Dengan tubuh ringkih penuh ketidakberdayaan, aku merasakan badanku yang terasa amat sangat lengket, sekaligus merasa sangat kotor.Akhirnya aku kembali meringis memikirkan tindakan pria itu yang bahkan aku seperti tidak mengenalnya sama sekali. Sambil mengumpulkan kesadaran, aku dihadapkan dengan bagian bawah yang terasa nyeri dan ngilu.Kesadaranku perlahan kembali, saat mendengar suara panggilan dari Richie yang bertubi-tubi.Anak itu memanggilku dengan suara khasnya."Ma, aku masuk, ya. Mama lagi ngapain sih?!"Aku memijat kepala, mencoba untuk tersadar, hingga akhirnya mataku mengerjap melihat putraku yang sudah naik ke atas tempat tidur. Rupanya aku terlelap tanpa sadar tadi.Tapi, astaga, jangan sampai dia melihat mamanya dalam keadaan yang paling menyedihkan ini. Dengan gerakan cepat aku menutupi seluruh badanku dengan selimut, tapi Richie malah menautkan alisnya sambil mencium pipiku lembut."Mama, kenapa sih? Apa masih ngantuk?!""Ehm, Richie, bisa keluar sebentar nggak
"Viona, tolong …!""Ya Tuhan, Mbak Marin … apa yang terjadi?" Viona langsung terkejut ketika aku berteriak memanggilnya. Gadis itu sekilas berwajah pucat sebelum akhirnya berlari cepat memburu ke arahku."Kita harus ke rumah sakit, Mbak. Ayo, aku bantu," usul Viona sambil membantu memapahku. Aku segera menggeleng dengan cepat."Jangan, kita pergi ke klinik Maya saja, Vi. Dia yang lebih tahu bagaimana kondisiku."Viona menurut dan tak bertanya lagi. Gadis itu memapahku dan memanggil supir untuk mengantarku ke tempat yang dituju. Beberapa orang penjaga di halaman juga sedikit terkejut. Tapi mereka tak banyak bicara, hanya membantu membawaku ke dalam mobil.Jujur saja saat ini aku ketakutan. Aku takut terjadi apa-apa dengan calon buah hati keduaku. Ini pasti akibat ulah perbuatan Mas Bian yang terlalu brutal menggauliku.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, hingga akhirnya 15 menit kemudian sampai di tempat yang dituju. Sebelumnya Viona sudah menghubungi Maya—teman dekatku untu
Mataku mengerjap sempurna ketika mendengar suara berisik dari luar kamar yang kutempati. Aku memang memutuskan untuk istirahat beberapa jam sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah.Itu suara Maya dan seseorang yang beradu argumen di depan pintu. Tak lama, pintu berhasil terbuka dan menampilkan Mas Bian yang menatapku dengan sorotan tajam dari dekat pintu."Tolong jangan buat keributan di sini, Bian. Kau mengganggu pasien lain," cetus Maya dari belakang."Diam kau, May. Tinggalkan saja kami!" Mas Bian menghardik.Setelah menggebrak pintu dengan kasar, pria itu mendekat ke arahku dengan tatapan mengintimidasi."Sedang apa kau di sini, dan siapa yang menemanimu tadi?!" ujarnya emosi. Pria itu bukan menanyakan bagaimana keadaanku yang lemah akibat perbuatannya ini, malah kecemburuannya lebih mendominasi. Ya Tuhan, aku semakin tidak mengenal suamiku sendiri."Kau tidak lihat bagaimana keadaanku akibat perbuatanmu ini, Mas?" Mencoba bersikap tenang untuk mengalihkan pertanyaan, nyatan
Aku turun seorang diri, dari mobil mewah yang disambut ratusan pasang mata juga wartawan yang siap membidik dengan kamera terbaik mereka.Sebagai seorang istri dari aktor yang namanya tengah melambung tinggi di negeri ini, aku hanya menampilkan senyum ke arah para pencari berita tersebut.Lalu terdengar desas-desus ke telinga yang mempertanyakan kenapa aku tidak bareng dengan suami.Tapi aku tak menanggapi dan memilih berjalan di red carpet, untuk kemudian bertemu dengan Mas Bian yang sudah menunggu di sana. Tampak pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu bergandengan tangan dengan Sheila, wanita murahan yang belakangan membuat malam-malamku gelisah.Si4lnya mereka juga tampil menawan dan serasi. Mas Bian memakai tuxedo hitam, dan dress pendek warna senada dikenakan oleh Sheila. Mereka tampak seperti pasangan yang tengah berpacaran, sementara aku berbeda sendiri atas usulan dari Alan. Aku memakai pakaian berwarna gold yang bertolak belakang dengan penampilan suamiku."Maaf ya
Terlihat wajah-wajah menegang itu, terutama dari wajah suamiku dan selingkuhannya. Dia sudah pasrah atas apa yang terjadi. Karena percuma takkan bisa menghentikan tindakan yang kuambil kali ini. Man Bian terus menggeleng dan sesekali meremas kepalanya. Bisa kubayangkan jika tak ada orang lain, tentu murka itu akan menghukum ragaku Apa kau pikir aku akan berhenti, tidak, Mas."Tentu kalian sudah penasaran, bagaimana mungkin aku bicara omong kosong tanpa bukti. Tapi sebentar lagi kalian akan menyaksikannya sendiri, dan silahkan kalian menilainya masing-masing."Aku mengangguk pada Erick. Pria yang sudah siap di belakang kru itu mengangkat jempol, lalu pada layar besar tertera slide demi slide foto-fotoku yang lebam bekas perbuatan Mas Bian, serta foto dan video kebersamaan antara dia dan Sheila. Dimulai dari mereka berciuman, bahkan ada beberapa foto yang menampilkan kebersamaan mereka dengan penampilan yang tidak layak untuk ditonton, termasuk perjalanan mereka masuk ke dalam kamar
Kupandangi pria yang terlihat kacau itu. Matanya memerah dengan tangan yang makin terkepal kuat."Semua ini salahmu, Marina! Tapi haruskah kau mempermalukan aku di depan umum dan menghancurkan karirku dalam sekejap?!" "Itu balasan atas apa yang kau lakukan, Mas. Karirmu hancur sekejap mata bukan hanya karena satu kesalahan tapi juga karena penganiayaan yang kau lakukan terhadapku, seperti halnya rumah tangga yang kita bina selama 5 tahun, kau dengan mudah menghancurkannya hanya karena tergoda oleh wanita s*ndal itu. Jadi, kenapa kau tidak terima saja konsekuensinya sekarang!!""Perempuan kurang aj*r, sial*n!! Berani kau berbuat seperti itu padaku!!" Mas Bian memburu padaku. Ini belum seberapa dibanding dengan kejutan yang akan kau terima setelah ini, Mas, jadi sebaiknya simpan tenagamu untuk menghadapi kejutan selanjutnya. "Bu Marin, apa yang harus kami lakukan!"Beberapa orang pengawal dan penjaga yang masuk dari luar, segera menahan pria itu hingga tidak bisa berbuat ap
Mas Bian dan Sheila sibuk menghindar dari media. Mereka yang kerap ke mana-mana selalu berduaan, masih tidak memperdulikan sorot pasang mata yang semakin lama semakin menghujat. Kenapa mereka tidak klarifikasi saja, sih. Atau paling tidak, nikah siri lebih baik.Tapi mereka memang bener-bener muka tembok dan sudah kehilangan rasa malu. Bahkan menurut berita yang kulihat, beberapa ormas melaporkan mereka ke kepolisian.Empat hari pasca kejadian itu, Erick baru datang menemuiku. Pagi-pagi sekali pria itu sudah datang ke rumah, bahkan sebelum aku menyelesaikan ritual membersihkan diri.Suara canda tawa dan ceria terdengar dari bibir Richie di lantai bawah. Aku yang penasaran, setelah menutup pintu kamar, lalu berjalan menuju arah tangga.Benar saja. Richie tampak akrab bercanda dengan Erick, padahal sebelumnya mereka belum pernah bertemu sekalipun."Hai, apa Mama mengganggu kalian?" Richie menggeleng. Dia menghambur ke arahku dan menuntun tangan, lalu mengajakku duduk di sofa. Kulih
"Ada apa, Marin? Apa yang terjadi dengan anakmu?" Melihat kepanikan di wajahku, Erick langsung bertanya."Richie, dia tidak ada di sekolahnya," jawabku cemas. Entah ke mana perginya anak itu tapi kuharap dia baik-baik saja."Apakah sudah benar-benar dicari. Mungkin dia sedang main di taman atau sebagainya?" Dengan wajah serius Erick menatapku dalam."Entahlah. Tapi Mbak Ani sudah mencarinya ke sana kemari, dan tetap tidak menemukan Richie. Aku takut terjadi apa-apa padanya," ujarku tak bisa menutupi kegugupanku."Ya ampun, sebenarnya kerjaan anak buahku apa saja sih," ujar Erick dengan wajahnya yang serius. Pria itu segera memutar balik kendaraan menuju tempat sekolah anakku, setelah kusebutkan di mana anakku sekarang bersekolah. "Tenanglah, Marina. Semoga anakmu tidak apa-apa, atau paling buruk juga dibawa oleh suamimu."Erick terus menenangkan sepanjang jalan. Namun aku yang tidak ingin berbasa-basi memilih berdoa dalam hati, dan semoga cepat sampai ke tujuan. Jika benar dia dib