"Sore, Pak," sapa Paulina. Dia datang memang juga ingin menjenguk Gio. Waktu Gio sakit Paulina tidak ada waktu untuk menjenguk. “Pak Gio sudah sehat?”"Sore, Nina," balas papa. "Ya, aku sudah sehat, mulai aktif, tapi masih terbatas. Besok mulai ngantor lagi.”"Senang mendengarnya.” Nina tersenyum ramah, seperti biasa."Weeihhh ... anak anjingnya lucu!" ujar Felipe, begitu me.lihat anjing yang ada di pangkuan Maureen."Namanya Randy, Kak," sahut Maureen sambil dia mengikat rantai anjing kecil itu di kursi di ruang tengah."Oo … Randy ... Randy ..." Felipe mengajak main anjing kecil itu.Lalu mereka duduk bersama di ruang tengah lanjut mengobrol. Papa mengobrol dengan Paulina, biasa soal kerjaan. Sedang para remaja mengobrol juga soal dunia mereka."Ih, kemarin ulangan bahasa Inggris, lumayan, nilaiku bagusan. Dapat 7," kata Mita."Emang biasanya dapat berapa?" tanya Maureen."Kursi terbalik," jawab Mita sambil tertawa."Masa?" Felipe menimpali."Bener. Aku memang lemah belajar Bahasa,"
"Itu karena papa ga kasih kita pacaran sampai umur 17 tahun. Coba boleh," sahut Maureen sambil melirik Felipe. "Kamu pasti udah jadi playboy, Kak!""Mana ada?" tukas Felipe. "Cewek-cewek itu yang suka sama aku. Karena mereka buka pintu, aku mendekatlah. Bukan salahku kalau ganteng dan keren." "Ihh, dasar!" Maureen ngakak seraya meninju lengan Felipe, pelan."Hehehe ..." Felipe ikut tertawa.Felipe memang periang dan suka menonjol. Dia pasti jadi pusat perhatian jika ada di suatu tempat. Walau begitu dia ramah dan tidak pilih-pilih teman. Dia akan bantu siapa saja yang butuh. Tapi usilnya, kadang bisa kelewatan dan membuat orang lain kesal.Sangat bertolak belakang dengan Reggy yang kalem dan tenang. Terkesan pemalu, tapi sebenarnya Reggy memang tidak ingin tampil. Dia lebih senang bekerja di belakang layar."Natan gimana? Kalian masih kontak biar ga satu sekolah lagi?" Reggy mengalihkan percakapan."Natan baik. Dia enjoy di sekolah barunya. Kalau kontak ga sering-sering juga. Udah mul
"Kak Andika, dia anak angkat keluarga. Tapi sebenarnya, dia anak dari keluarga jauh dari papa. Aku tidak tahu bahwa dia bukan kakak kandungku sampai setahun yang lalu.” Resita mulai bercerita. Dia berusaha tenang, meskipun suaranya sendu dan sedikit bergetar.“Awalnya semua baik-baik saja. Dia baik, menurut pada papa dan mama. Berprestasi di sekolah dan menyenangkan di rumah. Sampai ..." Sampai pada kalimat itu, Resita berhenti dan menggantung kata-katanya.Reggy memandang Resita. Setiap kata yang terucap Reggy Simak baik-baik. Bahkan, dia tidak menyela atau mendorong Resita terus bercerita. Dia tetap diam mendengar dan menunggu.Resita melanjutkan kisahnya. "Sampai suatu kali ada saudara yang bilang sama Kak Andika … kalau dia, dia bukan anak papa mama. Kak Andika akhirnya bisa berkomunikasi dengan orang tua kandungnya. Lalu orang tua kandungnya ingin kak Andika balik dengan mereka. Tapi papa tidak mau, karena dia tahu... keluarga kandung Kak Andika hidupnya sangat sulit. Papa memper
Makan malam. Rumah terasa sepi. Semua duduk di tempat masing-masing, tapi tidak ada yang semangat bercerita dan bicara. Maureen merasa aneh dengan orang-orang di rumahnya. Dia memandangi para pria yang duduk di sekelilingnya.Gio, sang ayah, fokus dengan ayam saus padang di piringnya. Reggy, anak sulung, dia masih menikmati buah melon dan semangka di mangkuknya. Sedang Felipe, dia menambah sambal dan ayam lagi. Tapi tidak ada yang ingin membuka suara.“Semua sehat, kan?!” Maureen tidak tahan, akhirnya dia yang bicara.Para pria itu menoleh pada Maureen dan menghentikan gerakan tangan mereka. Bahkan Reggy berhenti mengunyah dengan mulut masih penuh.“Papa baik, Reen. Sehat, jangan kuatir,” kata Gio. Sedikit heran dia melihat Maureen.“Kak Reggy? Kak Felipe?” tanya Maureen.“Aku? Lagi makan,” jawab Felipe.“Kok pada diem, sih? Kayak ga saling kenal aja,” tukas Maureen. Mata gadis itu mencermati tiga pria kesayangannya. Benar-benar tidak seperti biasanya. Pasti ada apa-apa dengan mereka.
Gio mendesah. Sekilas masih ada rasa seperti dia akan mengkhianati mendiang istrinya. Tapi juga muncul Victoria dengan senyum dan berkata, it is okay. "Vicky, buat aku yakin, langkahku sekarang tidak salah." Lagi batin Gio bergulat. Gio memejamkan matanya. "Tuhan, jika ini waktuku untuk mengejar cinta yang baru, beri aku damai. Dan mudahkan jalanku bersama Veronica." Setelah beberapa lama, Gio berdiri dan meninggalkan kantornya. Masuk ke mobil dan melaju menuju Dame Resto. Resto yang cukup besar dan dikenal di kota ini. Salah satu juga tempat favorit dia dan keluarga jika makan bersama di luar rumah. Jam 7 kurang 10 menit, Gio sampai. Dia langsung mencari tempat yang strategis untuk dia bicara dengan nyaman nanti. Agak sebelah belakang, dekat taman yang ada kolam ikannya. Hm, tempat yang pas. Gio baru memilih menu dan belum memutuskan makan apa selain minum, Veronica datang. "Selamat malam, Pak Gio," sapa Veronica. Gio menoleh. Veronica berdiri dengan senyum manisnya. Cantik. Te
Lelah mendera setelah sepanjang hari beraktivitas. Veronica sebenarnya ingin segera berbaring dan tidur lelap agar tubuhnya kembali segar esok hari. Tetapi apa daya, pertemuannya dengan Gio membuat dia kepikiran. Perkataan Gio makin jelas. CEO dingin yang mulai menghangat itu, punya maksud lain selain ingin berteman. Awalnya Veronica tidak mau terlalu memperhatikan itu. Dia memang sempat menduga, tetapi Veronica tepis jauh-jauh. Tidak. Dia tidak mau memulai hubungan dengan pria manapun. Dia masih sayang Leon. Kehilangan Leon tidak berarti dia akan dengan gampang mencari cinta baru. “Ahh … kenapa ternyata Pak Gio malah membuka pintu? Aku harus menjawab apa?” ucap Veronica lirih. Terdengar ponselnya berdering. Veronica turun dari ranjang dan mengambil benda pipih di meja. Mama tersayang menelpon. “Ma, malam begini menelpon? Mama sedang tidak sehat?” Veronica kaget karena tidak biasa mamanya akan menghubungi apalagi hari sudah malam. “Aku mimpi kamu, Nak. Kamu sedang takut dan menang
"Apalagi, Fasta?" Wuri menoleh, lalu kembali melihat ke depan, tidak menghentikan langkahnya."Fasta?" Felipe menatap Wuri. Dia mempercepat kakinya agar bisa menjajari Wuri."Aku hanya ingat bagian itu dari namamu." Wuri terus berjalan, kasir sudah tidak jauh lagi."Tidak apa-apa. Dipanggil Fasta juga bagus kukira." Felipe tersenyum. "Ambil ini untukmu. Sudah aku bayar." Felipe menyodorkan coklat di depan Wuri."Tidak usah. Jadi temanku tidak harus beli coklat untukku." Wuri tegas menolak."Bukan. Aku memang ingin memberimu. Aku tahu kamu mau jadi temanku." Coklat masih terulur di depan Wuri."Baiklah. Terima kasih." Wuri menerima coklat itu dan memasukkan ke saku roknya. Lalu dia meneruskan langkah menuju ke kasir.Tak lama Wuri sudah dilayani dan mereka keluar supermarket. Di depan supermarket mereka berpisah."Sampai jumpa minggu depan," kata Felipe. Dia meyakinkan Wuri, mereka akan bertemu lagi minggu berikutnya.Wuri tersenyum tipis.Melihat itu, Felipe menaikkan kedua alisnya.A
"Waktu kakek masih ada, aku masih cukup senang. Kakek sangat sayang aku. Dia melindungi aku setiap kali ibu marah padaku. Setelah kakek meninggal, ibu makin tak terkendali. Sepertinya dia ingin menyiksaku seumur hidup."Felipe hanya mendengarkan tidak mau berkomentar apa-apa. Dia tunggu Wuri menyelesaikan semua kisahnya. Hatinya pedih mendapati kenyataan ada seorang anak harus mengalami kehidupan seburuk itu."Kakek yang memberiku nama. Pernah pamanku ingin mengajakku supaya aku tinggal dengannya. Tapi ibu mengancam akan membunuhku jika sampai aku dibawa. Sejak itu paman tidak pernah lagi memintaku tinggal dengan keluarganya. Hanya sesekali paman datang, memberiku uang. Karena kami hidup hanya dari pensiunan kakek. Ibu tidak pernah memberi aku uang lebih kecuali untuk belanja. Kalau ibu tahu paman memberiku uang, dia akan ambil uang itu dan ludes di meja judi.""Fasta, mungkin setelah mendengar ini kamu jadi tidak suka lagi denganku. Lalu kamu memilih pergi, aku