Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.”Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan.Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Temp
Waktu hampir menginjak dini hari, namun entah kenapa mataku tidak juga mau terpejam. Pikiranku terus mengarah pada Mas Bian yang tak kunjung pulang.Pukul sepuluh tadi malam, dia mengabarkan akan segera tiba di rumah. Tapi, hingga empat jam kemudian, pria itu belum juga menampilkan batang hidungnya.Sebagai seorang istri yang memiliki suami dengan tingkat kepadatan aktivitas tak mengenal waktu, aku memang dituntut untuk mengerti. Tapi jika perkataan tidak sesuai dengan kenyataan, tentu saja aku menjadi gelisah dan kepikiran.'Sebenarnya kamu di mana, Mas?'Namaku Marina. Aku dan Mas Bian menikah 5 tahun yang lalu. Kami sudah dikaruniai seorang jagoan kecil bernama Richie. Hidup kami pun terbilang bahagia dengan ekonomi yang perlahan naik.Suamiku tidak bekerja di kantoran atau pun memiliki usaha. Dia adalah seorang aktor yang namanya tengah dielu-elukan oleh kaum wanita dan kaum ibu-ibu di negeri ini.Setelah belasan kali membintangi drama TV, akhirnya Mas Bian mendapat kesempatan saa
"Ya sudah, aku mau siap-siap dulu buat syuting. Udah gitu, nanti aku mau pergi ke tempat meeting bareng beberapa klien. Hari ini mungkin aku akan pulang terlambat lagi."Mas Bian melirik ke arah jam digital yang ada di atas nakas, dan berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.Priaku itu lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan ponselnya di atas meja.Bip!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Nama 'Shei' tertera di sana. Dengan jelas bisa kulihat pesan apa yang masuk beberapa detik lalu itu.(Ay, datang ke apartemen dulu, ya. Mumpung aku lagi sendirian.)Pesan itu membuat mataku melotot sempurna, apalagi diiringi dengan emot kedip sebelah mata. Seolah kode kalau mereka bebas melakukan apa saja karena tidak akan ada orang yang mengganggu.Apa-apaan ini?Sialan!Setelah semalam Mas Bian menggumamkan nama wanita itu, kenapa sekarang Sheila justru menyuruh suamiku datang ke tempatnya.Benar-benar mencurigakan.Mondar-mandir tidak jelas seperti kebiasaanku saat ada masalah, otakku memikirkan b
Mas Bian dan Sheila sudah pergi, sementara Sony memeriksa ponselnya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil miliknya. Gegas aku menarik bahunya membuat pria itu berpaling padaku. Terlihat wajah Sony yang terkejut begitu melihatku berdiri dengan tatapan emosi padanya."Mbak Marina?""Bukankah kau harus menjelaskan sesuatu padaku tentang hubungan mereka?" tanyaku langsung tanpa basa-basi."Ma-maksud Mbak apa, ya? Dan kenapa Mbak masih ada di sini?" tanyanya pura-pura bingung. Aku mendecih dengan tatapan serius."Sudah berapa lama mereka berhubungan, dan sesering apa mereka pergi berdua?""Mbak sepertinya salah paham. Sheila dan Pak Bian tidak ada hubungan apa-apa. Beneran. Mereka cuma rekan kerja yang kebetulan terlihat dekat, ya tentu saja agar dapat chemistry saat syuting nanti. Mbak juga tahu 'kan, kalau hal itu biasa di antara para pemain," jawabnya langsung memberi penjelasan, seolah aku adalah wanita bodoh yang mudah sekali dibohongi."Heh, begitukah?" Ragu-ragu Sony mengangguk."Ja
Entah mengapa aku begitu puas melihat wajah keduanya. Terlebih Sheila yang berusaha meredam emosi melihatku tampak santai duduk di antara mereka.Wanita itu bahkan tidak melanjutkan kembali makannya dan sesekali melirik ke arah Mas Bian. Tapi kau lihat Sheila, bahkan suamiku tidak berbuat apa-apa untuk melepaskanmu dari situasi tidak menyenangkan ini.Sampai makan siang itu berakhir, tak ada yang bersuara di antara kami. Mas Bian terburu-buru mengajakku pulang setelah secepat mungkin menghabiskan makanannya.Sheila berdiri di pinggir jalan. Aku menggamit tangan suamiku sambil tersenyum padanya. Tak lupa mendekat ke arahnya untuk memberikan kunci mobil."Kamu boleh membawa mobil Sony, nanti aku suruh dia mengambilnya di tempatmu. Dan ya, setelah ini ruang gerakmu akan semakin terbatas untuk mendekati suamiku, Sheila," bisikku membuat wanita itu mendelik dan mundur satu langkah ke belakang. Tak lupa, bibir ini mendarat begitu saja di pipi suamiku, membuat Mas Bian terhenyak.Pria itu
Sampai keesokan paginya, tidak ada yang bersuara di antara kami. Dan tidak seperti biasanya, Mas Bian juga tidak sibuk bermain ponsel saat kami menikmati sarapan bertiga. Kuharap dia merasa bersalah atas kejadian tadi malam, yang sialnya sampai sekarang kejadian itu terasa menghujam jantungku.Jika pikirannya ada di sini dan tidak terganggu dengan wanita itu, sekilas dia seperti seorang suami yang bertanggung jawab dan perhatian, terutama pada Richie. "Marin," panggilnya datar."Ya?" Seakan sadar dari lamunan, aku menjawab cepat. "Mas minta maaf untuk urusan semalam. Tolong jangan diambil hati, ya. Mas benar-benar tak sadar." Mas Bian meriah jari-jariku dan meremasnya pelan. Aku tersenyum tipis menanggapinya."Jauhkan dia dari pikiranmu, Mas. Jangan lupa, peranmu sebagai suami dari wanita itu cukup dalam sinetron saja, jangan dibawa-bawa ke rumah tangga kita. Itu beda, ingat itu baik-baik," tekanku dengan suara lirih. Jangan sampai Richie mendengar percakapan orang dewasa. It