Dada Veronica berdegup kencang. Pertanyaan Gio belum segera dia jawab. Yang mulai berkelana di kepalanya adalah kisah pedih yang dia mau tinggalkan dengan pindah ke Malang.Tapi Veronica tidak mungkin tidak menjawab. Gio menunggu Veronica membuka mulut dan memberi alasan pilihan Veronica memulai bisnis di kota kecil yang jauh dari tempat asalnya."Malang kota yang sejuk dan tenang. Kota yang sedang berkembang. Saya mencoba peruntungan saja, mungkin saya akan menemukan yang lebih baik di sini." Entah bagaimana kalimat itu mengalir begitu saja dari bibir Veronica."Really?" Gio seperti tidak percaya dengan jawaban Veronica. "Bukannya peluang lebih besar jika tetap di Bandung?""Ah, Pak Gio benar soal itu. Tapi, hanya saja ..." Veronica mencari kata yang tepat, tapi tidak juga menemukan."Apa terlalu pribadi?" Gio melihat aura yang lain saat Veronica mencoba melengkapi kalimatnya.Wajah Veronica memerah. Sama sekali tidak dia kira sejauh itu Gio akan bisa membaca yang terjadi dengannya."
Baris demi baris bergantian Reggy dan Resita membaca syair indah tentang cinta. Bait demi bait dikumandangkan membahana di seluruh ruangan yang luas dan megah. Semua mata masih terpaku, seolah tak ada yang bergerak menyaksikan keduanya.Detak jantung Reggy terus kencang melaju. Setiap kata yang dia ucap, dia lepas dari hati terdalam. Bukan sekadar menuntaskan permintaan mempelai untuk mengurai cinta dengan pasangannya lewat puisi, tetapi sepenuh hati Reggy ucap, berharap Resita memahami itu isi hati Reggy padanya."Cinta ... Sungguhkah kau cinta padaku?" Resita membaca satu baris."Tidakkah hatimu merasa? Tidakkah sukmamu memahaminya?" Reggy maju satu langkah makin mendekat. "Ya ... cinta ... cinta untukmu."Mata berbinar indah Resita tajam memandang Reggy. Rona merah di pipinya membuat dia makin bersinar. "Bukan aku tak tahu, bukan ... Bukan tidak kurasa ... Mungkinkah? Diriku? Cinta itu buatku?" Semakin dalam tatapan Resita. Kalimat itu memang dalam syair puisi, tetapi seolah-olah
Felipe masuk rumah dengan wajah lesu. Dia tampak sangat letih. Ransel besar di punggungnya dia letakkan di sebelah sofa, lalu melemparkan tubuh ke atas sofa besar, ingin melepas lelah. Semua bagian tubuhnya terasa tak ada daya. "Hai, Abangku yang ganteng!!" sapa Maureen. Dia mendekati Felipe. "Kok loyo banget? Rencana ga sukses?" "Yerry udah baikan karena bertapa dua malam di hutan. Aku ini yang perlu vitamin," ujar Felipe. "Kayak patah dan lepas tulang-tulangku." Felipe pergi ke salah satu lokasi wisata alam dengan sahabatnya, Yerry. Ayah Yerry meninggal karena serangan jantung. Tentu saja sangat mengejutkan dan menyakitkan. Yerry sangat kehilangan, begitu juga dengan mama dan kakaknya. Karena ingin membantu Yerry agar bisa kembali tenang dan siap menjalani hari-harinya, Felipe mengajak Yerry camping dua malam. Di sana Yerry bercerita banyak sekali tentang ayahnya, keluarganya, dan bagaimana situasi mereka dengan kepergian sang ayah. Setelah menumpahkan semua sedih di hutan, Feli
Felipe berdiri agak di belakang Yerry dan kakaknya, Vera. Yerry akhirnya menemukan ke mana Vera pergi. Ke tempat wisata yang menjadi tempat favorit papa mereka jika liburan. Perjalanan ke sana lebih kurang satu jam dari rumah. "Kenapa papa harus meninggalkan kita, Yer?" Suara Vera lirih dan terdengar pilu. "Karena buat Tuhan, sudah cukup waktunya papa di dunia ini." Mengatakan ini sebenarnya sangat berat untuk Yerry. "Tapi Tuhan tahu aku butuh papa. Aku sayang papa." Vera mulai menangis. "Pasti. Tuhan pasti tahu. Tuhan juga sayang papa." Yerry menahan pedih yang menyusup lagi di hatinya. "Kenapa Tuhan biarkan papa meninggal? Kenapa Tuhan ga sembuhkan? Tuhan tahu aku ga bisa tanpa papa. Buat aku papa segalanya." Vera makin keras bicara sambil melepas tangis. Vera memang sangat dekat dengan papanya sejak kecil. "Itulah yang Tuhan tidak suka, Kak Ve." Yerry harus menguatkan hati, agar bisa menguatkan kakaknya. "Maksudmu?" Vera menatap adiknya. "Tuhan juga ingin kita sayang pada-
Veronica cepat-cepat keluar dari mal. Dia naik ke motor dan bergegas pulang. Sepanjang jalan hatinya kembali carut marut. Air mata tak bisa lagi dia bendung. Untuk kesekian kali, dia kembali hancur. “Ana … Ana …” ucap Veronica berulang kali. Tangan terasa gemetar, tubuh terasa oleng. Tidak dia sangka, terjadi lagi. Dia bertemu dengan seorang anak perempuan yang sangat mirip dengan Ana. Kali ini bukan hanya terlihat mirip penampilannya. Tetapi rambut dan wajahnya, posturnya mirip dengan Ana. Walaupun jelas anak perempuan itu lebih tua beberapa tahun dari Ana. “Tuhan, kenapa? Kenapa Kau pertemukan aku dengan anak yang mirip Ana lagi? Kenapa? Aku tidak mampu menahan pedihku. Semua kenangan akan datang dan membuat aku kacau.” Dalam hati Veronica berseru. Jalanan cukup ramai, Veronica seperti tidak melihat apapun. Bayangan anak perempuan itu terus menerjang di pikirannya. “Aku Maureen …” Senyum gadis itu, mirip dengan Ana. Hanya wajahnya sedikit lebih bulat dengan lesung pipi tidak be
"Ini soal papa." Akhirnya Maureen bicara juga. Natan menunggu Maureen melanjutkan. "Aku rasa kamu benar, Tan. Papa bukan pria seperti Superman. Dia juga punya batas." "Maksudmu?" Natan mengerutkan keningnya. "Papa sedang ada masalah berat di kantor. Dan dia butuh seseorang yang bisa menguatkan papa di situasi begini. Aku, Kak Felipe, dan Kak Reggy ga akan bisa ada di sisinya. Seorang pendamping hidup yang bisa di sana memeluk dan menenangkan papa." Maureen mengusap ujung matanya yang basah. "Ooo ..." Natan agak terkejut mendengar ini. Tentu saja sangat tidak dia kira kalimat itu akan dia dengar dari Maureen. "Jadi ..." Natan sengaja menggantung ucapannya. "Aku mungkin akan rela kalau papa cari istri lagi," kata Maureen. "Kamu serius?" Natan kembali menatap Maureen. Maureen mengangguk. "Reen, kurasa jika benar, pasti papamu juga akan hati-hati memilih pasangan. Bukan hanya buat senang dirinya. Pasti papamu akan memikirkan kalian anak-anaknya. Apakah wanita itu akan cocok dengan
Gio sudah kembali ke rumah. Kondisi fisiknya cepat sekali pulih. Dan sesuai pesan dr. Haris, dia akan ambil beberapa hari lagi istirahat agar benar-benar sehat sebelum beraktivitas penuh."Papa beneran ga apa-apa sendiri di rumah?" Maureen menaruh minuman di meja sebelah ranjang papanya."Tidak apa-apa. Kamu sudah dua hari izin dari sekolah. Pergilah. Kamu juga siang sudah pulang." Gio membetulkan posisi duduknya yang bersandar pada bantal."Ya, baiklah. Sampai nanti, Pa." Maureen mencium pipi papanya, lalu keluar dari kamar itu.Gio masih memikirkan apa yang Maureen katakan di rumah sakit waktu itu. "Ada yang aku, Kak Felipe, Kak Reggy ga bisa bantu ... Kurasa mama ga akan marah kalau papa punya istri lagi.""Uuhffhhh ..." Gio melipat kedua tangannya di dada.Seketika Gio ingat pada Veronica. Dia tidak bisa berbohong, wanita penuh semangat itu mulai mengisi hatinya yang lama sengaja dia tutup rapat untuk siapapun. Sampai bertingkah dingin dan tak peduli wanita model apapun demi tetap
Maureen masuk kamar papanya. Felipe mengikuti di belakang."Papa ..." sapa Maureen seraya mendekat ke ranjang Gio. "Sudah datang?" Gio tersenyum menyambut kedua anaknya. "Iya. Papa baik-baik?" tanya Felipe. "Baik. Malah bosan cuma duduk, berbaring, ga melakukan apapun." Gio meletakkan buku yang ada di tangannya. "Hehe ..." Felipe terkekeh. "Lapar pasti?" "Sedikit," tandas Gio. "Yuk, kita masak, Kak. Kasihan papa kita dah kelaparan," ajak Maureen. Kedua anak itu pergi ke dapur dan menyiapkan makan siang. Lagi asyik masak, Reggy datang. Dia ikut bergabung dengan kedua adiknya. "Kak, kamu masih berpikir soal papa nggak?" tanya Maureen sementara dia memasukkan sayur ke panci. "Kenapa?" tanya Reggy. "Yang Kak Re pernah bilang, papa butuh pendamping. Aku rasa aku tahu orang yang cocok buat papa," kata Maureen. "Apa, Reen?" Reggy dan Felipe serentak menoleh pada Maureen. Tentu saja mereka terkejut mendengar kata-kata Maureen. "Iya. Tante Veronica, Kak." Mata Maureen melihat Felipe