Waktu hampir menginjak dini hari, namun entah kenapa mataku tidak juga mau terpejam. Pikiranku terus mengarah pada Mas Bian yang tak kunjung pulang.
Pukul sepuluh tadi malam, dia mengabarkan akan segera tiba di rumah. Tapi, hingga empat jam kemudian, pria itu belum juga menampilkan batang hidungnya.Sebagai seorang istri yang memiliki suami dengan tingkat kepadatan aktivitas tak mengenal waktu, aku memang dituntut untuk mengerti. Tapi jika perkataan tidak sesuai dengan kenyataan, tentu saja aku menjadi gelisah dan kepikiran.'Sebenarnya kamu di mana, Mas?'Namaku Marina. Aku dan Mas Bian menikah 5 tahun yang lalu. Kami sudah dikaruniai seorang jagoan kecil bernama Richie. Hidup kami pun terbilang bahagia dengan ekonomi yang perlahan naik.Suamiku tidak bekerja di kantoran atau pun memiliki usaha. Dia adalah seorang aktor yang namanya tengah dielu-elukan oleh kaum wanita dan kaum ibu-ibu di negeri ini.Setelah belasan kali membintangi drama TV, akhirnya Mas Bian mendapat kesempatan saat diangkat menjadi pemeran utama dalam sinetron striping yang ternyata belakangan booming dan banyak peminatnya.Meski ternyata dibalik semua itu, aku harus rela membagi waktunya yang sedikit untuk kami dengan pekerjaannya yang tak mengenal waktu itu.Rasa kantuk tak juga datang, aku memutuskan untuk menunggunya di sofa ruang tamu. Tak mau ketiduran di kamar, takutnya jika itu pria itu pulang, aku tidak mendengarnya karena sudah terlelap tidur.Membuang rasa penasaran, 'ku putuskan untuk menghubungi Sony. Dia adalah asisten yang mengatur jadwal dan semua kebutuhan Mas Bian."Kami sedang dalam perjalanan pulang. Bentar lagi nyampe ini. Mbak tenang saja, Pak Bian aman bersamaku," paparnya saat kutanya masih di mana mereka."Ya udah, hati-hati di jalan, ya, Son.""Siap, Mbak."Lega rasanya telah mendengar pesan dari asisten kepercayaan suamiku itu. Dan benar saja, tak lama kemudian deru suara mobil terdengar di halaman.Gegas aku keluar setelah membenarkan pakaian dan merapikan jilbab. Namun mulutku menganga melihat pria itu yang langsung dibopong oleh dua orang.Sopir dan asistennya membawa Mas Bian yang terus mengoceh dan membaringkannya di atas tempat tidur."Mas Bian kok bisa mabuk sih, Son? Memangnya ada pesta apa, dan kenapa bisa sampai seperti itu?"Aku memberondong pria yang tengah menyeka keringat di pelipisnya dengan ujung tangan. Sony tampak gelagapan dan tidak berani menatap mataku."Maaf Mbak, sebaiknya Mbak tanya langsung kepada Pak Bian nanti. Daripada saya salah memberikan informasi."Sony langsung pergi sementara sopir kembali ke kamar di bagian belakang untuk istirahat.Kupandangi pria yang terlelap di atas tempat tidur itu. Mas Bian masih mengoceh. Dan yang membuatku heran sekaligus terkejut adalah nama wanita lain yang dia gumamkan."Kamu benar-benar seksi, Sheila. Aku benar-benar terpesona dengan kecantikanmu.""Kapan kita bisa bersama lagi, Sayang ... Aku penasaran dengan gayamu ....""Sheila ... Sheila ....!"Nama itu terus keluar dari bibirnya. Mas Bian terus menggumamkan nama wanita yang tak lain adalah pemeran utama wanita dalam sinetron yang dibintanginya.Suaranya melirih. Mas Bian kemudian terlelap dengan seluruh badan bau alkohol.Rasanya jijik dan marah melihat suamiku memikirkan wanita lain.Tapi bukankah pria yang tengah mabuk tidak pernah berbohong?Apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran yang diucapkannya dalam keadaan tidak sadar.Aku menggeleng tak percaya, menahan perih dalam hati yang rasanya seperti disayat-sayat sembilu.Kutinggalkan pria itu dan kuputuskan untuk pergi meninggalkannya. Masuk ke dalam kamar Richie dan terlelap di samping putraku yang berusia hampir 4 tahun.***Pagi menjelang. Suara beberapa burung berkicau dari halaman samping rumah. Burung koleksi milik Mas Bian yang belakangan tidak pernah dirawat atau pun diperhatikan oleh tuannya.Tiba-tiba sebuah tangan yang hangat melingkar di perut. Bau alkohol masih tercium dari bibir suamiku. Tanpa merasa bersalah padaku, dengan polosnya dia tersenyum dan mendaratkan bibirnya di kening."Pagi, Sayang. Mas 'gak tau kalau kamu tidur di kamar Richie. Saat Mas mencari kamu, ternyata tempat tidur di samping Mas masih rapi.""Bersihkan diri dan mandi dulu. Nanti kita bicara," ujarku dingin. Berharap dia mengerti dengan perasaanku yang tidak nyaman.Tampak alis priaku memicing."Oh, oke. Maaf, habisnya aku nggak bisa bangun tidur kalau nggak ada kamu di sampingku."'Jika benar begitu, lalu kenapa nama wanita lain yang kau sebut semalam?'Ingin rasanya kata-kata itu 'ku teriakan di depan wajahnya, namun sebisa mungkin aku menahannya dan tidak boleh emosi.Masih terlalu dini untuk membombardir dirinya dengan berbagai tuduhan. Apalagi bertanya sampai sejauh mana perasaannya terhadap wanita itu, hingga bergumam dan mengaguminya dalam keadaan mabuk berat."Miss you, Babe."Masih dalam posisi memeluk, pria itu bersuara tanpa merasa berdosa sedikitpun.Jujur saja, ingin rasanya kupukul kepalanya agar dia tahu apa yang diucapkannya semalam benar-benar menyakiti hati dan perasaanku.Tapi aku harus bersabar. Mungkin saja suamiku sedang khilaf. Siapa tahu itu hanya perasaan sesaat dan akan memudar seiring berjalannya waktu."Eh, jagoan Ayah juga udah bangun. Sini, kita mandi bareng, yuk." Pikiran dan khayalanku teralihkan saat Richie tiba-tiba terbangun."Ayo, tapi bentar lagi. Aku masih ngantuk," jawab Richie dengan gaya khas anak-anak bangun tidur. Anak itu mengucek-ucek matanya membuang sisa-sisa kantuk."Ya udah kalau gitu, ayah becandain ini."Richie tertawa terbahak-bahak saat priaku mulai menggelitik dan menggendongnya ke kamar mandi, lalu suara gemericik air dan canda tawa terdengar setelahnya.Pasangan ayah dan anak itu benar-benar mampu membuat amarahku sedikit mereda.***Richie sudah tampan dengan pakaian TK yang dikenakannya. Mbak Ani mengantar anak itu ke tempatnya belajar.Mas Bian sibuk dengan ponsel sejak duduk di meja makan. 'Ku perhatikan pria itu tengah berbalas chat entah dengan siapa.Ehm!Aku berdehem pelan, membuat perhatian pria itu mengarah padaku."Maaf, Marin. Mas mengabaikan kamu, ya?" ucapnya sambil menjawil hidung. Senyumnya melebar dengan barisan giginya yang putih, membuat siapapun pasti akan terpesona dengan suamiku.Ah, Sheila, semoga kau tidak terbuai dengan pesona Mas Bian yang sudah memiliki anak istri ini. Wanita cantik berpenampilan seksi itu pantas mendapatkan pria lajang sesuai kriterianya."Mas, kenapa semalam kamu mabuk?""Eumh, itu …." Mas Bian hendak membuka mulut, namun suara dering ponsel membuatnya berdiri dan menjauh, "eh, bentar, ya, ada telepon ini."Dia lantas kembali mendekat setelah lima menit bicara dengan seseorang di ujung telepon."Aku ada kerjaan semalam, lupa ngabarin kamu. Dan berita baiknya, kayaknya aku bakal masuk nominasi award. Katanya sih aku masuk ke deretan aktor paling keren tahun ini, deh. Kamu senang 'kan kalau suamimu ini makin sukses di dunia pertelevisian Indonesia?!""Oh ya, kalau begitu selamat," jawabku malas."Lho kok kamu kayak nggak senang gitu suaminya gak bakal dapat award. Coba senyum dikit."Mas Bian berusaha menggodaku dengan mendaratkan jari-jarinya di bagian ketiak. Jika biasanya aku akan tertawa lepas melihat tingkahnya yang kadang-kadang kekanakan, tapi tidak kali ini. Rasanya peristiwa semalam masih membuatku kesal dan kepikiran."Apaan sih. Udah deh, jangan kayak anak kecil. Nggak lucu tahu." Kupasang wajah merengut agar dia tahu kalau saat ini aku benar-benar dongkol. Dia bahkan belum menjelaskan alasannya semalam mabuk-mabukan dan pulang terlambat."Ya udah, jangan marah terus ah, nanti makin tua lho. Nggak cantik lagi," kekehnya sampai menarik tanganku dan menciumnya dengan lembut.Apa kau melakukan hal yang sama juga kepada Sheila dan memperlakukannya lebih dari ini, Mas?Ah, kenapa batinku jadi melayang memikirkan hal yang nggak-nggak pada wanita itu.Ya Tuhan, semoga saja kau menjaga hati dan pandangan suamiku hingga rasa cinta dan kelembutannya hanya untukku dan Richie saja.Tak rela rasanya jika hatinya harus terbagi dengan wanita yang entah kenapa memiliki ketakutan sendiri untukku saat ini."Ya sudah, aku mau siap-siap dulu buat syuting. Udah gitu, nanti aku mau pergi ke tempat meeting bareng beberapa klien. Hari ini mungkin aku akan pulang terlambat lagi."Mas Bian melirik ke arah jam digital yang ada di atas nakas, dan berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.Priaku itu lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan ponselnya di atas meja.Bip!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Nama 'Shei' tertera di sana. Dengan jelas bisa kulihat pesan apa yang masuk beberapa detik lalu itu.(Ay, datang ke apartemen dulu, ya. Mumpung aku lagi sendirian.)Pesan itu membuat mataku melotot sempurna, apalagi diiringi dengan emot kedip sebelah mata. Seolah kode kalau mereka bebas melakukan apa saja karena tidak akan ada orang yang mengganggu.Apa-apaan ini?Sialan!Setelah semalam Mas Bian menggumamkan nama wanita itu, kenapa sekarang Sheila justru menyuruh suamiku datang ke tempatnya.Benar-benar mencurigakan.Mondar-mandir tidak jelas seperti kebiasaanku saat ada masalah, otakku memikirkan b
Mas Bian dan Sheila sudah pergi, sementara Sony memeriksa ponselnya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil miliknya. Gegas aku menarik bahunya membuat pria itu berpaling padaku. Terlihat wajah Sony yang terkejut begitu melihatku berdiri dengan tatapan emosi padanya."Mbak Marina?""Bukankah kau harus menjelaskan sesuatu padaku tentang hubungan mereka?" tanyaku langsung tanpa basa-basi."Ma-maksud Mbak apa, ya? Dan kenapa Mbak masih ada di sini?" tanyanya pura-pura bingung. Aku mendecih dengan tatapan serius."Sudah berapa lama mereka berhubungan, dan sesering apa mereka pergi berdua?""Mbak sepertinya salah paham. Sheila dan Pak Bian tidak ada hubungan apa-apa. Beneran. Mereka cuma rekan kerja yang kebetulan terlihat dekat, ya tentu saja agar dapat chemistry saat syuting nanti. Mbak juga tahu 'kan, kalau hal itu biasa di antara para pemain," jawabnya langsung memberi penjelasan, seolah aku adalah wanita bodoh yang mudah sekali dibohongi."Heh, begitukah?" Ragu-ragu Sony mengangguk."Ja
Entah mengapa aku begitu puas melihat wajah keduanya. Terlebih Sheila yang berusaha meredam emosi melihatku tampak santai duduk di antara mereka.Wanita itu bahkan tidak melanjutkan kembali makannya dan sesekali melirik ke arah Mas Bian. Tapi kau lihat Sheila, bahkan suamiku tidak berbuat apa-apa untuk melepaskanmu dari situasi tidak menyenangkan ini.Sampai makan siang itu berakhir, tak ada yang bersuara di antara kami. Mas Bian terburu-buru mengajakku pulang setelah secepat mungkin menghabiskan makanannya.Sheila berdiri di pinggir jalan. Aku menggamit tangan suamiku sambil tersenyum padanya. Tak lupa mendekat ke arahnya untuk memberikan kunci mobil."Kamu boleh membawa mobil Sony, nanti aku suruh dia mengambilnya di tempatmu. Dan ya, setelah ini ruang gerakmu akan semakin terbatas untuk mendekati suamiku, Sheila," bisikku membuat wanita itu mendelik dan mundur satu langkah ke belakang. Tak lupa, bibir ini mendarat begitu saja di pipi suamiku, membuat Mas Bian terhenyak.Pria itu
Sampai keesokan paginya, tidak ada yang bersuara di antara kami. Dan tidak seperti biasanya, Mas Bian juga tidak sibuk bermain ponsel saat kami menikmati sarapan bertiga. Kuharap dia merasa bersalah atas kejadian tadi malam, yang sialnya sampai sekarang kejadian itu terasa menghujam jantungku.Jika pikirannya ada di sini dan tidak terganggu dengan wanita itu, sekilas dia seperti seorang suami yang bertanggung jawab dan perhatian, terutama pada Richie. "Marin," panggilnya datar."Ya?" Seakan sadar dari lamunan, aku menjawab cepat. "Mas minta maaf untuk urusan semalam. Tolong jangan diambil hati, ya. Mas benar-benar tak sadar." Mas Bian meriah jari-jariku dan meremasnya pelan. Aku tersenyum tipis menanggapinya."Jauhkan dia dari pikiranmu, Mas. Jangan lupa, peranmu sebagai suami dari wanita itu cukup dalam sinetron saja, jangan dibawa-bawa ke rumah tangga kita. Itu beda, ingat itu baik-baik," tekanku dengan suara lirih. Jangan sampai Richie mendengar percakapan orang dewasa. It
"Marin?!" Mas Bian dan wanita sial4n itu melepaskan pagutannya begitu menyadari kehadiranku. Buru-buru pria itu mendorong wanitanya dan mendekat ke arahku yang mematung dengan mata sudah berkaca-kaca.Kulihat Sheila tersenyum puas melihat ke arahku. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua."Bereskan urusan kalian berdua, Mas," ujar wanita itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Rasanya tanganku panas ingin menempelengnya saja."Marin, ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang."Plakk!!Tamparan keras kulayangkan pada pipinya membuat pria itu berpaling. Tak tahan rasanya melihatnya masih membela diri setelah ketahuan."Beginikah kelakuanmu saat tak ada orang lain, atau jangan-jangan mereka yang ada di lokasi syuting juga tahu kedekatanmu dengan wanita jal4ng itu?!""Bukan begitu, Marina. Aku bisa menjelaskan semuanya," jawabnya cepat tapi tak dapat menyembunyikan raut wajah gelisahnya. "Memangnya apalagi yang perlu kudengar, Mas? Apa?! Dan sejak kapan kamu begitu dekat dengan
Dengan cepat Mas Bian mengambil ponselku dan meremasnya kasar."Kau memata-matai aku lewat Sony?!"Aku berdiri agar bisa menghadapinya, hingga tatapan tajam kami beradu."Aku hanya butuh kepastian dari orang lain, selain suamiku yang terus mengelak meski sudah ketahuan," sarkasku padanya. Biar saja dia tahu kalau aku tak tahan dibohongi terus-terusan.Mas Bian berdecak dengan rahang mengeras."Apa ucapanku kemarin tak cukup untuk meyakinkanmu kalau semuanya tidak seperti yang kau pikirkan?!" ucapnya geram."Kau menyukai dia, 'kan? Kau juga menginginkan dia? Jawab yang jujur, Mas, nggak usah ada yang ditutup-tutupi lagi! Kejadian kemarin cukup membuktikan semuanya! " Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Tapi Mas Bian seperti tak terima ketika kupaksa dia untuk bicara jujur.Sesulit itukah bicara dan mengakui semuanya?"Bicara apa kau ini? Kau sadar Marin, gara-gara cemburu buta ucapanmu jadi ngawur kemana-mana!" kilahnya membuatku muak. Berkali-kali pria yang masih meng
Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik. Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia. Entah.Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama. Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu."Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?" Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis."Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok.""Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu
Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku.Tanpa pikir panjang semuanya kutolak.Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban.Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung."Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi."Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini."Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ib
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki
Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek
Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi
“Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan
Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam
Tok tok tok. Pintu terdengar diketuk dengan tidak sabar. Erick buru-buru menutupi seluruh badannya dengan selimut. Matanya melirik awas padaku dengan mata penuh pengharapan. “Jangan biarkan seorang pun masuk.” Aku tidak menjawab dan hanya tersenyum menanggapinya. Erick pasti malu akibat keadaannya yang setengah tanpa pakaian tersebut. Lagi poles siapa yang menyuruhnya untuk bertelanjang dada, bahkan di pagi buta seperti hari ini. Kuambilkan kaos hitam lalu kuserahkan padanya. “Pakailah, jangan sampai anak-anak melihatmu dalam keadaan seperti itu.” Erick meraihnya dengan wajah bersemu merah. “Itu kan gara-gara kamu sendiri, Sayang. Siapa suruh semalam minta nambah jadi aku malas untuk pakai-pakaian lagi. Kalau kamu masih ingin lagi, aku kan bisa langsung—” “Sttt.” Aku langsung melotot. Naik atas kasur dan menutup mulutnya yang nakal itu. Bisa-bisanya Mas bilang demikian padahal sebenarnya siapa semalam yang lagi menginginkan lebih.” Erick menarik tangan dan menciumnya