POV Alya
Sampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama.
“Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.
“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya.
Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama.
“Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar.
“Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami.
“Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku.
Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain.
“Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku.
“Perempuan mana maksud kamu?”
“Laras.”
Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, selain tanaman-tanaman bunga yang Mama tanam sendiri.
“Alya juga dengar, apa yang kalian bicarakan.”
Raut wajah Mama tampak tegang ketika aku bilang begitu. “Apa yang kamu dengar?”
“Nggak banyak. Yang Alya tau, kalau perempuan itu dulunya pernah bekerja di rumah kita,” jawabku. Entah kenapa, topik tentang perempuan itu cukup menarik hatiku. Seperti ada sesuatu yang memang harus aku ketahui tentang dia. “Ma, sebenarnya siapa dia?”
Mama bukannya menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Beliau malah bangkit dan jalan meninggalkanku.
“Ma.” Aku memanggilnya dan membuat Mama berhenti melangkah, hanya saja tetap membelakangiku.
“Siapa dia sebenarnya? Kenapa Mama terlihat tak suka dia datang ke kota ini? Apa dia pernah berselingkuh sama Papa?” Aku mencecar Mama dengan banyak pertanyaan.
Mama bukannya menjawab, tetapi terus jalan. Akhirnya aku menyusul Mama dengan langkah lebar. Entah kenapa, aku merasa harus tau apa yang terjadi dulu, antara Mama, Papa dan wanita bernama Laras itu.
“Mama.” Aku menahan tangan Mama, memaksanya untuk melihat ke arahku. “Alya ingin tau siapa dia.”
Mama menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku bisa merasakan ada beban besar yang sedang ia tahan. Tapi kenapa? Apa yang membuatnya begitu sulit untuk sekadar menjawab pertanyaanku?
"Alya, tolong jangan tanya tentang itu lagi," katanya akhirnya, suaranya pelan tapi sangat tegas.
Aku menggeleng. "Kenapa? Karena ini sesuatu yang Mama dan Papa sembunyikan dari Alya?”
Mama menghela napas panjang. Ia menatapku lama, lalu menunduk. Tapi akhirnya, ia hanya berkata, "Percayalah, lebih baik kalau kamu tidak tahu."
Darahku berdesir. Jawaban itu justru membuatku semakin penasaran.
“Ma, apa ini ada hubungannya sama Alya?” selidikku.
Mama tak menjawab, tetapi malah pergi meninggalkan aku. Aku melihat Mama. Sepertinya percuma bicara sama Mama. Berarti aku harus bicara sama Papa. Kalau bisa keduanya.
Kulihat jam tanganku, sudah mulai sore. Percuma juga aku balik ke kantor. Mungkin aku lebih baik mandi, dan menunggu Papa pulang. Pokoknya, nanti malam aku harus tahu, siapa sebenarnya perempuan itu. Entahlah, sejak melihat perempuan itu, aku merasa ada sesuatu yang mengikat di antara kami.
~~~~~~~
Sore harinya.
Aku mendengar suara mobil Papa. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku. Aku akan tunggu sampai Papa duduk tenang. Biasanya, selesai mandi, Papa suka duduk di halaman belakang atau nonton berita sore bersama Mama.
Sambil menunggu Papa, aku memantau sosial mediaku. Tetapi, pikiranku tetap berfokus pada perempuan itu. Aku berharap, Papa akan mau memberikan jawaban, agar aku tidak penasaran lagi.
Setelah menunggu lebih kurang satu jam, aku keluar dari kamar. Aku lihat Papa duduk sendirian di ruang keluarga. Beliau duduk di atas karpet, sambil menonton berita sore, dengan bersandar di sofa. Sudah ada cemilan dan teh panas yang menemani. Tetapi, Mama tidak terlihat menemani. Padahal, biasanya mereka selalu bersama, meski Papa hanya fokus dengan televisi. Ya, setidaknya mereka menciptakan suasana yang harmonis, menurutku.
“Mama mana, Pa?” Aku memulai dengan basa basi.
“Di kamar,” jawab Papa singkat. Aku diam. Mindaku sedang mencari kata-kata apalagi yang tepat untuk memulai bertanya tentang perempuan bernama Laras itu.
“Pa, tadi … Alya sudah bicara sama Mama,” kataku. Sumpah, rasanya kaku sekali. Jujur aja, aku masih kecewa sama Papa. Tapi kalau aku nggak bicara, aku nggak akan pernah tau, siapa perempuan itu.
“Bicara soal apa?” tanya Papa, tetapi matanya hanya fokus pada televisi.
“Tentang Laras.” Langsung saja aku menyebutkan nama perempuan itu, sekalian ingin tahu reaksi Papa.
Kan, Papa langsung melihat ke arahku.
“Siapa sebenarnya dia, Pa? Kenapa Mama juga kenal sama dia dan bisa memberi peringatan sama dia?” cecarku langsung. Rasanya sudah tak sabar. Mungkin ya, caraku ini terkesan bar-bar. Tapi tak ada cara lain. Perempuan itu tak mau bicara, Mama juga. Hanya Papa yang bisa diajak bicara sepertinya.
Papa malah bangkit, dan meninggalkan aku. Aku hanya bisa melihat Papa yang jalan masuk ke kamar. Huft, sepertinya tak ada yang mau bicara.
Oke. Aku akan cari tahu. Tak ada yang bisa disembunyikan dariku. Aku pasti akan tau, siapa sebenarnya wanita bernama Laras itu. Sepertinya, wanita itu memiliki peran yang cukup besar buat Mama dan Papa.
“Bi!” Aku memanggil Bi Nani yang kebetulan lewat.
“Iya, Non.” Bi Nani menghampiri.
“Bibi kenal nggak, orang yang dulu pernah kerja sama Mama, namanya Laras?” tanyaku. Namanya juga usaha. Siapa tau aja Bi Nani kenal sama perempuan itu.
Bi Nani menggeleng. “Nggak, Non.”
Aku hanya bisa menghela nafas kecewa. “Ya udah Bi, nggak Papa. Makasih ya.”
~~~~~
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
POV LARAS“Kamu jangan keras kepala!” Pak Bastian tampak sangat geram melihat Alya. Pak Bastian terus menarik tangan Alya agar keluar dari rumahku. Tetapi, Alya ternyata memang sangat keras kepala. Dia memegangi kusen pintu rumahku. Ya Allah, kenapa harus ada keributan lagi? Apalagi ini masih pagi. Untung saja anak laki-lakiku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, aku tak bisa membayangkan, seperti apa kacaunya hari ini. “Ayo pulang! Kita bicara di rumah!” Pak Bastian terus memaksa Alya. Alya juga semakin kuat memegang kusen pintu.“Alya nggak mau pulang, sebelum Papa cerita. Semalam Alya sudah lihat Mama sama Papa bicara sama dia!” Alya menudingku dan tatapannya sangat tajam. Dia seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari bermain. “Tapi, kenapa Papa datang lagi ke sini? Pasti Papa masih main-main sama dia kan?” Alya terus nyerocos yang memancing perhatian tetanggaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Apalago aku warga baru. Akan tetapi, aku juga tak tahu bagaimana cara mengatas
Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
Pov AuthorKeadaan menjadi hening sejenak mendengar pertanyaan kata-kata Alya yang tak sabar menunggu jawaban.“Ya, Pak Bastian memang melecehkan Ibu malam itu,” kata Laras dengan mata berkaca-kaca. Bastian menundukkan kepalanya, tak mampu mengelak. Bagi seorang wanita, dilecehkan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengobati trauma itu. Hari ini, Laras berusaha mengutarakan kebenarannya. “Papa bukan orang yang seperti itu!” Alya menangkis, tak terima dengan perkataan Laras. Meski hatinya sendiri tak yakin. Gadis itu melihat Ratna, untuk meminta pembelaan dari tuduhan Laras terhadap Bastian. Nyatanya, Ratna hanya tertunduk dan menangis. Alya melihat Bastian, berharap Bastian membela diri seperti tadi. Akan tetapi, Bastian hanya diam. Padahal tadi dia menangkis dugaan pemer kosaan yang dilontarkan Alya. “Nak, Ibu tahu, ini berat buat kamu. Tapi satu hal yang kamu tahu, walaupun kamu hadir di rahim Ibu bukan karena keinginan Ibu, tapi kamu tet
POV ALYA"Al, itu Papa kamu kan?" tanya Audi ketika kami baru saja akan naik motor setelah nongkrong di cafe langganan sejak masa kuliah.Aku spontan menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Audi. Seorang pria yang sangat familier baru saja keluar dari sebuah toko kue ternama. Dia membawa kotak kue dan berjalan menuju mobilnya. Benar saja, itu cinta pertamaku. "Iya, itu Papa," ujarku senang. Aku langsung berseru memanggilnya, "Pa! Papa!"Namun, Papa sudah masuk ke dalam mobil dan mobilnya mulai bergerak. Papa sepertinya tidak mendengar panggilanku. Aku menghela napas kecewa, padahal aku sudah berteriak memanggilnya, sampai urat leherku terasa tegang."Yaah .…"Audi menatapku sekilas sebelum menyerahkan helm padaku. "Ya udahlah, sama aku aja. Kan kita satu tujuan," katanya.Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menerima helm dan naik ke boncengan. "Rumah kamu kan lebih dekat. Kalau aku sama Papa, kamu nggak perlu nganter aku dulu," ujarku. Harusnya tadi aku bawa mobil aja, atau motif sendiri.
POV ALYAPapa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Diam di dalam!” bentak Papa. Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia. Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa. “Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu. Papa masuk dan
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
Pov AuthorKeadaan menjadi hening sejenak mendengar pertanyaan kata-kata Alya yang tak sabar menunggu jawaban.“Ya, Pak Bastian memang melecehkan Ibu malam itu,” kata Laras dengan mata berkaca-kaca. Bastian menundukkan kepalanya, tak mampu mengelak. Bagi seorang wanita, dilecehkan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengobati trauma itu. Hari ini, Laras berusaha mengutarakan kebenarannya. “Papa bukan orang yang seperti itu!” Alya menangkis, tak terima dengan perkataan Laras. Meski hatinya sendiri tak yakin. Gadis itu melihat Ratna, untuk meminta pembelaan dari tuduhan Laras terhadap Bastian. Nyatanya, Ratna hanya tertunduk dan menangis. Alya melihat Bastian, berharap Bastian membela diri seperti tadi. Akan tetapi, Bastian hanya diam. Padahal tadi dia menangkis dugaan pemer kosaan yang dilontarkan Alya. “Nak, Ibu tahu, ini berat buat kamu. Tapi satu hal yang kamu tahu, walaupun kamu hadir di rahim Ibu bukan karena keinginan Ibu, tapi kamu tet
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
POV LARAS“Kamu jangan keras kepala!” Pak Bastian tampak sangat geram melihat Alya. Pak Bastian terus menarik tangan Alya agar keluar dari rumahku. Tetapi, Alya ternyata memang sangat keras kepala. Dia memegangi kusen pintu rumahku. Ya Allah, kenapa harus ada keributan lagi? Apalagi ini masih pagi. Untung saja anak laki-lakiku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, aku tak bisa membayangkan, seperti apa kacaunya hari ini. “Ayo pulang! Kita bicara di rumah!” Pak Bastian terus memaksa Alya. Alya juga semakin kuat memegang kusen pintu.“Alya nggak mau pulang, sebelum Papa cerita. Semalam Alya sudah lihat Mama sama Papa bicara sama dia!” Alya menudingku dan tatapannya sangat tajam. Dia seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari bermain. “Tapi, kenapa Papa datang lagi ke sini? Pasti Papa masih main-main sama dia kan?” Alya terus nyerocos yang memancing perhatian tetanggaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Apalago aku warga baru. Akan tetapi, aku juga tak tahu bagaimana cara mengatas
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
POV AlyaSampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama. “Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya. Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama. “Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar. “Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami. “Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku. Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain. “Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku. “Perempuan mana maksud kamu?” “Laras.”Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, sel
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
POV ALYAPapa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Diam di dalam!” bentak Papa. Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia. Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa. “Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu. Papa masuk dan