Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
Pov Author Keadaan menjadi hening sejenak mendengar pertanyaan Alya yang tak sabar menunggu jawaban. Dia sangat ingin tahu dan tak bisa lagi ditunda. “Ya, Pak Bastian memang melecehkan Ibu malam itu,” kata Laras dengan mata berkaca-kaca. Bastian menundukkan kepalanya, tak mampu mengelak. Bagi seorang wanita, dilecehkan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengobati trauma itu. Hari ini, Laras berusaha mengutarakan kebenarannya. “Papa bukan orang yang seperti itu!” Alya menangkis, tak terima dengan perkataan Laras. Meski hatinya sendiri tak yakin.Selama ini, dia meyakini kalau papanya sosok lelaki yang nyaris sempurna meski sikapnya agak dingin pada sang Mama. Gadis itu melihat Ratna, untuk meminta pembelaan dari tuduhan Laras terhadap Bastian. Nyatanya, Ratna hanya tertunduk dan menangis. Hal itu secara tak langsung mengatakan, kalau apa yang Laras katakan adalah benar. Alya melihat Bastian, berharap Bastian membela diri seperti tadi. A
Alya menatap Bastian bergantian menatap Ratna juga. Dia merasa, cerita Laras masih belum tuntas. Dan dia menuntut agar Ratna atau Bastian yang akan menuntaskan cerita itu. “Jelaskan kenapa Papa sampai bisa melecehkan Bu Laras kalau saat itu ada Mama?” tanya Alya. Dia mencoba tenang dan bersikap dewasa. Menurutnya sangat janggal, bila papanya yang mabuk, bisa melecehkan Laras, sementara ada Ratna di rumah. Apalagi pada awalnya nanti, Bastian sempat mengelak dari tuduhan itu. Dia bukan lagi anak kecil yang tak bisa menghadapi kenyataan. Bastian duduk dengan lesu di sofa, sementara Ratna juga tak bisa menjawab. Alya menunggu orang tuanya mau menjawab. Dia berulangkali melihat jarum detik di jam dinding yang ada di ruangannya. Menunggu hingga hampir setengah jam, namun tak kunjung ada yang menjawab, membuat Alya tak sabar. Dengan kasar, dia mencabut infus di salah satu tangannya, lalu bergegas turun dari ranjang. “Alya, mau kemana?” tanya Ratna. “Mau pergi!” Gadis itu menjawab denga
FLASHBACK ON“Laras ….” Ratna tertegun mendengar Bastian menyebut nama Laras dalam keadaan tak sadar. Ucapannya pelan, tetapi terdengar jelas di telinga Ratna. Setelah memakaikan baju Bastian, Ratna membenahi posisi tidur Bastian, tiba-tiba Bastian memeluk Ratna sangat erat. “Laras.” Kembali lelaki itu menggumamkan nama Laras. Nyeri sekali hati Ratna. “Aku ingin punya anak,” kata Bastian mengigau. Hal itu semakin membuat Ratna sedih. Ratna melepaskan diri dari dekapan suaminya. Bastian merubah posisinya, dan memeluk guling. Ratna tak bisa lagi menahan air matanya. Selama ini, Bastian tidak pernah membahas soal anak. Mereka sudah berusaha, tetapi satu hal yang tidak diketahui oleh Bastian. Ratna menyembunyikan kebenaran, kalau dirinya divonis mandul oleh dokter. Selama ini, Ratna tak pernah jujur. Dia selalu bilang, kalau mereka berdua sehat, hanya menunggu saja diberi kepercayaan dari Yang di atas. Tiba-tiba saja, Bastian berbalik lalu duduk di belakang Ratna. Antara sadar dan t
“Duduklah dulu. Tak boleh bicara dalam keadaan emosi,” kata Bastian. Tetap tenang, meski dia sendiri khawatir Alya akan bertindak nekat. Mau tak mau, Alya kembali duduk, dan kembali mendengar cerita tentang masa lalu. Sementara di rumahnya, Laras tak bisa beristirahat dengan tenang. Angannya terus saja terlempar pada peristiwa masa silam itu. Peristiwa yang hampir saja memporak porandakan masa depannya. FLASHBACK ONLaras sangat ketakutan. Dia memukul-mukul pintu kamar Ratna.“Buk, buka!” Dia berteriak sekuatnya. Rumah itu memiliki halaman yang cukup luas, dan jarak antara rumah yang satu dan rumah yang lain cukup jauh. Sehingga tak akan ada tetangga yang mendengar teriakannya. Apalagi tembok rumah yang cukup tebal. “Ibu, tolong buka pintunya!” Laras terus berteriak ketakutan seraya terus memukul-mukul pintu kamar itu. Akibatnya, hal itu justru membangunkan Bastian. Bastian memegang kepalanya yang sakit, pandangannya agak kabur. Dia jalan sempoyongan, mendekati Laras, membuat wa
“Saat itu, hati Mama sebenarnya sangat hancur. Tetapi, sesuatu melintas dipikiran Mama. Mama takut, Papa justru akan mencari wanita lain demi memiliki anak, akhirnya, Mama–” Laras tercekat, dia rasanya tak sanggup meneruskan ceritanya. Tetapi, sudah kepalang tanggung, Alya harus tahu kebenarannya. Berulangkali wanita yang tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu menarik nafas. Air matanya tak mau berhenti mengalir, menyiratkan kalau ada luka yang tak akan bisa kering di hatinya. Apalagi justru dirinya sendiri yang membuat luka itu semakin menganga. Dibalik sikap tegasnya sebagai seorang pengusaha selama ini, tetap ada sisi kelembutan dan kelemahan yang coba untuk ditutupi. FLASHBACK ON“Laras … Laras.” Di luar kesadarannya, Bastian terus menggumamkan nama Laras. “Sejak kapan kamu menyukai Laras, Mas?” tanya Ratna dengan suara lirih, tanpa berharap Bastian akan mendengarnya.Air matanya mengalir lembut di kedua pipinya yang mulus. Tiba-tiba terlintas di kepalanya sesuatu yan
Sementara di sisi lain, Laras yang mengingat kembali semua yang terjadi di masa silam, terus mengusap air mata yang mengalir lembut di pipinya. Angannya terus terlempar pada kejadian masa lalu, bersama itu, jauh di kediaman keluarga Bastian, Ratna juga terus mengingat apa yang terjadi di masa silam, sambil menceritakan semuanya pada Alya. FLASHBACK ON“Maaf, saya menolak. Suami saya belum lama meninggal, lagipula saya tidak ada keinginan untuk menikah lagi. Apalagi sama orang yang sudah melecehkan saya. Terserah dia sadar atau tidak!" kata Laras menolak dengan tegas permintaan Ratna yang ingin dia menjadi istri kedua Bastian. “Saya tau, saya sudah salah, tapi saya terpaksa Laras,” ucap Ratna. Ada rasa bersalah dibalik pembelaan dirinya. Laras menghela nafas, agar emosinya tak sampai ke ubun-ubun. “Saya takut, suami saya justru berselingkuh dengan wanita lain kalau dia tahu saya tak bisa memberikan keturunan. Padahal dia sangat menginginkan anak.” “Apa bedanya dengan Ibu meminta
“Atau … kamu anak angkat?” Audi kembali menebak, tetapi Alya tetap menggeleng sebagai jawaban. “Aku udah males nebak. To the point aja napa sih, Al?” Audi mulai merengek dihadapan Alya. Alya menghembus poninya sendiri. Dia masih saja ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Audi. Sementara Audi terus menatapnya dengan tatapan yang memohon. Gadis itu akhirnya menunduk, seperti menyerah pada kegigihan sahabatnya itu. Ia menatap mata Audi, mencari secercah keyakinan bahwa Audi benar-benar bisa dipercaya.“Mamaku yang meminta Bu Laras untuk jadi istri kedua Papa,” kata Alya pelan. Mata Audi seketika membola. Ingin tak percaya, tetapi tak mungkin Alya berbohong. Apalagi untuk hal yang begitu penting dan rahasia. “Jadi, Bu Laras istri kedua Om Bas?” tanya Audi untuk memastikan kalau Alya tidak salah bicara. “Ya. Tapi sayangnya, setelah aku lahir, Ibu harus meninggalkan aku untuk dijadikan anak Mama.” “Al … serius?” tanya Audi tak percaya. Alya mengangguk pelan. “Kok Tante Ratna ja
Di kantor polisi, suasana makin tegang. Bripda Rudi berdiri di belakang kursi seorang petugas IT, matanya menatap layar komputer penuh dengan data yang tak kunjung memberikan titik terang.“Gimana, Ris?” tanya Bripda Rudi tak sabar pada rekannya. Petugas IT itu menggeleng pelan. “Gak ada data yang cocok, Rud. Tak ada perusahaan di daerah Dago, bernama Adiprana Land. Sementara nama Dimas Adiprana sendiri, tak ada di daftar nama pengusaha di Bandung, maupun Medan.”Bripda Rudi langsung menghubungi Inspektur Damar yang sedang di ruang penyelidikan.“Ndan, laporan terbaru. Sepertinya, security itu membohongi kita. Semua data yang dia kasih palsu.”Inspektur Damar menghentikan langkahnya di depan ruang briefing. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, rahangnya mengeras mendengar laporan dari Bripda Rudi. Kesal, karena merasa dibodohi oleh seorang security biasa.“Palsu semua?” tanyanya untuk memastikan. Suaranya pelan, tetapi terdengar menahan marah. “Termasuk perusahaan dan nama orang tuan
Inspektur Damar akhirnya sampai juga di rumah Naura. Kali ini, komandan polisi itu membawa beberapa personil, untuk berjaga-jaga. Sebagai anggota kepolisian, Inspektur Damar cukup paham, kalau orang seperti Naura akan melakukan segala cara untuk terlepas dari jeratan hukum. Melihat ada mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah, seorang security segera membuka gerbang. Inspektur Damar keluar dari mobil. “Selamat sore,” kata Inspektur Damar seraya mengulurkan tangan. Security itu segera menjabat tangan Inspektur Damar. “Sore, Pak. Cari siapa ya?” tanya security terdengar agak takut. “Benar ini kediaman saudara Naura Shaquila?” Pertanyaan Inspektur Damar membuat dahi sang security mengernyit. “Benar. Tapi Nona Naura sudah pergi,” kata si security.Inspektur Damar mempersempit tatapannya. “Pergi ke mana?” tanyanya cepat.Security itu terlihat gugup. “Saya kurang tahu, Pak. Tadi pagi beliau buru-buru keluar pakai mobil, bawa koper. Katanya mau ke Bandung, menemui Tuan dan Nyonya.”
“Om!” Baru lagi Bastian akan jalan mendekati Laras, terdengar Audi memanggil. Bastian segera menolah dan berbalik melihat Audi. “Iya, Audi. Ada apa?”“Alya bilang, dia minta dibuka infusnya. Tangannya pegel katanya,” balas Audi. “Oh, ya udah. Biar Om bilang sama perawat,” kata Bastian dan berbalik dari hadapan Audi. Audi yang penasaran dengan yang Bastian lihat, melihat ke arah tempat tadi Bastian lihat. Dahinya mengernyit melihat Laras yang duduk sendirian di bangku taman dengan tatapan jauh ke depan, seperti sedang melamun. Bastian bersama perawat masuk lagi ke kamar Alya. Perawat segera membuka infus Alya. Tak lama Audi juga masuk ke ruangan itu. “Makasih, Sus,” kata Alya pada sang perawat. “Sama-sama,” balas perawat tersebut, lantas permisi keluar. “Pa, jam berapa kita pulang?” tanya Alya. “Sebentar lagi,” jawab Bastian. “Ibu mana ya? Kok sholat lama banget?” tanya Alya. Bastian tidak menjawab. Audi ingin menjawab, tetapi khawatir Bastian curiga kalau dia mengintip. “Hap
Bastian masuk ke kamar Alya berama Inspektur Damar dan Bripda Rudi. Laki-laki paruh baya itu tampak terpaku sejenak melihat Laras yang berada di kamar Alya. Ekpsresi Bastian, tak luput dari perhatian Alya, tentu saja Audi juga. Audi semakin curiga, ada sesuatu yang disembunyikan, apalagi Laras juga pamit keluar, seolah-olah menghindari Bastian.“Ibu ke mushola dulu ya, kayaknya udah Dzuhur,” kata Laras. Kebetulan rumah sakit itu jauh dari Mesjid, hingga tidak terdengar suara adzan. Alya mengangguk. “Nanti balik lagi ya, Bu. Temani Alya sampai pulang,” kata Alya, Laras mengangguk, lalu keluar tanpa melihat Bastian. Bastian berupaya bersikap biasa saja, tetapi matanya tak bisa bohong. Matanya tampak mengikuti Laras, namun segera dialihkan saat Inspektur Damar mulai mengajukan pertanyaan pada Alya. “Bagaimana kondisinya?” tanya Inspektur Damar.“Sudah jauh lebih baikan, Pak,” balas Alya. “Syukurlah. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kamu ajukan. Apa Nona Alya sudah bisa menjawab?”“
Ketika Laras tiba di rumah sakit, Ratna memilih pulang. Dia tak mau menyiksa hatinya sendiri dengan berlama-lama bertatap muka dengan Laras. Meski dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa, karena kehadiran Laras dalam kehidupan pribadinya, justru atas kemauannya sendiri. Kehadiran Laras akan membuat suasana menjadi canggung di antara mereka. Lagipula, dia percaya, Alya sudah aman sekarang.Laras duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Alya yang masih tertidur. Tangannya bergerak pelan, menggenggam jari-jari Alya dengan hati-hati, seolah takut membuat putrinya akan terbangun. Matanya berkaca-kaca, kala melihat bekas rantai di pergelangan tangan Alya yang meninggalkan bekas luka memerah. Tanpa bicara, Laras membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke tangan Alya yang digenggamnya. Ia mengecup punggung tangan itu, merasakan dingin kulit putrinya di bibirnya sendiri.“Maafkan Ibu, Nak,” ucapnya lirih. Mata Laras basah, tapi ia buru-buru menghapus air matanya. Beberapa menit berlalu. Suasa
Beberapa menit kemudian, mobil patroli memasuki halaman Rumah Sakit Bhayangkara. Petugas medis yang sudah dihubungi sebelumnya langsung menghampiri, membawa tandu.Dengan hati-hati, Inspektur Damar mengangkat Alya dari jok belakang ke atas tandu. Gadis itu masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak penuh luka lecet akibat pelariannya. "Segera bawa ke UGD!" seru salah satu perawat. Inspektur Damar mengikuti mereka beberapa langkah sebelum berhenti di pintu UGD, membiarkan tim medis bekerja. Ia menghela napas berat, baru kali ini rasanya ada kasus penculikan yang begitu membuat emosinya terseret dalam-dalam. Beruntung, tadi malam polisi bergerak cepat dan tidak menyepelekan laporan keluarga. Tak lama, Bastian datang berlari-lari kecil bersama istrinya, Ratna. Wajah mereka tampak panik dan cemas. "Pak Inspektur! Di mana anak saya?!" tanya Bastian sambil berusaha mengatur nafasnya. "Nona Alya sudah di dalam ruang UGD. Kondisinya stabil, tapi dia kelelahan berat dan
Beruntung mobil itu bisa menghentikan laju mobil di waktu yang tepat, hingga Alya tak sampai celaka. Namun begitu, tetap saja Alya yang memang pada awalnya sudah dalam kondisi ketakutan menjadi sangat lemas dan jatuh terduduk di atas aspal, tepat di depan mobil yang berhenti itu. Ternyata itu adalah mobil patroli polisi. Dua orang penculik yang melihat itu, segera melarikan diri sebelum polisi menyadari keberadaan mereka. Inspektur Damar secepatnya turun dan melihat kondisi gadis itu. Laki-laki itu berjongkok di depan Alya. “Dek, kamu nggak papa?” tanyanya. Inspektur Damar belum bisa melihat wajah Alya yang menunduk ketakutan. Tubuh Alya gemetar, tak mampu menjawab. Dia tak tahu, apakah orang yang ada dihadapannya ini, orang baik atau tidak. Inspektur Damar berusaha melihat wajah Alya, dengan menyibak rambutnya yang sebagian menutupi wajah. Alya reflek menghindar. Gadis itu benar-benar trauma. Dahi Inspektur Damara mengernyit, merasa mengenali wajah itu. Bripda Rudi yang juga tur
Setelah melihat lewat beberapa CCTV jalan yang saling terhubung, akhirnya polisi mengetahui dimana lokasi mobil van tersebut. Inspektur Damar mengerahkan beberapa petugas. Sebagian baru datang karena dihubungi oleh Bripda Rudi. Semua petugas bergerak dengan cepat. Bastian dan keluarganya diminta menunggu di rumah saja agar tidak mengganggu konsentrasi petugas. Bastian sangat bersyukur, polisi bergerak cepat, tanpa menunggu satu kali dua puluh empat jam. Akhirnya, mereka memutuskan menunggu di rumah dengan perasaan yang cemas. Sementara itu, Laras sangat gelisah. Sampai menjelang pagi, dia tak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus tertuju pada Alya. Namun, dia juga sungkan menghubungi Alya ataupun Ratna di dini hari. “Ya Allah, semoga Alya nggak kenapa-napa. Lindungi anakku ya Allah,” ucapnya lirih. ~~~~~~Alya terus menunggu dengan diam. Dirinya berharap, orang itu akan putus asa dan pergi setelah menghubungi bosnya. Akan tetapi, itu hanya tinggal harapan. Apalagi temannya yang t