Share

Bab 8

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik.

Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.

Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia.

Entah.

Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama.

Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu.

"Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?"

Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis.

"Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok."

"Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu ke dalam lemari?"

"Biar Marin aja yang beresin, Ma. Mama istirahat aja, pasti Mama lelah juga, 'kan?."

Mama tersenyum dengan wajah teduhnya.

"Iya, sih. Tapi nggak apa-apa. Mama seneng bantuin kamu. Oh ya, sini duduk, Mama mau ngobrol dikit sama kamu."

Mama menepuk sofa di sebelahnya. Setelah aku duduk, mama meraih jari-jariku dan meremasnya pelan.

"Marin, kamu harus lebih banyak sabar sama Bian. Sekarang 'kan suamimu adalah public figure. Yang selain sangat sibuk, juga dikelilingi oleh banyak wanita cantik di luaran sana, termasuk lawan mainnya dalam sinetron itu. Tapi kamu tahu 'kan, kalau hanya kamu dan Richie yang dia cintai sampai kapanpun.

Jadi, kamu harus memberi pengertian pada Bian. Yang penting dia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak kalian. Toh, apa yang dia dapatkan sekarang adalah harapan kalian selama bertahun-tahun untuk mencapai kesuksesan ini."

"Heh, Mas Bian pasti curhat banyak hal sama mama, ya." Aku mendesis. Memikirkan betapa banyak kebohongan yang pria itu lontarkan pada Mama.

"Ya, 'kan nggak salah, toh. Bian cuma mau kamu ngertiin dia dan sadar akan posisinya sekarang. Dia bisa sampai ke titik ini juga selain karena dia kerja keras, juga ada dukungan dari kamu . Jadi, Mama minta agar kamu lebih sabar menghadapi dia."

Aku berdiri dengan perasaan kecewa. "Kita bicarakan lagi nanti, ya, Ma. Aku mau mandi sekarang," kilahku ingin lepas dari situasi yang tak mengenakkan ini.

"Ya udah, cuma itu yang ingin Mama ngobrolin sama kamu. Mama mau liat Richie sama Mbak Ani dulu."

Mama keluar dari kamar dan menutup pintu. Aku terdiam di tempat, masih tak mengerti kenapa Mas Bian menggunakan Mama untuk membujukku mengerti tentannya.

Aku berjongkok dan membuka koper untuk mengambil baju. Penasaran atas apa yang dimasukkan oleh orang-orang rumah ke dalamnya.

Mataku awas memindai satu persatu baju yang masih berlabel. Baju-baju itu entah siapa yang membelinya untukku, yang jelas tak ada satupun baju lama yang dimasukkan ke dalamnya.

Aku menggigit kuku memikirkan sejauh mana Mas Bian akan bertindak, bahkan menjauhkan aku dari negeriku sendiri.

***

Keesokan harinya, seorang tour guide mengajak kami berkeliling kota, melihat apa saja yang asing yang tidak kutemukan di negaraku.

Mama dan Richie antusias membeli pernak-pernik dan oleh-oleh. Tak lupa dengan tas branded favorit ibu-ibu.

Setiap mama membeli barang, maka dia akan memotret dan mengunggahnya di I* miliknya.

Termasuk tas yang terakhir dibelinya ini, mama pun melakukan hal yang sama. Terlihat bahagia saat mama mampu membeli barang-barang yang diinginkannya.

Tapi, tiba-tiba saja raut wajah mama berubah pucat. Mama tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Wanita sekitar 56 tahun itu menatap serius padaku, kemudian bergantian menatap layar pipih yang menyala di tangan kirinya.

"Kenapa, Ma?"

Aku yang hendak mengambil alih ponsel dilarang Mama. Wanita itu buru-buru mematikan dan memasukkannya ke dalam sling bag miliknya.

"Nggak apa-apa, Marin."

Aku yang heran makin dibuatnya bingung

Saat Mama memilih untuk mengakhiri jalan-jalannya.

"Kita pulang ke hotel sekarang, Mama kayaknya lelah," ujarnya begitu saja.

Aku melirik pada asisten Mama, Mbak Ani termasuk tour guide kami. Mereka hanya menggeleng dan mengangkat bahu, tanda tidak mengetahui apa-apa.

***

Kubaringkan badanku yang mudah lelah diatas tempat tidur. Kuusap perut yang belum ada pergerakan. Di dalam sana, buah hati kedua akan segera diketahui keberadaannya.

Iseng kunyalakan ponsel yang sejak kemarin kumatikan sejak dalam pesawat.

Belasan notifikasi masuk setelah menyalakan data. Dan … astaga, apa yang kulihat ini.

Mas Bian dan wanita itu jadi trending topik di media sosial serta aplikasi.

Dia kegep tengah berduaan di tempat remang-remang dengan posisi yang intim bersama dengan wanita itu.

Ya Tuhan …

Ya Tuhan …

Inikah alasan pria itu menjauhkanku. Dia ingin bebas bercengkrama dengan wanita itu tanpa gangguan dari anak dan istrinya.

Aku gigit bibir sekuatnya agar isak ini tidak keluar dari mulut. Membayangkan bagaimana suamiku bercampur dengan wanita lain. Ternyata tanpa harus aku mengadu pada Mama sekalipun, kebenaran itu akhirnya terkuak dengan cepat.

"Marin, kamu baik-baik aja, Nak?"

Mama mengetuk pintu kamar namun hingga beberapa saat tidak kujawab juga.

Wanita pemilik surgaku itu lalu membuka daun pintu dan mendapatiku yang tengah merosot di lantai.

"Ya ampun, Marin ….!"

Setengah berlari Mama menghampiri dan membawaku dalam pelukannya.

"Marin, kamu pasti sudah melihat berita tentang mereka?" Aku mengangguk samar.

"Tenangkan dirimu, Marin. Semuanya belum tentu benar. Banyak akun gosip yang ingin menjatuhkan karir suamimu. Bian tadi menghubungi Mama dan meyakinkan kalau semua itu hanya gosip dan kebohongan belaka. Mereka itu sedang syuting. Mungkin ada orang iseng yang mengambil gambar, seolah mereka tengah berhubungan." Mama menjelaskan tapi kujawab dengan gelengan cepat.

"Apa Mama masih percaya sama dia?!"

"Maksudnya?!" tanya Mama dengan reaksi terkejut.

Aku mendudukkan badan dengan tangis yang tertahan. Mataku sudah berlinang air mata menatap ke arah Mama yang mengusap genangan air di pipi.

"Itu mungkin bukan kebohongan Ma. Itu mungkin kebenarannya. Dan alasan dia menyuruh kita untuk liburan, pasti karena tidak mau terganggu."

"Marin, jangan ngomong yang bukan-bukan, Bian tidak mungkin melakukan hal itu. Kamu tahu 'kan di dunia hiburan rentan sekali kena gosip dan—"

"Dia sudah mengakuinya sama aku, Ma. Dia sudah mengakuinya, bahkan dia menginginkan wanita itu juga tanpa memikirkan perasaanku!" cicitku bertubi-tubi agar Mama mengerti. Lalu mengalirlah cerita yang terjadi diantara kami.

Mama terlihat terkejut sekali. Wajah itu memerah seketika. Dadaku yang terasa sesak kupukul-pukul dengan tangan demi untuk menenangkan hati. Lebih sakit melihat mama begini.

Kini yang terluka bukan aku saja, ditambah Mama yang lebih syok.

Semua karena ulahmu, Bian ….

"Maafkan Mama, Marin. Mama tidak tahu kalau ternyata Bian melakukan hal ini. Demi untuk kesenangannya sendiri, dia menjauhkan kamu dan Richie dari sisinya hanya agar dapat bermesraan dengan wanita itu. Maafkan Mama, maaf ….!"

Mama ikut terisak dan membawaku dalam pelukannya. Mama pasti kecewa karena kebohongan menantu kebanggaanya. Jadinya kami berbarengan menangis tersedu-sedu.

Tega kamu Bian!

Tega kamu menyakitiku, Mama dan Richie, hanya demi untuk mendapatkan kebebasan bersama wanita itu.

Tapi lihat saja, aku tidak akan membiarkannya. Bahkan aku sudah menghempaskan cinta yang pernah aku punya untuknya. Mulai saat ini, aku akan membuang jauh-jauh pria pengkhianat itu dari hidupku.

Mama keluar kamar setelah tangis kami mereda. Wanita itu mengambil ponsel kemudian menghubungi beberapa orang.

Aku masih meringkuk di lantai merasakan hatiku yang sakit. Bohong jika aku tidak terluka atas pengkhianatannya.

Dan sekarang aku rela jika harus melepasnya. Apa boleh buat, dia yang memulai dan aku harus siap mengakhirinya.

Bab terkait

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 9

    Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku.Tanpa pikir panjang semuanya kutolak.Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban.Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung."Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi."Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini."Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ib

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 10

    "Ma, aku mau ke lantai bawah sebentar untuk bertemu dengan seorang teman," ucapku saat menghampiri Mama."Mau ketemu siapa?"Ragu-ragu aku menjawab karena mama pasti akan keberatan mendengarnya."Erick, Ma."Mama yang tengah rebahan bersama dengan Richie yang terlelap di sampingnya, sontak terduduk dan menatapku dengan sorot serius."Erick ada di sini?" Aku mengangguk pelan."Marin, apa tidak sebaiknya kamu menghindari pria itu. Perbincangan suamimu saja masih panas-panasnya di negara kita, Mama takut kalau kamu menemui orang itu, malah akan menambah gosip baru. Kamu tahu 'kan jaman sekarang mata-mata ada di mana-mana?"Aku tersenyum dan menyampirkan tas di pundak. Tentu saja yang mama maksud adalah orang-orang yang ikut rombongan kami liburan. Mereka pasti akan mengadukan semuanya kepada suamiku. Tapi ah, bodo amat. Itu tidak penting sekarang."Mama nggak usah khawatir, kita berada di luar negeri, bukan berada di Bali atau Jakarta. Lagian orang-orang itu hanya akan mengadu pada su

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 11

    Dua hari kemudian, Papa menelponku lagi lewat ponsel mama. Bedanya kali ini Papa lebih murka dari sebelumnya, yang menyuruhku untuk memikirkan dan merundingkan semuanya. Kali ini papa juga tambah marah karena aku ketahuan bertemu dengan pria yang amat sangat dibencinya."Apalagi kali ini, Pa?! Kalau Papa memintaku untuk merundingkan semuanya, maka maaf, aku nggak bisa, Pa. Tolong mengertilah keadaanku." Bukan tanpa alasan aku bicara demikian. Sebelumnya Pak Anto juga menghubungi kalau pengajuan perceraian ini tidak bisa dilanjut tanpa persetujuan papaku."Ok, Papa terima kalau kamu ingin mengakhiri semuanya dengan Bian karena kamu sakit hati. Tapi, tidak bisakah kamu menahan diri untuk tidak bertemu sementara waktu dengan pria sial4n itu?! Kamu tahu 'kan, kalau gosip suamimu saja masih memanas. Jadi jangan sampai orang-orang mengira kalau kau juga ikut berselingkuh bersama dengan bajing4n itu!" Suara Papa yang menggeram membuatku terdiam sejenak. Kebencian Papa pada Erick meman

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 12

    Aku melangkah cepat diiringi pengawalan yang ketat. Para pemburu berita yang masih penasaran dan ingin menelisik lebih lanjut itu, terus mengejar bahkan menghalangi laju mobil ketika kami ingin pergi. Richie juga sempat menjerit karena terhimpit beberapa orang.Pintu kaca terus-terusan di ketuk membuatku tak tahan dan membukanya sedikit, mendengarkan orang-orang itu yang mendekatkan mikrofon agar aku kembali bersuara."Terakhir Bu, tolong terakhir jawab. Apa langkah Bu Marina selanjutnya? Apakah akan memaafkan Pak Bian atau malah memilih bercerai? Kami dengar selentingan kabar kalau seorang pengacara menemui papa Anda di kantornya?""Kita lihat itu nanti, ya, terima kasih."Mereka yang kecewa segera menjauh dan memberi jalan.Mobil pun melaju membelah kerumunan dengan kecepatan sedang. Sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak memberi informasi kepada orang asing yang tentunya akan semakin membesar-besarkan masalah. Meski ya, tindakanku juga tidak bisa dibenarkan.Sampai ke rumah

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 13

    "Aku sudah berada di rumahku. Kenapa tidak diselesaikan di sini saja, sih, Mas?"Heh, aku tahu dia masih belum puas bermain- main dengan wanita itu, dan dia ingin melampiaskan amarahnya padaku di rumah nanti. Aku juga yakin amarahnya akan meledak begitu jauh dari orang tuaku."Tidak bisa di sini Marin, ayo pulang ke rumah kita," ajaknya kukuh. Apa dia tak ingin sekedar meminta maaf dulu gitu."Kenapa dan apa yang mau kau selesaikan, Mas? Aksimu yang keburu ketahuan atau ada yang masalah lain yang ingin kau selesaikan? Kenapa tak disini saja?!" sergahku sebisa mungkin menahan emosi. "Ya nggak bisa gitu dong. Kita nggak leluasa bicara di sini dan masalah kita akan terus-menerus berlarut." "Ok, kamu tenang aja, Mas. Menurutku semuanya bahkan sudah selesai. Secepatnya kau kubebaskan melanjutkan apapun keinginanmu, tanpa akan ada orang yang menghalangi." "Marin, jaga bicaramu, jangan keterlaluan! Jangan terlalu jauh berpikir! Jelas-jelas kau juga salah di sini!" geramnya tertahan.

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 14

    Ponselku kembali berdering. Erick pasti sudah memastikan kalau aku membaca pesannya yang terakhir, makanya langsung menghubungi. "Huh, akhirnya kau mau juga bicara denganku, Marin," kata Erick langsung bersuara di ujung telepon. Entah kenapa terdengar lega. "Bagus sekali caramu mengancamku, Erick. Tapi, untuk apa kamu menghubungiku lagi, dan dari mana kamu tahu nomorku?" tanyaku kesal. Biar saja dia marah atau tersinggung mendengar perkataanku yang naik satu oktaf, karena jujur banyaknya masalah membuatku tidak bisa mengendalikan emosi saat ini. Terdengar kekehan kecil yang berasal dari bibir manis pria itu. "Bukan hal sulit mencari nomormu. Yang sulit itu bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dan bicara denganmu. Tapi syukurlah dan terima kasih Marin, karena akhirnya kau mau bicara denganku juga." "Aku terpaksa karena membaca ancamanmu!" jelasku dengan cepat. "Ok, aku ingin menemuimu sekarang. Bisakah kau keluar agar kita bisa bicara, atau kau ingin aku masuk ke rum

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 15

    "Yeay, akhirnya kita pulang juga. Makasih Ma, udah bawa aku pulang."Sebuah kecupan mendarat di pipi dari putra semata wayangku. Anak itu terlihat riang gembira saat kubawa kembali ke tempatnya tumbuh selama ini. Richie bergegas turun dari mobil dan menghambur ke halaman. Dia menggerak-gerakan gagang pintu agar lebih cepat masuk ke dalam."Awas kejepit, Nak," pesanku agar dia tetap berhati-hati."Aku tahu, Ma." Aku menggeleng pelan melihat ketidak sabarannya.Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Mau tidak mau aku menanyakan keadaan mereka selama aku tinggal hampir dua minggu lamanya."Semuanya baik-baik saja, tidak ada yang berubah, Bu."'Kecuali hati dan perasaanku,' jawabku dalam hati.Membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan seluas 8 x 9 meter ini tak membuatku merindukannya. Semuanya terasa hambar dan samar sekarang.Di sana Mas Bian pasti sedang memuja atau merengkuh surga dunia bersama dengan wanita yang men

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 16

    "Kau … mengetahui semuanya?" tanyanya sambil terkejut, tapi itu hanya sebentar. Detik berikutnya dia hanya menghembuskan nafas dan berbalik memunggungiku."Sampai kapan kau akan menyimpan bangkai itu, Mas? Dan sampai kapan kau akan bermain di belakangku? Apa kau tidak ingat dosa? Apa kau tidak menghargai aku dan pernikahan kita? Bahkan apa kau tidak memikirkan Richie dan karirmu sendiri, hah?" kesalku meluapkan emosi."Karena nafsumu pada wanita itu, kau melanggar norma-norma agama dan tidak bisa berpikir jernih, hingga yang ada dalam otakmu hanyalah cara menggagahi wanita itu saja," lanjutku sambil berdecak.Aku tak bisa menahan lebih lama lagi kekesalanku terhadap Mas Bian. Jadi, suka atau tidak, kami harus saling mengungkapkan isi hati."Cukup Marin, jangan menghakimiku. Kau jelas tak tahu apa yang kubutuhkan, dan alasanku melakukannya," kilahnya tanpa rasa bersalah."Memang apa yang kau inginkan, Mas? Apa keinginanmu yang tidak bisa aku wujudkan, dan apa hal yang tidak kuturuti

Bab terbaru

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 64

    Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 63

    Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 62

    Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 61

    Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 60

    Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 59

    Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 58

    “Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 57

    Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam

  • Wanita Pilihan Suamiku   Bab 56

    Tok tok tok. Pintu terdengar diketuk dengan tidak sabar. Erick buru-buru menutupi seluruh badannya dengan selimut. Matanya melirik awas padaku dengan mata penuh pengharapan. “Jangan biarkan seorang pun masuk.” Aku tidak menjawab dan hanya tersenyum menanggapinya. Erick pasti malu akibat keadaannya yang setengah tanpa pakaian tersebut. Lagi poles siapa yang menyuruhnya untuk bertelanjang dada, bahkan di pagi buta seperti hari ini. Kuambilkan kaos hitam lalu kuserahkan padanya. “Pakailah, jangan sampai anak-anak melihatmu dalam keadaan seperti itu.” Erick meraihnya dengan wajah bersemu merah. “Itu kan gara-gara kamu sendiri, Sayang. Siapa suruh semalam minta nambah jadi aku malas untuk pakai-pakaian lagi. Kalau kamu masih ingin lagi, aku kan bisa langsung—” “Sttt.” Aku langsung melotot. Naik atas kasur dan menutup mulutnya yang nakal itu. Bisa-bisanya Mas bilang demikian padahal sebenarnya siapa semalam yang lagi menginginkan lebih.” Erick menarik tangan dan menciumnya

DMCA.com Protection Status