POV ALYA
Papa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.
Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil.
“Diam di dalam!” bentak Papa.
Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia.
Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa.
“Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.
Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu.
Papa masuk dan menutup pintu mobil dengan keras. Aku tahu, Papa pasti marah padaku. Tapi, bodo amat lah. Aku nggak mungkin tinggal diam kalau ada perempuan lain yang mau merusak kebahagiaan keluargaku.
“Buat apa Papa minta maaf sama dia?” tanyaku dengan nada ketus pada Papa. “Seharusnya dia yang minta maaf!”
“Diam! Papa nggak pernah mendidik kamu jadi anak yang kurang ajar sama orang tua!” hardik Papa.
“Tapi Papa juga selalu ngajarin Alya, untuk mempertahankan apa yang menjadi milik Alya!” sengitku tak mau kalah. “Alya nggak mau, perempuan itu menghancurkan keluarga kita!”
“Dia perempuan baik-baik! Bukan yang kayak kamu pikirkan!”
“Nggak ada perempuan baik-baik yang mau jadi selingkuhan!” tangkisku.
“Kamu semakin kurang ajar! Kamu akan menyesal!”
“Nggak akan! Selama dia masih ganggu Papa, Alya nggak akan pernah tinggal diam!”
“Kamu–” Papa tak meneruskan kata-katanya, tetapi aku tau, dia sangat marah karena aku terus membantahnya.
Aku diam. Bukan karena takut, tetapi karena mengatur emosiku sendiri.
Sepanjang jalan, tak ada lagi yang bicara. Papa hanya diam, kelihatan sekali kalau wajahnya suntuk dan marah padaku.
Sampai di rumah, aku langsung saja masuk tanpa mengucap salam. Kuabaikan Mama yang sedang duduk di ruang keluarga.
Aku masuk ke kamar, dengan membanting pintu kamar.
“Alya kenapa, Pa?” Aku mendengar Mama bertanya pada Papa.
Tak kudengar jawaban dari Papa. Aku hanya mendengar suara pintu dibuka, lalu ditutup kembali. Pasti Papa masuk ke kamarnya.
Aku duduk dengan wajah kesal di atas ranjang. Papa yang selama ini jadi idolaku, ternyata sama aja dengan cowok lain.
Sampai sekarang aku belum menemukan lelaki yang tepat untuk menjadi pasangan, meski sekedar pacaran. Sebab, aku menjadikan Papa sebagai model laki-laki idaman.
Ganteng, mapan, sayang keluarga, berkharisma, begitulah penilaianku terhadap Papa. Hingga sulit bagiku menemukan laki-laki sepertinya. Laki-laki yang kukenal, kebanyakan redflag. Ya, meskipun Papa juga nggak terlalu romantis dan manis dalam bersikap sama Mama, paling tidak, Papa setia. Begitulah penilaianku selama ini.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sendiri. Aku masih marah, bahkan sangat kecewa sama Papa.
Pikiranku berkecamuk. Apa aku harus memberi tahu Mama? Mama pasti akan sangat hancur, kalau tau apa yang sudah dilakukan oleh Papa.
Ponselku bergetar di atas meja. Aku meraihnya dengan cepat. Audi.
[Kamu nggak papa?] pesan dari Audi.
Aku langsung membalas pesannya dengan cepat.
[Menurut kamu?]
[Ya aku masih kesel lah]
[Aku mau cari tau soal perempuan itu]
Tak lama, Audi membalas pesanku.
[Aku temani]
Aku enggan membalas lagi. Kuletakkan saja hapeku di dekat bantal.
Tok tok tok
Pintu kamarku diketuk.
“Al.” Mama yang memanggil.
Dengan malas, aku bangkit dan membukakan pintu untuk Mama.
“Kamu kenapa sama Papa?” tanya Mama begitu pintu terbuka.
“Mama tanya Papa aja,” jawabku.
Rasanya tak tega kalau aku yang bicara sama Mama. Aku juga ingin tahu, apa Papa bisa jujur sama Mama kalau ditanya.
“Papa lagi mandi. Mama ingin tahu versi kamu dulu,” desak Mama.
Nggak. Aku nggak akan kasih tau Mama dulu. Aku tak bisa melihat Mama sedih dan terluka. Biar aku aja yang urus perempuan itu, tanpa melibatkan Mama.
Aku menghela napas dan berusaha tersenyum, meski terasa dipaksakan.
"Gak ada apa-apa, Ma. Alya cuma capek," jawabku singkat.
Mama menatapku, jelas tidak percaya. Aku tahu Mama cukup peka, tapi aku juga tahu kalau Mama tipe yang nggak akan memaksa kalau aku belum siap bicara.
"Kalau ada apa-apa, cerita sama Mama, ya?" katanya lembut.
Aku mengangguk kecil. "Iya, Ma."
Mama masih menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan beranjak pergi. Begitu pintu tertutup, aku langsung menjatuhkan diri ke kasur, menatap langit-langit dengan perasaan penuh amarah.
~~~~~
Pagi hari, wajahku masih ditekuk kala melihat Papa. Aku masih kesal dengannya. Aku yakin, Papa pasti nanti mau nemui perempuan itu. Pasti mau minta maaf. Cowok kan gitu kalau lagi jatuh cinta.
Kalau aja bukan karena janjiku yang mulai hari ini akan kerja di kantor Papa, aku malas sarapan bareng.
“Ada apa sebenarnya?” Suara Mama memecah keheningan di meja makan.
Dari pertanyaan Mama, aku yakin, Papa juga nggak cerita sama Mama.
Aku bangkit, untuk menghindari Mama.
“Alya, duduk!” tegas Mama. Jiwa pemimpinnya seketika meronta kalau sudah begini. “Berapa kali Mama bilang. Jangan pernah meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya terlebih dahulu.”
Aku menarik nafas dalam, dan terpaksa duduk lagi. Papa diam saja, tampak tenang, seperti tak ada kejadian apa-apa.
“Sekarang cerita, ada apa sebenarnya?” tanya Mama lagi.
“Mama tanya sama Papa,” kataku tetap bersikeras tak mau memberitahu Mama.
“Mama mau kamu yang jawab,” kata Mama. Tatapannya langsung ke mataku. Kalau sudah begini, sulit sekali menghindar dari Mama.
“Papa selingkuh!” sungutku sambil melirik sinis pada Papa.
Mama melihat Papa. Anehnya, kenapa Papa terlihat sangat tenang? Papa sama sekali tidak menepis tudinganku. Berarti benar, yang kulihat semalam.
~~~~~~~~
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
POV AlyaSampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama. “Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya. Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama. “Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar. “Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami. “Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku. Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain. “Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku. “Perempuan mana maksud kamu?” “Laras.”Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, sel
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
POV LARAS“Kamu jangan keras kepala!” Pak Bastian tampak sangat geram melihat Alya. Pak Bastian terus menarik tangan Alya agar keluar dari rumahku. Tetapi, Alya ternyata memang sangat keras kepala. Dia memegangi kusen pintu rumahku. Ya Allah, kenapa harus ada keributan lagi? Apalagi ini masih pagi. Untung saja anak laki-lakiku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, aku tak bisa membayangkan, seperti apa kacaunya hari ini. “Ayo pulang! Kita bicara di rumah!” Pak Bastian terus memaksa Alya. Alya juga semakin kuat memegang kusen pintu.“Alya nggak mau pulang, sebelum Papa cerita. Semalam Alya sudah lihat Mama sama Papa bicara sama dia!” Alya menudingku dan tatapannya sangat tajam. Dia seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari bermain. “Tapi, kenapa Papa datang lagi ke sini? Pasti Papa masih main-main sama dia kan?” Alya terus nyerocos yang memancing perhatian tetanggaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Apalago aku warga baru. Akan tetapi, aku juga tak tahu bagaimana cara mengatas
Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
Pov AuthorKeadaan menjadi hening sejenak mendengar pertanyaan kata-kata Alya yang tak sabar menunggu jawaban.“Ya, Pak Bastian memang melecehkan Ibu malam itu,” kata Laras dengan mata berkaca-kaca. Bastian menundukkan kepalanya, tak mampu mengelak. Bagi seorang wanita, dilecehkan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengobati trauma itu. Hari ini, Laras berusaha mengutarakan kebenarannya. “Papa bukan orang yang seperti itu!” Alya menangkis, tak terima dengan perkataan Laras. Meski hatinya sendiri tak yakin. Gadis itu melihat Ratna, untuk meminta pembelaan dari tuduhan Laras terhadap Bastian. Nyatanya, Ratna hanya tertunduk dan menangis. Alya melihat Bastian, berharap Bastian membela diri seperti tadi. Akan tetapi, Bastian hanya diam. Padahal tadi dia menangkis dugaan pemer kosaan yang dilontarkan Alya. “Nak, Ibu tahu, ini berat buat kamu. Tapi satu hal yang kamu tahu, walaupun kamu hadir di rahim Ibu bukan karena keinginan Ibu, tapi kamu tet
Pov AuthorKeadaan menjadi hening sejenak mendengar pertanyaan kata-kata Alya yang tak sabar menunggu jawaban.“Ya, Pak Bastian memang melecehkan Ibu malam itu,” kata Laras dengan mata berkaca-kaca. Bastian menundukkan kepalanya, tak mampu mengelak. Bagi seorang wanita, dilecehkan adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengobati trauma itu. Hari ini, Laras berusaha mengutarakan kebenarannya. “Papa bukan orang yang seperti itu!” Alya menangkis, tak terima dengan perkataan Laras. Meski hatinya sendiri tak yakin. Gadis itu melihat Ratna, untuk meminta pembelaan dari tuduhan Laras terhadap Bastian. Nyatanya, Ratna hanya tertunduk dan menangis. Alya melihat Bastian, berharap Bastian membela diri seperti tadi. Akan tetapi, Bastian hanya diam. Padahal tadi dia menangkis dugaan pemer kosaan yang dilontarkan Alya. “Nak, Ibu tahu, ini berat buat kamu. Tapi satu hal yang kamu tahu, walaupun kamu hadir di rahim Ibu bukan karena keinginan Ibu, tapi kamu tet
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
POV LARAS“Kamu jangan keras kepala!” Pak Bastian tampak sangat geram melihat Alya. Pak Bastian terus menarik tangan Alya agar keluar dari rumahku. Tetapi, Alya ternyata memang sangat keras kepala. Dia memegangi kusen pintu rumahku. Ya Allah, kenapa harus ada keributan lagi? Apalagi ini masih pagi. Untung saja anak laki-lakiku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, aku tak bisa membayangkan, seperti apa kacaunya hari ini. “Ayo pulang! Kita bicara di rumah!” Pak Bastian terus memaksa Alya. Alya juga semakin kuat memegang kusen pintu.“Alya nggak mau pulang, sebelum Papa cerita. Semalam Alya sudah lihat Mama sama Papa bicara sama dia!” Alya menudingku dan tatapannya sangat tajam. Dia seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari bermain. “Tapi, kenapa Papa datang lagi ke sini? Pasti Papa masih main-main sama dia kan?” Alya terus nyerocos yang memancing perhatian tetanggaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Apalago aku warga baru. Akan tetapi, aku juga tak tahu bagaimana cara mengatas
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
POV AlyaSampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama. “Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya. Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama. “Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar. “Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami. “Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku. Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain. “Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku. “Perempuan mana maksud kamu?” “Laras.”Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, sel
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
POV ALYAPapa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Diam di dalam!” bentak Papa. Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia. Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa. “Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu. Papa masuk dan