Papa tak bicara lagi setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Erick dan seorang pria yang kuduga sebagai sahabatnya. Satu wanita yang berdiri di sampingnya kemudian mendekat dan membantuku untuk duduk."Marina, akhirnya kita bertemu juga. Sebagai perwakilan dari Erick anggap saja kami ini kerabatmu, karena suamiku dan Erick sudah bersahabat sejak remaja. Dan sekarang aku ingin bertanya padamu. Kamu mau 'kan menikah dengan Erick sekarang? Ya, meskipun cuma akad, tapi setelah kamu sembuh aku yakin Erick akan meresmikan pernikahan kalian." Suara wanita yang belum aku ketahui namanya itu terdengar lembut. Meski tidak berhijab, namun dari tutur kata dan aura wajahnya aku yakin dia wanita yang cukup baik.Tatapanku kemudian mengedar pada Erick, lalu menoleh pada Papa yang rahangnya mengeras, tapi tak berdaya untuk mencegah. Terakhir pada Mama yang mengangguk pelan seolah-olah merestui akad yang akan dilangsungkan dan hanya tinggal mendengar putusanku saja."Marin, jika kamu masih membut
Kujalani hariku dengan tenang tanpa gangguan. Menyongsong masa depan dengan lebih baik lagi setelah memaafkan dan berdamai dengan masa lalu. Ada Erick dan Richie yang harus diperhatikan sekarang, disamping dengan kesibukanku menjadi model pakaian muslimah.Apakah pikiranku baik-baik saja setelah apa yang terjadi, nyatanya tidak. Aku bisa melewati semuanya setelah berkonsultasi dengan psikolog dan lebih mendekatkan diri pada ilahi. Dan ternyata ikhlas adalah kunci semuanya.“Marin, Mas mau pergi ke kantor sebentar untuk mengurusi beberapa kerajaan, sekalian mengantar Richie ke sekolahnya. Kamu tinggal di rumah, aja, ya. Nanti sore baru siap-siap, kita belanja untuk persiapan ke Italy,” ucap Erick pagi-pagi saat kami sarapan.“Iya, Mas. Hati-hati.” Aku mengiyakan, dan melepas kepergian keduanya sambil mengantarnya ke halaman. Seharian berdiam di rumah membuatku bosan. Iseng, aku masuk ke ruang kerja suamiku dan membongkar beberapa barang yang dibawa dari apartemen. Saking sibukn
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Tak biasanya Erick yang ceria tampak menjawab beberapa pertanyaan dari Richie dengan singkat. Kendati mengulas senyum, tapi jelas pikirannya tidak baik-baik saja.Masuk ke halaman rumah, sudah ada mobil putih terparkir di sana. Sepertinya Mama datang berkunjung. Tapi kenapa beliau tidak memberitahuku dulu?Lantas kubuka ponsel untuk mencari sesuatu, barangkali ada panggilan dari mama. Namun setelah melihat log panggilan, tidak ada panggilan terakhir dari wanita itu.Tumben, tidak biasanya Mama datang tanpa mengabari lebih dulu, batinku bicara sendiri.“Di mana Mamaku, Mbak?” tanyaku pada Mbak Ani yang mengangkat cangkir dari ruang tamu untuk dibawa ke dapur, yang sepertinya bekas Mama minum.“Bu Marisa mengeluh sakit tadi. Makanya minta istirahat. Jadi Saya tunjukkan ke kamar tamu, Bu,” ujarnya sopan.“Oh, oke. Terima kasih. Tolong bawa barang-barang belanjaan di dalam mobil, ya, aku mau bicara dengan Mama,” ucapku yang dibalas lagi dengan
Siapa yang tidak khawatir melihat keadaan Mama yang semakin lama semakin memprihatinkan. Entah karena terkejut atau saking sakit hatinya, Mama sampai-sampai tidak bisa berkata-kata. Lalu akhirnya, atas saran dari Maya kami membawa Mama ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.Setelah diperiksa menyeluruh, Mama terpaksa di opname dan diberi obat penenang karena gelisah dan terus-terusan histeris.Beruntung Erick memesan kamar VIP untuk Mama bisa istirahat, ada bed tambahan juga untuk tidur di sana.“Tidurlah di ranjang Mas, ini sudah hampir jam sebelas malam. Mas pasti kecapean,” ucapku pada Erick. Kasihan, dia yang paling direpotkan mengurus segala sesuatunya. Dari mulai membawa Mama ke rumah sakit sampai mendaftar dan segala tetek bengeknya.“Bukan hanya Mas yang tidur, tapi kamu juga. Mas takut keadaanmu juga drop, jadi sebaiknya kamu istirahat sekarang. Biar Mas tidur di sofa,” jelas Erick saat aku menyuruhnya untuk tidur di ranjang. Karena esok hari dia harus bekerja,
Mataku melebar sempurna melihat penampakan papa yang berbaring dengan keadaan setengah telanjang. Ranjang yang berantakan menjelaskan sebrutal apa kelakuan mereka sebelumnya.Menjijikkan! Pria itu kenapa makin lama makin memusingkan. Diusianya yang hampir memasuki kepala 6, kenapa Papa malah semakin menjadi-jadi.“Marin, nggak sopan kamu, main masuk-masuk aja ke rumah orang!” Papa melotot sambil menarik selimutnya. Tampak dia kesal atas ulahku yang spontan.“Cepat pakai pakaian Papa, aku ingin berbicara serius!” Kubanting pintu dengan kasar. Dibantu Erick keluar dari kamar untuk duduk di sofa, bahkan aku harus memilih tempat yang sedikit bersih untuk menundukkan diri. Aku memijat kepalaku yang berdenyut nyeri saat Erick menatapku serius, “ini yang Mas takutkan. Jika kamu tidak enak badan, sebaiknya kita pulang. Biar Mas sendiri yang bicara dengan papamu nanti,” usul Erick dengan pandangan khawatir.“Nggak usah, Mas. Aku baik-baik saja aja.”Aku menggeleng dan memalingkan wajah
Apa ini ada hubungannya dengan kisah semalam? Jelas aku melihat kedekatan dan kemesraan Dimas dengan Sheila. Aku tidak tahu apa hubungan mereka, hanya saja aku berdoa dalam hati semoga rumah tangga Amira baik-baik saja, karena Sheila tidak mungkin secara kebetulan bertemu dengan sahabat suamiku jika tidak ada maksud tertentu. Bahkan semua orang mengetahui bagaimana kehidupan Sheila sekarang ini. Setelah karirnya hancur, Bian di penjara, dan keluarganya pergi meninggalkannya, tak ada lagi yang tersisa selain diri tanpa materi. Sheila pasti akan mencari mangsa yang lebih tajir dari mantan suamiku untuk memenuhi semua kebutuhannya. Itupun kalau benar dia dan Bian sudah berpisah. Kalau belum, harus kukatakan kalau itu perselingkuhan babak dua.“Kak Amira, apa kabar?” tanyaku basa-basi sambil mencium pipi kiri dan kanannya. “Seperti yang kamu lihat, Marin,” jawab wanita berpakaian serba hitam tersebut. Aku mengangguk sekilas berusaha menyelami gesturnya. Aku yakin Amira memang tidak
Aku tertegun dan limbung mendengar penjelasan dari Maya barusan. Mama selama ini menyimpan penyakit berbahaya itu sendiri, dan bod*hnya aku tidak mengetahui hal itu.“Ap-apa yang kau katakan itu benar, ‘kan, May?! Kau tidak bohong ‘kan padaku?” tanyaku untuk kesekian kalinya. Hanya untuk memastikan kalau apa yang kudengar itu tidak salah. Maya mengangguk sambil mendesah, “Tante Marisa memintaku untuk merahasiakannya darimu. Jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti permintaannya. Dia juga sudah melakukan beberapa kali operasi dan ditunjang obat. Hal itu cukup menyembuhkan penyakitnya, tapi setelahnya Tante Marisa tidak mau melayani lagi suaminya. Kendati papamu terus mendesak dan meminta haknya, dia tetap menolak. Ya mungkin itulah alasan yang menyebabkan kenapa papamu sampai rajin berselingkuh di luar sana,” papar Maya lagi. “Dia melakukan dosa May, bukan kerajinan,” ralatku membuat Maya nyengir.“Habisnya papamu itu kok doyan banget selingkuh.”“Dan ditengah keterke
“Pengunjung dimohon tenang dan jangan berperilaku kasar, atau pertemuan ini terpaksa kami tutup lebih cepat,” ujar pengawas yang Erick minta untuk mempertemukan kami tanpa batas waktu.“Papa, tolong jangan seperti ini. Biarkan Marina menjelaskan lebih dulu,” tegur Bian lagi. Dia pasti kesal karena papanya itu tak jua mau sabar.“Ya, itu yang ingin kutanyakan padamu, Bi. Masihkah kamu memperistri wanita itu?! Jika iya, aku meminta bantuan mama dan papamu untuk bertemu dengan mereka malam ini. Sheila benar-benar meresahkan. Untuk kali kedua dia berselingkuh dengan pria beristri.”Bian menghela napas berat. “Kami belum bercerai dan Sheila juga tidak mau diceraikan. Kau ingat ‘kan saat aku hendak merujukmu malam itu, sebelumnya aku ingin menjatuhkan talak padanya dengan tawaran sejumlah uang untuk bakal hidup, tapi Sheila menolak dan mati-matian mengatakan kalau dia mencintaiku dan akan sabar menunggu sampai aku bebas. Tapi jika benar apa yang kau katakan barusan, maka aku tak bi
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki
Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek
Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi
“Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan
Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam
Tok tok tok. Pintu terdengar diketuk dengan tidak sabar. Erick buru-buru menutupi seluruh badannya dengan selimut. Matanya melirik awas padaku dengan mata penuh pengharapan. “Jangan biarkan seorang pun masuk.” Aku tidak menjawab dan hanya tersenyum menanggapinya. Erick pasti malu akibat keadaannya yang setengah tanpa pakaian tersebut. Lagi poles siapa yang menyuruhnya untuk bertelanjang dada, bahkan di pagi buta seperti hari ini. Kuambilkan kaos hitam lalu kuserahkan padanya. “Pakailah, jangan sampai anak-anak melihatmu dalam keadaan seperti itu.” Erick meraihnya dengan wajah bersemu merah. “Itu kan gara-gara kamu sendiri, Sayang. Siapa suruh semalam minta nambah jadi aku malas untuk pakai-pakaian lagi. Kalau kamu masih ingin lagi, aku kan bisa langsung—” “Sttt.” Aku langsung melotot. Naik atas kasur dan menutup mulutnya yang nakal itu. Bisa-bisanya Mas bilang demikian padahal sebenarnya siapa semalam yang lagi menginginkan lebih.” Erick menarik tangan dan menciumnya