Share

Bab 7

Author: Bun say
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Dengan cepat Mas Bian mengambil ponselku dan meremasnya kasar.

"Kau memata-matai aku lewat Sony?!"

Aku berdiri agar bisa menghadapinya, hingga tatapan tajam kami beradu.

"Aku hanya butuh kepastian dari orang lain, selain suamiku yang terus mengelak meski sudah ketahuan," sarkasku padanya.

Biar saja dia tahu kalau aku tak tahan dibohongi terus-terusan.

Mas Bian berdecak dengan rahang mengeras.

"Apa ucapanku kemarin tak cukup untuk meyakinkanmu kalau semuanya tidak seperti yang kau pikirkan?!" ucapnya geram.

"Kau menyukai dia, 'kan? Kau juga menginginkan dia? Jawab yang jujur, Mas, nggak usah ada yang ditutup-tutupi lagi! Kejadian kemarin cukup membuktikan semuanya! "

Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Tapi Mas Bian seperti tak terima ketika kupaksa dia untuk bicara jujur.

Sesulit itukah bicara dan mengakui semuanya?

"Bicara apa kau ini? Kau sadar Marin, gara-gara cemburu buta ucapanmu jadi ngawur kemana-mana!" kilahnya membuatku muak.

Berkali-kali pria yang masih mengenakan baju tidur itu berkilah meski sudah ketahuan. Dasar!

"Jawab saja, Mas. Jangan munafik! Itu akan lebih mudah untuk kita berdua. Tak perlu kamu menutup-nutupi sesuatu yang sudah jelas."

Kutarik piyama yang dikenakannya kemudian kudorong kasar. Sumpah rasanya muak ketika menghadapi seseorang yang kujadikan sandaran, selain tega berkhianat dia juga sulit untuk bicara jujur.

Mas Bian menepis tanganku kasar kemudian mencengkram bahu. Tatapannya yang tajam seolah ingin memakanku hidup-hidup.

"Ok, aku akan mengakui semuanya didepanmu, Marin. Apa aku salah kalau aku menyukai Sheila?! Apa aku salah jika jatuh cinta padanya! Aku sudah tak tahan lagi, dan aku menginginkanya juga. Dan jujur aku tak bisa menahan perasaanku untuk menyukainya. Apa kau puas sekarang?! Bukankah itu yang ingin kau dengar dari mulutku, hah?"

Mas Bian terus mengguncang bahuku kemudian membantingku ke sofa. Sakit.

Aku tergugu dengan kepala pusing. Aku yang limbung, jatuh mengenai ujung meja. Rasanya seperti ada yang membanting tepat di atas ubun-ubunku.

"Kau yang memintaku untuk jujur. Kau yang memintaku untuk mengatakan semuanya, 'kan?! Lalu kenapa kau merasa sakit, bukankah ini yang kau inginkan?! Kejujuran dari mulut suamimu sendiri?!"

Ya, sudah semakin jelas sekarang. Tapi ternyata mendengarnya langsung lebih menyakitkan daripada sekedar menduga-duga atau bertanya pada orang lain.

Tapi tak apa, bukankah kejujuran itu lebih baik daripada dibohongi terus-terusan tapi membuat rasa sakit yang berulang?

Mas Bian meninggalkanku dan lari ke kamar atas lalu membanting pintu. Tak bisa menahan emosi, kukejar pria itu kemudian mengeluarkan pakaiannya secara brutal dan memasukkannya ke dalam koper secepat yang kubisa.

"Apa yang kau lakukan, Marin? Kau mau mengusirku dari rumahku sendiri?!" Mas Bian menarik baju-bajunya yang kupegang kemudian menghamburkannya di lantai.

"Iya, aku tak bisa hidup satu atap denganmu, Mas. Jika kau menginginkan wanita itu, maka pilih saja dia dan tinggalkan aku, tinggalkan Richie dan rumah ini!!" teriakku nyaring. Tapi sepertinya Mas Bian tak terima.

"Heh, kau pikir sesederhana itu ingin mengusirku pergi?! Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Tempatku adalah di sini!" ujarnya penuh penekanan.

"Oke, kalau begitu aku saja yang pergi!!"

Aku berbalik hendak membuka lemari, tapi Mas Bian menarik tanganku dan membantingku ke atas tempat tidur.

Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, tapi kali ini dalam waktu beberapa menit saja, sudah dua kali dia melakukannya.

"Jangan main-main denganku, Marina! Kau tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Baik kau maupun aku, tidak akan ada yang meninggalkan rumah ini! Titik!!" ancamnya dengan sorot mata menakutkan.

"Kau egois, Mas! Kau sangat menjijikan. Kau menginginkan dia, tapi kau menginginkan aku tetap bertahan di rumah ini?! Tidak, aku tetap mau pergi!!"

Mas Bian naik ke atas perut, mengungkungku dan menekan bahu. Terlihat kilatan matanya yang penuh dengan amarah.

Untuk sesaat aku merinding melihatnya.

Tuhan, jaga aku dan … calon anakku.

"Memangnya kenapa?! Tidak ada yang akan merubah diantara kita kecuali perasaanku yang terbagi! Apa kau tak bisa mencerna kata-kataku dengan baik, Marin?!"

"Menjijikan! Kau benar-benar pria egois yang pernah aku temui. Lepaskan aku!!" jeritku tak tahan lagi.

"Ya, aku memang egois. Tapi kau lebih egois dariku, Marin. Apa kau tidak memikirkan pernikahan kita?! Apa kau tidak memikirkan hati Richie?! Bagaimana akhirnya jika dia hidup dan jauh dari papanya?! Sebaiknya kau menuruti perintahku dan tinggal di rumah. Kau dengar itu?!"

Aku terus memberontak ketika tanganku ditarik ke atas. Matanya memerah dengan nafsu amarah yang menggebu.

Mas Bian mendekatkan bibirnya di pipiku, tapi aku segera berpaling. Membayangkan hal kemarin saja membuatku jijik, bagaimana bisa dia melakukan hal itu di saat amarahnya masih meninggi.

Tanpa daya air mataku jatuh di pipi. Mas Bian berpaling setelah setelah aku terisak. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan berteriak. Suaranya yang keras membuatku lagi-lagi bergidik.

Pria egois itu menginginkan aku tetap tinggal di rumah. Tapi di sisi lain, dia menginginkan wanita itu juga. Heh, apa dia hendak menghancurkan hati dan perasaanku secara bersamaan?!

***

Sudah tiga hari berturut-turut Mas Bian tidak pulang ke rumah. Aku juga tak mencari tahu tentang kegiatannya pada Sony atau manajernya. Biarkan saja dia mengikuti hawa nafsunya. Kita lihat sampai dimana dia bisa bertahan.

Pintu yang dibuka tanpa mengetuknya terlebih dahulu membuatku berpaling. Senyum sumringah mama langsung menyambut kehadiranku.

"Mama, ngapain ada di sini?!"

"Loh kamu ini gimana sih, bukannya Bian udah ngomong, kalau kita pergi liburan pagi ini."

Deg.

Ada apa ini?

Benarkah apa yang mama katakan?

Pemilik surgaku yang tampak berpenampilan modis itu mencium pipi kanan dan kiriku. Aku masih tak merespon dan bingung dengan pernyataannya.

"Liburan? Pagi ini juga?" Mama mengangguk cepat.

"Iya, buruan siap-siap. Nanti telat."

'Liburan?' Sejak kapan kata itu terucap, bahkan sebelumnya tak ada planning ke arah sana, setidaknya sampai 6 bulan ke depan. Mas Bian sangat sibuk dengan syuting kejar tayang dan kami tidak pernah membicarakan hal ini.

"Ya ampun Marin, malah bengong. Ayo siap-siap. Kita cuma punya waktu 2 jam sampai ke bandara."

"Eh, iya, Ma. Tapi aku belum berkemas."

"Ish, kamu ini. Barang-barang kamu udah masuk ke bagasi semua. Kamu tinggal ganti baju, pakai make up dikit, udah berangkat. Lagian Richie kayaknya udah nggak sabar pengen cepat-cepat pergi tuh."

"Ap-apa, Ma? Richie juga …." Ucapan itu hanya menggantung di tenggorokan karena percuma juga bertanya pada Mama yang sepertinya tidak tahu apa-apa.

Tapi kenapa orang rumah juga tidak ada yang memberitahuku?

Mama mendekat, membingkai wajah kemudian tersenyum lembut.

"Marin, Mama sedih melihat kamu yang stres karena Bian sibuk kerja. Kamu juga jadi uring-uringan sama suamimu sendiri karena dia sering pulang pagi. Lalu sekarang saat dia menyuruh kita duluan pergi, kamu masih aja keberatan."

Aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh Mama, karena pasti Mas Bian mengadu hal-hal yang bohong kepada mamaku. Dia bahkan bisa bertindak sejauh ini untuk mengambil hati Mama.

Ya Tuhan, kenapa dengan pria itu? Bukannya menyelesaikan masalah, malah nyuruh kami pergi liburan.

Related chapters

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 8

    Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik. Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia. Entah.Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama. Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu."Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?" Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis."Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok.""Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 9

    Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku.Tanpa pikir panjang semuanya kutolak.Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban.Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung."Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi."Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini."Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ib

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 10

    "Ma, aku mau ke lantai bawah sebentar untuk bertemu dengan seorang teman," ucapku saat menghampiri Mama."Mau ketemu siapa?"Ragu-ragu aku menjawab karena mama pasti akan keberatan mendengarnya."Erick, Ma."Mama yang tengah rebahan bersama dengan Richie yang terlelap di sampingnya, sontak terduduk dan menatapku dengan sorot serius."Erick ada di sini?" Aku mengangguk pelan."Marin, apa tidak sebaiknya kamu menghindari pria itu. Perbincangan suamimu saja masih panas-panasnya di negara kita, Mama takut kalau kamu menemui orang itu, malah akan menambah gosip baru. Kamu tahu 'kan jaman sekarang mata-mata ada di mana-mana?"Aku tersenyum dan menyampirkan tas di pundak. Tentu saja yang mama maksud adalah orang-orang yang ikut rombongan kami liburan. Mereka pasti akan mengadukan semuanya kepada suamiku. Tapi ah, bodo amat. Itu tidak penting sekarang."Mama nggak usah khawatir, kita berada di luar negeri, bukan berada di Bali atau Jakarta. Lagian orang-orang itu hanya akan mengadu pada su

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 11

    Dua hari kemudian, Papa menelponku lagi lewat ponsel mama. Bedanya kali ini Papa lebih murka dari sebelumnya, yang menyuruhku untuk memikirkan dan merundingkan semuanya. Kali ini papa juga tambah marah karena aku ketahuan bertemu dengan pria yang amat sangat dibencinya."Apalagi kali ini, Pa?! Kalau Papa memintaku untuk merundingkan semuanya, maka maaf, aku nggak bisa, Pa. Tolong mengertilah keadaanku." Bukan tanpa alasan aku bicara demikian. Sebelumnya Pak Anto juga menghubungi kalau pengajuan perceraian ini tidak bisa dilanjut tanpa persetujuan papaku."Ok, Papa terima kalau kamu ingin mengakhiri semuanya dengan Bian karena kamu sakit hati. Tapi, tidak bisakah kamu menahan diri untuk tidak bertemu sementara waktu dengan pria sial4n itu?! Kamu tahu 'kan, kalau gosip suamimu saja masih memanas. Jadi jangan sampai orang-orang mengira kalau kau juga ikut berselingkuh bersama dengan bajing4n itu!" Suara Papa yang menggeram membuatku terdiam sejenak. Kebencian Papa pada Erick meman

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 12

    Aku melangkah cepat diiringi pengawalan yang ketat. Para pemburu berita yang masih penasaran dan ingin menelisik lebih lanjut itu, terus mengejar bahkan menghalangi laju mobil ketika kami ingin pergi. Richie juga sempat menjerit karena terhimpit beberapa orang.Pintu kaca terus-terusan di ketuk membuatku tak tahan dan membukanya sedikit, mendengarkan orang-orang itu yang mendekatkan mikrofon agar aku kembali bersuara."Terakhir Bu, tolong terakhir jawab. Apa langkah Bu Marina selanjutnya? Apakah akan memaafkan Pak Bian atau malah memilih bercerai? Kami dengar selentingan kabar kalau seorang pengacara menemui papa Anda di kantornya?""Kita lihat itu nanti, ya, terima kasih."Mereka yang kecewa segera menjauh dan memberi jalan.Mobil pun melaju membelah kerumunan dengan kecepatan sedang. Sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak memberi informasi kepada orang asing yang tentunya akan semakin membesar-besarkan masalah. Meski ya, tindakanku juga tidak bisa dibenarkan.Sampai ke rumah

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 13

    "Aku sudah berada di rumahku. Kenapa tidak diselesaikan di sini saja, sih, Mas?"Heh, aku tahu dia masih belum puas bermain- main dengan wanita itu, dan dia ingin melampiaskan amarahnya padaku di rumah nanti. Aku juga yakin amarahnya akan meledak begitu jauh dari orang tuaku."Tidak bisa di sini Marin, ayo pulang ke rumah kita," ajaknya kukuh. Apa dia tak ingin sekedar meminta maaf dulu gitu."Kenapa dan apa yang mau kau selesaikan, Mas? Aksimu yang keburu ketahuan atau ada yang masalah lain yang ingin kau selesaikan? Kenapa tak disini saja?!" sergahku sebisa mungkin menahan emosi. "Ya nggak bisa gitu dong. Kita nggak leluasa bicara di sini dan masalah kita akan terus-menerus berlarut." "Ok, kamu tenang aja, Mas. Menurutku semuanya bahkan sudah selesai. Secepatnya kau kubebaskan melanjutkan apapun keinginanmu, tanpa akan ada orang yang menghalangi." "Marin, jaga bicaramu, jangan keterlaluan! Jangan terlalu jauh berpikir! Jelas-jelas kau juga salah di sini!" geramnya tertahan.

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 14

    Ponselku kembali berdering. Erick pasti sudah memastikan kalau aku membaca pesannya yang terakhir, makanya langsung menghubungi. "Huh, akhirnya kau mau juga bicara denganku, Marin," kata Erick langsung bersuara di ujung telepon. Entah kenapa terdengar lega. "Bagus sekali caramu mengancamku, Erick. Tapi, untuk apa kamu menghubungiku lagi, dan dari mana kamu tahu nomorku?" tanyaku kesal. Biar saja dia marah atau tersinggung mendengar perkataanku yang naik satu oktaf, karena jujur banyaknya masalah membuatku tidak bisa mengendalikan emosi saat ini. Terdengar kekehan kecil yang berasal dari bibir manis pria itu. "Bukan hal sulit mencari nomormu. Yang sulit itu bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dan bicara denganmu. Tapi syukurlah dan terima kasih Marin, karena akhirnya kau mau bicara denganku juga." "Aku terpaksa karena membaca ancamanmu!" jelasku dengan cepat. "Ok, aku ingin menemuimu sekarang. Bisakah kau keluar agar kita bisa bicara, atau kau ingin aku masuk ke rum

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 15

    "Yeay, akhirnya kita pulang juga. Makasih Ma, udah bawa aku pulang."Sebuah kecupan mendarat di pipi dari putra semata wayangku. Anak itu terlihat riang gembira saat kubawa kembali ke tempatnya tumbuh selama ini. Richie bergegas turun dari mobil dan menghambur ke halaman. Dia menggerak-gerakan gagang pintu agar lebih cepat masuk ke dalam."Awas kejepit, Nak," pesanku agar dia tetap berhati-hati."Aku tahu, Ma." Aku menggeleng pelan melihat ketidak sabarannya.Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Mau tidak mau aku menanyakan keadaan mereka selama aku tinggal hampir dua minggu lamanya."Semuanya baik-baik saja, tidak ada yang berubah, Bu."'Kecuali hati dan perasaanku,' jawabku dalam hati.Membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan seluas 8 x 9 meter ini tak membuatku merindukannya. Semuanya terasa hambar dan samar sekarang.Di sana Mas Bian pasti sedang memuja atau merengkuh surga dunia bersama dengan wanita yang men

Latest chapter

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 64

    Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 63

    Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 62

    Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 61

    Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 60

    Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 59

    Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 58

    “Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 57

    Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 56

    Tok tok tok. Pintu terdengar diketuk dengan tidak sabar. Erick buru-buru menutupi seluruh badannya dengan selimut. Matanya melirik awas padaku dengan mata penuh pengharapan. “Jangan biarkan seorang pun masuk.” Aku tidak menjawab dan hanya tersenyum menanggapinya. Erick pasti malu akibat keadaannya yang setengah tanpa pakaian tersebut. Lagi poles siapa yang menyuruhnya untuk bertelanjang dada, bahkan di pagi buta seperti hari ini. Kuambilkan kaos hitam lalu kuserahkan padanya. “Pakailah, jangan sampai anak-anak melihatmu dalam keadaan seperti itu.” Erick meraihnya dengan wajah bersemu merah. “Itu kan gara-gara kamu sendiri, Sayang. Siapa suruh semalam minta nambah jadi aku malas untuk pakai-pakaian lagi. Kalau kamu masih ingin lagi, aku kan bisa langsung—” “Sttt.” Aku langsung melotot. Naik atas kasur dan menutup mulutnya yang nakal itu. Bisa-bisanya Mas bilang demikian padahal sebenarnya siapa semalam yang lagi menginginkan lebih.” Erick menarik tangan dan menciumnya

DMCA.com Protection Status