“Nah, ini rumah aku, turun dulu yuk!” Mereka akhirnya tiba di rumah tingkat tiga yang terletak di kawasan pinggir pantai. Pilar-pilar besar dan tinggi terlihat menopang rumah itu yang akan membuat siapa saja yang tidak terbiasa akan merasa terintimidasi. Davin menggamit lengan Angel mengajaknya masuk ke dalam rumah. Entah seperti apa reaksi Adizty nanti saat melihatnya datang membawa perempuan. Pasti ibunya itu akan menyimpan berbagai dugaan. Tapi Davin harap Adizty tidak berekspektasi yang berlebihan karena baru kali ini dia membawa teman perempuan ke rumahnya.“Duduk di sini dulu ya, Ngel, aku panggilin mami.”“Iya, Dave.”Duduk sendirian di sofa besar ruang tamu rumah megah itu, Angel mengamati situasi di sekelilingnya. Mewah dan mahal. Itu kesan yang didapatnya setelah melihat ke setiap sudut sebatas pandangan matanya. Sampai akhirnya Angel melihat foto yang terpajang di dinding. Seorang lelaki tampak merangkul seorang wanita. Mereka memamerkan senyum manis yang dibingkai denga
Angel kembali ke ruang makan setelah menelepon Bian, pun dengan Adizty yang baru saja selesai menghubungi Kiano.“Tuh kan, Tan, benar yang aku bilang, papi aku tuh over protektif. Selalu ingin tahu aku ada di mana, lagi ngapain, lagi sama siapa, udah makan apa belum, padahal aku kan udah dewasa,” oceh Angel melaporkan obrolannya di telepon tadi.“Mungkin solusinya kamu harus segera menikah biar ada yang melindungi kamu, jadi papi kamu nggak over protektif lagi,” kata Adizty menimpali sambil tersenyum.“Haha… Tante bisa aja, boro-boro menikah, punya pacar juga belum.”“Sama dong kayak Davin. Gimana kalo kalian jadian aja? Pasti seru.”“Mami apa sih, Mi, lama-lama Mami suka ngawur sama kayak papi.” Davin buru-buru menengahi agar Angel tidak salah paham.Angel tersenyum kikuk. Andai saja mereka tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya bahwa hatinya sudah dia berikan untuk seseorang.“Nah, itu mungkin papinya Davin pulang,” celetuk Adizty saat mendengar suara bel menggema ke seisi rum
Akhirnya Davin mengantar Angel pulang. Keduanya merasa baru saja lolos dari maut setelah menghadapi orang tua Davin yang membuat mereka tidak berkutik.“Ngel, maaf ya, papi aku emang konyol orangnya,” ujar Davin setelah mereka berada di mobil. Pasti setelah berada di rumahnya tadi Angel berpikiran yang macam-macam mengenai Kiano.“Ya, Dave, bukan masalah kok. Papi aku dulu juga konyol orangnya, tapi sekarang banyakan seriusnya.” Angel masih ingat betul, dulu Bian bisa dibilang juga seperti Kiano. Mereka sangat dekat dan berbagi apa saja tanpa sungkan. Saat Angel berajak remaja Bian mulai berbeda dan menunjukkan perubahan. Angel tidak lagi merasa Bian sebagai sahabat karena ayahnya itu sudah menempatkan diri sebagai orang tua yang sesungguhnya, tegas dan keras.“Kenapa gitu, Ngel?”“Aku juga nggak tahu. Faktor usia kali. Tapi mami sama papi kamu orangnya asyik dan seru banget ya, Dave.”Davin tersenyum samar. Dia mencoba melupakan sejenak kekesalannya pada Kiano tadi. Papinya itu meman
“Kenapa lagi kamu, Dave?” tegur Kiano saat Davin pulang dengan muka lesu dan tubuh lunglai malam itu. Saat itu Kiano, Adizty dan Gendiz sedang berkumpul di ruang keluarga.“Nggak apa-apa, Pi, aku cuma capek,” jawab Davin sambil lalu. Dia segera menuju kamarnya di lantai tiga.Kiano dan Adizty saling berpandangan. Tidak biasanya Davin bersikap aneh begitu. Biasanya pasti setiap pulang kerja Davin menyempatkan diri bergabung bersama kedua orang tuanya dan menceritakan sekilas apa saja kegiatannya seharian. Tapi tidak saat ini.“Kakak kamu kenapa, Diz?” tanya Adizty pada Gendiz yang duduk bersama mereka sambil ngemil coklat. Hari itu Gendiz memang lebih duluan pulang ketimbang Davin. Tadi sebelum Gendiz pulang dia melihat ruang kerja Davin terutup rapat.“Aku nggak tahu, Mi. Ada masalah kali,” jawab Gendiz sambil mengembangkan tangan.“Masalah apa? Masalah pekerjaan?” Kiano ikut menyela.“Kalo kerjaan baik-baik aja sih, Pi, mungkin masalah cewek,” jawab Gendiz asal dan mengira-ngira.“
“Dave, Mami sudah siapin cheese cake untuk Angel, jangan lupa kamu kasih ya,” kata Adizty pagi itu saat Davin akan berangkat kerja.“Iya, Mi.” Davin menerima kotak berisi kue yang diberikan Adizty untuknya.“Ini juga jangan lupa, Dave.” Kiano ikut memberikan setangkai mawar yang masih segar.“Astaga, Pi, itu bunga dapat dari mana?” Adizty tiba-tiba kaget saat melihat setangkai mawar merah di tangan Kiano. Dia merasa sangat familiar dengan bunga itu.“Sorry, Yang, ini barusan aku cabut dari taman depan.”“Papi ada-ada aja, kalo Davin mau kasih Angel bunga dia kan bisa beli di florist, nggak perlu pake nyabut kembang kita segala,” omel Adizty yang shock begitu mengetahui kegilaan suaminya.“Nggak afdol kalo beli di florist, udah mainstream.”“Udahlah, Mi, Pi, nggak usah berantem.” Davin akhirnya menerima mawar berduri yang masih berembun itu dan menyimpannya di dalam kantong berisi kotak cheese cake. Tiap hari ada-ada saja tingkah absurd papinya.Kiano mengikuti langkah Davin sampai ke
“Dari mana kamu, Ngel?” tanya Dylan saat melihat Angel yang baru saja kembali ke ruangan. Sudah sejak tadi Dylan mencari tapi tak menemukannya.“Dari bawah.”“Dari bawah?”“Iya, barusan Davin ke sini.”“Ow…” Dylan mengembangkan senyum. Tampaknya Davin memang serius menjalin hubungan dengan sepupunya itu. “Ada apa?” Angel balik bertanya karena Dylan masih berdiri di dekat mejanya, seperti ingin menyampaikan sesuatu“Aku cuma mau kasih tahu nanti kita ke luar.” Dylan berlalu sesudahnya. Angel memandangi punggung Dylan yang kembali ke ruangannya dan meninggalkan bau parfum yang soft tapi maskulin. Sesudahnya, gadis itu menghempaskan tubuh di kursi kerjanya. Tatapannya jatuh pada setangkai mawar merah yang tergeletak pasrah di atas meja. ‘Ada-ada saja.’Angel membuang mawar itu ke tempat sampah yang berada di sebelah kaki meja. Gadis itu lantas mencoba melupakan selaksa kejadian pagi ini. Termasuk saat m
Angel memandang cemberut layar gawainya. Sejak tadi matanya tidak berpaling dari sana. Entah mengapa dia menjadi sebal sendiri melihatnya. Bukan hanya satu, dua, atau tiga, tapi sepuluh buah foto yang menampilkan kedekatan sahabatnya dan juga Davin.“Ini foto-foto aku pas konser kemarin, Ngel, gimana? Bagus kan?”Angel membaca caption yang tertera di bawah foto.“Ya, bagus.” Angel mereply pesan itu. Seharusnya dia yang berada di sana. Seharusnya dia yang berada di sebelah Davin saat malam itu. Nyatanya yang berada bersama laki-laki itu adalah sahabatnya sendiri. Teresia.“Eh, Ngel, gimana, gimana, aku udah cocok belum jadi pacarnya Davin?” tanya Tere setelah obrolan daring berlanjut menjadi percakapan melalui panggilan suara.“Apa?” ulang Angel demi meyakinkan pendengaran dan telinganya masih berfungsi dengan baik.“Aku udah cocok belum pacaran sama Davin?”Angel mencibir di depan gawainya. ‘Yang benar saja karyawan kubikel mau pacaran sama CEO,’ ejeknya di dalam hati.“Cocok nggak
Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu Angel memandang langit-langit kamar dengan sorot mata kosong. Mungkin pandangan matanya hanya sebatas itu, tapi pikirannya menerawang jauh.Angel merasa sendirian sekarang. Dia telah kehilangan tiga orang sekaligus. Dylan yang jelas-jelas memilih Gendiz, Davin yang kini menjauh, dan yang terakhir Teresia, sahabatnya sendiri yang menurut pikirannya sudah bahagia dengan Davin. Sungguh perempuan yang beruntung.Berkali-kali Angel mencoba menghubungi Davin, tapi sekalipun Davin tidak meresponnya. Angel lantas berusaha melupakan orang-orang itu, tapi yang ada Angel melihat mereka hampir di setiap sudut ke mana pun matanya memandang. Gadis berkulit putih itu mengusap sudut matanya yang mengembun. Pandangannya pun memburam bersamaan dengan bulir-bulir air mata yang turun tanpa mampu ditahan.Saat ini Angel rindu ingin bertengkar dengan Dylan. Dia juga kangen mendengar Davin memanggilnya dengan sebutan mbak blonde. Mungkin dulu dia akan marah, tapi seka