POV ALYA
“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong.
Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.
“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk.
Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri.
~~~~~~~
“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa.
Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa.
“Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona.
Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya. Ah, ya wajarlah, Papa mungkin masih kesal sama aku. Atau, Jangan-jangan ….
“Mbak, Papa sering ya, keluar kantor pas jam kerja?” Aku terpaksa menyelidiki Papa.
“Nggak. Paling kalau mau ketemu klien,” jawab Mbak Dona.
“Hari ini, Papa ada jadwal ketemu klien?” tanyaku, karena Mbak Dona yang mengatur waktu pertemuan Papa dengan klien.
“Kayaknya nggak ada. Tadi kan, semua udah ketemu pas meeting bareng investor. Meeting sore nanti, jadwalnya sama staff marketing, tapi udah dibatalkan.”
Kan … aku jadi semakin curiga kalau Papa pasti nemui tuh perempuan. Nggak bisa dibiarin ini. Sebelum keluargaku hancur, aku harus menyelamatkan keluargaku.
“Eh, mau kemana, Al?” tanya Mbak Dona karena aku langsung saja pergi dari hadapannya. Aku sampai lupa bilang terima kasih atas info yang sudah diberi.
“Ada urusan sebentar di luar, Mbak. Makasih ya,” balasku, lalu melenggang pergi.
Awas aja perempuan ja lang! Kalau sampai kamu ganggu papaku lagi. Aku nggak akan sungkan, membuatmu malu di depan orang banyak.
~~~~~~
“Kan, Papa di rumahnya,” gumamku ketika melihat mobil Papa parkir di halaman rumah perempuan itu.
Ternyata hati nggak bisa dibohongi. Dari tadi aku langung mikir, kalau Papa pasti ke rumah perempuan itu, ternyata benar.
“Nggak bisa dibiarin,” kataku sambil keluar dari mobil.
Sengaja aku jalan mengendap-endap, supaya Papa sama perempuan itu nggak tau aku datang. Benar perempuan munafik kan? Harusnya dia tau, kalau perempuan tak boleh menerima tamu laki-laki di dalam rumah. Tadi malam saja, tak ada keluarganya yang keluar, pasti cuma dia yang tinggal di rumah itu.
Sebelum aku melabraknya, aku ingin tau, apa yang dibicarakan Papa. Namun, saat aku jalan akan melewati teras, aku melihat sandal heel. Kayak kenal sandal itu. Itu kayak … sandal Mama.
Jantungku langsung berdebar kencang. Aku memandangi sandal itu untuk memastikan aku tak salah. Apa mungkin, Papa yang belikan buat perempuan itu? Nggak mungkin itu sandal Mama. Tapi … model dan warnanya persis banget sama yang Mama punya. Tentu aku sangat mengenal sandal kesayangan Mama itu, karena hanya sandal itu yang paling sering dipakai sama Mama.
Aku melangkah mundur, bingung antara masuk atau pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau Mama di sini, berarti Mama kenal dengan wanita itu.
“Kamu sudah janji nggak akan datang lagi.” Aku mendengar suara Mama. Dahiku mengernyit mendengarnya.
Aku jadi semakin penasaran, akhirnya aku jalan mendekat ke jendela dan memastikan kalau orang di dalam tak mengetahui keberadaanku.
“Maaf, Bu. Saya tak bermaksud mengganggu kehidupan keluarga Ibu–”
“Terus kenapa kamu malah balik ke kota ini?” Mama menyela omongan wanita itu.
“Karena permintaan anak saya. Saya sendiri tidak menyangka kalau dia buka usaha di kota ini. Dia ingin, saya tinggal bersamanya,” jawab perempuan itu. Berarti dia punya anak. Kenapa tadi malam nggak kelihatan?
“Ya seharusnya kamu bisa menolak kalau sudah tau!” Suara Mama terdengar tegas. Papa terlihat diam saja. Aku kok merasa ada yang janggal.
Perempuan itu tidak langsung membalas kata-kata Mama. Siapa dia sebenarnya? Kenapa Mama terlihat memiliki kendali atas dirinya?
“Saya mengira, jarak antara rumah Ibu dan rumah kami cukup jauh, makanya akhirnya saya mau. Lagipula, saya nggak punya alasan yang kuat untuk menolak ajakan anak saya. Kami tinggal hanya berdua. Ibu saya yang dulu mengasuh dia saat kecil, juga sudah meninggal. Saya juga akan lebih tenang kalau dekat dengan anak saya.” Perempuan itu juga bicara dengan nada suara yang terdengar cukup berwibawa, namun terdengar lembut.
“Ma, kita nggak bisa mengatur kehidupan Laras lagi,” kata Papa akhirnya ikut bicara. “Dia nggak kerja sama kita lagi.”
Apa?
Perempuan itu pernah bekerja sama Papa Mama. Kapan? Kok aku nggak pernah kenal sama dia?
“Terus, kenapa Papa datangi dia? Mau mengulang kesalahan yang dulu lagi?” tanya Mama balik. Nada suara Mama terdengar menahan marah.
Aku semakin bingung. Kesalahan yang dulu? Apa maksud Mama? Apa kesalahan yang sudah Papa buat?
Aku mencoba mengingat-ingat. Setahuku, Papa nggak pernah terlibat skandal apa pun. Hubungan Papa dan Mama juga selalu baik, meski Papa bukan tipe laki-laki romantis, tapi hubungan mereka cukup harmonis. Kalau memang ada sesuatu di masa lalu yang berhubungan dengan perempuan ini, kenapa aku nggak pernah tahu?
“Ibu jangan khawatir. Saya sudah ikhlas dengan kejadian yang dulu. Saya juga sudah memaafkan apa yang pernah terjadi. Bapak tak perlu datang kalau hanya untuk minta maaf. Bagi saya … bisa melihat dia saja, sudah cukup.” Kali ini, suara wanita itu bergetar. Sepertinya menahan tangis.
Tunggu dulu. Dia? Dia siapa lagi yang dimaksud?
~~~~~~
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
POV AlyaSampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama. “Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya. Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama. “Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar. “Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami. “Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku. Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain. “Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku. “Perempuan mana maksud kamu?” “Laras.”Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, sel
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
POV LARAS“Kamu jangan keras kepala!” Pak Bastian tampak sangat geram melihat Alya. Pak Bastian terus menarik tangan Alya agar keluar dari rumahku. Tetapi, Alya ternyata memang sangat keras kepala. Dia memegangi kusen pintu rumahku. Ya Allah, kenapa harus ada keributan lagi? Apalagi ini masih pagi. Untung saja anak laki-lakiku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, aku tak bisa membayangkan, seperti apa kacaunya hari ini. “Ayo pulang! Kita bicara di rumah!” Pak Bastian terus memaksa Alya. Alya juga semakin kuat memegang kusen pintu.“Alya nggak mau pulang, sebelum Papa cerita. Semalam Alya sudah lihat Mama sama Papa bicara sama dia!” Alya menudingku dan tatapannya sangat tajam. Dia seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari bermain. “Tapi, kenapa Papa datang lagi ke sini? Pasti Papa masih main-main sama dia kan?” Alya terus nyerocos yang memancing perhatian tetanggaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Apalago aku warga baru. Akan tetapi, aku juga tak tahu bagaimana cara mengatas
Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
Pov Author Keadaan menjadi hening sejenak mendengar pertanyaan Alya yang tak sabar menunggu jawaban. Dia sangat ingin tahu dan tak bisa lagi ditunda. “Ya, Pak Bastian memang melecehkan Ibu malam itu,” kata Laras dengan mata berkaca-kaca. Bastian menundukkan kepalanya, tak mampu mengelak. Bagi seorang wanita, dilecehkan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengobati trauma itu. Hari ini, Laras berusaha mengutarakan kebenarannya. “Papa bukan orang yang seperti itu!” Alya menangkis, tak terima dengan perkataan Laras. Meski hatinya sendiri tak yakin.Selama ini, dia meyakini kalau papanya sosok lelaki yang nyaris sempurna meski sikapnya agak dingin pada sang Mama. Gadis itu melihat Ratna, untuk meminta pembelaan dari tuduhan Laras terhadap Bastian. Nyatanya, Ratna hanya tertunduk dan menangis. Hal itu secara tak langsung mengatakan, kalau apa yang Laras katakan adalah benar. Alya melihat Bastian, berharap Bastian membela diri seperti tadi. A
Alya menatap Bastian bergantian menatap Ratna juga. Dia merasa, cerita Laras masih belum tuntas. Dan dia menuntut agar Ratna atau Bastian yang akan menuntaskan cerita itu. “Jelaskan kenapa Papa sampai bisa melecehkan Bu Laras kalau saat itu ada Mama?” tanya Alya. Dia mencoba tenang dan bersikap dewasa. Menurutnya sangat janggal, bila papanya yang mabuk, bisa melecehkan Laras, sementara ada Ratna di rumah. Apalagi pada awalnya nanti, Bastian sempat mengelak dari tuduhan itu. Dia bukan lagi anak kecil yang tak bisa menghadapi kenyataan. Bastian duduk dengan lesu di sofa, sementara Ratna juga tak bisa menjawab. Alya menunggu orang tuanya mau menjawab. Dia berulangkali melihat jarum detik di jam dinding yang ada di ruangannya. Menunggu hingga hampir setengah jam, namun tak kunjung ada yang menjawab, membuat Alya tak sabar. Dengan kasar, dia mencabut infus di salah satu tangannya, lalu bergegas turun dari ranjang. “Alya, mau kemana?” tanya Ratna. “Mau pergi!” Gadis itu menjawab denga
“Atau … kamu anak angkat?” Audi kembali menebak, tetapi Alya tetap menggeleng sebagai jawaban. “Aku udah males nebak. To the point aja napa sih, Al?” Audi mulai merengek dihadapan Alya. Alya menghembus poninya sendiri. Dia masih saja ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Audi. Sementara Audi terus menatapnya dengan tatapan yang memohon. Gadis itu akhirnya menunduk, seperti menyerah pada kegigihan sahabatnya itu. Ia menatap mata Audi, mencari secercah keyakinan bahwa Audi benar-benar bisa dipercaya.“Mamaku yang meminta Bu Laras untuk jadi istri kedua Papa,” kata Alya pelan. Mata Audi seketika membola. Ingin tak percaya, tetapi tak mungkin Alya berbohong. Apalagi untuk hal yang begitu penting dan rahasia. “Jadi, Bu Laras istri kedua Om Bas?” tanya Audi untuk memastikan kalau Alya tidak salah bicara. “Ya. Tapi sayangnya, setelah aku lahir, Ibu harus meninggalkan aku untuk dijadikan anak Mama.” “Al … serius?” tanya Audi tak percaya. Alya mengangguk pelan. “Kok Tante Ratna ja
Di kantor polisi, suasana makin tegang. Bripda Rudi berdiri di belakang kursi seorang petugas IT, matanya menatap layar komputer penuh dengan data yang tak kunjung memberikan titik terang.“Gimana, Ris?” tanya Bripda Rudi tak sabar pada rekannya. Petugas IT itu menggeleng pelan. “Gak ada data yang cocok, Rud. Tak ada perusahaan di daerah Dago, bernama Adiprana Land. Sementara nama Dimas Adiprana sendiri, tak ada di daftar nama pengusaha di Bandung, maupun Medan.”Bripda Rudi langsung menghubungi Inspektur Damar yang sedang di ruang penyelidikan.“Ndan, laporan terbaru. Sepertinya, security itu membohongi kita. Semua data yang dia kasih palsu.”Inspektur Damar menghentikan langkahnya di depan ruang briefing. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, rahangnya mengeras mendengar laporan dari Bripda Rudi. Kesal, karena merasa dibodohi oleh seorang security biasa.“Palsu semua?” tanyanya untuk memastikan. Suaranya pelan, tetapi terdengar menahan marah. “Termasuk perusahaan dan nama orang tuan
Inspektur Damar akhirnya sampai juga di rumah Naura. Kali ini, komandan polisi itu membawa beberapa personil, untuk berjaga-jaga. Sebagai anggota kepolisian, Inspektur Damar cukup paham, kalau orang seperti Naura akan melakukan segala cara untuk terlepas dari jeratan hukum. Melihat ada mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah, seorang security segera membuka gerbang. Inspektur Damar keluar dari mobil. “Selamat sore,” kata Inspektur Damar seraya mengulurkan tangan. Security itu segera menjabat tangan Inspektur Damar. “Sore, Pak. Cari siapa ya?” tanya security terdengar agak takut. “Benar ini kediaman saudara Naura Shaquila?” Pertanyaan Inspektur Damar membuat dahi sang security mengernyit. “Benar. Tapi Nona Naura sudah pergi,” kata si security.Inspektur Damar mempersempit tatapannya. “Pergi ke mana?” tanyanya cepat.Security itu terlihat gugup. “Saya kurang tahu, Pak. Tadi pagi beliau buru-buru keluar pakai mobil, bawa koper. Katanya mau ke Bandung, menemui Tuan dan Nyonya.”
“Om!” Baru lagi Bastian akan jalan mendekati Laras, terdengar Audi memanggil. Bastian segera menolah dan berbalik melihat Audi. “Iya, Audi. Ada apa?”“Alya bilang, dia minta dibuka infusnya. Tangannya pegel katanya,” balas Audi. “Oh, ya udah. Biar Om bilang sama perawat,” kata Bastian dan berbalik dari hadapan Audi. Audi yang penasaran dengan yang Bastian lihat, melihat ke arah tempat tadi Bastian lihat. Dahinya mengernyit melihat Laras yang duduk sendirian di bangku taman dengan tatapan jauh ke depan, seperti sedang melamun. Bastian bersama perawat masuk lagi ke kamar Alya. Perawat segera membuka infus Alya. Tak lama Audi juga masuk ke ruangan itu. “Makasih, Sus,” kata Alya pada sang perawat. “Sama-sama,” balas perawat tersebut, lantas permisi keluar. “Pa, jam berapa kita pulang?” tanya Alya. “Sebentar lagi,” jawab Bastian. “Ibu mana ya? Kok sholat lama banget?” tanya Alya. Bastian tidak menjawab. Audi ingin menjawab, tetapi khawatir Bastian curiga kalau dia mengintip. “Hap
Bastian masuk ke kamar Alya berama Inspektur Damar dan Bripda Rudi. Laki-laki paruh baya itu tampak terpaku sejenak melihat Laras yang berada di kamar Alya. Ekpsresi Bastian, tak luput dari perhatian Alya, tentu saja Audi juga. Audi semakin curiga, ada sesuatu yang disembunyikan, apalagi Laras juga pamit keluar, seolah-olah menghindari Bastian.“Ibu ke mushola dulu ya, kayaknya udah Dzuhur,” kata Laras. Kebetulan rumah sakit itu jauh dari Mesjid, hingga tidak terdengar suara adzan. Alya mengangguk. “Nanti balik lagi ya, Bu. Temani Alya sampai pulang,” kata Alya, Laras mengangguk, lalu keluar tanpa melihat Bastian. Bastian berupaya bersikap biasa saja, tetapi matanya tak bisa bohong. Matanya tampak mengikuti Laras, namun segera dialihkan saat Inspektur Damar mulai mengajukan pertanyaan pada Alya. “Bagaimana kondisinya?” tanya Inspektur Damar.“Sudah jauh lebih baikan, Pak,” balas Alya. “Syukurlah. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kamu ajukan. Apa Nona Alya sudah bisa menjawab?”“
Ketika Laras tiba di rumah sakit, Ratna memilih pulang. Dia tak mau menyiksa hatinya sendiri dengan berlama-lama bertatap muka dengan Laras. Meski dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa, karena kehadiran Laras dalam kehidupan pribadinya, justru atas kemauannya sendiri. Kehadiran Laras akan membuat suasana menjadi canggung di antara mereka. Lagipula, dia percaya, Alya sudah aman sekarang.Laras duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Alya yang masih tertidur. Tangannya bergerak pelan, menggenggam jari-jari Alya dengan hati-hati, seolah takut membuat putrinya akan terbangun. Matanya berkaca-kaca, kala melihat bekas rantai di pergelangan tangan Alya yang meninggalkan bekas luka memerah. Tanpa bicara, Laras membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke tangan Alya yang digenggamnya. Ia mengecup punggung tangan itu, merasakan dingin kulit putrinya di bibirnya sendiri.“Maafkan Ibu, Nak,” ucapnya lirih. Mata Laras basah, tapi ia buru-buru menghapus air matanya. Beberapa menit berlalu. Suasa
Beberapa menit kemudian, mobil patroli memasuki halaman Rumah Sakit Bhayangkara. Petugas medis yang sudah dihubungi sebelumnya langsung menghampiri, membawa tandu.Dengan hati-hati, Inspektur Damar mengangkat Alya dari jok belakang ke atas tandu. Gadis itu masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak penuh luka lecet akibat pelariannya. "Segera bawa ke UGD!" seru salah satu perawat. Inspektur Damar mengikuti mereka beberapa langkah sebelum berhenti di pintu UGD, membiarkan tim medis bekerja. Ia menghela napas berat, baru kali ini rasanya ada kasus penculikan yang begitu membuat emosinya terseret dalam-dalam. Beruntung, tadi malam polisi bergerak cepat dan tidak menyepelekan laporan keluarga. Tak lama, Bastian datang berlari-lari kecil bersama istrinya, Ratna. Wajah mereka tampak panik dan cemas. "Pak Inspektur! Di mana anak saya?!" tanya Bastian sambil berusaha mengatur nafasnya. "Nona Alya sudah di dalam ruang UGD. Kondisinya stabil, tapi dia kelelahan berat dan
Beruntung mobil itu bisa menghentikan laju mobil di waktu yang tepat, hingga Alya tak sampai celaka. Namun begitu, tetap saja Alya yang memang pada awalnya sudah dalam kondisi ketakutan menjadi sangat lemas dan jatuh terduduk di atas aspal, tepat di depan mobil yang berhenti itu. Ternyata itu adalah mobil patroli polisi. Dua orang penculik yang melihat itu, segera melarikan diri sebelum polisi menyadari keberadaan mereka. Inspektur Damar secepatnya turun dan melihat kondisi gadis itu. Laki-laki itu berjongkok di depan Alya. “Dek, kamu nggak papa?” tanyanya. Inspektur Damar belum bisa melihat wajah Alya yang menunduk ketakutan. Tubuh Alya gemetar, tak mampu menjawab. Dia tak tahu, apakah orang yang ada dihadapannya ini, orang baik atau tidak. Inspektur Damar berusaha melihat wajah Alya, dengan menyibak rambutnya yang sebagian menutupi wajah. Alya reflek menghindar. Gadis itu benar-benar trauma. Dahi Inspektur Damara mengernyit, merasa mengenali wajah itu. Bripda Rudi yang juga tur
Setelah melihat lewat beberapa CCTV jalan yang saling terhubung, akhirnya polisi mengetahui dimana lokasi mobil van tersebut. Inspektur Damar mengerahkan beberapa petugas. Sebagian baru datang karena dihubungi oleh Bripda Rudi. Semua petugas bergerak dengan cepat. Bastian dan keluarganya diminta menunggu di rumah saja agar tidak mengganggu konsentrasi petugas. Bastian sangat bersyukur, polisi bergerak cepat, tanpa menunggu satu kali dua puluh empat jam. Akhirnya, mereka memutuskan menunggu di rumah dengan perasaan yang cemas. Sementara itu, Laras sangat gelisah. Sampai menjelang pagi, dia tak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus tertuju pada Alya. Namun, dia juga sungkan menghubungi Alya ataupun Ratna di dini hari. “Ya Allah, semoga Alya nggak kenapa-napa. Lindungi anakku ya Allah,” ucapnya lirih. ~~~~~~Alya terus menunggu dengan diam. Dirinya berharap, orang itu akan putus asa dan pergi setelah menghubungi bosnya. Akan tetapi, itu hanya tinggal harapan. Apalagi temannya yang t