Langit Jakarta malam itu dipenuhi warna jingga yang perlahan ditelan gelap. Di jalanan yang padat, suara klakson bertalu-talu, dan aroma asap kendaraan bercampur dengan bau kopi dari pedagang kaki lima. Arka duduk di sebuah warung kopi kecil, matanya menatap kosong pada cangkir di depannya. Di seberangnya, Raka bersandar santai, memainkan sendok di jemarinya.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan perusahaan tempatmu bekerja?” tanya Arka, suaranya datar namun tajam. Raka menghela napas sebelum menjawab, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Perusahaan itu bernama Tirta Nusantara. Kami bergerak di bidang distribusi air minum dan bekerja sama dengan keluarga Wijaya. Semuanya berjalan baik, sampai tiba-tiba, keadaan berubah.” “Berubah bagaimana?” Arka mengangkat alis. Raka mengetuk meja dengan jemarinya. “Harga bahan baku naik drastis, regulasi baru muncul entah dari mana—dan anehnya, semua hanya berdampak pada kami. Dalam beberapa bulan, perusahaan bangkrut.” Arka menyipitkan mata. “Dan kau mencurigai keluarga Wijaya?” Raka menyeringai tipis, mengangkat bahu. “Tak ada bukti, hanya banyak kebetulan aneh. Orang-orang di dalam perusahaan mulai menghilang. Ada yang mendadak pindah ke luar negeri, ada yang mengundurkan diri tanpa alasan jelas. Semakin aku menggali, semakin terasa bahwa ini bukan kebetulan.” Arka mengangguk pelan, mencerna informasi itu. Ia mengenal keluarga Wijaya—terlalu baik bahkan. Dan mereka bukan tipe orang yang membiarkan sesuatu terjadi tanpa alasan. Raka menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Tapi kau tahu yang paling ironis?” “Apa?” “Aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Aku hanya mantan karyawan kecil yang bahkan tak diingat namanya.” Raka menyesap kopinya. “Tapi sekarang, aku ingin memastikan mereka tidak melupakanku.” Arka menatapnya dalam diam. Ia tahu perasaan itu—rasa diremehkan, diabaikan. “Kau ingin membuktikan sesuatu?” tanyanya akhirnya. Raka tersenyum tipis. “Mungkin.” Kantor Wijaya Group Pagi itu, gedung megah Wijaya Group menjulang di hadapan mereka, mencerminkan keangkuhan dan kekuasaan. Langit Jakarta yang cerah hanya mempertegas kemegahan bangunan itu, seakan mengejek siapa pun yang merasa kecil di hadapannya. Arka dan Raka berjalan memasuki lobi yang dipenuhi karyawan bersetelan rapi. Seorang resepsionis wanita menyambut mereka dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Arka menatapnya lurus. “Saya ada janji dengan Wisnu Wijaya.” Wanita itu mengecek sistemnya sebelum mengangguk. “Silakan naik ke lantai 25.” Lift membawa mereka naik dalam keheningan. Namun, begitu pintu terbuka, dua pria berbadan tegap sudah menunggu. Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan rahang keras, menyipitkan mata ke arah Raka. “Siapa dia?” Raka menyelipkan tangannya ke dalam saku dan tersenyum santai. “Nama saya Raka. Saya partner Arka.” Pria itu menatapnya dengan ekspresi meremehkan. “Kami hanya mengizinkan Arka masuk.” Raka terkekeh. “Oh? Jadi aku tidak cukup penting?” Pria itu tidak menjawab, tapi ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksukaan. Saat itulah Wisnu muncul dari dalam ruangan. Matanya langsung tertuju pada Raka sebelum kembali ke Arka. “Aku hanya ingin bicara denganmu.” Raka menyeringai. “Ah, aku mengerti. Orang-orang seperti aku selalu dianggap remeh.” Wisnu tidak bereaksi, tetapi ada kilatan ketidaksukaan di matanya. “Ini urusan keluarga, bukan urusan orang luar.” Arka menatapnya tajam. “Kalau kau ingin aku bekerja sama, kau juga harus menghormati pilihanku.” Wisnu terdiam, lalu menghela napas. “Baiklah. Tapi dia harus tahu batasannya.” Mereka melangkah masuk ke ruangan luas yang didominasi kaca dan furnitur mewah. Wisnu duduk di belakang meja besar, sementara Arka dan Raka menempati sofa di seberangnya. “Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanya Arka tanpa basa-basi. Wisnu bersandar. “Aku ingin kau kembali ke keluarga ini. Situasi sedang sulit, dan aku yakin kau bisa membantu.” Arka tersenyum tipis. “Membantu bagaimana?” “Kami kehilangan beberapa aset penting karena kebocoran informasi,” jelas Wisnu. “Ada seseorang yang berusaha menghancurkan keluarga Wijaya dari dalam.” Raka menyela, suaranya penuh sindiran. “Mungkin karena keluarga ini sudah terlalu banyak membuat musuh?” Wisnu menatapnya tajam. “Kau memang suka bicara banyak, ya?” Raka tetap tersenyum santai. “Aku hanya mengatakan fakta.” Wisnu mengalihkan pandangannya kembali ke Arka. “Aku ingin kau menyelidiki siapa yang berada di balik semua ini.” Arka menatapnya lama. “Jadi kau ingin aku menjadi alatmu?” Wisnu menggeleng. “Aku ingin kita bekerja sama.” Arka mempertimbangkan sejenak. Jika ia ingin menemukan jawaban, ini mungkin satu-satunya cara. Akhirnya, ia mengangguk. “Baik. Tapi aku punya syarat.” Wisnu mengangkat alis. “Apa itu?” Arka menoleh ke Raka. “Dia juga harus dilibatkan.” Wisnu mendengus. “Kenapa aku harus melibatkan seseorang yang tidak ada hubungannya dengan keluarga ini?” Arka menatap kakaknya dengan tajam. “Karena dia punya informasi yang mungkin berguna. Dan karena aku mempercayainya.” Wisnu menatap Arka cukup lama, lalu akhirnya mengangguk dengan enggan. “Baik. Tapi jangan kecewakan aku.” Raka menyeringai. “Jangan khawatir. Aku mungkin diremehkan, tapi aku tidak pernah gagal.” Saat mereka meninggalkan ruangan itu, Raka menoleh ke Arka dengan senyum kecil. “Kau percaya padaku?” Arka menghela napas. “Aku percaya kau punya alasan sendiri untuk ada di sini. Itu cukup untuk saat ini.” Raka tertawa kecil. “Itu sudah lebih dari cukup.” Namun, tanpa mereka sadari, di dalam kantor itu, seseorang telah mengamati mereka sejak awal. Di sudut ruangan, sebuah layar monitor menampilkan rekaman mereka. Seorang pria dengan setelan hitam berdiri diam, menatap layar dengan ekspresi dingin. Tangannya mengetuk meja, lalu ia mengangkat telepon. “Sudah dipastikan. Mereka mulai bergerak,” suaranya rendah dan berbahaya. “Kita harus bertindak sebelum mereka melangkah lebih jauh.” Lalu, tanpa kata lagi, pria itu menutup telepon. Di luar gedung, matahari masih bersinar cerah, tetapi bayangan yang mengintai semakin panjang.Malam menelan Jakarta dengan gemerlap lampu yang berkilauan di atas aspal basah. Di sebuah rooftop gedung tinggi, angin berembus kencang, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Arka berdiri di tepi pagar kaca, memandang lanskap kota yang seakan tak pernah tidur. Dari atas sini, ia bisa melihat gedung Wijaya Group menjulang angkuh, sebuah simbol kekuasaan yang tak tergoyahkan. Di belakangnya, Raka datang dengan langkah ringan, tangannya memasukkan sesuatu ke dalam saku jaket. "Kau yakin mau melakukan ini?" tanyanya tanpa basa-basi. Arka menoleh sedikit, matanya menyipit. "Aku tidak punya pilihan lain." Raka terkekeh. "Selalu ada pilihan, Arka. Hanya saja, beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lain." Arka menghela napas, lalu berjalan menuju tangga darurat. "Ayo. Kita punya janji yang tidak boleh kita lewatkan." Jebakan di Lantai 25 Kantor Wijaya Group dipenuhi aroma kekuasaan. Setiap
Langit Jakarta malam itu gelap pekat, hanya diterangi lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak air di jalanan yang berkilauan di bawah cahaya lampu neon. Di sebuah rooftop gedung tinggi, Arka berdiri diam, tatapannya mengarah ke lanskap kota yang tak pernah tidur. Suara klakson samar terdengar dari kejauhan, tetapi pikirannya terpusat pada satu hal—kebenaran di balik kehancuran Tirta Nusantara. Di belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat. Raka datang dengan gaya khasnya—santai, tangan dimasukkan ke dalam saku, namun matanya tajam seperti biasanya. "Kau yakin kita masih ingin melanjutkan ini?" tanya Raka tanpa basa-basi. Arka tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Sejak awal, aku tidak punya pilihan lain." Raka tertawa kecil. "Selalu ada pilihan, Arka. Hanya saja, beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lai
Kilatan lampu merah-biru berpendar di kejauhan. Sirene ambulans meraung di jalanan yang basah oleh hujan semalam, membelah keheningan pagi yang suram. Di dalam mobil yang melaju cepat, Arka menatap Haryo yang masih tak sadarkan diri di kursi belakang. Wajah pria tua itu pucat, darah di kepalanya sudah mengering, namun napasnya tetap tersengal. "Kita seharusnya tidak membawa dia ke rumah sakit biasa," kata Raka dari kursi kemudi. "Orang-orang yang mengincarnya pasti sudah mengawasi semua tempat." Arka mengangguk, matanya tetap fokus pada jalanan di luar. "Aku sudah menelepon seseorang. Kita akan membawanya ke tempat yang lebih aman." Mobil berbelok tajam ke gang kecil yang nyaris tak terlihat di peta. Raka menghentikan mobil di depan sebuah gudang tua yang tampak seperti sudah lama ditinggalkan. "Ini tempatnya?" tanya Raka, skeptis. "Percayalah," jawab Arka sambil membuka pintu. Begitu mereka m
Hujan mulai turun, rintik-rintiknya menghantam aspal dan menyelimuti lorong sempit di belakang gudang dengan aroma tanah basah. Arka berdiri diam, merasakan dinginnya moncong pistol yang ditekan ke dahinya. Napasnya teratur, tapi matanya penuh perhitungan. Raka dan Sinta menegang di sisinya, sementara Haryo tetap setengah sadar, bersandar lemah di dinding.Sosok berpakaian hitam itu tidak bergeming, tatapannya dingin dan tajam. “Kalian seharusnya berhenti sejak awal.”“Tapi kita tidak pernah pandai mengikuti perintah,” jawab Raka, suaranya tetap tenang meskipun tangannya perlahan merayap ke pinggangnya, mencari sesuatu.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari kejauhan—sebuah ledakan kecil mengguncang tanah. Dalam sepersekian detik, perhatian pria bersenjata itu teralihkan. Arka tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gerakan cepat, ia menepis tangan pria itu dan menendang pistolnya ke samping.Pria itu mencoba menyerang balik, tapi Arka lebih cepa
Udara malam di kota terasa berat. Lampu-lampu jalan yang redup memantulkan bayangan panjang di aspal basah. Arka berjalan dengan langkah mantap di gang sempit, sementara Raka mengikutinya di belakang. Mereka baru saja lolos dari serangan para pembunuh bayaran yang dikirim oleh Paman Darma. Kini, mereka hanya memiliki satu tujuan—mencari kebenaran.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Raka, suaranya lirih namun tegang.Arka mengangguk. “Informasi dari Haryo mengarah ke sini. Jika benar, kita akan menemukan seseorang yang tahu segalanya tentang keluarga Wijaya.”Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara halus terdengar dari kegelapan.“Kalian mencari sesuatu?”Arka dan Raka spontan berhenti. Di ujung gang, seorang wanita berdiri. Wajahnya tersembunyi di balik tudung jubah hitam, hanya sepasang mata tajam yang bersinar di bawah cahaya bulan.“Kami mencari seseorang yang bisa menjelaskan siapa sebenarnya musuh kam
Lorong sempit yang mereka masuki tiba-tiba terasa lebih gelap dan menekan. Di ujung lorong, seorang pria berdiri dengan santai, tetapi sorot matanya memancarkan ancaman. “Arka… Raka… dan Aluna,” katanya dengan nada mengejek. “Kalian pikir bisa melarikan diri dengan mudah?” Aluna langsung mengenali suaranya. “Reza…” gumamnya pelan, matanya menyipit tajam. Arka merasakan ketegangan yang semakin menebal di udara. Ia bisa merasakan bahwa pria ini bukan sembarang orang. Sikapnya yang tenang dan percaya diri menunjukkan bahwa ia telah mengantisipasi semua ini. “Kau bekerja untuk Johan?” tanya Arka, tangannya perlahan meraih senjata kecil yang terselip di pinggangnya. Reza tertawa kecil. “Aku bekerja untuk siapa pun yang membayar lebih. Dan saat ini, Johan adalah orang yang paling murah hati.” Tanpa peringatan, Reza bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah melesat ke arah mereka dengan kecepatan
Suara dentuman menggema di seluruh kota bawah tanah. Langit-langit batu bergetar, menandakan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi di permukaan. Arka, Raka, Aluna, dan Nayara berdiri di dekat jendela kuil kuno, menatap ke arah sumber suara. Dari kejauhan, pasukan Johan mulai memasuki Ardhana. Mereka bukan sekadar preman biasa—beberapa mengenakan seragam hitam dengan emblem merah, tanda bahwa mereka adalah anggota elit organisasi bayangan yang selama ini mengendalikan kekuasaan dari balik layar. “Pasukan Bayangan…” gumam Nayara dengan nada khawatir. “Siapa mereka?” tanya Raka sambil mencabut belatinya. “Kelompok pembunuh yang dilatih khusus. Mereka hanya bergerak jika ada misi besar,” jawab Nayara. “Dan jika mereka ada di sini… berarti Johan sudah siap menghancurkan Ardhana.” Arka mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, kita harus menghentikan mereka.” Tiba-tiba, dari balik kerumunan musuh, seora
Suara langkah kaki menggema di sepanjang lorong bawah tanah yang gelap dan sempit. Arka, Raka, Aluna, dan Nayara bergerak cepat, mencoba keluar dari kota bawah tanah sebelum lebih banyak pasukan Johan datang. Udara di sekitar mereka semakin berat, seolah ada sesuatu yang mengawasi dari kegelapan. Tiba-tiba, Aluna berhenti. Matanya menyipit, merasakan sesuatu yang tidak biasa. “Kita tidak sendirian,” bisiknya. Arka merasakan hal yang sama. Ada aura yang menekan di sekeliling mereka, jauh lebih besar daripada yang mereka hadapi sebelumnya. Sebelum sempat bereaksi, suara tawa rendah terdengar dari depan mereka. Dari bayangan lorong, seorang pria muncul. Ia mengenakan jubah hitam panjang dengan lambang yang tidak asing di dadanya. Rambut peraknya terikat ke belakang, dan matanya yang tajam berkilat seperti pisau. Nayara menghela napas berat. “Sial… itu Asvara.” “Siapa dia?” tanya Raka sambil mencabut belatinya.
Angin kencang bertiup liar, menyapu debu dan puing-puing dari tanah yang terkoyak oleh pertempuran. Arka berdiri tegak, tubuhnya diselimuti energi biru yang berkilauan. Di hadapannya, pria bertopeng emas masih tersenyum, sementara bayang-bayang hitam di sekelilingnya berdenyut seperti makhluk hidup. Di samping Arka, Genta melangkah maju. Aura peraknya berkobar, kontras dengan kegelapan yang menyelimuti lawan mereka. “Sudah cukup bermain-main, Arka. Aku akan menangani ini,” ujar Genta dengan nada tenang. Arka meliriknya, ekspresinya tetap serius. “Jangan gegabah. Dia bukan lawan biasa.” Pria bertopeng tertawa kecil. “Oh? Jadi sekarang kau berdua ingin melawanku bersama?” Genta mengangkat tangan, dan dalam sekejap— ZRAASSHH! Kilatan perak melesat, menyerang pria bertopeng dengan kecepatan luar biasa! Tetapi sebelum energi itu mengenainya, bayangan hitam yang melingka
Udara bergetar. Tanah bergetar. Arka berdiri tegak, napasnya memburu. Aura hitam pekat menyelimuti pria bertopeng emas di hadapannya, menelan cahaya di sekitarnya. Dari kejauhan, Azura dan Raka berusaha bangkit meski tubuh mereka lemah. “Dia… benar-benar berubah,” gumam Azura, matanya membelalak melihat bentuk baru pria bertopeng itu. Kini, tubuhnya diselimuti bayangan hitam yang berdenyut seperti api. Mata merahnya bersinar seperti bara. Arka mengepalkan tangan. Ia tahu, ini adalah pertarungan yang berbeda. Pria bertopeng mengangkat satu tangannya. Tanpa peringatan— ZRAASSHH! Gelombang hitam meledak ke segala arah! Arka melompat ke belakang, tapi ledakan energi itu lebih cepat. Ia merasakan tekanan luar biasa menghantam dadanya, membuatnya terlempar puluhan meter. DUARR! Tubuh Arka menghantam batu besar, menghancurkanny
Langit berubah merah darah. Kilatan petir hitam beradu di antara awan pekat, menciptakan gemuruh yang mengguncang tanah. Azura dan Raka tersungkur, tubuh mereka penuh luka akibat serangan energi dari pria bertopeng emas. Di kejauhan, Ki Jagasatru berdiri tegak, menahan napas. Ini buruk. Sangat buruk. Pria bertopeng emas melangkah perlahan mendekat. Auranya begitu berat hingga udara terasa seolah menekan dada mereka. “Aku kecewa,” katanya dengan suara dalam. “Kupikir kalian bisa bertahan lebih lama.” Azura menggertakkan giginya. Ia mencoba bangkit, tetapi lututnya bergetar. Raka menatap sekeliling. Tidak ada tanda-tanda Arka. Tidak ada bantuan. Kenapa dia belum datang? Pria bertopeng mengangkat tangannya. Dari balik jubah hitamnya, muncul pusaran energi gelap. “Sekarang… beristirahatlah dalam kegelapan.” Dan tepat saat ia hendak melancarkan serangan t
Cahaya Biru dan Sosok Misterius Arka melayang dalam kehampaan, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar-putar seperti pusaran energi. Tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Apa tempat ini? Mengapa suaranya tadi terdengar begitu familiar? Tiba-tiba, dari dalam pusaran cahaya itu, muncul sosok berjubah putih. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi sorot matanya tajam dan penuh wibawa. “Arka… pewaris darah sakti,” suara itu bergema, membuat dada Arka bergetar. “Siapa kau?” tanya Arka, menatap tajam ke arah sosok itu. Pria itu melangkah maju. “Aku adalah jejak masa lalu, warisan yang telah lama menantimu.” Seketika, pemandangan di sekitar mereka berubah. Arka kini berdiri di tengah-tengah medan perang yang luas. Ribuan prajurit bertarung, dan di antara mereka, seorang pria dengan baju perang emas berdiri tegak, dikelilingi aura yang begitu kuat.
Langit di atas mereka masih dipenuhi awan hitam. Suara petir menggema, membuat tanah bergetar seolah dunia sedang bersiap menyambut sesuatu yang besar. Arka, Azura, dan Raka berdiri di puncak bukit kecil, menatap ke arah pegunungan yang menjulang di depan mereka—Gunung Langit, tujuan berikutnya. Ki Jagasatru menarik napas dalam. “Di sana… kalian akan menemukan sesuatu yang akan mengubah takdir kalian.” Arka mengepalkan tinjunya. “Kalau ini jalan untuk menjadi lebih kuat, aku siap.” Azura melirik ke arah langit. “Tapi apa yang sedang terjadi? Sejak kita mengalahkan Ragaseta, langit terus seperti ini.” Ki Jagasatru menatap mereka dengan serius. “Itu pertanda bahwa Gerbang Gunung Langit telah bereaksi terhadap keberadaanmu, Arka.” Raka tertawa kecil. “Kau benar-benar spesial, ya.” Namun sebelum mereka bisa bergerak, tiba-tiba tanah di sekitar mereka bergetar hebat. BO
Suara dentingan logam beradu memenuhi udara. Arka melompat ke belakang, menghindari tebasan pedang raksasa pria berotot berbaju besi hitam. Tanah tempatnya berpijak terbelah akibat serangan itu, debu dan pecahan tanah beterbangan ke segala arah. Azura dan Raka mundur, mencari celah untuk membantu, sementara Ki Jagasatru tetap berdiri tegap, mengamati pertarungan dengan sorot mata tajam. Pria berotot itu menyeringai. “Lumayan juga kau, bocah.” Arka mengatur napasnya, matanya fokus menatap lawan. “Siapa kau?” Pria itu mengangkat pedangnya yang berlumuran darah. “Aku Ragaseta. Pemburu pewaris darah sakti.” BOOM! Ragaseta mengayunkan pedangnya ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang membuat Arka terlempar ke belakang. Namun, sebelum tubuhnya menyentuh tanah, ia memutar tubuhnya dan mendarat dengan ringan. “Ternyata bukan sekadar tenaga brute force…” gumam Arka.
“Sudah waktunya kau mengetahui siapa dirimu sebenarnya.” Arka menatap pria tua di hadapannya. Wajah pria itu penuh garis-garis usia, tapi matanya masih menyala dengan tajam, membawa wibawa yang luar biasa. “Siapa kau?” tanya Arka, tangannya masih bersiaga. Pria itu tersenyum tipis. “Namaku Ki Jagasatru. Aku penjaga rahasia keluargamu.” Jantung Arka berdegup kencang. “Rahasia keluargaku?” Ki Jagasatru mengangguk, lalu melirik Azura. “Dan gadis ini memiliki kunci yang akan membuka jalanmu.” Azura menggenggam liontin di lehernya, tatapannya penuh kebimbangan. Namun sebelum ada yang bisa berkata lebih jauh, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari dalam hutan. CRACK! Raka segera mencabut belatinya, bersiaga. “Kita tidak sendirian.” Dari balik pepohonan, sosok tinggi dengan jubah hitam melangkah keluar. Wajahnya tersembunyi di balik tope
BOOM! Ledakan dahsyat mengguncang tanah, menciptakan gelombang debu yang menyelimuti area pertempuran. Arka segera melompat ke belakang, melindungi gadis yang baru saja ia temui. Raka mencabut belati di pinggangnya, matanya menatap tajam ke arah para pria berpakaian hitam yang kini bergerak mendekat. “Jadi mereka ini siapa?” tanya Arka, masih bersiaga. Gadis itu menghela napas. “Pemburu dari Klan Hitam. Mereka sudah mengejar keluargaku sejak lama.” Salah satu pria maju, wajahnya tertutup topeng besi dengan ukiran tengkorak. “Tidak ada gunanya bersembunyi, Putri Azura. Warisan keluargamu seharusnya menjadi milik kami.” Arka menoleh ke gadis itu. “Putri Azura? Sepertinya kau punya banyak hal yang perlu dijelaskan.” Namun, tidak ada waktu untuk penjelasan lebih lanjut. Dalam sekejap, tiga pria berpakaian hitam melompat maju dengan kecepatan luar biasa.
Cahaya biru yang menyelimuti tubuh Arka semakin kuat, membuatnya kehilangan keseimbangan. Suara misterius masih menggema di kepalanya. “Apakah kau siap untuk mengetahui kebenaran?” Arka mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat. Kabut tebal mulai menyelimuti pandangannya, hingga semuanya berubah menjadi gelap pekat. Lalu, tiba-tiba— BRAKK! Arka merasakan tubuhnya terlempar ke tanah keras. Ia terbatuk, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat dirinya berada di dalam sebuah ruangan batu raksasa, diterangi oleh obor yang menyala di dinding. Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar besar dengan simbol aneh yang terpahat di atasnya. Sebelum Arka bisa berdiri, sebuah suara berat menggema di sekitarnya. “Kau akhirnya tiba.” Dari bayangan, seorang pria bertubuh tinggi dan berotot muncul. Rambut panjangny