"Ini soal papa." Akhirnya Maureen bicara juga. Natan menunggu Maureen melanjutkan. "Aku rasa kamu benar, Tan. Papa bukan pria seperti Superman. Dia juga punya batas." "Maksudmu?" Natan mengerutkan keningnya. "Papa sedang ada masalah berat di kantor. Dan dia butuh seseorang yang bisa menguatkan papa di situasi begini. Aku, Kak Felipe, dan Kak Reggy ga akan bisa ada di sisinya. Seorang pendamping hidup yang bisa di sana memeluk dan menenangkan papa." Maureen mengusap ujung matanya yang basah. "Ooo ..." Natan agak terkejut mendengar ini. Tentu saja sangat tidak dia kira kalimat itu akan dia dengar dari Maureen. "Jadi ..." Natan sengaja menggantung ucapannya. "Aku mungkin akan rela kalau papa cari istri lagi," kata Maureen. "Kamu serius?" Natan kembali menatap Maureen. Maureen mengangguk. "Reen, kurasa jika benar, pasti papamu juga akan hati-hati memilih pasangan. Bukan hanya buat senang dirinya. Pasti papamu akan memikirkan kalian anak-anaknya. Apakah wanita itu akan cocok dengan
Gio sudah kembali ke rumah. Kondisi fisiknya cepat sekali pulih. Dan sesuai pesan dr. Haris, dia akan ambil beberapa hari lagi istirahat agar benar-benar sehat sebelum beraktivitas penuh."Papa beneran ga apa-apa sendiri di rumah?" Maureen menaruh minuman di meja sebelah ranjang papanya."Tidak apa-apa. Kamu sudah dua hari izin dari sekolah. Pergilah. Kamu juga siang sudah pulang." Gio membetulkan posisi duduknya yang bersandar pada bantal."Ya, baiklah. Sampai nanti, Pa." Maureen mencium pipi papanya, lalu keluar dari kamar itu.Gio masih memikirkan apa yang Maureen katakan di rumah sakit waktu itu. "Ada yang aku, Kak Felipe, Kak Reggy ga bisa bantu ... Kurasa mama ga akan marah kalau papa punya istri lagi.""Uuhffhhh ..." Gio melipat kedua tangannya di dada.Seketika Gio ingat pada Veronica. Dia tidak bisa berbohong, wanita penuh semangat itu mulai mengisi hatinya yang lama sengaja dia tutup rapat untuk siapapun. Sampai bertingkah dingin dan tak peduli wanita model apapun demi tetap
Maureen masuk kamar papanya. Felipe mengikuti di belakang."Papa ..." sapa Maureen seraya mendekat ke ranjang Gio. "Sudah datang?" Gio tersenyum menyambut kedua anaknya. "Iya. Papa baik-baik?" tanya Felipe. "Baik. Malah bosan cuma duduk, berbaring, ga melakukan apapun." Gio meletakkan buku yang ada di tangannya. "Hehe ..." Felipe terkekeh. "Lapar pasti?" "Sedikit," tandas Gio. "Yuk, kita masak, Kak. Kasihan papa kita dah kelaparan," ajak Maureen. Kedua anak itu pergi ke dapur dan menyiapkan makan siang. Lagi asyik masak, Reggy datang. Dia ikut bergabung dengan kedua adiknya. "Kak, kamu masih berpikir soal papa nggak?" tanya Maureen sementara dia memasukkan sayur ke panci. "Kenapa?" tanya Reggy. "Yang Kak Re pernah bilang, papa butuh pendamping. Aku rasa aku tahu orang yang cocok buat papa," kata Maureen. "Apa, Reen?" Reggy dan Felipe serentak menoleh pada Maureen. Tentu saja mereka terkejut mendengar kata-kata Maureen. "Iya. Tante Veronica, Kak." Mata Maureen melihat Felipe
"Sore, Pak," sapa Paulina. Dia datang memang juga ingin menjenguk Gio. Waktu Gio sakit Paulina tidak ada waktu untuk menjenguk. “Pak Gio sudah sehat?”"Sore, Nina," balas papa. "Ya, aku sudah sehat, mulai aktif, tapi masih terbatas. Besok mulai ngantor lagi.”"Senang mendengarnya.” Nina tersenyum ramah, seperti biasa."Weeihhh ... anak anjingnya lucu!" ujar Felipe, begitu me.lihat anjing yang ada di pangkuan Maureen."Namanya Randy, Kak," sahut Maureen sambil dia mengikat rantai anjing kecil itu di kursi di ruang tengah."Oo … Randy ... Randy ..." Felipe mengajak main anjing kecil itu.Lalu mereka duduk bersama di ruang tengah lanjut mengobrol. Papa mengobrol dengan Paulina, biasa soal kerjaan. Sedang para remaja mengobrol juga soal dunia mereka."Ih, kemarin ulangan bahasa Inggris, lumayan, nilaiku bagusan. Dapat 7," kata Mita."Emang biasanya dapat berapa?" tanya Maureen."Kursi terbalik," jawab Mita sambil tertawa."Masa?" Felipe menimpali."Bener. Aku memang lemah belajar Bahasa,"
"Itu karena papa ga kasih kita pacaran sampai umur 17 tahun. Coba boleh," sahut Maureen sambil melirik Felipe. "Kamu pasti udah jadi playboy, Kak!""Mana ada?" tukas Felipe. "Cewek-cewek itu yang suka sama aku. Karena mereka buka pintu, aku mendekatlah. Bukan salahku kalau ganteng dan keren." "Ihh, dasar!" Maureen ngakak seraya meninju lengan Felipe, pelan."Hehehe ..." Felipe ikut tertawa.Felipe memang periang dan suka menonjol. Dia pasti jadi pusat perhatian jika ada di suatu tempat. Walau begitu dia ramah dan tidak pilih-pilih teman. Dia akan bantu siapa saja yang butuh. Tapi usilnya, kadang bisa kelewatan dan membuat orang lain kesal.Sangat bertolak belakang dengan Reggy yang kalem dan tenang. Terkesan pemalu, tapi sebenarnya Reggy memang tidak ingin tampil. Dia lebih senang bekerja di belakang layar."Natan gimana? Kalian masih kontak biar ga satu sekolah lagi?" Reggy mengalihkan percakapan."Natan baik. Dia enjoy di sekolah barunya. Kalau kontak ga sering-sering juga. Udah mul
"Kak Andika, dia anak angkat keluarga. Tapi sebenarnya, dia anak dari keluarga jauh dari papa. Aku tidak tahu bahwa dia bukan kakak kandungku sampai setahun yang lalu.” Resita mulai bercerita. Dia berusaha tenang, meskipun suaranya sendu dan sedikit bergetar.“Awalnya semua baik-baik saja. Dia baik, menurut pada papa dan mama. Berprestasi di sekolah dan menyenangkan di rumah. Sampai ..." Sampai pada kalimat itu, Resita berhenti dan menggantung kata-katanya.Reggy memandang Resita. Setiap kata yang terucap Reggy Simak baik-baik. Bahkan, dia tidak menyela atau mendorong Resita terus bercerita. Dia tetap diam mendengar dan menunggu.Resita melanjutkan kisahnya. "Sampai suatu kali ada saudara yang bilang sama Kak Andika … kalau dia, dia bukan anak papa mama. Kak Andika akhirnya bisa berkomunikasi dengan orang tua kandungnya. Lalu orang tua kandungnya ingin kak Andika balik dengan mereka. Tapi papa tidak mau, karena dia tahu... keluarga kandung Kak Andika hidupnya sangat sulit. Papa memper
Makan malam. Rumah terasa sepi. Semua duduk di tempat masing-masing, tapi tidak ada yang semangat bercerita dan bicara. Maureen merasa aneh dengan orang-orang di rumahnya. Dia memandangi para pria yang duduk di sekelilingnya.Gio, sang ayah, fokus dengan ayam saus padang di piringnya. Reggy, anak sulung, dia masih menikmati buah melon dan semangka di mangkuknya. Sedang Felipe, dia menambah sambal dan ayam lagi. Tapi tidak ada yang ingin membuka suara.“Semua sehat, kan?!” Maureen tidak tahan, akhirnya dia yang bicara.Para pria itu menoleh pada Maureen dan menghentikan gerakan tangan mereka. Bahkan Reggy berhenti mengunyah dengan mulut masih penuh.“Papa baik, Reen. Sehat, jangan kuatir,” kata Gio. Sedikit heran dia melihat Maureen.“Kak Reggy? Kak Felipe?” tanya Maureen.“Aku? Lagi makan,” jawab Felipe.“Kok pada diem, sih? Kayak ga saling kenal aja,” tukas Maureen. Mata gadis itu mencermati tiga pria kesayangannya. Benar-benar tidak seperti biasanya. Pasti ada apa-apa dengan mereka.
Gio mendesah. Sekilas masih ada rasa seperti dia akan mengkhianati mendiang istrinya. Tapi juga muncul Victoria dengan senyum dan berkata, it is okay. "Vicky, buat aku yakin, langkahku sekarang tidak salah." Lagi batin Gio bergulat. Gio memejamkan matanya. "Tuhan, jika ini waktuku untuk mengejar cinta yang baru, beri aku damai. Dan mudahkan jalanku bersama Veronica." Setelah beberapa lama, Gio berdiri dan meninggalkan kantornya. Masuk ke mobil dan melaju menuju Dame Resto. Resto yang cukup besar dan dikenal di kota ini. Salah satu juga tempat favorit dia dan keluarga jika makan bersama di luar rumah. Jam 7 kurang 10 menit, Gio sampai. Dia langsung mencari tempat yang strategis untuk dia bicara dengan nyaman nanti. Agak sebelah belakang, dekat taman yang ada kolam ikannya. Hm, tempat yang pas. Gio baru memilih menu dan belum memutuskan makan apa selain minum, Veronica datang. "Selamat malam, Pak Gio," sapa Veronica. Gio menoleh. Veronica berdiri dengan senyum manisnya. Cantik. Te