Aroma Bvlgari aqva pour homme original menguar ke udara saat Davin menyemprotkannya. Seketika, bau pewangi pakaian tergantikan oleh aroma citrus dan petitgrain. Selang beberapa menit, aroma citrus memudar berganti menjadi aroma herbal dari posidonia, tanaman air yang tumbuh di perairan Mediterrania dan Australia. “Hmm, wangi banget, tumben?” Davin menoleh pada Adizty yang masuk ke kamarnya lantas duduk di tepi ranjang memperhatikan anak sulungnya itu. “Masa sih, Mi? Perasaan tiap hari juga kayak gini kok.” Davin mengendus-endus jas biru navy-nya sebagai pelapis paling luar kemeja putih yang dia kenakan. “Mami kali ya yang kurang perhatian sama kamu?” Adizty mengira-ngira. Davin tertawa. “Nggak juga, Mi. Mami udah perhatian banget kok. Mi, aku berangkat ya?” “Nggak sarapan dulu?” “Kayaknya nggak deh, Mi. Aku udah janji mau jemput Vivian.” Adizty menghela nafas mendengar Davin mengucapkan nama itu. “Dave, kamu dan dia udah jadian?” tanyanya kemudian. “Belum, Mi, masih pedekat
“Kamu yakin mau berangkat besok, Ngel?” tanya Tatiana malam itu saat Angel sedang mengemasi barang-barang yang akan dibawanya liburan.“Iya, My. Amy nggak usah cemas, aku udah sehat kok, My,” jawab Angel meyakinkan Tatiana kalau saat ini kondisinya sudah normal seperti semula dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lagi pula tiket pesawat sudah dipesan. Dirinya hanya tinggal berangkat dan membawa badan.“Nanti di sana kamu jaga diri ya. Amy juga udah siapkan obat-obatan untuk kamu.”Angel mengangguk sembari melihat Tatiana yang memasukkan obat-obatan ke dalam tasnya.“Kalo ada apa-apa di sana kamu buruan telepon Amy ya, Ngel. Nanti kamu jangan telat makan biar nggak masuk angin, pokoknya kamu jaga kesehatan, jangan sampai sakit.” Tatiana menasihati panjang lebar.“Iya, My,” angguknya patuh. “Papi mana, My?” ujar Angel menanyakan keberadaan Bian. Seharusnya saat ini Bian berada bersama Tatiana sedang menasihatinya. Nyatanya sejak tadi han
“Tambah lagi, Dave?” Akina menggeser wadah berisi nasi putih ke arah Davin. Meskipun tinggal di Jepang namun sehari-hari nasi putih tidak boleh ketinggalan dalam list menu mereka.“Sudah, Mi, aku udah kenyang.” Davin menggeser kembali nasi yang disodorkan padanya sembari memegang perut seakan memperkuat pernyataan itu. Sedangkan Delta Mahendra terlihat lahap menyantap nasi dengan rendang buatan Adizty yang dibawa Davin.“Dave, jadi kapan nih kira-kira?” Delta Mahendra menimpali obrolan istri dan cucunya.“Kira-kira apanya, Opi?” Davin balik bertanya karena tidak mengerti apa yang dimaksud kakeknya itu.“Kira-kira kapan kamu akan menikah?”Davin buru-buru meneguk air minum di dalam gelas. Pertanyaan itu lagi. Ayah dan kakeknya sama saja ternyata. Seakan hidupnya belum akan lengkap kalau belum menikah.“Belum tahu, Opi, aku belum kepikiran ke sana soalnya, lagian aku belum punya pacar.” Davin menjawab dengan jujur.“Payah
Davin bersiul kecil sambil membersihkan setiap bagian badannya hingga ke sela-sela. Percikan air shower yang mengaliri tubuhnya memberikan rasa sejuk yang menembus sampai ke dasar kulit. Hampir seharian ini dia tidak tersentuh air. Efek air dingin membuat kepalanya pun jadi lebih ringan sekarang. Yang Davin yakini, setelah ini dia bisa tidur nyenyak sampai pagi.Setelah merasa tubuhnya sudah bersih dan tidak ada lagi busa sabun yang menempel, Davin mengeringkan badan dengan handuk putih miliknya sendiri. Lelaki itu memiringkan kepalanya sambil mengusap-usap telinga demi meyakinkan tidak ada setetes air pun yang masuk ke dalam indra pendengarannya.Keluar dari kamar mandi, sepasang mata elangnya yang tajam tapi teduh beradu dengan tempat tidur besar tempat seharusnya dia beristirahat. Dan Davin melihat ada seseorang di sana. Merasa kurang yakin, Davin mengusap matanya lantas mengerjap berkali-kali. Dan yang dia lihat masih sama. Sosok itu masih ada di
Semakin lama desakan di bawah tubuhnya kian mendesak dan menuntut untuk disalurkan. Keinginan itu membuat Davin merasa kesakitan. Lelaki itu menegang di tempatnya sambil mencengkram permukaan kasur dengan tangannya yang gemetar. Rasanya sungguh luar biasa. Menegangkan dan mendebarkan. Jauh lebih menegangkan dari saat menonton siaran langsung pertandingan antara klub bola Real Madrid dan Barcelona. Juga tidak kurang mendebarkan kala menyaksikan Lewis Hamilton berlaga di adu balap Formula 1.Susah payah Davin menelan saliva agar tetap bertahan. Terlebih saat ini badannya sudah panas dingin. Gesekan skin on skin itu membuatnya ketar-ketir. Tapi dia tahu, dia harus bisa bertahan. Mungkin dia bisa saja melakukan apa pun yang diinginkannya pada Angel saat ini untuk membungkam kesombongan gadis itu. Namun Davin bukanlah tipe lelaki pecundang.Sekuat apa pun Davin mencoba, dirinya tetap laki-laki biasa yang naluri kelaki-lakiannya masih normal. Davin takut tidak mampu mena
Memberanikan diri, Davin berjalan di lorong hotel dan melewati kamar demi kamar. Rasanya risih dengan kondisi tubuh seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi?Beberapa orang yang antri di depan lift serentak menoleh ke arahnya begitu Davin melangkah mendekati mereka. Berpasang-pasang mata menatapnya heran dan penuh tanda tanya. Sungguh sebuah keanehan yang jarang-jarang terjadi di hotel sebesar dan semegah ini. Saat semua orang berpakaian lengkap bahkan menggunakan pakaian terbaiknya, Davin malah hanya menggunakan bawahan tanpa atasan.Beberapa orang perempuan menyingkir saat Davin ikut bergabung menunggu lift bersama mereka. Tak hanya tatapan aneh, tapi Davin juga sempat mendengar di telinganya kata-kata tidak menyenangkan dari penghuni hotel yang saling berbisik.“Apa dia gila?”“Saya rasa demikian.”“Kasihan ya!”“Gimana bisa orang tidak waras menginap di sini?”“Entahlah, mungkin dia menipu petugas hotel.”Davin mendengar semua bisik-bisik para pengantri lift yang kebanyakan adalah per
Davin berkaca di cermin. Dia memandangi raut gagahnya yang tidak membosankan. Seperti yang sering dibilang maminya. Tangannya lantas mengusap rahangnya yang tegas yang juga selalu dipuji-puji maminya karena terpahat dengan begitu sempurna. Hal besar tercipta hari ini. Sepanjang usia dewasanya, selain dirinya sendiri dan maminya, baru kali ini ada yang menyentuh pipinya. Dan itu pun dengan tamparan keras, bukan usapan yang halus apalagi lembut dan penuh cinta.Tidak terbayang betapa malu dirinya saat orang-orang memandanginya dengan tatapan aneh dan menertawainya. Belum lagi rasa sakit yang diterimanya atas ulah perempuan yang sudah jelas-jelas bersalah tapi malah playing victim. Lihat saja nanti, Davin akan membalasnya. Sejarah luar biasa sudah terukir hari ini. Ditampar seorang perempuan atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Dan Davin akan mengingat sepanjang sisa hidupnya. Davin kemudian beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana. Mata dan kepalanya yang sama-sama b
Sepanjang perjalanan pikiran Davin tidak jauh-jauh dari Angelica. Gadis itu menghuni pikirannya dan mengisinya sampai penuh. Tidak hanya pikirannya tapi matanya juga. Meski berkali-kali Davin menggantinya dengan muka Vivian, tapi wajah Angelica selalu hadir lagi dan lagi membayangi dan menghantuinya terus-terusan.Seharusnya Davin tidak perlu mengkhawatirkannya, namun yang terjadi malah sebaliknya. Di ujung kegelisahannya, Davin kemudian mensugesti dirinya sendiri.‘Dave, kamu nggak boleh gini. Kamu jangan lemah sama cewek. Apalagi cewek kayak dia. Dia udah nyakitin kamu dan bikin kamu nggak punya harga diri. Kamu harus balas dia, Dave. Kamu harus bisa kayak papi. Kamu harus bikin dia bertekuk lutut dan ngejar-ngejar kamu. Ingat, Dave, kamu itu laki-laki. Dan laki-laki nggak boleh cemen.’“Kita sudah sampai, Dave.” Suara Daichi memberitahu Davin.“Eh, iya.” Davin tersentak. Hampir sepanjang perjalanan ini Davin terus melamun hingga tidak sadar kalau sudah sampai di kediaman keluarga
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa