Aku tertegun dan limbung mendengar penjelasan dari Maya barusan. Mama selama ini menyimpan penyakit berbahaya itu sendiri, dan bod*hnya aku tidak mengetahui hal itu.“Ap-apa yang kau katakan itu benar, ‘kan, May?! Kau tidak bohong ‘kan padaku?” tanyaku untuk kesekian kalinya. Hanya untuk memastikan kalau apa yang kudengar itu tidak salah. Maya mengangguk sambil mendesah, “Tante Marisa memintaku untuk merahasiakannya darimu. Jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti permintaannya. Dia juga sudah melakukan beberapa kali operasi dan ditunjang obat. Hal itu cukup menyembuhkan penyakitnya, tapi setelahnya Tante Marisa tidak mau melayani lagi suaminya. Kendati papamu terus mendesak dan meminta haknya, dia tetap menolak. Ya mungkin itulah alasan yang menyebabkan kenapa papamu sampai rajin berselingkuh di luar sana,” papar Maya lagi. “Dia melakukan dosa May, bukan kerajinan,” ralatku membuat Maya nyengir.“Habisnya papamu itu kok doyan banget selingkuh.”“Dan ditengah keterke
“Pengunjung dimohon tenang dan jangan berperilaku kasar, atau pertemuan ini terpaksa kami tutup lebih cepat,” ujar pengawas yang Erick minta untuk mempertemukan kami tanpa batas waktu.“Papa, tolong jangan seperti ini. Biarkan Marina menjelaskan lebih dulu,” tegur Bian lagi. Dia pasti kesal karena papanya itu tak jua mau sabar.“Ya, itu yang ingin kutanyakan padamu, Bi. Masihkah kamu memperistri wanita itu?! Jika iya, aku meminta bantuan mama dan papamu untuk bertemu dengan mereka malam ini. Sheila benar-benar meresahkan. Untuk kali kedua dia berselingkuh dengan pria beristri.”Bian menghela napas berat. “Kami belum bercerai dan Sheila juga tidak mau diceraikan. Kau ingat ‘kan saat aku hendak merujukmu malam itu, sebelumnya aku ingin menjatuhkan talak padanya dengan tawaran sejumlah uang untuk bakal hidup, tapi Sheila menolak dan mati-matian mengatakan kalau dia mencintaiku dan akan sabar menunggu sampai aku bebas. Tapi jika benar apa yang kau katakan barusan, maka aku tak bi
Dimas luruh di lantai. Dua tangannya meremas rambut dengan kasar. Di atas sofa Amira masih menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Berkali-kali wanita itu menarik nafas panjang demi melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak. Tentu ini hal yang berat untuknya. Dan sekarang pilihan ada tangan keduanya. Memaafkan dan memperbaiki, atau memilih jalan lain.“Semuanya sudah selesai, tinggal bagaimana kau menghadapi istrimu dan meminta maaf padanya. Syukur-syukur kalau kau menyesali semuanya dan bertaubat,” ujar Erick sambil menggamit lengan dan mengajakku pergi. Buru-buru aku melangkah mensejajarkan diri di samping priaku, tentunya setelah pamit pada Amira.Kukira hanya sampai di sana. Rupanya saat keluar, orang tua Bian dan Sheila tengah bertengkar hebat di samping mobil wanita itu. Ketiganya berseteru dan sama-sama meninggikan suara. Namaku juga ikut dibawa-bawa olehnya. Sheila tak segan berteriak di depan pria yang masih berstatus sebagai mertuanya tersebut. Tak tinggal diam, P
“Bukan begitu, Ma. Mamanya Amira ‘kan masuk rumah sakit, masa iya kami meninggalkannya. Ada hal lain juga yang mesti kami urus. Tapi mama tenang aja, Erick janji nanti pulang ke sana.”Erick melirik ke arahku. Aku menekan dada yang terasa nyeri lalu meninggalkan pria itu dan mengambil pakaian kotor. Biar Erick sendiri yang menjelaskan pada mamanya, meski jujur kata-kata dari wanita yang belum pernah bertatap muka secara langsung denganku itu, membuat hatiku sedikit nyeri. Erick juga pasti tidak menduga kalau mamanya akan berkata demikian dan langsung didengar olehku.“Mas minta maaf atas perkataan mama tadi. Mama pasti tidak sengaja mengatakannya,” ujar Erick yang menyusul dari belakang.“Udahlah Mas, aku ngerti kok. Aku yang harusnya minta maaf karena aku membawa Mas dalam masalahku. Dan aku memang belum usai dengan masa laluku. Maaf ….”Kuusap air mata yang berjatuhan tanpa bisa kutahan. Entahlah kenapa aku jadi melow seperti ini, bahkan di depan Erick tangisku jatuh. Merasakan
Bukan hanya soal rezeki, tapi orang-orang baik di sekitar kami juga hidayah, yang Dia berikan pada umatnya.Menghabiskan waktu dan berlibur di Italy menjadi tujuan kami. Setelah pesawat landing di negara tujuan, tiga mobil jemputan langsung terparkir di pelataran parkir yang siap membawa kami ke tempat tujuan.Mobil melaju dengan kecepatan sedang sampai tiba di halaman rumah yang cukup besar. Kami semua turun dan memindai rumah bergaya Eropa dengan nuansa putih di sekitarnya. Tampak anggun, gagah, kokoh, menawan dan siap menyambut kami untuk masuk ke dalamnya. Mamanya Erick menyuruh kami untuk datang ke sana dan tidak membolehkan kami untuk tinggal di hotel, terutama untuk keluarga Dimas dan mamaku. Mamanya Erick keberatan dan menolak seandainya mereka memilih istirahat di tempat lain.Dan menanggapi ucapannya, jujur membuat hatiku terharu. Semoga saja setelah pertemuan nanti, pandanganku terhadap wanita itu berbeda. Kuharap wanita itu bisa menerima aku dan keluarga kecilku
Tok tok tok. Pintu terdengar diketuk dengan tidak sabar. Erick buru-buru menutupi seluruh badannya dengan selimut. Matanya melirik awas padaku dengan mata penuh pengharapan. “Jangan biarkan seorang pun masuk.” Aku tidak menjawab dan hanya tersenyum menanggapinya. Erick pasti malu akibat keadaannya yang setengah tanpa pakaian tersebut. Lagi poles siapa yang menyuruhnya untuk bertelanjang dada, bahkan di pagi buta seperti hari ini. Kuambilkan kaos hitam lalu kuserahkan padanya. “Pakailah, jangan sampai anak-anak melihatmu dalam keadaan seperti itu.” Erick meraihnya dengan wajah bersemu merah. “Itu kan gara-gara kamu sendiri, Sayang. Siapa suruh semalam minta nambah jadi aku malas untuk pakai-pakaian lagi. Kalau kamu masih ingin lagi, aku kan bisa langsung—” “Sttt.” Aku langsung melotot. Naik atas kasur dan menutup mulutnya yang nakal itu. Bisa-bisanya Mas bilang demikian padahal sebenarnya siapa semalam yang lagi menginginkan lebih.” Erick menarik tangan dan menciumnya
Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam
“Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan