Beranda / CEO / Wanita Rebutan / Terlilit Hutang

Share

Terlilit Hutang

Dirga merasa terkejut ketika mama mertuanya menampar pipi kanannya dengan sangat keras. Tidak sampai disitu, Puji pun memaksa putrinya untuk ikut pulang bersamanya. Namun, Anya berlutut di kaki ibunya sambil memohon agar dirinya tidak dipaksa untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya karena sudah sah menjadi istri orang lain.

“Kamu ini melawan sama Mama? Sayang! Kamu bisa mati kelaparan kalau bersama dia!” seru Puji dengan emosional.

Dirga pun juga berlutut dan memohon untuk diberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu menjaga dan menafkahi Anya sebagaimana mestinya. Puji terlihat tertawa meremehkan menantunya.

“Eh... Dirga! Apa jaminan kamu? Lihat fakta yang terjadi bahwa kamu punya banyak hutang!” seru Puji.

“Atau jangan... Jangan kamu menikahi anak saya karena ingin memeras kekayaan saya ya!” seru Puji.

Broto hanya bisa terdiam karena malu harus menyaksikan keributan di anggota keluarganya. Beberapa orang mencoba mererai mereka hingga puji pun mengajak suaminya untuk pergi dari rumah Dirga. Setelah kedua orang tuanya pergi, Anya linglung dan di tenangkan oleh beberapa orang yang masih ada di sekitar rumah Dirga. Termasuk teman-temannya yang saat ini juga turut menyaksikan keributan yang terjadi.

Keesokan harinya, datanglah salah satu wanita paruh baya yang kemarin telah membuat kegaduhan di acara sakral pernikahan. Dia mengetuk pintu dengan keras tidak lupa berteriak-teriak menggelar. Anya yang saat ini sendirian di rumah itu dengan segera membuka pintu. Terlihat, Anya sedikit gelisah saat berhadapan dengan wanita paruh baya tersebut. Wanita itu merupakan seorang rentenir yang dikenal dengan mencampurkan bunga yang sangat banyak hampir 70 persen.

“Mana uangnya!” seru wanita paruh baya dengan tatapan mata penuh ketajaman.

“Maaf, Bu. Saya lagi tidak punya uang” ujar Anya.

“Eh... Kalian ini sudah minjam uang saya sudah lebih satu Minggu! Jumlah uang yang kalian pinjam ke saya pun lumayan banyak!” serunya.

“Maaf, Bu... Saya janji akan melunasinya segera” ujar Anya.

“Kalau tidak punya modal ya jangan deh sok-sok pakai acara tunangan segala! Cukup nikah secara sederhana aja deh! Kalian ini orang miskin tapi bersikap elit. Pokoknya ya, besok lusa saya akan kembali lagi. Kalau sampai tidak dibayar juga, maka saya akan berikan bunga 70 persen!” serunya.

Setelah berkata demikian, dia pun langsung pergi tanpa permisi. Anya hanya bisa menghela nafasnya dalam-dalam. Pikirannya mulai semrawut membayangkan hutang 20 juta tidak mungkin dapat dilunasi esok lusa. Dalam kegelisahan itu, Anya dengan terpaksa ingin menjual cincin pernikahannya tersebut. Tanpa basa-basi lagi Anya pun langsung menuju ke arah toko emas yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi rumahnya. Sehingga, Anya memutuskan untuk berjalan kaki disana karena tidak ada sepeda motor lebih di rumahnya.

Meskipun sudah sampai di toko emas, Anya tetap merasa kecapean. Namun rasa cape itu sudah di balaskan dengan rasa syukur. Anya mendapatkan uang hasil dari menjual cincin dan kalung emas dengan total 15 juta. Meskipun tidak pas 20 juta, seenggaknya bisa meringankan beban untuk berhutang. Dari kejauhan terlihat beberapa anak kecil jalanan yang sedang mengintai Anya.

“Teman-teman kita rampas dompet dari kakak yang disana yok!” seru salah satu anak gelandangan.

“Gasken!!!” sahut temannya yang lain.

Anya pun berjalan sembari membawa dompet berisikan uang 15 juta. Anak-anak itu dengan cepat meraih paksa dompet yang dipegang oleh Anya hingga salah satu dari mereka pun berhasil mengambilnya dan lari. Anya berteriak meminta tolong berusaha agar di tolong oleh warga. Namun sayangnya suasana dijalan itu dalam keadaan sepi.

“Tidak.... Uangku hiks” Isak tangisnya pun pecah ketika tidak ada satupun orang yang menolongnya.

Anya pulang dalam keadaan hampa. Merasa tidak berhasil untuk menolongi suaminya yang terlilit hutang hanya demi mewujudkan keinginannya untuk mengadakan acara pertunangan dengan mewah. Bukan tanpa alasan Anya seperti itu, dirinya hanya ingin melihat momen spesial seumur hidupnya diadakan dengan meriah. Meskipun Anya tahu bahwa suaminya hanyalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai satpam di salah satu pasar besar.

“Kamu habis darimana Anya?” tanya Dirga ketika Anya sudah sampai ke rumah.

“Maafkan aku mas hiks” ujar Anya sambil menangis.

Dirga menduga bahwa sesuatu buruk tengah terjadi pada istrinya. Dirga pun bertanya mengapa istrinya menangis sesenggukan? Tidak ingin menyembunyikan sesuatu, Anya pun menceritakan semuanya. Rasa sedih dan Kecewa tengah Dirga rasakan. Bukan, bukan karena Anya akan tetapi Dirga merasa kecewa pada dirinya sendiri yang merasa tidak berguna.

Selama berpacaran tiga tahun lamanya, Anya belum pernah meminta sesuatu yang memberatkan Dirga secara ekonomi. Dirga merasa istrinya sangat memahami kondisinya yang memang tidak seperti laki-laki kaya diluaran sana. Dirga merasa miskin dan hanya lulusan SMP. Penyesalannya dulu telah menghantuinya saat ini.

“Kamu kenapa Sayang?” tanya Dirga yang saat ini mencoba mengelus rambut panjang istrinya.

“Aku... Aku telah menjual cincin pernikahan yang kemarin kamu kasih” ujar Anya menunduk.

Dirga tercengang mendengarnya pengakuan Anya yang nekat menjual cincin pernikahan. Dirga kecewa, mengapa istrinya dapat dengan mudahnya melepaskan cincin yang berharga untuk mereka? Berharga karena menjadi saksi atas ikatan suci yang baru kemarin dilaksanakan.

“Aku mohon maafkan aku” pinta Anya sembari memeluk erat tubuh suaminya.

Dirga menghela nafas dengan berat hati ia menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Seaindainya saja aku tidak sering bolos sekolah, mungkin aku tidak akan seperti ini” gumam Dirga pelan penuh rasa penyesalan di masa lalu.

Anya dapat mendengar perkataan Dirga yang dulunya nakal. Anya pun langsung menyemangati suaminya dengan mengatakan bahwa menjadi sukses tidak mesti berkriteria tinggi alias harus berpendidikan tinggi. Roda kehidupan tidak ada yang tahu. Namun, lulusan yang tidak SMA pada dasarnya juga sulit untuk melamar di tempat-tempat tertentu. Sehingga mau tidak mau Dirga harus menerima apapun pekerjaan yang saat ini menerimanya.

“Sayang, apa lebih baik kita meminjam uang pada kedua orang tuaku?” tanya Anya dengan tiba-tiba.

Dirga berpikir sejenak antar menyetujui atau menolak. Sebab, dirinya tahu mama mertuanya sangat membencinya. Apalagi insiden kemarin yang benar-benar memalukan.

“Sayang? Kok diam?” tanya Anya yang sedari tadi berharap mendapatkan keputusan dari suaminya.

“Kemarin kamu juga sudah mengetahuinya Anya. Mama kamu sangat marah sama aku dan sekarang? Aku tidak yakin harus meminjam uang disana” ujar Dirga lirih.

“Kita tidak punya pilihan lagi! Coba kamu berusaha dulu Mas. Siapa tahu kedua orang tuaku dapat meminjamkan uang untuk kita” ujar Anya.

“Baiklah, sekarang aku ke rumah Mama dan Papa kamu. Sekarang, sebaiknya kamu istirahat saja” ujar Dirga.

Selama satu jam perjalanan, Dirga pun sampai di rumah mertuanya. Dengan perasaan bercampur aduk, Dirga mencoba berjalan menuju ke pintu dan mulai mengetuknya beberapa kali.

Terlihat, Puji sudah membuka pintu dan tidak menyapa menantunya. Dirga pun. berinisiatif untuk mengatakan tujuannya datang kesana.

“Maafkan Dirga Tante. Dirga belum bisa bikin Tante senang punya menantu seperti Dirga” ujar Dirga.

“Eh, gak usah berbelit-belit! Mau apa datang kesini Ah!” seru Puji.

“Dirga bingung harus meminjam uang dimana lagi jadi”

Belum selesai Dirga berbicara, Puji pun langsung menutup pintu tanpa memberikan kesempatan kepada Dirga untuk membalas perkataannya. Dirga tidak lagi bisa meminjam uang jika kondisi mertuanya sudah terlanjur murka. Apesnya lagi, Broto terlihat tidak ada di sekitar rumah. Jika seandainya Broto ada, mungkin Broto akan memberikannya pinjaman uang itu meskipun melalui cara sembunyi-sembunyi.

“Apa yang mesti aku lakukan sekarang? Tidak mungkin aku pulang dengan tangan kosong. Aku malu sekali pada Anya yang baru tinggal bersamaku sudah hidup melarat oleh hutang” gumam Dirga lirih.

Dirga pun memutuskan untuk mencari warung untuk membeli sesuap nasi. Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Sambil meraih dompet yang kian menipis, Dirga pun pandai-pandai mengatur biaya pengeluarannya. Setelah memesan makanan dan air putih, Dirga memutuskan untuk mencari tempat duduk yang masih kosong.

Aku harus mencari uang pinjaman kemana lagi?” gumam Dirga yang hampir berputus asa.

Sesaat kemudian, Dirga mengingat akan teman-temannya. Dalam hatinya, Dirga berharap dari sekian teman pasti akan meringankan beban. Dengan cepat Dirga menghubungi temannya satu persatu. Namun, pada akhirnya tidak ada yang dapat membantunya sama sekali. Ada beragam alasan yang dilontarkan oleh teman-temannya seperti tidak punya uang, belum gajihan hingga masih pengangguran.

“Ini makanannya” ujar pemilik warung yang tengah membawakan pesanan. Dirga menganggukkan kepalanya lalu tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada pemilik warung.

Perutnya yang keroncongan itu dapat didengar oleh ibu warung tersebut sebelum memutuskan untuk pergi karena sudah selesai memberikan pesanan. Dirga langsung melahap nasi uduk tersebut dengan cepat nasinya pun habis beserta lauk pauknya. Lalu Dirga meraih segelas air putih dan meminum airnya hingga habis.

Dirga kembali kepikiran soal uang pinjaman yang belum usai ditemukannya. Merasa kecewa memiliki banyak teman namun tidak ada satupun yang membantunya hingga Dirga pun memutuskan untuk pulang dengan tangan kosong.

Sesampainya di rumah, Anya sudah menyambutnya dengan gembira. Mungkin bagi istrinya merasa Dirga sudah berhasil mendapatkan uang puluhan juta dari orang tuanya. Dirga pun diajak masuk ke dalam kamar tidur untuk membahas itu. Akhirnya, Dirga angkat bicara dengan rasa bersalah Dirga mengatakan belum mendapatkan uang dari Rupiah pun.

“Aku tidak berhasil Anya bahkan teman-teman pun tidak ada yang membantu ” gumam Dirga pelan.

“Aku merasa malu sama kamu Anya” ujarnya lagi sambil menundukkan kepala.

Anya tersenyum manis seperti telah mengetahuinya itu semua. Sambil tersenyum, Anya pun mengatakan bahwa dirinya sudah mengetahui apa yang suaminya rasakan. Hal itu ia ketahui melalui telepon dari Eleanor. Kata Anya, Eleanor merasa tidak enak hati karena tidak bisa membantu dalam bentuk pinjaman uang. Namun, dalam bentuk lain Eleanor pun bisa memberikan rekomendasi pada Anya.

Mendengar hal itu, Dirga pun lantas bertanya “Rekomendasi apa yang Eleanor katakan? Aku kurang mengerti” ujar Dirga diakhir kalimat.

“Gini Sayang... Kamu kan tahu kalau aku ini mantan model pakaian terkini. Lalu sekarang ada lowongan lagi Mas! Namun, yang membedakannya itu lowongannya khusus untuk model majalah dewasa!” seru Anya dengan semangat menggebu-gebu.

“Apa? Model dewasa!” seru Dirga terkejut.

“Iya Mas... Gajihnya pun katanya banyak” ujar Anya seakan mau untuk menjadi model tersebut.

“Tidak, tidak akan aku izinkan. Sayang... Setahu aku kalau menjadi model majalah dewasa pasti terlalu berani memamerkan keindahan tubuh mereka dan aku tidak mau pria lainnya dapat melihat lekukan tubuh kamu yang khusus dilihat hanya untuk aku seorang” ujar Dirga berbicara panjang.

“Cuma foto doang apa susahnya sih? Lagian, kamu itu gak bakalan maju-maju kalau aku tidak ikutan bertindak” ujar Anya yang merasa diragukan. Padahal mereka telah mengenal satu sama lain dan tidak seharusnya Dirga tidak percayai kesetiaan itu.

“Tapi Sayang aku akan usahain sendiri asal kamu jangan bekerja seperti itu” ujar Dirga yang tetap tidak mengizinkannya.

“Tidak diizinkan atau diizinkan pokoknya aku akan tetap melamar pekerjaan untuk jadi model sekalipun itu model majalah dewasa!!!” seru Anya sembari keluar dari kamar tidur dengan membanting pintu secara keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status