarkan akan selalu menjadi bagian dari diriku."Guna mengulurkan sebuah kantong kecil. "Ramuan ini akan melindungimu. Dan ini..." Ia menyerahkan sebuah jimat kayu berukir naga. "Simbol perlindungan. Jangan sampai hilang."Arka menerimanya dengan penuh hormat. "Terima kasih, Guru. Aku tida
Langit malam Jakarta dipenuhi cahaya neon, memantul di jalanan basah setelah hujan sore. Udara masih menyisakan aroma aspal yang hangat, bercampur dengan bau kopi dan gorengan dari pedagang kaki lima. Arka berdiri di bawah lampu jalan, matanya menatap ke kejauhan. Pikirannya masih berputar setelah pertemuannya dengan Wisnu.Keluarga yang membuangnya kini membutuhkannya?Sebuah ironi yang sulit ia cerna.Ia menarik napas dalam, berusaha mengabaikan perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Jalanan penuh dengan orang-orang yang tidak mengenalnya, tidak peduli dengan masa lalunya. Tapi Jakarta adalah tempat di mana semua orang menyembunyikan sesuatu. Dan kali ini, ia datang untuk mengungkap rahasia yang selama ini ditutupi darinya.Saat melangkah menuju penginapan kecil yang ia temukan melalui aplikasi ponselnya, terdengar suara teriakan dari gang sempit di sisi jalan.Arka menghentikan langkahnya. Sekilas, ia melihat tiga pria bertubuh besar
Langit Jakarta malam itu dipenuhi warna jingga yang perlahan ditelan gelap. Di jalanan yang padat, suara klakson bertalu-talu, dan aroma asap kendaraan bercampur dengan bau kopi dari pedagang kaki lima. Arka duduk di sebuah warung kopi kecil, matanya menatap kosong pada cangkir di depannya. Di seberangnya, Raka bersandar santai, memainkan sendok di jemarinya. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan perusahaan tempatmu bekerja?” tanya Arka, suaranya datar namun tajam. Raka menghela napas sebelum menjawab, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Perusahaan itu bernama Tirta Nusantara. Kami bergerak di bidang distribusi air minum dan bekerja sama dengan keluarga Wijaya. Semuanya berjalan baik, sampai tiba-tiba, keadaan berubah.” “Berubah bagaimana?” Arka mengangkat alis. Raka mengetuk meja dengan jemarinya. “Harga bahan baku naik drastis, regulasi baru muncul entah dari mana—dan anehnya, semua hanya berdampak pada kam
Malam menelan Jakarta dengan gemerlap lampu yang berkilauan di atas aspal basah. Di sebuah rooftop gedung tinggi, angin berembus kencang, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Arka berdiri di tepi pagar kaca, memandang lanskap kota yang seakan tak pernah tidur. Dari atas sini, ia bisa melihat gedung Wijaya Group menjulang angkuh, sebuah simbol kekuasaan yang tak tergoyahkan. Di belakangnya, Raka datang dengan langkah ringan, tangannya memasukkan sesuatu ke dalam saku jaket. "Kau yakin mau melakukan ini?" tanyanya tanpa basa-basi. Arka menoleh sedikit, matanya menyipit. "Aku tidak punya pilihan lain." Raka terkekeh. "Selalu ada pilihan, Arka. Hanya saja, beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lain." Arka menghela napas, lalu berjalan menuju tangga darurat. "Ayo. Kita punya janji yang tidak boleh kita lewatkan." Jebakan di Lantai 25 Kantor Wijaya Group dipenuhi aroma kekuasaan. Setiap
Langit Jakarta malam itu gelap pekat, hanya diterangi lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak air di jalanan yang berkilauan di bawah cahaya lampu neon. Di sebuah rooftop gedung tinggi, Arka berdiri diam, tatapannya mengarah ke lanskap kota yang tak pernah tidur. Suara klakson samar terdengar dari kejauhan, tetapi pikirannya terpusat pada satu hal—kebenaran di balik kehancuran Tirta Nusantara. Di belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat. Raka datang dengan gaya khasnya—santai, tangan dimasukkan ke dalam saku, namun matanya tajam seperti biasanya. "Kau yakin kita masih ingin melanjutkan ini?" tanya Raka tanpa basa-basi. Arka tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Sejak awal, aku tidak punya pilihan lain." Raka tertawa kecil. "Selalu ada pilihan, Arka. Hanya saja, beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lai
Kilatan lampu merah-biru berpendar di kejauhan. Sirene ambulans meraung di jalanan yang basah oleh hujan semalam, membelah keheningan pagi yang suram. Di dalam mobil yang melaju cepat, Arka menatap Haryo yang masih tak sadarkan diri di kursi belakang. Wajah pria tua itu pucat, darah di kepalanya sudah mengering, namun napasnya tetap tersengal. "Kita seharusnya tidak membawa dia ke rumah sakit biasa," kata Raka dari kursi kemudi. "Orang-orang yang mengincarnya pasti sudah mengawasi semua tempat." Arka mengangguk, matanya tetap fokus pada jalanan di luar. "Aku sudah menelepon seseorang. Kita akan membawanya ke tempat yang lebih aman." Mobil berbelok tajam ke gang kecil yang nyaris tak terlihat di peta. Raka menghentikan mobil di depan sebuah gudang tua yang tampak seperti sudah lama ditinggalkan. "Ini tempatnya?" tanya Raka, skeptis. "Percayalah," jawab Arka sambil membuka pintu. Begitu mereka m
Hujan mulai turun, rintik-rintiknya menghantam aspal dan menyelimuti lorong sempit di belakang gudang dengan aroma tanah basah. Arka berdiri diam, merasakan dinginnya moncong pistol yang ditekan ke dahinya. Napasnya teratur, tapi matanya penuh perhitungan. Raka dan Sinta menegang di sisinya, sementara Haryo tetap setengah sadar, bersandar lemah di dinding.Sosok berpakaian hitam itu tidak bergeming, tatapannya dingin dan tajam. “Kalian seharusnya berhenti sejak awal.”“Tapi kita tidak pernah pandai mengikuti perintah,” jawab Raka, suaranya tetap tenang meskipun tangannya perlahan merayap ke pinggangnya, mencari sesuatu.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari kejauhan—sebuah ledakan kecil mengguncang tanah. Dalam sepersekian detik, perhatian pria bersenjata itu teralihkan. Arka tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gerakan cepat, ia menepis tangan pria itu dan menendang pistolnya ke samping.Pria itu mencoba menyerang balik, tapi Arka lebih cepa
Langit di atas gunung mulai berubah kelabu. Kabut tebal turun cepat, menyelimuti lereng dan menutupi jalur turun dari gua spiral. Udara membawa aroma besi dan tanah basah, seperti pertanda akan datangnya sesuatu yang tak wajar. Jejak mereka tertinggal samar di batu-batu lembap. Arka melangkah paling depan, tubuhnya masih memancarkan sisa kilau dari pertempuran sebelumnya. Tapi sorot matanya tak tenang. “Apa kau merasa... kita sedang diikuti?” Kiara memecah keheningan dengan suara pelan. Arka menoleh ringan, lalu mengangguk. “Bukan sekadar diikuti. Kita sedang diuji.” Genta memeriksa alat pelacak dari Adikara. Layar kecilnya menampilkan gelombang aneh yang berdenyut tak menentu. “Ada sesuatu dalam radius lima puluh meter. Tapi tak bisa diidentifikasi.” Raka mendekat, menarik jubahnya rapat. “Ini bukan makhluk biasa. Energinya seperti sisa dari masa lalu yang dipaksa hidup kembali.” Tiba-tiba, da
Langit di luar gua sudah gelap. Bintang-bintang memancar tajam di antara awan tipis, seakan dunia tahu sesuatu telah pecah dan menyisakan retakan tak kasatmata. Langkah Arka menggema pelan di antara batu-batu dingin, tubuhnya masih terasa bergetar dari benturan energi sebelumnya. “Bayangan tadi... kau juga melihatnya, kan?” tanya Kiara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin malam. “Matanya merah, tubuhnya kecil... tapi aura kekuatannya bukan main,” gumam Raka sambil menoleh ke arah bayangan tempat sosok itu tadi berdiri. Arka menghentikan langkah. Ia menutup matanya, membiarkan sisa spiral dalam tubuhnya berdenyut ringan, berusaha menangkap sisa getaran dari makhluk misterius itu. Tapi udara hanya membawa dingin. “Dia tidak berasal dari sini,” ujar Arka akhirnya. “Getaran auranya bukan dari jalur waktu yang kita kenal.” Genta mengernyit. “Apa maksudmu? Dia melintasi waktu?” “Bukan. D
Angin dingin menusuk dari retakan spiral saat gelombang kegelapan melesat menuju Arka. Udara di dalam gua bergetar, menekan dada seperti ribuan tangan tak terlihat. Cahaya dari tubuh Arka semakin terang, membentuk pola spiral sempurna yang berputar cepat di sekelilingnya. Gelombang itu menghantam—namun tak menembus. Sebuah dinding cahaya terbentuk, membelokkan energi hitam itu ke dinding gua, membuat batu meledak dan debu menguar. “Cahaya itu…” Raka menatap takjub. “Bukan sekadar energi. Itu... ingatan hidup.” Arka menggertakkan gigi. Tubuhnya bergetar menahan tekanan. “Aku bukan hanya pewaris Wijaya Corporation. Aku juga pewaris penjaga waktu ini!” Pemutus Spiral menggeram. Suaranya seperti serpihan besi yang saling bergesekan. “Tidak ada warisan yang bisa kau jaga bila semua spiral terputus.” Ia melompat ke udara, melayang di tengah gua dengan jubah yang mengembang seperti sayap bayangan. Dari kedua tangann
Langit di atas Pulau Adikara perlahan kembali cerah, namun gema dari apa yang mereka bangkitkan masih terasa di dalam dada masing-masing. Di dalam pesawat, Arka duduk diam menatap laut lepas. Pikirannya berputar, mencoba memahami makna dari suara misterius yang mengaku sebagai Penjaga Awal. “Aku merasa... kita baru menyentuh permukaan,” kata Genta sambil melihat ke arah Arka. “Kau dengar sendiri, Genta,” balas Arka. “Mereka menyebut diri mereka penjaga sebelum Bayangan diciptakan. Itu berarti ada tatanan yang lebih tua dari semua konflik kita.” Raka mengangguk pelan. “Dan tatanan itu sedang bangkit. Entah karena kita, atau karena sesuatu yang lebih besar dari kita semua.” Pesawat mendarat kembali di markas utama Wijaya Corporation. Mereka langsung menuju ruang strategi, tempat Kiara dan beberapa analis keamanan menunggu. “Kami menerima gelombang energi tinggi dari Pulau Adikara,” ujar Kiara. “Tapi sinyalnya b
Pagi itu, ruang kontrol pusat Wijaya Corporation dipenuhi cahaya biru dari layar-layar monitor. Di tengah ruangan, Raka berdiri sambil menunjuk satu titik berkedip di layar utama. “Titik merah ini muncul dua kali dalam tiga puluh jam terakhir,” katanya. “Lokasinya di sebuah pulau kecil yang tidak tercatat dalam peta resmi.” Arka menyipitkan mata. “Itu bukan pulau biasa. Aku pernah mendengar nama lamanya disebut dalam dokumen tua: Pulau Adikara.” Genta, berdiri di samping mereka dengan tangan bersedekap, bergumam, “Adikara… bukan itu lokasi tempat eksperimen spiral pernah dipindahkan setelah proyek Bayangan Utara dihentikan?” “Benar,” jawab Raka sambil mengetik cepat. “Data lama dari proyek Eclipse menyebutkan adanya stasiun penelitian bawah tanah di sana. Tapi dokumen itu dihentikan tanpa penjelasan.” Arka menatap layar. “Kalau sinyalnya aktif lagi, berarti ada yang menghidupkan sistem itu.” “D
Pesawat mendarat mulus di Bandara Halim. Arka, Raka, dan Genta melangkah keluar, menyambut udara Jakarta yang hangat dan padat oleh hiruk pikuk kota. Langit senja menggantung di atas jalan raya yang sibuk, seakan tak menyadari bahwa tiga sosok yang baru kembali membawa kabar penting dari timur. “Ibu akan senang melihatmu lagi,” kata Raka sambil tersenyum kecil. Arka mengangguk, matanya menyapu langit Jakarta. “Dan ayah pasti sudah menyiapkan segudang pertanyaan tentang laporan Makassar.” Genta tertawa pendek. “Pertanyaan, atau tantangan baru? Kita lihat saja nanti.” Mereka tiba di rumah keluarga Wijaya saat malam mulai turun. Lampu-lampu taman menyala hangat, memandikan bangunan klasik itu dengan cahaya lembut. Saat Arka membuka pintu, suara langkah cepat menyambut. “Arka!” suara ibunya terdengar, penuh emosi. Perempuan paruh baya itu memeluknya erat, seolah menahan waktu yang sempat terlewat.
Malam itu, udara di gunung terasa padat. Kabut menggantung di sekitar puncak, menyembunyikan siluet batu besar yang bersinar samar. “Sinyalnya berasal dari balik batu ini,” ujar Raka, matanya menatap layar tablet dengan gelisah. Genta berjongkok, telapak tangannya menyentuh tanah. “Aku bisa merasakan vibrasinya. Ini sisa teknologi spiral dari Bayangan Utara. Tapi ada sesuatu yang hidup di dalamnya.” Arka mengangguk. “Kita tak bisa menunda. Kalau ini pemicu dorman terakhir, kita harus nonaktifkan malam ini.” Tiba-tiba, suara berat menggetarkan udara. “Kau datang tanpa warisan, tapi membawa cahaya yang membakar jejak kami.” Sosok berjubah hitam muncul perlahan dari balik batu. Matanya bersinar perak. Di tangannya tergenggam tabung energi berputar. “Penjaga Kedua?” tanya Arka, menahan napas. “Aku adalah penjaga kehormatan terakhir Bayangan U
Langit di atas pegunungan Sulawesi Selatan tampak kelabu. Helikopter hitam Wijaya Corporation melaju di antara kabut tipis, membawa Arka, Raka, dan Genta menuju titik merah yang muncul di peta sebelumnya. Tak ada jalan darat ke lokasi itu—hanya lembah sunyi yang dikelilingi tebing terjal dan pohon-pohon purba. “Tempat ini bukan sembarangan,” gumam Arka, matanya menatap tanah luas di bawah yang dipenuhi puing logam dan antena berkarat. Raka menarik napas panjang. “Seolah ini markas rahasia yang sudah lama ditinggalkan… tapi tetap hidup.” “Teknologi Bayangan Lama tidak pernah benar-benar mati,” sahut Genta sambil memeriksa layar tablet yang mendeteksi sisa-sisa sinyal aneh. Mereka mendarat di pinggir lereng. Angin terasa lebih dingin, dan bau logam tercium dari bawah tanah. Begitu menjejakkan kaki di tanah lembah, mereka melihat bangunan setengah runtuh dengan lambang samar A.R.C. di dindingnya. Di dalamnya, si
Dinding gua bergetar saat cahaya merah menyembur dari celah altar. Sosok berbalut energi hitam muncul perlahan, mata ketiganya menyala laksana bara. Bayangan tubuhnya tak menyentuh tanah, melayang dengan aura membara yang membuat udara membeku. "Akhirnya, kau datang juga, pewaris darah kuno," bisik Mata Ketiga, suaranya bergema di dalam kepala Arka. Arka melangkah maju. Jubahnya berkibar pelan, dan matanya menyala biru kehijauan. Aura Klan Naga Langit membungkus tubuhnya, berpadu dengan denyut halus kekuatan warisan Jiwa Abadi. "Aku tidak datang untuk tunduk. Aku datang untuk mengakhiri semuanya," jawab Arka tenang. Seketika udara di ruang itu meledak. Mata Ketiga menyerang lebih dulu, tangannya memanjang seperti bayangan dan menebas udara. Arka melompat ke udara, lalu memutar tubuh dan menghantamkan telapak tangan ke tanah. Ledakan cahaya biru mengguncang ruang batu itu. Genta dan Raka menyingkir, berdiri di