“Lama-lama muka kamu ngalahin baju belum disetrika.”Angel mengangkat muka mendengar komentar Tere. Sejak tadi yang dilakukannya hanya mengaduk-ngaduk mocca float-nya dengan sedotan dan memandanginya tanpa selera. Seperti janji mereka sebelumnya, sore ini Angel dan temannya itu janji ketemuan di Coffeholic—coffee shop yang berada di dekat kantor Tere. “Bad day!” celetuk Angel kemudian.“Apa yang salah? Ada masalah sama Dylan?”“Memangnya kapan aku nggak punya masalah sama dia?”Tere mengambil jeda dengan menyeruput minuman yang sama dengan Angel. Tentang apa dan bagaimana hubungan Angel dan Dylan, Tere tahu sangat banyak. Bahkan mungkin lebih mengetahui dari pada mengenal dirinya sendiri. Dia dan gadis manis di hadapannya sudah saling kenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kedekatan mereka berlanjut hingga keduanya sama-sama memakai seragam putih abu-abu. Dan ketika Angel melanjutkan pendidikannya di luar negeri saat itu
Angel memandang lurus ke depan, sedangkan Davin fokus menyetir di sebelahnya. Keduanya sama-sama membungkam mulut dan tidak membiarkan suara sekecil apa pun lolos keluar dari mulut mereka. Merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, Davin lantas menoleh pada gadis di sebelahnya. Meski dilihat dari samping seperti ini tapi Angel tetap terlihat menarik.Davin mencoba mencari bahan pembuka obrolan. Tapi sayangnya dia tidak menemukakan apa pun yang bisa memancing pembicaraan. Davin memang tidak sehandal papinya dalam urusan rayu-merayu perempuan. Davin jauh lebih kalem dari pria yang katanya lebih mirip kakaknya ketimbang ayahnya. Cukup menggelikan mengingat dia yang baru berumur dua puluhan disandingkan dengan lelaki yang terhitung tidak lagi muda dari segi usia.Davin berdeham, mencoba menarik perhatian Angel agar melirik padanya. Akan tetapi gadis itu seperti tidak terpengaruh. Apa mungkin dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri? Atau saat ini sedang larut dalam lamunan yang dalam?Sek
Angel memberengut saat pagi itu Dylan datang menjemputnya dan mengajak berangkat bareng ke kantor. Malahan lelaki itu juga sarapan pagi bersama mereka layaknya dua pasang pasangan harmonis.“Ngel, mulai hari ini Dylan yang akan mengantar jemput kamu kemana-mana.” Bian membuka obrolan sebelum keempatnya memulai sarapan.“Maksud Papi apa?” Angel yang sedang menyesap susunya tiba-tiba berhenti mendengar kata-kata Bian.“Dari pada berangkat sendiri mendingan kamu sama Dylan. Lagian kamu juga nggak mau disupirin kan?”“Pi, please, aku bukan anak kecil lagi. Aku nggak perlu diantar siapa-siapa, Pi.”“Mengertilah, Ngel, kamu itu perempuan. Nanti kalau kamu sudah jadi orang tua pasti akan tahu gimana rasanya jadi Papi dan amy.” Bian memberikan pengertian.Tatiana yang duduk di dekat putrinya ikut mendukung pernyataan sang suami. “Iya, Sayang, terima aja ya… Yang Amy dan papi lakukan itu semuanya untuk kebaikan kamu kok.”Angel merasa kesal, tapi sulit baginya untuk membantah kalau sudah Tatia
Entah kenapa sepanjang hari itu mood Angel memburuk. Sejak pagi hingga siang gadis itu terus memasang tampang cemberut. Apa pun yang dilihat dan didengarnya hari itu tidak satu pun yang membuatnya merasa jauh lebaih baik. Semua serba salah. Angel memang moody-an, tapi rasanya belum pernah sampai separah ini. Entah kenapa. Lagi pula ini bukan jadwal tamu bulanannya yang membuatnya PMS.Dylan yang masuk ke ruangannya membuat Angel semakin jengkel.“Nggak bisa ya sebelum masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu?”“Aku mau ajak kamu makan siang.” Lelaki itu berucap ringan tanpa menanggapi Angel yang cemberut dan memprotes ulahnya.“Aku bisa makan siang sendiri.” Angel menolak. “Tapi papi yang menyuruh biar kita selalu bareng-bareng.”“Oh, jadi ternyata kamu beneran robot yang mau-maunya didikte sama papi? Jangan-jangan kalo papi suruh kamu mati sekarang kamu juga nggak akan menolak. Dasar kacung!” Angel memutar bola matanya sembari bersedekap. Dylan sama sekali tidak terpancing meskipun
“Ngel, kenapa cuma minum?” tegur Tere yang melihat Angel tidak menyentuh makanannya.“Aku udah kenyang, Ter.”“Kenyang? Cuma minum air doang bisa kenyang?” Tere terlihat heran. Angel mana pernah begini sebelumnya. “Kamu nggak lagi diet kan, Ngel?” tanyanya lagi. Dari dulu sampai sekarang badan Angel memang ramping tanpa perlu usaha ekstra. Dia tidak pernah membatasi porsi makannya dan mengatur polanya.“Nggak, memang pernah ya aku diet?” “Ya, siapa tahu kan?” Tere mengangkat bahu. “Nggak perlu disuapin sama Davin kan makannya?”“Apa sih?” Angel kemudian buru-buru menyentuh sendok dan menyuap nasi agar Tere tidak semakin curiga dan terus-terusan bertanya.Davin tersenyum di sela-sela kunyahan. Dari dulu sampai sekarang, Tere selalu saja menyodor-nyodorkannya dengan cewek mana pun. Hingga saat ini Davin memang masih sendiri. Dia masih betah dengan kesendiriannya itu karena belum menemukan yang benar-benar pas di hatinya.
Angel berjalan mendekati Dylan dan Gendiz yang juga sudah selesai makan. “Lan, aku pulang bareng kamu aja ya? Boleh kan?”Dylan dan Gendiz saling berpandangan. Sebenarnya Dylan keberatan kalau Angel ikut bersama mereka. Tapi rupanya tidak menjadi masalah bagi sang kekasih. “Pasti boleh dong, Ngel, yuk!” Gendiz menjawab ramah lantas merangkul pinggang Angel membawanya keluar dari resto. Sementara itu Dylan berjalan sendiri di belakang mereka. Laki-laki itu tak habis pikir dengan sikap humble sang kekasih.Melangkah pelan, Angel jadi risih sendiri karena Gendiz yang terus merangkulnya hingga mereka berada di mobil. “Kita antar Gendiz dulu ke kantornya,” ujar Dylan setelah menyalakan mesin. Matanya menatap spion tengah guna melihat Angel yang duduk sendiri di jok belakang.Angel diam saja. Percuma bicara. Toh dengan dia mengeluarkan suara tetap tidak akan mengubah apa pun. Dylan pasti tetap akan mengantar Gendiz. Padahal tadi seharusnya Gendiz bisa saja ikut dengan Davin karena mereka
“Baju aku udah nggak ada lagi yang bagus, temani aku belanja sekarang.” Angel muncul tiba-tiba di ruangan Dylan lima menit sebelum jam lima sore.Dylan yang sedang fokus memeriksa kertas-kertas di atas meja mengangkat wajahnya. Di hadapannya Angel berdiri dengan muka bossy.Lelaki itu lantas menghela nafas. Seperti yang sudah direncanakannya tadi, sore ini dia dan Gendiz sudah ada janji kencan. Mereka akan quality time bareng yang jarang-jarang keduanya lakukan. Lalu bagaimana bisa Angel datang dan tiba-tiba ingin merusak rencananya?Eh, tapi tumben-tumbenan gadis itu mengajaknya. Apa dia tidak sedang bermimpi?“Ngel, sorry, tapi aku sudah ada janji sama Gendiz, kamu tadi dengar sendiri kan?” ujar Dylan mengingatkan. Dia tahu pasti Angel tidak akan lupa hal itu. Masalahnya, Angel langsung mendengarnya tadi.“Iya, aku tahu, tapi kamu harus ingat, papi udah suruh kamu buat antar aku kemana-mana.” Angel mengunci Dylan agar tidak bisa berkilah lagi.“Pasti, pasti aku akan antar kamu pulan
“Lho, kenapa kamu pulang pake taksi? Dylan mana?” Baru saja Angel tiba di rumah, dia sudah ditodong Tatiana dengan pertanyaan.“Dia sama pacarnya, My,” sahut Angel lesu. Tanpa membuka sepatunya dia masuk ke dalam rumah. Angel langsung menghempaskan tubuhnya di kasur yang empuk sambil memeluk guling kesayangannya. Peristiwa di bioskop tadi terekam dengan jelas di benaknya dan sekarang membayang di depan matanya dengan teramat gamblang. Seharusnya dia tidak begini. Seharusnya dia tetap tenang. Nyatanya saat ini hatinya begitu gelisah. Angel tidak tahu kenapa perasaannya jadi galau begini.‘Pacar? Sejak kapan Dylan punya pacar?’Merasa penasaran, Tatiana menyusul masuk ke kamar Angel. Dilhatnya putrinya itu sedang berbaring membelakang ke arahnya. Perempuan itu lantas mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dengan lembut diusapnya rambut anak kesayangannya itu.“Sayang, kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Tatiana hati-hati. Tidak biasanya Angelica berl