"Yeay, akhirnya kita pulang juga. Makasih Ma, udah bawa aku pulang."Sebuah kecupan mendarat di pipi dari putra semata wayangku. Anak itu terlihat riang gembira saat kubawa kembali ke tempatnya tumbuh selama ini. Richie bergegas turun dari mobil dan menghambur ke halaman. Dia menggerak-gerakan gagang pintu agar lebih cepat masuk ke dalam."Awas kejepit, Nak," pesanku agar dia tetap berhati-hati."Aku tahu, Ma." Aku menggeleng pelan melihat ketidak sabarannya.Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Mau tidak mau aku menanyakan keadaan mereka selama aku tinggal hampir dua minggu lamanya."Semuanya baik-baik saja, tidak ada yang berubah, Bu."'Kecuali hati dan perasaanku,' jawabku dalam hati.Membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan seluas 8 x 9 meter ini tak membuatku merindukannya. Semuanya terasa hambar dan samar sekarang.Di sana Mas Bian pasti sedang memuja atau merengkuh surga dunia bersama dengan wanita yang men
"Kau … mengetahui semuanya?" tanyanya sambil terkejut, tapi itu hanya sebentar. Detik berikutnya dia hanya menghembuskan nafas dan berbalik memunggungiku."Sampai kapan kau akan menyimpan bangkai itu, Mas? Dan sampai kapan kau akan bermain di belakangku? Apa kau tidak ingat dosa? Apa kau tidak menghargai aku dan pernikahan kita? Bahkan apa kau tidak memikirkan Richie dan karirmu sendiri, hah?" kesalku meluapkan emosi."Karena nafsumu pada wanita itu, kau melanggar norma-norma agama dan tidak bisa berpikir jernih, hingga yang ada dalam otakmu hanyalah cara menggagahi wanita itu saja," lanjutku sambil berdecak.Aku tak bisa menahan lebih lama lagi kekesalanku terhadap Mas Bian. Jadi, suka atau tidak, kami harus saling mengungkapkan isi hati."Cukup Marin, jangan menghakimiku. Kau jelas tak tahu apa yang kubutuhkan, dan alasanku melakukannya," kilahnya tanpa rasa bersalah."Memang apa yang kau inginkan, Mas? Apa keinginanmu yang tidak bisa aku wujudkan, dan apa hal yang tidak kuturuti
Dengan tubuh ringkih penuh ketidakberdayaan, aku merasakan badanku yang terasa amat sangat lengket, sekaligus merasa sangat kotor.Akhirnya aku kembali meringis memikirkan tindakan pria itu yang bahkan aku seperti tidak mengenalnya sama sekali. Sambil mengumpulkan kesadaran, aku dihadapkan dengan bagian bawah yang terasa nyeri dan ngilu.Kesadaranku perlahan kembali, saat mendengar suara panggilan dari Richie yang bertubi-tubi.Anak itu memanggilku dengan suara khasnya."Ma, aku masuk, ya. Mama lagi ngapain sih?!"Aku memijat kepala, mencoba untuk tersadar, hingga akhirnya mataku mengerjap melihat putraku yang sudah naik ke atas tempat tidur. Rupanya aku terlelap tanpa sadar tadi.Tapi, astaga, jangan sampai dia melihat mamanya dalam keadaan yang paling menyedihkan ini. Dengan gerakan cepat aku menutupi seluruh badanku dengan selimut, tapi Richie malah menautkan alisnya sambil mencium pipiku lembut."Mama, kenapa sih? Apa masih ngantuk?!""Ehm, Richie, bisa keluar sebentar nggak
"Viona, tolong …!""Ya Tuhan, Mbak Marin … apa yang terjadi?" Viona langsung terkejut ketika aku berteriak memanggilnya. Gadis itu sekilas berwajah pucat sebelum akhirnya berlari cepat memburu ke arahku."Kita harus ke rumah sakit, Mbak. Ayo, aku bantu," usul Viona sambil membantu memapahku. Aku segera menggeleng dengan cepat."Jangan, kita pergi ke klinik Maya saja, Vi. Dia yang lebih tahu bagaimana kondisiku."Viona menurut dan tak bertanya lagi. Gadis itu memapahku dan memanggil supir untuk mengantarku ke tempat yang dituju. Beberapa orang penjaga di halaman juga sedikit terkejut. Tapi mereka tak banyak bicara, hanya membantu membawaku ke dalam mobil.Jujur saja saat ini aku ketakutan. Aku takut terjadi apa-apa dengan calon buah hati keduaku. Ini pasti akibat ulah perbuatan Mas Bian yang terlalu brutal menggauliku.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, hingga akhirnya 15 menit kemudian sampai di tempat yang dituju. Sebelumnya Viona sudah menghubungi Maya—teman dekatku untu
Mataku mengerjap sempurna ketika mendengar suara berisik dari luar kamar yang kutempati. Aku memang memutuskan untuk istirahat beberapa jam sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah.Itu suara Maya dan seseorang yang beradu argumen di depan pintu. Tak lama, pintu berhasil terbuka dan menampilkan Mas Bian yang menatapku dengan sorotan tajam dari dekat pintu."Tolong jangan buat keributan di sini, Bian. Kau mengganggu pasien lain," cetus Maya dari belakang."Diam kau, May. Tinggalkan saja kami!" Mas Bian menghardik.Setelah menggebrak pintu dengan kasar, pria itu mendekat ke arahku dengan tatapan mengintimidasi."Sedang apa kau di sini, dan siapa yang menemanimu tadi?!" ujarnya emosi. Pria itu bukan menanyakan bagaimana keadaanku yang lemah akibat perbuatannya ini, malah kecemburuannya lebih mendominasi. Ya Tuhan, aku semakin tidak mengenal suamiku sendiri."Kau tidak lihat bagaimana keadaanku akibat perbuatanmu ini, Mas?" Mencoba bersikap tenang untuk mengalihkan pertanyaan, nyatan
Aku turun seorang diri, dari mobil mewah yang disambut ratusan pasang mata juga wartawan yang siap membidik dengan kamera terbaik mereka.Sebagai seorang istri dari aktor yang namanya tengah melambung tinggi di negeri ini, aku hanya menampilkan senyum ke arah para pencari berita tersebut.Lalu terdengar desas-desus ke telinga yang mempertanyakan kenapa aku tidak bareng dengan suami.Tapi aku tak menanggapi dan memilih berjalan di red carpet, untuk kemudian bertemu dengan Mas Bian yang sudah menunggu di sana. Tampak pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu bergandengan tangan dengan Sheila, wanita murahan yang belakangan membuat malam-malamku gelisah.Si4lnya mereka juga tampil menawan dan serasi. Mas Bian memakai tuxedo hitam, dan dress pendek warna senada dikenakan oleh Sheila. Mereka tampak seperti pasangan yang tengah berpacaran, sementara aku berbeda sendiri atas usulan dari Alan. Aku memakai pakaian berwarna gold yang bertolak belakang dengan penampilan suamiku."Maaf ya
Terlihat wajah-wajah menegang itu, terutama dari wajah suamiku dan selingkuhannya. Dia sudah pasrah atas apa yang terjadi. Karena percuma takkan bisa menghentikan tindakan yang kuambil kali ini. Man Bian terus menggeleng dan sesekali meremas kepalanya. Bisa kubayangkan jika tak ada orang lain, tentu murka itu akan menghukum ragaku Apa kau pikir aku akan berhenti, tidak, Mas."Tentu kalian sudah penasaran, bagaimana mungkin aku bicara omong kosong tanpa bukti. Tapi sebentar lagi kalian akan menyaksikannya sendiri, dan silahkan kalian menilainya masing-masing."Aku mengangguk pada Erick. Pria yang sudah siap di belakang kru itu mengangkat jempol, lalu pada layar besar tertera slide demi slide foto-fotoku yang lebam bekas perbuatan Mas Bian, serta foto dan video kebersamaan antara dia dan Sheila. Dimulai dari mereka berciuman, bahkan ada beberapa foto yang menampilkan kebersamaan mereka dengan penampilan yang tidak layak untuk ditonton, termasuk perjalanan mereka masuk ke dalam kamar
Kupandangi pria yang terlihat kacau itu. Matanya memerah dengan tangan yang makin terkepal kuat."Semua ini salahmu, Marina! Tapi haruskah kau mempermalukan aku di depan umum dan menghancurkan karirku dalam sekejap?!" "Itu balasan atas apa yang kau lakukan, Mas. Karirmu hancur sekejap mata bukan hanya karena satu kesalahan tapi juga karena penganiayaan yang kau lakukan terhadapku, seperti halnya rumah tangga yang kita bina selama 5 tahun, kau dengan mudah menghancurkannya hanya karena tergoda oleh wanita s*ndal itu. Jadi, kenapa kau tidak terima saja konsekuensinya sekarang!!""Perempuan kurang aj*r, sial*n!! Berani kau berbuat seperti itu padaku!!" Mas Bian memburu padaku. Ini belum seberapa dibanding dengan kejutan yang akan kau terima setelah ini, Mas, jadi sebaiknya simpan tenagamu untuk menghadapi kejutan selanjutnya. "Bu Marin, apa yang harus kami lakukan!"Beberapa orang pengawal dan penjaga yang masuk dari luar, segera menahan pria itu hingga tidak bisa berbuat ap