Kupandangi pria yang terlihat kacau itu. Matanya memerah dengan tangan yang makin terkepal kuat."Semua ini salahmu, Marina! Tapi haruskah kau mempermalukan aku di depan umum dan menghancurkan karirku dalam sekejap?!" "Itu balasan atas apa yang kau lakukan, Mas. Karirmu hancur sekejap mata bukan hanya karena satu kesalahan tapi juga karena penganiayaan yang kau lakukan terhadapku, seperti halnya rumah tangga yang kita bina selama 5 tahun, kau dengan mudah menghancurkannya hanya karena tergoda oleh wanita s*ndal itu. Jadi, kenapa kau tidak terima saja konsekuensinya sekarang!!""Perempuan kurang aj*r, sial*n!! Berani kau berbuat seperti itu padaku!!" Mas Bian memburu padaku. Ini belum seberapa dibanding dengan kejutan yang akan kau terima setelah ini, Mas, jadi sebaiknya simpan tenagamu untuk menghadapi kejutan selanjutnya. "Bu Marin, apa yang harus kami lakukan!"Beberapa orang pengawal dan penjaga yang masuk dari luar, segera menahan pria itu hingga tidak bisa berbuat ap
Mas Bian dan Sheila sibuk menghindar dari media. Mereka yang kerap ke mana-mana selalu berduaan, masih tidak memperdulikan sorot pasang mata yang semakin lama semakin menghujat. Kenapa mereka tidak klarifikasi saja, sih. Atau paling tidak, nikah siri lebih baik.Tapi mereka memang bener-bener muka tembok dan sudah kehilangan rasa malu. Bahkan menurut berita yang kulihat, beberapa ormas melaporkan mereka ke kepolisian.Empat hari pasca kejadian itu, Erick baru datang menemuiku. Pagi-pagi sekali pria itu sudah datang ke rumah, bahkan sebelum aku menyelesaikan ritual membersihkan diri.Suara canda tawa dan ceria terdengar dari bibir Richie di lantai bawah. Aku yang penasaran, setelah menutup pintu kamar, lalu berjalan menuju arah tangga.Benar saja. Richie tampak akrab bercanda dengan Erick, padahal sebelumnya mereka belum pernah bertemu sekalipun."Hai, apa Mama mengganggu kalian?" Richie menggeleng. Dia menghambur ke arahku dan menuntun tangan, lalu mengajakku duduk di sofa. Kulih
"Ada apa, Marin? Apa yang terjadi dengan anakmu?" Melihat kepanikan di wajahku, Erick langsung bertanya."Richie, dia tidak ada di sekolahnya," jawabku cemas. Entah ke mana perginya anak itu tapi kuharap dia baik-baik saja."Apakah sudah benar-benar dicari. Mungkin dia sedang main di taman atau sebagainya?" Dengan wajah serius Erick menatapku dalam."Entahlah. Tapi Mbak Ani sudah mencarinya ke sana kemari, dan tetap tidak menemukan Richie. Aku takut terjadi apa-apa padanya," ujarku tak bisa menutupi kegugupanku."Ya ampun, sebenarnya kerjaan anak buahku apa saja sih," ujar Erick dengan wajahnya yang serius. Pria itu segera memutar balik kendaraan menuju tempat sekolah anakku, setelah kusebutkan di mana anakku sekarang bersekolah. "Tenanglah, Marina. Semoga anakmu tidak apa-apa, atau paling buruk juga dibawa oleh suamimu."Erick terus menenangkan sepanjang jalan. Namun aku yang tidak ingin berbasa-basi memilih berdoa dalam hati, dan semoga cepat sampai ke tujuan. Jika benar dia dib
Mereka pasti tidak menyangka aku akan berkata demikian. Kali ini keduanya membiarkanku melewati mereka.Tapi belum jauh, Mas Bian yang juga mengekor di belakang, menarik tanganku di ujung tangga."Ada apa lagi ini, Mas? Berhenti memegang tanganku. Jika ada yang ingin kau bicarakan, katakan saja sekarang." Aku mendesis setelah berbalik padanya. Rasanya jijik saja bersentuhan dengan kulit yang sudah tercemari selingkuhannya itu."Marin, bahkan aku sebelum sempat berbicara dengan Richie karena dia tidur sejak kali pertama datang. Aku minta bawa dia pulang ke rumah, dia juga pasti merindukanku," ujarnya tak semarah tadi."Tentu, akan kulakukan kalau Richie juga menginginkannya." Aku berlalu bersama Erick. Kulihat wajah-wajah itu terus memperhatikan kami. Doni juga seperti salah tingkah ketika kuperhatikan sekilas. Dari pembicaraan tadi, jelas dia tengah membicarakan beberapa kerugian satu brand ternama pada Mas Bian."Bian, kenapa kau biarkan cucu Mama dibawa oleh wanita itu?!" Mama ma
"Marina, kenapa kau tidak menjawab, hah? Jadi benar kalau Mas Bian ada di rumahmu? Dasar perempuan licik!! Setelah kau berhasil mempermalukannya, sekarang kau malah menahan dia untuk tidak pulang. Kau benar-benar perempuan memalukan, Marina!! Apa yang akan dikatakan oleh media jika mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi!!" Sheila terus mencak-mencak membuatku geram dengan tuduhannya."Cukup Sheila, atas dasar apa kamu memfitnah aku seperti ini!" Huh, dasar perempuan menjijikan, sudah berzina dan merusak pernikahan orang lain, bisa-biasanya dia menuduhku menyimpan selingkuhannya yang tak berharga itu. Dasar!"Heh, kau masih mau berkilah. Padahal sudah jelas dari lampu kamarmu yang menyala!! Lantas apa kau pikir aku tidak tahu kalau Mas Bian ada di sana!! Apa yang sedang kalian lakukan?!!" Deg, Sheila terdengar frustasi dan jengkel.Tapi apakah Sheila sedang mengintaiku dari bawah sana? Penasaran, buru-buru aku mengintip dari tirai yang kusingkap. Benar, ada mobil terparkir
"Kamu sudah siap?" tanya Erick meyakinkanku untuk keluar dari dalam mobil.Aku mengangguk setelah menghembuskan nafas berkali-kali. Puluhan pasang mata dan kamera yang ada dalam genggaman para pencari berita bersiap menantiku turun, sementara dari mobil lain turun Om Bram bersama dengan timnya.Dikerubungi banyak wartawan, kami masuk untuk mengajukan pelaporan ke kantor polisi, juga ke pengadilan untuk mengajukan gugatan perceraian. Setelah aku meyakinkan diri dan setelah aku menenangkan hati, kurasa aku semakin yakin untuk mengakhiri semua ini, lagi pula Mas Bian sudah dengan wanita pilihannya, dan aku juga tidak ingin mempertahankan pernikahan di atas pengkhianatan ini."Bu Marina, tolong gimana tanggapannya?""Bu Marina, benar-benar akan melaporkan Biantara ke kantor polisi, apa Ibu tidak memikirkan dampak akibatnya?!" "Bagaimana dengan keluarga ibu sendiri, yang kami dengar orang tua dari pihak ibu tidak menyetujui perceraian ini?!" "Bu Marin, bagaimana dengan kejadian m
Mas Bian akhirnya pergi tanpa drama setelah aku mengusirnya baik-baik.Sambil menunggu proses cerai, aku bebaskan dia untuk bertemu dengan Richie, tapi tidak untuk mengajaknya pergi tanpa didampingi apalagi bertemu dengan wanita itu.Aku masih tidak sudi dan tidak rela Richie dan Sheila bertemu, apalagi wanita itu mengaku-aku sebagai istri suamiku. Jika dia menginginkan seorang anak, biarkan dia yang mengandung sendiri tanpa melibatkan anakku.Malam harinya Erick menghubungi dan bertanya macam-macam. Dari suaranya pria itu terdengar khawatir, kalau-kalau Mas Bian mungkin menginap dan tidak mau pergi."Dia sudah pulang setelah aku mengusirnya. Tadinya sih, dia ingin menginap di sini untuk menemani Richie. Tapi aku sudah menolaknya baik-baik," ujarku menjelaskan jangan sampai dia salah paham."Iya, aku percaya. Tapi, apa perlu aku datang ke sana untuk menemani kalian agar aman?" Ucapan itu terdengar santai dari ujung telepon, tapi mampu membuatku melebarkan mata."Tolong ya Erick, ja
Seorang bijak pernah mengatakan padaku, kalau seseorang diuji saat dia tertimpa masalah, maka orang-orang terdekatnya akan berempati atau justru mengabaikan dan menyalahkan, juga cenderung menghalangi. Dan terbukti, orang-orang di sekitarku tidak banyak yang tulus kecuali Mama dan mungkin Erick. Sementara yang lainnya, mereka hanya bisa menyalahkan, menuduh, bahkan malah melarangku bertindak sesuai dengan yang harus kulakukan. Dan salah satunya adalah papa.'Ku hubungi Erick pria yang belakangan ini menjadi pelarian saat aku didera masalah."Iya Marin, tumben kamu menghubungi. Ada apa? Katakan saja," ucap pria itu di ujung telepon ketika aku mendial nomornya beberapa saat yang lalu."Apa kamu sibuk sekarang?" tanyaku hati-hati. Agar tidak mengganggu aktivitasnya."Nggak. Aku baru kembali ke rumah. Paling ngantor nanti jam 10-an. Kamu ingin bertemu denganku?!" Erick seperti bisa membaca pikiranku untuk bertemu. Padahal tadi pagi dia yang mengantar Richie ke sekolah, sementara
Telepon itu datang seperti petir di siang bolong. Baru saja aku duduk di ruang kerja, mencoba melupakan pertengkaran sengit dengan Sabrina pagi tadi. Suara Papa mertua terdengar dingin, hampir seperti tamparan di wajahku."Ardian, apa yang sudah kau lakukan pada putriku?”“Memang apalagi yang aku lakukan padanya? Kenapa dia mengadu sesuatu?” Cukup, aku sudah muak dengan semua sandiwara ini. Rasanya aku tidak perlu berpura-pura menjadi pria baik di depan mertuaku. Aku janji setelah ini akan menceraikan wanita itu, tak peduli dengan kehamilannya. Ya, sebuntu itu memang otakku saat ini. Banyaknya masalah pertengkaran juga sikap Sabrina yang kekanakan membuatku mengambil pilihan ini. “Apa yang kau bicarakan itu? Saat ini Sabrina kecelakaan. Dia di rumah sakit sekarang. Segera datang atau terpaksa aku melaporkanmu ke kantor polisi."“Apa?! Bagaimana mungkin itu terjadi, Pa?”“Heh, apakah pikir aku sedang membuat pura-pura? Di saat seperti ini keselamatan putriku yang terpenting! Dia sed
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki
Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek
Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi
“Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan
Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam