Bastian meletakkan cangkir kopinya, lalu bangkit. “Papa mau ke kantor. Mama sebentar lagi mungkin pulang. Mama mau buat syukuran untuk kamu. Katanya cuma mengundang anak yatim sekitar lingkungan kita,” kata Bastian. Setelah mencium pucuk kepala Alya, Bastian langsung beranjak ke kamarnya. Alya cuma terdiam. Sikap Bastian, merupakan sebuah jawaban menurutnya. “Huft, ternyata rasa cinta itu sulit hilang ya, biarpun sudah lama,” gumamnya. ~~~~~~~Setelah menyelidiki dan bekerja tanpa pantang menyerah, dalam waktu sehari saja, akhirnya Naura berhasil diamankan oleh polisi. Ternyata Naura bersembunyi tak jauh dari rumahnya. Di sebuah rumah kos-kos an. Setelah Naura tertangkap, Alya sebagai korban dipanggil untuk mengenali, dan Reza dipanggil untuk memberi kesaksian, karena menurut Alya, tindakan Naura dipicu rasa cemburu. Setelah bertemu Naura, Alya membenarkan kalau Naura lah dalang penculikan dirinya. Reza sendiri sangat terkejut, melihat tindakan nekat Naura. “Saya dan Alya tak
Yolanda, Mama dari Naura jalan mendekati Alya. Dia melihat Reza sekilas. Reza agak membungkuk, pertanda hormat karena memang sudah mengenal Yolanda. “Kamu yang bernama Alya?” tanya Yolanda. Caranya bertanya, menyiratkan kesombongan. “Iya, Bu,” jawab Alya dengan sopan. “Saya Mama Naura,” balas Yolanda. “Saya harap, kamu bisa berdamai dengan kasus ini. Saya akan kasih berapa aja yang kamu mau, asal kasus ini jangan sampai ke pengadilan.” Alya melihat wanita itu. Mungkin, kalau cara wanita itu bicara sedikit sopan, dia akan mempertimbangkan permintaan tersebut. Tetapi wanita di hadapannya ini, tampak sangat angkuh. Merasa kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Dia tak tahu, kalau perempuan muda dihadapannya, bukan orang yang kekurangan. “Maaf, Bu. Ikuti saja alurnya. Yang anak Ibu lakukan itu sangat mengerikan. Seandainya saya waktu itu tidak bertemu dengan polisi, bisa jadi, saya tak akan lagi bisa bertemu dengan orang tua saya,” kata Alya tanpa takut. Wajah Yolanda memerah
POV ALYA"Al, itu Papa kamu kan?" tanya Audi ketika kami baru saja akan naik motor setelah nongkrong di cafe langganan sejak masa kuliah.Aku spontan menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Audi. Seorang pria yang sangat familier baru saja keluar dari sebuah toko kue ternama. Dia membawa kotak kue dan berjalan menuju mobilnya. Benar saja, itu cinta pertamaku. "Iya, itu Papa," ujarku senang. Aku langsung berseru memanggilnya, "Pa! Papa!"Namun, Papa sudah masuk ke dalam mobil dan mobilnya mulai bergerak. Papa sepertinya tidak mendengar panggilanku. Aku menghela napas kecewa, padahal aku sudah berteriak memanggilnya, sampai urat leherku terasa tegang."Yaah .…"Audi menatapku sekilas sebelum menyerahkan helm padaku. "Ya udahlah, sama aku aja. Kan kita satu tujuan," katanya.Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menerima helm dan naik ke boncengan. "Rumah kamu kan lebih dekat. Kalau aku sama Papa, kamu nggak perlu nganter aku dulu," ujarku. Harusnya tadi aku bawa mobil aja, atau motif sendiri.
POV ALYAPapa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Diam di dalam!” bentak Papa. Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia. Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa. “Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu. Papa masuk dan
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
POV AlyaSampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama. “Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya. Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama. “Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar. “Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami. “Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku. Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain. “Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku. “Perempuan mana maksud kamu?” “Laras.”Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, sel
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
Yolanda, Mama dari Naura jalan mendekati Alya. Dia melihat Reza sekilas. Reza agak membungkuk, pertanda hormat karena memang sudah mengenal Yolanda. “Kamu yang bernama Alya?” tanya Yolanda. Caranya bertanya, menyiratkan kesombongan. “Iya, Bu,” jawab Alya dengan sopan. “Saya Mama Naura,” balas Yolanda. “Saya harap, kamu bisa berdamai dengan kasus ini. Saya akan kasih berapa aja yang kamu mau, asal kasus ini jangan sampai ke pengadilan.” Alya melihat wanita itu. Mungkin, kalau cara wanita itu bicara sedikit sopan, dia akan mempertimbangkan permintaan tersebut. Tetapi wanita di hadapannya ini, tampak sangat angkuh. Merasa kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Dia tak tahu, kalau perempuan muda dihadapannya, bukan orang yang kekurangan. “Maaf, Bu. Ikuti saja alurnya. Yang anak Ibu lakukan itu sangat mengerikan. Seandainya saya waktu itu tidak bertemu dengan polisi, bisa jadi, saya tak akan lagi bisa bertemu dengan orang tua saya,” kata Alya tanpa takut. Wajah Yolanda memerah
Bastian meletakkan cangkir kopinya, lalu bangkit. “Papa mau ke kantor. Mama sebentar lagi mungkin pulang. Mama mau buat syukuran untuk kamu. Katanya cuma mengundang anak yatim sekitar lingkungan kita,” kata Bastian. Setelah mencium pucuk kepala Alya, Bastian langsung beranjak ke kamarnya. Alya cuma terdiam. Sikap Bastian, merupakan sebuah jawaban menurutnya. “Huft, ternyata rasa cinta itu sulit hilang ya, biarpun sudah lama,” gumamnya. ~~~~~~~Setelah menyelidiki dan bekerja tanpa pantang menyerah, dalam waktu sehari saja, akhirnya Naura berhasil diamankan oleh polisi. Ternyata Naura bersembunyi tak jauh dari rumahnya. Di sebuah rumah kos-kos an. Setelah Naura tertangkap, Alya sebagai korban dipanggil untuk mengenali, dan Reza dipanggil untuk memberi kesaksian, karena menurut Alya, tindakan Naura dipicu rasa cemburu. Setelah bertemu Naura, Alya membenarkan kalau Naura lah dalang penculikan dirinya. Reza sendiri sangat terkejut, melihat tindakan nekat Naura. “Saya dan Alya tak
Pintu mobil terbuka. Seorang pria paruh baya turun lebih dulu, mengenakan batik lengan panjang dan celana bahan. Tak lama, seorang wanita dengan penampilan elegan menyusul turun dari pintu sebelah. Dari raut wajah mereka yang kebingungan melihat keberadaan polisi.Arif yang melihat mereka segera menghampiri. “Tuan … Nyonya.”“Ada apa ini?” tanya lelaki bersuara bariton itu.Bripda Rudi yang menyadari kalau orang yang datang adalah pemilik rumah, segera menghampiri.“Selamat malam, saya Bripda Rudi,” katanya memperkenalkan sembari mengulurkan tangan. Laki-laki itu tak langsung menyambut uluran tangannya, tetapi akhirnya menjabat tangan Bripda Rudi juga. Bripda Rudi langsung memberikan surat tugasnya pada laki-laki itu. “Maaf, kalau kami melakukan penggeledahan di rumah Bapak, karena saat ini, saudari. Naura Shaquilla, sedang dicari polisi,” jelas Bripda Rudi. Laki-laki itu menunjukkan ekspresi terkejut, begitu juga wanita itu. Laki-laki itu segera melihat surat tugas tersebut. “Ngg
“Iya. Nona kamu sedang pergi kan? Bapak pasti tau dia pergi kemana. Kami harap, Bapak bisa bekerjasama, atau akan dianggap ikut mengelabui petugas,” tegas Bripda Rudi. Arif tampak bingung. Dia sesekali melihat ke dalam rumah majikannya. Majikannya bisa marah kalau sampai tahu dia membiarkan polisi menggeledah rumah. Sementara untuk menghentikan polisi dirinya juga tak memiliki keberanian.“Setahu saya, Non Naura nggak pergi kemana-mana,” katanya. “Bapak yakin?” “Ya waktu saya belum ke pasar, Non Naura masih di rumah. Saya juga nggak tau, apa No Naura pergi waktu saya ke pasar ya?” Arif malah seperti balik bertanya seperti orang yang linglung. Bripda Rudi memperhatikan wajah Arif. Mencoba membaca ekspresi wajah Arif, apakah dia berbohong atau tidak. “Bagaimana dengan orang tua Naura? Dimana mereka tinggal?” Bripda Rudi terus menggali informasi. “Tuan dan Nyonya, lagi ke Bandung. Ada acara keluarga. Katanya hari ini pulang, mungkin ini lagi di jalan,” jawab Arif.“Mereka bukannya
“Atau … kamu anak angkat?” Audi kembali menebak, tetapi Alya tetap menggeleng sebagai jawaban. “Aku udah males nebak. To the point aja napa sih, Al?” Audi mulai merengek dihadapan Alya. Alya menghembus poninya sendiri. Dia masih saja ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Audi. Sementara Audi terus menatapnya dengan tatapan yang memohon. Gadis itu akhirnya menunduk, seperti menyerah pada kegigihan sahabatnya itu. Ia menatap mata Audi, mencari secercah keyakinan bahwa Audi benar-benar bisa dipercaya.“Mamaku yang meminta Bu Laras untuk jadi istri kedua Papa,” kata Alya pelan. Mata Audi seketika membola. Ingin tak percaya, tetapi tak mungkin Alya berbohong. Apalagi untuk hal yang begitu penting dan rahasia. “Jadi, Bu Laras istri kedua Om Bas?” tanya Audi untuk memastikan kalau Alya tidak salah bicara. “Ya. Tapi sayangnya, setelah aku lahir, Ibu harus meninggalkan aku untuk dijadikan anak Mama.” “Al … serius?” tanya Audi tak percaya. Alya mengangguk pelan. “Kok Tante Ratna ja
Di kantor polisi, suasana makin tegang. Bripda Rudi berdiri di belakang kursi seorang petugas IT, matanya menatap layar komputer penuh dengan data yang tak kunjung memberikan titik terang.“Gimana, Ris?” tanya Bripda Rudi tak sabar pada rekannya. Petugas IT itu menggeleng pelan. “Gak ada data yang cocok, Rud. Tak ada perusahaan di daerah Dago, bernama Adiprana Land. Sementara nama Dimas Adiprana sendiri, tak ada di daftar nama pengusaha di Bandung, maupun Medan.”Bripda Rudi langsung menghubungi Inspektur Damar yang sedang di ruang penyelidikan.“Ndan, laporan terbaru. Sepertinya, security itu membohongi kita. Semua data yang dia kasih palsu.”Inspektur Damar menghentikan langkahnya di depan ruang briefing. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, rahangnya mengeras mendengar laporan dari Bripda Rudi. Kesal, karena merasa dibodohi oleh seorang security biasa.“Palsu semua?” tanyanya untuk memastikan. Suaranya pelan, tetapi terdengar menahan marah. “Termasuk perusahaan dan nama orang tuan
Inspektur Damar akhirnya sampai juga di rumah Naura. Kali ini, komandan polisi itu membawa beberapa personil, untuk berjaga-jaga. Sebagai anggota kepolisian, Inspektur Damar cukup paham, kalau orang seperti Naura akan melakukan segala cara untuk terlepas dari jeratan hukum. Melihat ada mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah, seorang security segera membuka gerbang. Inspektur Damar keluar dari mobil. “Selamat sore,” kata Inspektur Damar seraya mengulurkan tangan. Security itu segera menjabat tangan Inspektur Damar. “Sore, Pak. Cari siapa ya?” tanya security terdengar agak takut. “Benar ini kediaman saudara Naura Shaquila?” Pertanyaan Inspektur Damar membuat dahi sang security mengernyit. “Benar. Tapi Nona Naura sudah pergi,” kata si security.Inspektur Damar mempersempit tatapannya. “Pergi ke mana?” tanyanya cepat.Security itu terlihat gugup. “Saya kurang tahu, Pak. Tadi pagi beliau buru-buru keluar pakai mobil, bawa koper. Katanya mau ke Bandung, menemui Tuan dan Nyonya.”
“Om!” Baru lagi Bastian akan jalan mendekati Laras, terdengar Audi memanggil. Bastian segera menolah dan berbalik melihat Audi. “Iya, Audi. Ada apa?”“Alya bilang, dia minta dibuka infusnya. Tangannya pegel katanya,” balas Audi. “Oh, ya udah. Biar Om bilang sama perawat,” kata Bastian dan berbalik dari hadapan Audi. Audi yang penasaran dengan yang Bastian lihat, melihat ke arah tempat tadi Bastian lihat. Dahinya mengernyit melihat Laras yang duduk sendirian di bangku taman dengan tatapan jauh ke depan, seperti sedang melamun. Bastian bersama perawat masuk lagi ke kamar Alya. Perawat segera membuka infus Alya. Tak lama Audi juga masuk ke ruangan itu. “Makasih, Sus,” kata Alya pada sang perawat. “Sama-sama,” balas perawat tersebut, lantas permisi keluar. “Pa, jam berapa kita pulang?” tanya Alya. “Sebentar lagi,” jawab Bastian. “Ibu mana ya? Kok sholat lama banget?” tanya Alya. Bastian tidak menjawab. Audi ingin menjawab, tetapi khawatir Bastian curiga kalau dia mengintip. “Hap
Bastian masuk ke kamar Alya berama Inspektur Damar dan Bripda Rudi. Laki-laki paruh baya itu tampak terpaku sejenak melihat Laras yang berada di kamar Alya. Ekpsresi Bastian, tak luput dari perhatian Alya, tentu saja Audi juga. Audi semakin curiga, ada sesuatu yang disembunyikan, apalagi Laras juga pamit keluar, seolah-olah menghindari Bastian.“Ibu ke mushola dulu ya, kayaknya udah Dzuhur,” kata Laras. Kebetulan rumah sakit itu jauh dari Mesjid, hingga tidak terdengar suara adzan. Alya mengangguk. “Nanti balik lagi ya, Bu. Temani Alya sampai pulang,” kata Alya, Laras mengangguk, lalu keluar tanpa melihat Bastian. Bastian berupaya bersikap biasa saja, tetapi matanya tak bisa bohong. Matanya tampak mengikuti Laras, namun segera dialihkan saat Inspektur Damar mulai mengajukan pertanyaan pada Alya. “Bagaimana kondisinya?” tanya Inspektur Damar.“Sudah jauh lebih baikan, Pak,” balas Alya. “Syukurlah. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kamu ajukan. Apa Nona Alya sudah bisa menjawab?”“