“Lho, kenapa kamu pulang pake taksi? Dylan mana?”
Baru saja Angel tiba di rumah, dia sudah ditodong Tatiana dengan pertanyaan.“Dia sama pacarnya, My,” sahut Angel lesu. Tanpa membuka sepatunya dia masuk ke dalam rumah. Angel langsung menghempaskan tubuhnya di kasur yang empuk sambil memeluk guling kesayangannya.Peristiwa di bioskop tadi terekam dengan jelas di benaknya dan sekarang membayang di depan matanya dengan teramat gamblang. Seharusnya dia tidak begini. Seharusnya dia tetap tenang. Nyatanya saat ini hatinya begitu gelisah. Angel tidak tahu kenapa perasaannya jadi galau begini.‘Pacar? Sejak kapan Dylan punya pacar?’Merasa penasaran, Tatiana menyusul masuk ke kamar Angel. Dilhatnya putrinya itu sedang berbaring membelakang ke arahnya. Perempuan itu lantas mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dengan lembut diusapnya rambut anak kesayangannya itu.“Sayang, kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Tatiana hati-hati. Tidak biasanya Angelica berlEntah sudah berapa kali Angel membolak-balikkan tubuh di atas kasurnya. Berganti-ganti posisi sudah dia lakukan. Mulai dari berbaring miring, telentang sampai menelungkup, tapi matanya tetap tidak mau terpejam. Padahal malam-malam sebelumnya, jam segini biasanya Angel sudah tertidur. Entah apa yang terjadi malam ini. Saat memandang langit-langit kamar yang ada hanya wajah Dylan. Begitu pun saat Angel memindahkan mata ke arah lain, yang dia lihat hanya Dylan, Dylan dan Dylan. Dia ada di setiap sudut di dalam kamarnya.Oh my! Angel lantas bangun dari tidurnya dan duduk menyandarkan tubuh ke headboard. Gadis itu mengusap muka dan mengucek matanya berkali-kali.‘Kenapa wajah si bangke itu terus yang kebayang?’Angel menjangkau gawai yang tergeletak di sisi kiri permukaan kasur. Tidur bersamaan handphone bukanlah kebiasaan yang baik, tapi tadi dia butuh benda itu untuk mendengarkan musik dari sana sebagai distraksi agar otaknya tidak kemana-mana. Lagu-lagu mellow sudah dia dengarkan untuk
Dylan menunjukkan ruangan yang akan ditempati Angel serta mengenalkannya sebagai sekretaris yang baru pada seluruh pegawai Danner Property. Mereka semua menyambut baik, karena apa pun kebijakan perusahaan, mereka hanya bisa menerima dan menjalankan.Angel mengamati ruangannya yang baru. Tidak begitu berbeda dengan ruangannya yang lama. Mungkin satu-satunya yang tidak sama adalah letak ruangannya ini lebih dekat dengan Dylan. Sebut saja namanya ruangan di dalam ruangan. Karena hanya ada satu pintu sebagai akses untuk masuk bagi mereka berdua.“Ada yang mau kamu tanyain, Ngel?” Dylan sudah berada di dekat Angel saat gadis itu masih mengamati dan membaca situasi tempatnya berada kini.“Nggak.” Angel menggeleng. Tadi setelah memperkenalkannya pada seluruh staff, Dylan memang sudah memberitahu dan menjelaskan padanya tentang apa saja job desc-nya.“Kamu yakin?”“Ya,” sahut Angel, seperti tidak tertarik untuk bicara.“Ngel, sebentar lagi kita keluar, ada meeting jam sepuluh.” Dylan memberit
Acara penyiksaan batin (baca: meeting) itu pun berakhir. Selama meeting berlangsung Angel tidak bisa fokus. Bahkan dia tidak tahu materi apa yang dibahas. Bukan karena bodoh tapi keberadaan Dylan dan Gendiz yang duduk tepat di seberangnya membuyarkan konsentrasinya.“Angel, kebetulan aku ada perlu sebentar sama Gendiz, kamu nggak apa-apa kan balik ke kantor pake taksi?” ujar Dylan pada Angel. Di sebelahnya Gendiz tersenyum manis padanya.Angel menahan nafas. Jadi ternyata begini? “Nggak apa-apa,” sahut Angel mengizinkan meskipun hatinya merasa berat. Bahkan, kalau pun Angel mengatakan tidak, Dylan pasti tetap pergi meninggalkannya.“Duluan ya, Ngel.” Gendiz meninggalkan senyum. “Dave, aku keluar sebentar sama Dylan,” lambainya pada Davin yang dijawabnya dengan anggukan tanda setuju.Angel mengetuk-ngetukkan buku jari di atas meja. Dirinya dan Davin adalah dua orang terakhir yang masih berada di ruangan meeting setelah satu demi satu peserta meeting lainnya pergi meninggalkan ruangan.
“Nah, ini rumah aku, turun dulu yuk!” Mereka akhirnya tiba di rumah tingkat tiga yang terletak di kawasan pinggir pantai. Pilar-pilar besar dan tinggi terlihat menopang rumah itu yang akan membuat siapa saja yang tidak terbiasa akan merasa terintimidasi. Davin menggamit lengan Angel mengajaknya masuk ke dalam rumah. Entah seperti apa reaksi Adizty nanti saat melihatnya datang membawa perempuan. Pasti ibunya itu akan menyimpan berbagai dugaan. Tapi Davin harap Adizty tidak berekspektasi yang berlebihan karena baru kali ini dia membawa teman perempuan ke rumahnya.“Duduk di sini dulu ya, Ngel, aku panggilin mami.”“Iya, Dave.”Duduk sendirian di sofa besar ruang tamu rumah megah itu, Angel mengamati situasi di sekelilingnya. Mewah dan mahal. Itu kesan yang didapatnya setelah melihat ke setiap sudut sebatas pandangan matanya. Sampai akhirnya Angel melihat foto yang terpajang di dinding. Seorang lelaki tampak merangkul seorang wanita. Mereka memamerkan senyum manis yang dibingkai denga
Angel kembali ke ruang makan setelah menelepon Bian, pun dengan Adizty yang baru saja selesai menghubungi Kiano.“Tuh kan, Tan, benar yang aku bilang, papi aku tuh over protektif. Selalu ingin tahu aku ada di mana, lagi ngapain, lagi sama siapa, udah makan apa belum, padahal aku kan udah dewasa,” oceh Angel melaporkan obrolannya di telepon tadi.“Mungkin solusinya kamu harus segera menikah biar ada yang melindungi kamu, jadi papi kamu nggak over protektif lagi,” kata Adizty menimpali sambil tersenyum.“Haha… Tante bisa aja, boro-boro menikah, punya pacar juga belum.”“Sama dong kayak Davin. Gimana kalo kalian jadian aja? Pasti seru.”“Mami apa sih, Mi, lama-lama Mami suka ngawur sama kayak papi.” Davin buru-buru menengahi agar Angel tidak salah paham.Angel tersenyum kikuk. Andai saja mereka tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya bahwa hatinya sudah dia berikan untuk seseorang.“Nah, itu mungkin papinya Davin pulang,” celetuk Adizty saat mendengar suara bel menggema ke seisi rum
Akhirnya Davin mengantar Angel pulang. Keduanya merasa baru saja lolos dari maut setelah menghadapi orang tua Davin yang membuat mereka tidak berkutik.“Ngel, maaf ya, papi aku emang konyol orangnya,” ujar Davin setelah mereka berada di mobil. Pasti setelah berada di rumahnya tadi Angel berpikiran yang macam-macam mengenai Kiano.“Ya, Dave, bukan masalah kok. Papi aku dulu juga konyol orangnya, tapi sekarang banyakan seriusnya.” Angel masih ingat betul, dulu Bian bisa dibilang juga seperti Kiano. Mereka sangat dekat dan berbagi apa saja tanpa sungkan. Saat Angel berajak remaja Bian mulai berbeda dan menunjukkan perubahan. Angel tidak lagi merasa Bian sebagai sahabat karena ayahnya itu sudah menempatkan diri sebagai orang tua yang sesungguhnya, tegas dan keras.“Kenapa gitu, Ngel?”“Aku juga nggak tahu. Faktor usia kali. Tapi mami sama papi kamu orangnya asyik dan seru banget ya, Dave.”Davin tersenyum samar. Dia mencoba melupakan sejenak kekesalannya pada Kiano tadi. Papinya itu meman
“Kenapa lagi kamu, Dave?” tegur Kiano saat Davin pulang dengan muka lesu dan tubuh lunglai malam itu. Saat itu Kiano, Adizty dan Gendiz sedang berkumpul di ruang keluarga.“Nggak apa-apa, Pi, aku cuma capek,” jawab Davin sambil lalu. Dia segera menuju kamarnya di lantai tiga.Kiano dan Adizty saling berpandangan. Tidak biasanya Davin bersikap aneh begitu. Biasanya pasti setiap pulang kerja Davin menyempatkan diri bergabung bersama kedua orang tuanya dan menceritakan sekilas apa saja kegiatannya seharian. Tapi tidak saat ini.“Kakak kamu kenapa, Diz?” tanya Adizty pada Gendiz yang duduk bersama mereka sambil ngemil coklat. Hari itu Gendiz memang lebih duluan pulang ketimbang Davin. Tadi sebelum Gendiz pulang dia melihat ruang kerja Davin terutup rapat.“Aku nggak tahu, Mi. Ada masalah kali,” jawab Gendiz sambil mengembangkan tangan.“Masalah apa? Masalah pekerjaan?” Kiano ikut menyela.“Kalo kerjaan baik-baik aja sih, Pi, mungkin masalah cewek,” jawab Gendiz asal dan mengira-ngira.“
“Dave, Mami sudah siapin cheese cake untuk Angel, jangan lupa kamu kasih ya,” kata Adizty pagi itu saat Davin akan berangkat kerja.“Iya, Mi.” Davin menerima kotak berisi kue yang diberikan Adizty untuknya.“Ini juga jangan lupa, Dave.” Kiano ikut memberikan setangkai mawar yang masih segar.“Astaga, Pi, itu bunga dapat dari mana?” Adizty tiba-tiba kaget saat melihat setangkai mawar merah di tangan Kiano. Dia merasa sangat familiar dengan bunga itu.“Sorry, Yang, ini barusan aku cabut dari taman depan.”“Papi ada-ada aja, kalo Davin mau kasih Angel bunga dia kan bisa beli di florist, nggak perlu pake nyabut kembang kita segala,” omel Adizty yang shock begitu mengetahui kegilaan suaminya.“Nggak afdol kalo beli di florist, udah mainstream.”“Udahlah, Mi, Pi, nggak usah berantem.” Davin akhirnya menerima mawar berduri yang masih berembun itu dan menyimpannya di dalam kantong berisi kotak cheese cake. Tiap hari ada-ada saja tingkah absurd papinya.Kiano mengikuti langkah Davin sampai ke