“Kamu yakin mau berangkat besok, Ngel?” tanya Tatiana malam itu saat Angel sedang mengemasi barang-barang yang akan dibawanya liburan.“Iya, My. Amy nggak usah cemas, aku udah sehat kok, My,” jawab Angel meyakinkan Tatiana kalau saat ini kondisinya sudah normal seperti semula dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lagi pula tiket pesawat sudah dipesan. Dirinya hanya tinggal berangkat dan membawa badan.“Nanti di sana kamu jaga diri ya. Amy juga udah siapkan obat-obatan untuk kamu.”Angel mengangguk sembari melihat Tatiana yang memasukkan obat-obatan ke dalam tasnya.“Kalo ada apa-apa di sana kamu buruan telepon Amy ya, Ngel. Nanti kamu jangan telat makan biar nggak masuk angin, pokoknya kamu jaga kesehatan, jangan sampai sakit.” Tatiana menasihati panjang lebar.“Iya, My,” angguknya patuh. “Papi mana, My?” ujar Angel menanyakan keberadaan Bian. Seharusnya saat ini Bian berada bersama Tatiana sedang menasihatinya. Nyatanya sejak tadi han
“Tambah lagi, Dave?” Akina menggeser wadah berisi nasi putih ke arah Davin. Meskipun tinggal di Jepang namun sehari-hari nasi putih tidak boleh ketinggalan dalam list menu mereka.“Sudah, Mi, aku udah kenyang.” Davin menggeser kembali nasi yang disodorkan padanya sembari memegang perut seakan memperkuat pernyataan itu. Sedangkan Delta Mahendra terlihat lahap menyantap nasi dengan rendang buatan Adizty yang dibawa Davin.“Dave, jadi kapan nih kira-kira?” Delta Mahendra menimpali obrolan istri dan cucunya.“Kira-kira apanya, Opi?” Davin balik bertanya karena tidak mengerti apa yang dimaksud kakeknya itu.“Kira-kira kapan kamu akan menikah?”Davin buru-buru meneguk air minum di dalam gelas. Pertanyaan itu lagi. Ayah dan kakeknya sama saja ternyata. Seakan hidupnya belum akan lengkap kalau belum menikah.“Belum tahu, Opi, aku belum kepikiran ke sana soalnya, lagian aku belum punya pacar.” Davin menjawab dengan jujur.“Payah
Davin bersiul kecil sambil membersihkan setiap bagian badannya hingga ke sela-sela. Percikan air shower yang mengaliri tubuhnya memberikan rasa sejuk yang menembus sampai ke dasar kulit. Hampir seharian ini dia tidak tersentuh air. Efek air dingin membuat kepalanya pun jadi lebih ringan sekarang. Yang Davin yakini, setelah ini dia bisa tidur nyenyak sampai pagi.Setelah merasa tubuhnya sudah bersih dan tidak ada lagi busa sabun yang menempel, Davin mengeringkan badan dengan handuk putih miliknya sendiri. Lelaki itu memiringkan kepalanya sambil mengusap-usap telinga demi meyakinkan tidak ada setetes air pun yang masuk ke dalam indra pendengarannya.Keluar dari kamar mandi, sepasang mata elangnya yang tajam tapi teduh beradu dengan tempat tidur besar tempat seharusnya dia beristirahat. Dan Davin melihat ada seseorang di sana. Merasa kurang yakin, Davin mengusap matanya lantas mengerjap berkali-kali. Dan yang dia lihat masih sama. Sosok itu masih ada di
Semakin lama desakan di bawah tubuhnya kian mendesak dan menuntut untuk disalurkan. Keinginan itu membuat Davin merasa kesakitan. Lelaki itu menegang di tempatnya sambil mencengkram permukaan kasur dengan tangannya yang gemetar. Rasanya sungguh luar biasa. Menegangkan dan mendebarkan. Jauh lebih menegangkan dari saat menonton siaran langsung pertandingan antara klub bola Real Madrid dan Barcelona. Juga tidak kurang mendebarkan kala menyaksikan Lewis Hamilton berlaga di adu balap Formula 1.Susah payah Davin menelan saliva agar tetap bertahan. Terlebih saat ini badannya sudah panas dingin. Gesekan skin on skin itu membuatnya ketar-ketir. Tapi dia tahu, dia harus bisa bertahan. Mungkin dia bisa saja melakukan apa pun yang diinginkannya pada Angel saat ini untuk membungkam kesombongan gadis itu. Namun Davin bukanlah tipe lelaki pecundang.Sekuat apa pun Davin mencoba, dirinya tetap laki-laki biasa yang naluri kelaki-lakiannya masih normal. Davin takut tidak mampu mena
Memberanikan diri, Davin berjalan di lorong hotel dan melewati kamar demi kamar. Rasanya risih dengan kondisi tubuh seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi?Beberapa orang yang antri di depan lift serentak menoleh ke arahnya begitu Davin melangkah mendekati mereka. Berpasang-pasang mata menatapnya heran dan penuh tanda tanya. Sungguh sebuah keanehan yang jarang-jarang terjadi di hotel sebesar dan semegah ini. Saat semua orang berpakaian lengkap bahkan menggunakan pakaian terbaiknya, Davin malah hanya menggunakan bawahan tanpa atasan.Beberapa orang perempuan menyingkir saat Davin ikut bergabung menunggu lift bersama mereka. Tak hanya tatapan aneh, tapi Davin juga sempat mendengar di telinganya kata-kata tidak menyenangkan dari penghuni hotel yang saling berbisik.“Apa dia gila?”“Saya rasa demikian.”“Kasihan ya!”“Gimana bisa orang tidak waras menginap di sini?”“Entahlah, mungkin dia menipu petugas hotel.”Davin mendengar semua bisik-bisik para pengantri lift yang kebanyakan adalah per
Davin berkaca di cermin. Dia memandangi raut gagahnya yang tidak membosankan. Seperti yang sering dibilang maminya. Tangannya lantas mengusap rahangnya yang tegas yang juga selalu dipuji-puji maminya karena terpahat dengan begitu sempurna. Hal besar tercipta hari ini. Sepanjang usia dewasanya, selain dirinya sendiri dan maminya, baru kali ini ada yang menyentuh pipinya. Dan itu pun dengan tamparan keras, bukan usapan yang halus apalagi lembut dan penuh cinta.Tidak terbayang betapa malu dirinya saat orang-orang memandanginya dengan tatapan aneh dan menertawainya. Belum lagi rasa sakit yang diterimanya atas ulah perempuan yang sudah jelas-jelas bersalah tapi malah playing victim. Lihat saja nanti, Davin akan membalasnya. Sejarah luar biasa sudah terukir hari ini. Ditampar seorang perempuan atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Dan Davin akan mengingat sepanjang sisa hidupnya. Davin kemudian beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana. Mata dan kepalanya yang sama-sama b
Sepanjang perjalanan pikiran Davin tidak jauh-jauh dari Angelica. Gadis itu menghuni pikirannya dan mengisinya sampai penuh. Tidak hanya pikirannya tapi matanya juga. Meski berkali-kali Davin menggantinya dengan muka Vivian, tapi wajah Angelica selalu hadir lagi dan lagi membayangi dan menghantuinya terus-terusan.Seharusnya Davin tidak perlu mengkhawatirkannya, namun yang terjadi malah sebaliknya. Di ujung kegelisahannya, Davin kemudian mensugesti dirinya sendiri.‘Dave, kamu nggak boleh gini. Kamu jangan lemah sama cewek. Apalagi cewek kayak dia. Dia udah nyakitin kamu dan bikin kamu nggak punya harga diri. Kamu harus balas dia, Dave. Kamu harus bisa kayak papi. Kamu harus bikin dia bertekuk lutut dan ngejar-ngejar kamu. Ingat, Dave, kamu itu laki-laki. Dan laki-laki nggak boleh cemen.’“Kita sudah sampai, Dave.” Suara Daichi memberitahu Davin.“Eh, iya.” Davin tersentak. Hampir sepanjang perjalanan ini Davin terus melamun hingga tidak sadar kalau sudah sampai di kediaman keluarga
Di sebelah wanita berhati malaikat, Angel duduk sambil termenung. Sorot matanya jauh dan kosong menatap jalanan melalui kaca mobil di sebelahnya. Rasa resah kian menguasai hatinya. Bagaimana hidupnya setelah ini? Apa yang harus dilakukannya tanpa uang di tangan? Sampai detik ini Angel masih menyesali kebodohannya. Entah mengapa dia sampai seceroboh itu, di negeri orang pula.“Sudahlah, jangan dipikirkan.” Akina—sang wanita penolong itu menepuk lembut paha Angel.Angel tersenyum kikuk. Bagaimana mungin dia tidak memikirkannya. Ini adalah masalah besar pertama dalam hidupnya yang membuatnya kelimpungan. Memangnya siapa yang tidak akan hilang akal kalau tidak memegang uang sepeser pun?“Di sini semuanya bersaudara, jadi jangan sungkan kalau ada apa-apa.” Akina menambahkan kalimatnya. Angel memang sudah bercerita bahwa dia orang Indonesia juga.Kata-kata Akina menyejukkan hati Angel. Ternyata ada orang sebaik wanita itu terhadap orang asing. Padahal mereka tidak saling kenal sebelumnya.