Entah kenapa sepanjang hari itu mood Angel memburuk. Sejak pagi hingga siang gadis itu terus memasang tampang cemberut. Apa pun yang dilihat dan didengarnya hari itu tidak satu pun yang membuatnya merasa jauh lebaih baik. Semua serba salah. Angel memang moody-an, tapi rasanya belum pernah sampai separah ini. Entah kenapa. Lagi pula ini bukan jadwal tamu bulanannya yang membuatnya PMS.Dylan yang masuk ke ruangannya membuat Angel semakin jengkel.“Nggak bisa ya sebelum masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu?”“Aku mau ajak kamu makan siang.” Lelaki itu berucap ringan tanpa menanggapi Angel yang cemberut dan memprotes ulahnya.“Aku bisa makan siang sendiri.” Angel menolak. “Tapi papi yang menyuruh biar kita selalu bareng-bareng.”“Oh, jadi ternyata kamu beneran robot yang mau-maunya didikte sama papi? Jangan-jangan kalo papi suruh kamu mati sekarang kamu juga nggak akan menolak. Dasar kacung!” Angel memutar bola matanya sembari bersedekap. Dylan sama sekali tidak terpancing meskipun
“Ngel, kenapa cuma minum?” tegur Tere yang melihat Angel tidak menyentuh makanannya.“Aku udah kenyang, Ter.”“Kenyang? Cuma minum air doang bisa kenyang?” Tere terlihat heran. Angel mana pernah begini sebelumnya. “Kamu nggak lagi diet kan, Ngel?” tanyanya lagi. Dari dulu sampai sekarang badan Angel memang ramping tanpa perlu usaha ekstra. Dia tidak pernah membatasi porsi makannya dan mengatur polanya.“Nggak, memang pernah ya aku diet?” “Ya, siapa tahu kan?” Tere mengangkat bahu. “Nggak perlu disuapin sama Davin kan makannya?”“Apa sih?” Angel kemudian buru-buru menyentuh sendok dan menyuap nasi agar Tere tidak semakin curiga dan terus-terusan bertanya.Davin tersenyum di sela-sela kunyahan. Dari dulu sampai sekarang, Tere selalu saja menyodor-nyodorkannya dengan cewek mana pun. Hingga saat ini Davin memang masih sendiri. Dia masih betah dengan kesendiriannya itu karena belum menemukan yang benar-benar pas di hatinya.
Angel berjalan mendekati Dylan dan Gendiz yang juga sudah selesai makan. “Lan, aku pulang bareng kamu aja ya? Boleh kan?”Dylan dan Gendiz saling berpandangan. Sebenarnya Dylan keberatan kalau Angel ikut bersama mereka. Tapi rupanya tidak menjadi masalah bagi sang kekasih. “Pasti boleh dong, Ngel, yuk!” Gendiz menjawab ramah lantas merangkul pinggang Angel membawanya keluar dari resto. Sementara itu Dylan berjalan sendiri di belakang mereka. Laki-laki itu tak habis pikir dengan sikap humble sang kekasih.Melangkah pelan, Angel jadi risih sendiri karena Gendiz yang terus merangkulnya hingga mereka berada di mobil. “Kita antar Gendiz dulu ke kantornya,” ujar Dylan setelah menyalakan mesin. Matanya menatap spion tengah guna melihat Angel yang duduk sendiri di jok belakang.Angel diam saja. Percuma bicara. Toh dengan dia mengeluarkan suara tetap tidak akan mengubah apa pun. Dylan pasti tetap akan mengantar Gendiz. Padahal tadi seharusnya Gendiz bisa saja ikut dengan Davin karena mereka
“Baju aku udah nggak ada lagi yang bagus, temani aku belanja sekarang.” Angel muncul tiba-tiba di ruangan Dylan lima menit sebelum jam lima sore.Dylan yang sedang fokus memeriksa kertas-kertas di atas meja mengangkat wajahnya. Di hadapannya Angel berdiri dengan muka bossy.Lelaki itu lantas menghela nafas. Seperti yang sudah direncanakannya tadi, sore ini dia dan Gendiz sudah ada janji kencan. Mereka akan quality time bareng yang jarang-jarang keduanya lakukan. Lalu bagaimana bisa Angel datang dan tiba-tiba ingin merusak rencananya?Eh, tapi tumben-tumbenan gadis itu mengajaknya. Apa dia tidak sedang bermimpi?“Ngel, sorry, tapi aku sudah ada janji sama Gendiz, kamu tadi dengar sendiri kan?” ujar Dylan mengingatkan. Dia tahu pasti Angel tidak akan lupa hal itu. Masalahnya, Angel langsung mendengarnya tadi.“Iya, aku tahu, tapi kamu harus ingat, papi udah suruh kamu buat antar aku kemana-mana.” Angel mengunci Dylan agar tidak bisa berkilah lagi.“Pasti, pasti aku akan antar kamu pulan
“Lho, kenapa kamu pulang pake taksi? Dylan mana?” Baru saja Angel tiba di rumah, dia sudah ditodong Tatiana dengan pertanyaan.“Dia sama pacarnya, My,” sahut Angel lesu. Tanpa membuka sepatunya dia masuk ke dalam rumah. Angel langsung menghempaskan tubuhnya di kasur yang empuk sambil memeluk guling kesayangannya. Peristiwa di bioskop tadi terekam dengan jelas di benaknya dan sekarang membayang di depan matanya dengan teramat gamblang. Seharusnya dia tidak begini. Seharusnya dia tetap tenang. Nyatanya saat ini hatinya begitu gelisah. Angel tidak tahu kenapa perasaannya jadi galau begini.‘Pacar? Sejak kapan Dylan punya pacar?’Merasa penasaran, Tatiana menyusul masuk ke kamar Angel. Dilhatnya putrinya itu sedang berbaring membelakang ke arahnya. Perempuan itu lantas mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dengan lembut diusapnya rambut anak kesayangannya itu.“Sayang, kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Tatiana hati-hati. Tidak biasanya Angelica berl
Entah sudah berapa kali Angel membolak-balikkan tubuh di atas kasurnya. Berganti-ganti posisi sudah dia lakukan. Mulai dari berbaring miring, telentang sampai menelungkup, tapi matanya tetap tidak mau terpejam. Padahal malam-malam sebelumnya, jam segini biasanya Angel sudah tertidur. Entah apa yang terjadi malam ini. Saat memandang langit-langit kamar yang ada hanya wajah Dylan. Begitu pun saat Angel memindahkan mata ke arah lain, yang dia lihat hanya Dylan, Dylan dan Dylan. Dia ada di setiap sudut di dalam kamarnya.Oh my! Angel lantas bangun dari tidurnya dan duduk menyandarkan tubuh ke headboard. Gadis itu mengusap muka dan mengucek matanya berkali-kali.‘Kenapa wajah si bangke itu terus yang kebayang?’Angel menjangkau gawai yang tergeletak di sisi kiri permukaan kasur. Tidur bersamaan handphone bukanlah kebiasaan yang baik, tapi tadi dia butuh benda itu untuk mendengarkan musik dari sana sebagai distraksi agar otaknya tidak kemana-mana. Lagu-lagu mellow sudah dia dengarkan untuk
Dylan menunjukkan ruangan yang akan ditempati Angel serta mengenalkannya sebagai sekretaris yang baru pada seluruh pegawai Danner Property. Mereka semua menyambut baik, karena apa pun kebijakan perusahaan, mereka hanya bisa menerima dan menjalankan.Angel mengamati ruangannya yang baru. Tidak begitu berbeda dengan ruangannya yang lama. Mungkin satu-satunya yang tidak sama adalah letak ruangannya ini lebih dekat dengan Dylan. Sebut saja namanya ruangan di dalam ruangan. Karena hanya ada satu pintu sebagai akses untuk masuk bagi mereka berdua.“Ada yang mau kamu tanyain, Ngel?” Dylan sudah berada di dekat Angel saat gadis itu masih mengamati dan membaca situasi tempatnya berada kini.“Nggak.” Angel menggeleng. Tadi setelah memperkenalkannya pada seluruh staff, Dylan memang sudah memberitahu dan menjelaskan padanya tentang apa saja job desc-nya.“Kamu yakin?”“Ya,” sahut Angel, seperti tidak tertarik untuk bicara.“Ngel, sebentar lagi kita keluar, ada meeting jam sepuluh.” Dylan memberit
Acara penyiksaan batin (baca: meeting) itu pun berakhir. Selama meeting berlangsung Angel tidak bisa fokus. Bahkan dia tidak tahu materi apa yang dibahas. Bukan karena bodoh tapi keberadaan Dylan dan Gendiz yang duduk tepat di seberangnya membuyarkan konsentrasinya.“Angel, kebetulan aku ada perlu sebentar sama Gendiz, kamu nggak apa-apa kan balik ke kantor pake taksi?” ujar Dylan pada Angel. Di sebelahnya Gendiz tersenyum manis padanya.Angel menahan nafas. Jadi ternyata begini? “Nggak apa-apa,” sahut Angel mengizinkan meskipun hatinya merasa berat. Bahkan, kalau pun Angel mengatakan tidak, Dylan pasti tetap pergi meninggalkannya.“Duluan ya, Ngel.” Gendiz meninggalkan senyum. “Dave, aku keluar sebentar sama Dylan,” lambainya pada Davin yang dijawabnya dengan anggukan tanda setuju.Angel mengetuk-ngetukkan buku jari di atas meja. Dirinya dan Davin adalah dua orang terakhir yang masih berada di ruangan meeting setelah satu demi satu peserta meeting lainnya pergi meninggalkan ruangan.