“Dari mana kamu, Ngel?” tanya Dylan saat melihat Angel yang baru saja kembali ke ruangan. Sudah sejak tadi Dylan mencari tapi tak menemukannya.“Dari bawah.”“Dari bawah?”“Iya, barusan Davin ke sini.”“Ow…” Dylan mengembangkan senyum. Tampaknya Davin memang serius menjalin hubungan dengan sepupunya itu. “Ada apa?” Angel balik bertanya karena Dylan masih berdiri di dekat mejanya, seperti ingin menyampaikan sesuatu“Aku cuma mau kasih tahu nanti kita ke luar.” Dylan berlalu sesudahnya. Angel memandangi punggung Dylan yang kembali ke ruangannya dan meninggalkan bau parfum yang soft tapi maskulin. Sesudahnya, gadis itu menghempaskan tubuh di kursi kerjanya. Tatapannya jatuh pada setangkai mawar merah yang tergeletak pasrah di atas meja. ‘Ada-ada saja.’Angel membuang mawar itu ke tempat sampah yang berada di sebelah kaki meja. Gadis itu lantas mencoba melupakan selaksa kejadian pagi ini. Termasuk saat m
Angel memandang cemberut layar gawainya. Sejak tadi matanya tidak berpaling dari sana. Entah mengapa dia menjadi sebal sendiri melihatnya. Bukan hanya satu, dua, atau tiga, tapi sepuluh buah foto yang menampilkan kedekatan sahabatnya dan juga Davin.“Ini foto-foto aku pas konser kemarin, Ngel, gimana? Bagus kan?”Angel membaca caption yang tertera di bawah foto.“Ya, bagus.” Angel mereply pesan itu. Seharusnya dia yang berada di sana. Seharusnya dia yang berada di sebelah Davin saat malam itu. Nyatanya yang berada bersama laki-laki itu adalah sahabatnya sendiri. Teresia.“Eh, Ngel, gimana, gimana, aku udah cocok belum jadi pacarnya Davin?” tanya Tere setelah obrolan daring berlanjut menjadi percakapan melalui panggilan suara.“Apa?” ulang Angel demi meyakinkan pendengaran dan telinganya masih berfungsi dengan baik.“Aku udah cocok belum pacaran sama Davin?”Angel mencibir di depan gawainya. ‘Yang benar saja karyawan kubikel mau pacaran sama CEO,’ ejeknya di dalam hati.“Cocok nggak
Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu Angel memandang langit-langit kamar dengan sorot mata kosong. Mungkin pandangan matanya hanya sebatas itu, tapi pikirannya menerawang jauh.Angel merasa sendirian sekarang. Dia telah kehilangan tiga orang sekaligus. Dylan yang jelas-jelas memilih Gendiz, Davin yang kini menjauh, dan yang terakhir Teresia, sahabatnya sendiri yang menurut pikirannya sudah bahagia dengan Davin. Sungguh perempuan yang beruntung.Berkali-kali Angel mencoba menghubungi Davin, tapi sekalipun Davin tidak meresponnya. Angel lantas berusaha melupakan orang-orang itu, tapi yang ada Angel melihat mereka hampir di setiap sudut ke mana pun matanya memandang. Gadis berkulit putih itu mengusap sudut matanya yang mengembun. Pandangannya pun memburam bersamaan dengan bulir-bulir air mata yang turun tanpa mampu ditahan.Saat ini Angel rindu ingin bertengkar dengan Dylan. Dia juga kangen mendengar Davin memanggilnya dengan sebutan mbak blonde. Mungkin dulu dia akan marah, tapi seka
Bian ternyata benar-benar merealisasikan ucapannya. Sudah tiga hari ini dia mengurung Angel di rumah dan tidak mengizinkannya ke mana-mana. Dengan perlakuannya itu seolah-olah menganggap Angelica adalah seorang gadis kecil.“Aku bosan di rumah, My. Aku mau keluar.” Angel hampir saja berteriak saking tidak tahannya.“Kamu nggak boleh kemana-mana,” larang Bian menunjukkan sikap protektifnya seperti biasa.“Bi, tapi Angel bukan tahanan. Nggak perlu berlebihan kayak gini.” Tatiana mengingatkan agar Bian tahu batas. Kadang Bian lupa kalau Angel sudah hidup di dunia selama seperempat abad. Angel bukan lagi dady’s little girl yang setiap langkahnya dipantau dan gerak-geriknya diawasi.“Kalau kamu mau keluar minta temani sama Amy kamu aja.” Akhirnya Bian sedikit melunak setelah Tatiana memberinya pengertian. Bian juga tidak tega memperlakukan Angel seperti ini. Tapi mau tidak mau dia harus melakukannya agar Angel tidak mempunyai sedikit pun celah untuk bertemu dengan Dylan.“Papi kejam bange
Kiano mematut dirinya menyamping ke cermin. Di depannya Adizty berdiri memasangkan kancing kemejanya berurutan satu demi satu. Mulai dari atas hingga paling bawah. Dari dulu kebiasaan romantis ini memang tak pernah hilang dari mereka. Dari zaman cinta bergejolak hingga ke masa sekarang saat usia tidak lagi muda.Memang hal-hal kecil dan terbilang sepele seperti itu kadang terlihat tidak penting dan biasa saja. Tapi sungguh efeknya begitu luar biasa. Kebiasaan-kebiasaan sepele itulah yang mengikat erat hubungan mereka dan menjadikan keduanya tak terpisahkan dan saling membutuhkan satu sama lain.“Masa sih, Yang, aku masih kayak yang umur tiga puluhan,” cetus Kiano setelah mengalihkan tatapannya dari depan kaca ke muka Adizty.Adizty tersenyum kecil. “Kamu tuh ya, Pi, dari zaman ngejar aku narsisnya nggak hilang-hilang.”“Tapi beneran kan aku kayak yang masih muda?”“Iya deh iya…” Adizty akhirnya mengalah dan tidak ingin berdebat lagi. Percakapan mereka yang sudah selesai itu pun diakhi
“My, coba kamu aja dulu yang ngomong sama Angel,” kata Bian menyuruh Tatiana. Bian tahu, akan lebih mudah bagi Angel untuk menerima pencerahan dari istrinya itu ketimbang dirinya.“Bi, apa nggak kita berdua aja yang ngomong?”“Kamu aja duluan ya, nanti kalo kamu kesulitan aku baru nimbrung.”“Ya udah, Bi.” Tatiana meninggalkan Bian dan mengayun langkah ke kamar Angel. Tangannya lantas terulur untuk mengetuk pintu yang tertutup rapat.“Nggak dikunci, masuk aja!” Terdengar sahutan dari dalam.Tatiana memutar gagang pintu pelan-pelan. Begitu terbuka dia menemukan anak perempuannya itu sedang menelungkup sambil bermain gawai. Tatiana lantas mendekat dan mengusap pelan punggung Angel.“Sedang apa, nak?” tanyanya lembut. Matanya berusaha mencuri pandang ke layar handphone yang di mainkan Angel.“Main game,” sahut Angel singkat tanpa memindahkan fokus perhatiannya.Tatiana sekarang melihat dengan jelas game online yang dimainkan Angel. “Itu kan game cowok, Ngel,” protesnya kemudian.“Iya, M
Bian baru saja pulang malam ini. Meskipun tidak setiap hari, sesekali Bian datang mengunjungi Danner Property. Selebihnya dia menghabiskan waktu di rumah serta di tempat-tempat lain yang masih berhubungan dengan passion-nya.“Bi, aku sudah bicara sama Angel, dia setuju tentang perjodohan itu, tapi ada syaratnya.” Tatiana langsung melaporkan isi pembicarannya dengan anaknya tadi.“Syarat apa, My?” Bian membuka satu persatu kancing kemejanya dan menyampirkan ke kursi. “Katanya dia mau me time dulu sebelum menerima perjodohan itu.”“Me time gimana?” “Angel bilang mau liburan ke Jepang dulu, Bi, sendiri katanya.”“Ke Jepang?” Kerutan dalam tercipta di dahi Bian. “Mau ngapain dia sendiri di sana?”“Namanya juga me time, Bi. Biarin aja ya, siapa tahu dia lagi suntuk, terus pulang dari sana nanti pikirannya jadi lebih terbuka.”“Nggak kita temani aja, My? Hitung-hitung sekalian honeymoon?” Bian mengedipkan sebelah matanya menggoda Tatiana.“Ya ampun, Bi, honeymoon apalagi memangnya? Kita
Membuka pintu apartemennya, gelap langsung menyambut. Nyaris begitu setiap hari Dylan pulang ke apartemennya. Laki-laki itu lalu menekan saklar pertama yang ditemuinya. Dan detik itu juga ruangan yang tadi pekat dan gelap berubah terang benderang.Dylan tidak langsung masuk ke kamar. Dia menghempaskan tubuh di sofa abu-abu ruang tengah aprtemennya. Meskipun tubuhnya lelah dan ingin segera beristirahat, tapi kepalanya yang berat masih belum sepakat. Pikirannya masih ingin jalan-jalan.Sepasang matanya menyapu seluruh ruangan dan seisinya. Apartemen ini memang miliknya, yang dia beli dari hasil tetesan keringat yang sedikit-sedikit dikumpulkannya. Apa pun yang dimilikinya adalah berkat kerja kerasnya selama bertahun-tahun di Danner Property. Tidak dipungkiri, Bianlah yang banyak berjasa dalam hidupnya. Bian yang memiliki andil dengan porsi terbesar hingga membuatnya berada di titik seperti sekarang. Dan kini Dylan harus keluar dari zona nyaman setelah bertahun-tahun berada di dalamn