Kiano mematut dirinya menyamping ke cermin. Di depannya Adizty berdiri memasangkan kancing kemejanya berurutan satu demi satu. Mulai dari atas hingga paling bawah. Dari dulu kebiasaan romantis ini memang tak pernah hilang dari mereka. Dari zaman cinta bergejolak hingga ke masa sekarang saat usia tidak lagi muda.Memang hal-hal kecil dan terbilang sepele seperti itu kadang terlihat tidak penting dan biasa saja. Tapi sungguh efeknya begitu luar biasa. Kebiasaan-kebiasaan sepele itulah yang mengikat erat hubungan mereka dan menjadikan keduanya tak terpisahkan dan saling membutuhkan satu sama lain.“Masa sih, Yang, aku masih kayak yang umur tiga puluhan,” cetus Kiano setelah mengalihkan tatapannya dari depan kaca ke muka Adizty.Adizty tersenyum kecil. “Kamu tuh ya, Pi, dari zaman ngejar aku narsisnya nggak hilang-hilang.”“Tapi beneran kan aku kayak yang masih muda?”“Iya deh iya…” Adizty akhirnya mengalah dan tidak ingin berdebat lagi. Percakapan mereka yang sudah selesai itu pun diakhi
“My, coba kamu aja dulu yang ngomong sama Angel,” kata Bian menyuruh Tatiana. Bian tahu, akan lebih mudah bagi Angel untuk menerima pencerahan dari istrinya itu ketimbang dirinya.“Bi, apa nggak kita berdua aja yang ngomong?”“Kamu aja duluan ya, nanti kalo kamu kesulitan aku baru nimbrung.”“Ya udah, Bi.” Tatiana meninggalkan Bian dan mengayun langkah ke kamar Angel. Tangannya lantas terulur untuk mengetuk pintu yang tertutup rapat.“Nggak dikunci, masuk aja!” Terdengar sahutan dari dalam.Tatiana memutar gagang pintu pelan-pelan. Begitu terbuka dia menemukan anak perempuannya itu sedang menelungkup sambil bermain gawai. Tatiana lantas mendekat dan mengusap pelan punggung Angel.“Sedang apa, nak?” tanyanya lembut. Matanya berusaha mencuri pandang ke layar handphone yang di mainkan Angel.“Main game,” sahut Angel singkat tanpa memindahkan fokus perhatiannya.Tatiana sekarang melihat dengan jelas game online yang dimainkan Angel. “Itu kan game cowok, Ngel,” protesnya kemudian.“Iya, M
Bian baru saja pulang malam ini. Meskipun tidak setiap hari, sesekali Bian datang mengunjungi Danner Property. Selebihnya dia menghabiskan waktu di rumah serta di tempat-tempat lain yang masih berhubungan dengan passion-nya.“Bi, aku sudah bicara sama Angel, dia setuju tentang perjodohan itu, tapi ada syaratnya.” Tatiana langsung melaporkan isi pembicarannya dengan anaknya tadi.“Syarat apa, My?” Bian membuka satu persatu kancing kemejanya dan menyampirkan ke kursi. “Katanya dia mau me time dulu sebelum menerima perjodohan itu.”“Me time gimana?” “Angel bilang mau liburan ke Jepang dulu, Bi, sendiri katanya.”“Ke Jepang?” Kerutan dalam tercipta di dahi Bian. “Mau ngapain dia sendiri di sana?”“Namanya juga me time, Bi. Biarin aja ya, siapa tahu dia lagi suntuk, terus pulang dari sana nanti pikirannya jadi lebih terbuka.”“Nggak kita temani aja, My? Hitung-hitung sekalian honeymoon?” Bian mengedipkan sebelah matanya menggoda Tatiana.“Ya ampun, Bi, honeymoon apalagi memangnya? Kita
Membuka pintu apartemennya, gelap langsung menyambut. Nyaris begitu setiap hari Dylan pulang ke apartemennya. Laki-laki itu lalu menekan saklar pertama yang ditemuinya. Dan detik itu juga ruangan yang tadi pekat dan gelap berubah terang benderang.Dylan tidak langsung masuk ke kamar. Dia menghempaskan tubuh di sofa abu-abu ruang tengah aprtemennya. Meskipun tubuhnya lelah dan ingin segera beristirahat, tapi kepalanya yang berat masih belum sepakat. Pikirannya masih ingin jalan-jalan.Sepasang matanya menyapu seluruh ruangan dan seisinya. Apartemen ini memang miliknya, yang dia beli dari hasil tetesan keringat yang sedikit-sedikit dikumpulkannya. Apa pun yang dimilikinya adalah berkat kerja kerasnya selama bertahun-tahun di Danner Property. Tidak dipungkiri, Bianlah yang banyak berjasa dalam hidupnya. Bian yang memiliki andil dengan porsi terbesar hingga membuatnya berada di titik seperti sekarang. Dan kini Dylan harus keluar dari zona nyaman setelah bertahun-tahun berada di dalamn
Aroma Bvlgari aqva pour homme original menguar ke udara saat Davin menyemprotkannya. Seketika, bau pewangi pakaian tergantikan oleh aroma citrus dan petitgrain. Selang beberapa menit, aroma citrus memudar berganti menjadi aroma herbal dari posidonia, tanaman air yang tumbuh di perairan Mediterrania dan Australia. “Hmm, wangi banget, tumben?” Davin menoleh pada Adizty yang masuk ke kamarnya lantas duduk di tepi ranjang memperhatikan anak sulungnya itu. “Masa sih, Mi? Perasaan tiap hari juga kayak gini kok.” Davin mengendus-endus jas biru navy-nya sebagai pelapis paling luar kemeja putih yang dia kenakan. “Mami kali ya yang kurang perhatian sama kamu?” Adizty mengira-ngira. Davin tertawa. “Nggak juga, Mi. Mami udah perhatian banget kok. Mi, aku berangkat ya?” “Nggak sarapan dulu?” “Kayaknya nggak deh, Mi. Aku udah janji mau jemput Vivian.” Adizty menghela nafas mendengar Davin mengucapkan nama itu. “Dave, kamu dan dia udah jadian?” tanyanya kemudian. “Belum, Mi, masih pedekat
“Kamu yakin mau berangkat besok, Ngel?” tanya Tatiana malam itu saat Angel sedang mengemasi barang-barang yang akan dibawanya liburan.“Iya, My. Amy nggak usah cemas, aku udah sehat kok, My,” jawab Angel meyakinkan Tatiana kalau saat ini kondisinya sudah normal seperti semula dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lagi pula tiket pesawat sudah dipesan. Dirinya hanya tinggal berangkat dan membawa badan.“Nanti di sana kamu jaga diri ya. Amy juga udah siapkan obat-obatan untuk kamu.”Angel mengangguk sembari melihat Tatiana yang memasukkan obat-obatan ke dalam tasnya.“Kalo ada apa-apa di sana kamu buruan telepon Amy ya, Ngel. Nanti kamu jangan telat makan biar nggak masuk angin, pokoknya kamu jaga kesehatan, jangan sampai sakit.” Tatiana menasihati panjang lebar.“Iya, My,” angguknya patuh. “Papi mana, My?” ujar Angel menanyakan keberadaan Bian. Seharusnya saat ini Bian berada bersama Tatiana sedang menasihatinya. Nyatanya sejak tadi han
“Tambah lagi, Dave?” Akina menggeser wadah berisi nasi putih ke arah Davin. Meskipun tinggal di Jepang namun sehari-hari nasi putih tidak boleh ketinggalan dalam list menu mereka.“Sudah, Mi, aku udah kenyang.” Davin menggeser kembali nasi yang disodorkan padanya sembari memegang perut seakan memperkuat pernyataan itu. Sedangkan Delta Mahendra terlihat lahap menyantap nasi dengan rendang buatan Adizty yang dibawa Davin.“Dave, jadi kapan nih kira-kira?” Delta Mahendra menimpali obrolan istri dan cucunya.“Kira-kira apanya, Opi?” Davin balik bertanya karena tidak mengerti apa yang dimaksud kakeknya itu.“Kira-kira kapan kamu akan menikah?”Davin buru-buru meneguk air minum di dalam gelas. Pertanyaan itu lagi. Ayah dan kakeknya sama saja ternyata. Seakan hidupnya belum akan lengkap kalau belum menikah.“Belum tahu, Opi, aku belum kepikiran ke sana soalnya, lagian aku belum punya pacar.” Davin menjawab dengan jujur.“Payah
Davin bersiul kecil sambil membersihkan setiap bagian badannya hingga ke sela-sela. Percikan air shower yang mengaliri tubuhnya memberikan rasa sejuk yang menembus sampai ke dasar kulit. Hampir seharian ini dia tidak tersentuh air. Efek air dingin membuat kepalanya pun jadi lebih ringan sekarang. Yang Davin yakini, setelah ini dia bisa tidur nyenyak sampai pagi.Setelah merasa tubuhnya sudah bersih dan tidak ada lagi busa sabun yang menempel, Davin mengeringkan badan dengan handuk putih miliknya sendiri. Lelaki itu memiringkan kepalanya sambil mengusap-usap telinga demi meyakinkan tidak ada setetes air pun yang masuk ke dalam indra pendengarannya.Keluar dari kamar mandi, sepasang mata elangnya yang tajam tapi teduh beradu dengan tempat tidur besar tempat seharusnya dia beristirahat. Dan Davin melihat ada seseorang di sana. Merasa kurang yakin, Davin mengusap matanya lantas mengerjap berkali-kali. Dan yang dia lihat masih sama. Sosok itu masih ada di