POV ALYA
"Al, itu Papa kamu kan?" tanya Audi ketika kami baru saja akan naik motor setelah nongkrong di cafe langganan sejak masa kuliah.
Aku spontan menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Audi. Seorang pria yang sangat familier baru saja keluar dari sebuah toko kue ternama. Dia membawa kotak kue dan berjalan menuju mobilnya. Benar saja, itu cinta pertamaku.
"Iya, itu Papa," ujarku senang. Aku langsung berseru memanggilnya, "Pa! Papa!"
Namun, Papa sudah masuk ke dalam mobil dan mobilnya mulai bergerak. Papa sepertinya tidak mendengar panggilanku. Aku menghela napas kecewa, padahal aku sudah berteriak memanggilnya, sampai urat leherku terasa tegang.
"Yaah .…"
Audi menatapku sekilas sebelum menyerahkan helm padaku. "Ya udahlah, sama aku aja. Kan kita satu tujuan," katanya.
Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menerima helm dan naik ke boncengan.
"Rumah kamu kan lebih dekat. Kalau aku sama Papa, kamu nggak perlu nganter aku dulu," ujarku. Harusnya tadi aku bawa mobil aja, atau motif sendiri.
Audi hanya terkekeh sambil menyalakan motor. "Kan aku yang ajak kamu jalan tadi. Ya aku harus tanggung jawab nganterin kamu pulang. Lagian, kita bisa aja ketemu Papa kamu di jalan kalau kita cari jalan pintas. Kan tujuannya sama. Papa kamu pasti mau pulang juga."
Aku mengangguk kecil, lalu membiarkan Audi melajukan motornya. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol santai, menikmati angin yang berhembus. Aku merasa lebih baik meskipun tadi sempat kecewa. Namun, ketika kami hampir sampai di daerah rumahku, Audi tiba-tiba menunjuk ke depan.
"Itu mobil Papa kamu," katanya.
Aku langsung menoleh dan melihat mobil Papa berbelok ke arah yang berlawanan dari arah mau ke rumah.
"Loh, Papa mau ke mana?" gumamku.
"Mungkin cari jalan alternatif?" tebak Audi.
Aku mengernyit. "Buat apa? Nggak macet kok. Audi mengedikkan bahu. "Kita ikuti aja yuk."
Dia melihatku lewat spion. "Buat apa? Kamu curiga sama Om Bas?"
"Bukan curiga, cuma penasaran," kataku ringan. "Siapa tau kita nemu jalan baru ke rumah."
Dia mendengus, akhirnya mengangguk setuju. "Oke, kita ikuti."
Kami menjaga jarak agar tidak mencolok dan tidak diketahui sama Papa. Mobil Papa terus melaju, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang tampak asri. Aku mengernyit. Rumah siapa ini?
"Kita di sini aja," kataku pada Audi.
Audi tampak ingin mendekat, tetapi aku menggeleng. Aku ingin mengamati dulu.
Aku melihat Papa keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah sambil membawa kotak kue yang tadi dibawa. Papa mengetuk pintu, lalu seorang wanita paruh baya dan berhijab membuka pintu. Aku tidak mengenalnya. Wajahnya sangat asing, tetapi ada sesuatu yang berdesir di hatiku melihatnya.
Wanita itu tampak enggan menerima kedatangan Papa. Bahkan dia menolak kotak kue yang diberikan Papa. Aku melihat Papa berbicara dengan wajah yang tampak menghiba? Sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku menelan ludah. Ada yang aneh. Papa orangnya keras, tak pernah senyum kala di rumah. Sorot matanya juga selalu tajam. Tetapi, kali ini aku seperti melihat orang lain.
Wanita itu ragu sejenak, lalu menggeleng pelan sebelum mulai menutup pintu. Namun, yang membuat dadaku bergetar bukanlah itu.
Itu adalah tatapan seorang yang sedang jatuh cinta. Aku sudah cukup dewasa untuk memahami.
Aku tertegun. Rasanya tak percaya kalau Papa sampai tega mengkhianati Mama. Meskipun Papa agak dingin, tetapi hubungan orang tuaku cukup harmonis. Walaupun watak Papa keras, tetapi Mama lebih banyak mengalah. Makanya rumah tangga mereka awet dan tidak pernah aku melihat mereka bertengkar.
"Al, ini aneh sih," bisik Audi, suaranya terdengar sama terkejutnya denganku.
Aku mengepalkan tangan. Tanpa pikir panjang, aku turun dari motor dan berjalan cepat ke arah rumah itu.
"Al! Mau ngapain?" seru Audi panik, tapi aku tak menghiraukannya. Beraninya Papa menduakan mamaku. Itu pasti selingkuhan Papa yang membuat Papa bersikap dingin sama Mama selama ini!
Papa menoleh dan matanya membelalak saat melihatku.
"Alya?" Suaranya jelas menunjukkan kalau dia terkejut.
Aku berhenti di depan mereka, menatap Papa tajam.
"Papa ngapain di sini?" tanyaku, suaraku bergetar.
Wanita di ambang pintu tampak tergagap. Tatapannya bergantian antara aku dan Papa. Sesuatu dalam matanya membuat hatiku semakin tidak tenang.
“Ternyata gini ya, model pelakor zaman sekarang!” kataku dengan sinis pada perempuan itu. Dia sampai terperanjat melihatku. Sorot matanya yang teduh tak akan menipuku.
“Sok syar’i padahal cuma kedok! Munafik!” makiku lagi.
“Alya! Jaga bicaramu!” Papa menghardikku. Kali ini, sorot mata tajamku beralih ke Papa.
“Nggak bisa!” Aku menaikkan nada suaraku. Audi sampai mematung melihatku. Mungkin heran karena aku tak biasa bersikap seperti ini.
“Papa udah mengkhianati Mama! Alya nggak terima! Apa kurangnya Mama dibanding wanita ini? Mama jauh lebih cantik, lebih modis daripada wanita yang modelnya kampungan ini!” Aku sengaja mencerca wanita itu agar Papa bisa buka mata.
Aku akui, wajah wanita memiliki aura yang berbeda, sangat teduh dan bersahaja, tetapi tetap saja jauh lebih cantik mamaku.
“Heh, kamu apa nggak malu! Udah tua bukannya banyakin ibadah, malah tambah dosa!” cecarku lagi pada wanita itu. Masih untung aku masih mengingat dia seusia dengan mamaku. Kalau tidak, aku pasti sudah menarik hijabnya, dan mencakar wajahnya yang sok polos itu.
“Jaga bicara kamu, Alya! Pulang!” Lagi, Papa menghardikku.
Matanya menatapku nyalang, tampak merah menahan marah juga malu karena ternyata keributan yang aku ciptakan, mengundang tetangga sekitar rumah pelakor ini untuk menonton kami.
“Papa juga pulang! Ingat, di rumah ada istri Papa yang nunggu!” Aku tak kalah sengit. Jujur saja, rasa hormatku berkurang sama Papa.
Ekor mataku bisa melihat para tetangga wanita itu mulai berbisik-bisik. Biar saja dia malu, biar dia kapok mengganggu rumah tangga orang lain.
Wanita itu menangis tanpa suara. Cih, begitu lah kalau sudah ketahuan, sok mau playing victim, seolah-olah dia korban.
~~~~~
POV ALYAPapa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Diam di dalam!” bentak Papa. Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia. Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa. “Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu. Papa masuk dan
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
POV AlyaSampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama. “Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya. Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama. “Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar. “Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami. “Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku. Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain. “Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku. “Perempuan mana maksud kamu?” “Laras.”Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, sel
Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional. Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa mem
POV LARAS“Kamu jangan keras kepala!” Pak Bastian tampak sangat geram melihat Alya. Pak Bastian terus menarik tangan Alya agar keluar dari rumahku. Tetapi, Alya ternyata memang sangat keras kepala. Dia memegangi kusen pintu rumahku. Ya Allah, kenapa harus ada keributan lagi? Apalagi ini masih pagi. Untung saja anak laki-lakiku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, aku tak bisa membayangkan, seperti apa kacaunya hari ini. “Ayo pulang! Kita bicara di rumah!” Pak Bastian terus memaksa Alya. Alya juga semakin kuat memegang kusen pintu.“Alya nggak mau pulang, sebelum Papa cerita. Semalam Alya sudah lihat Mama sama Papa bicara sama dia!” Alya menudingku dan tatapannya sangat tajam. Dia seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari bermain. “Tapi, kenapa Papa datang lagi ke sini? Pasti Papa masih main-main sama dia kan?” Alya terus nyerocos yang memancing perhatian tetanggaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Apalago aku warga baru. Akan tetapi, aku juga tak tahu bagaimana cara mengatas
Pov AlyaRasanya tak percaya mendengar yang Papa bilang. Dia ibuku? Apa maksudnya? “Dia ibumu, Ibu kandungmu. Orang ini yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini.” Papa seakan-akan menjelaskan arti kata-katanya tadii. Seketika tubuhku menjadi lunglai. Lemas. Ya, tulang-tulang di tubuhku terasa dilolosi semuanya. Aku mau tak percaya, kulihat wanita itu, yang menangis sambil melihatku. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadi tampak haus akan berita panas juga tampak terkejut. “Alya.” Wanita itu menangkap tubuhku yang limbung ke belakang. Dunia ini terasa berputar, aku benar-benar tak sanggup mengangkat bobot tubuhku sendiri. Hingga akhirnya, semua menjadi gelap. ~~~~~~~Perlahan aku membuka mataku, namun sebelum mataku sempat terbuka sempurna, telingaku menangkap suara Mama. “Kenapa kamu harus kasih tau Alya?” tanya Mama. Mama pasti sedang menahan marah, kalau sudah mengatakan aku dan kamu pada Papa. “Papa terpaksa. Dia terus menuduh Laras sebagai perempuan yang tak benar.” P
Pov BastianAku keluar dari kamar rawat Alya dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang rawat. Ah, suntuk sekali. Kejadian waktu itu terus terbayang di mataku. Cukup lama aku berusaha melupakan kejadian itu, tetapi tak bisa. Semua berawal dari saat kami mulai menempati rumah kami sendiri.Flasback on“Mas, ini namanya Laras, dia yang akan bantu-bantu di sini,” kata Ratna memperkenalkan seorang wanita yang usianya tak jauh beda dengannya. Wanita itu memakai hijab, terlihat anggun dan manis. Kepalanya terus menunduk, tak berani menatap mataku. Entah kenapa, hatiku bergetar kala melihatnya. Getaran yang sama, seperti pada saat melihat Ratna, dulu. Sudah lima tahun menjalani pernikahan, kehidupan pernikahan kami terasa hambar. Perlahan, rasa cintaku terkikis padanya. Entahlah bagaimana tepatnya. Yang jelas, aku masih mencintainya, hanya saja, tak ada getaran di hatiku lagi seperti dulu, saat kami masih pacaran, atau di awal-awal pernikahan. Apa ini yang dibilang bosa
“Atau … kamu anak angkat?” Audi kembali menebak, tetapi Alya tetap menggeleng sebagai jawaban. “Aku udah males nebak. To the point aja napa sih, Al?” Audi mulai merengek dihadapan Alya. Alya menghembus poninya sendiri. Dia masih saja ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Audi. Sementara Audi terus menatapnya dengan tatapan yang memohon. Gadis itu akhirnya menunduk, seperti menyerah pada kegigihan sahabatnya itu. Ia menatap mata Audi, mencari secercah keyakinan bahwa Audi benar-benar bisa dipercaya.“Mamaku yang meminta Bu Laras untuk jadi istri kedua Papa,” kata Alya pelan. Mata Audi seketika membola. Ingin tak percaya, tetapi tak mungkin Alya berbohong. Apalagi untuk hal yang begitu penting dan rahasia. “Jadi, Bu Laras istri kedua Om Bas?” tanya Audi untuk memastikan kalau Alya tidak salah bicara. “Ya. Tapi sayangnya, setelah aku lahir, Ibu harus meninggalkan aku untuk dijadikan anak Mama.” “Al … serius?” tanya Audi tak percaya. Alya mengangguk pelan. “Kok Tante Ratna ja
Di kantor polisi, suasana makin tegang. Bripda Rudi berdiri di belakang kursi seorang petugas IT, matanya menatap layar komputer penuh dengan data yang tak kunjung memberikan titik terang.“Gimana, Ris?” tanya Bripda Rudi tak sabar pada rekannya. Petugas IT itu menggeleng pelan. “Gak ada data yang cocok, Rud. Tak ada perusahaan di daerah Dago, bernama Adiprana Land. Sementara nama Dimas Adiprana sendiri, tak ada di daftar nama pengusaha di Bandung, maupun Medan.”Bripda Rudi langsung menghubungi Inspektur Damar yang sedang di ruang penyelidikan.“Ndan, laporan terbaru. Sepertinya, security itu membohongi kita. Semua data yang dia kasih palsu.”Inspektur Damar menghentikan langkahnya di depan ruang briefing. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, rahangnya mengeras mendengar laporan dari Bripda Rudi. Kesal, karena merasa dibodohi oleh seorang security biasa.“Palsu semua?” tanyanya untuk memastikan. Suaranya pelan, tetapi terdengar menahan marah. “Termasuk perusahaan dan nama orang tuan
Inspektur Damar akhirnya sampai juga di rumah Naura. Kali ini, komandan polisi itu membawa beberapa personil, untuk berjaga-jaga. Sebagai anggota kepolisian, Inspektur Damar cukup paham, kalau orang seperti Naura akan melakukan segala cara untuk terlepas dari jeratan hukum. Melihat ada mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah, seorang security segera membuka gerbang. Inspektur Damar keluar dari mobil. “Selamat sore,” kata Inspektur Damar seraya mengulurkan tangan. Security itu segera menjabat tangan Inspektur Damar. “Sore, Pak. Cari siapa ya?” tanya security terdengar agak takut. “Benar ini kediaman saudara Naura Shaquila?” Pertanyaan Inspektur Damar membuat dahi sang security mengernyit. “Benar. Tapi Nona Naura sudah pergi,” kata si security.Inspektur Damar mempersempit tatapannya. “Pergi ke mana?” tanyanya cepat.Security itu terlihat gugup. “Saya kurang tahu, Pak. Tadi pagi beliau buru-buru keluar pakai mobil, bawa koper. Katanya mau ke Bandung, menemui Tuan dan Nyonya.”
“Om!” Baru lagi Bastian akan jalan mendekati Laras, terdengar Audi memanggil. Bastian segera menolah dan berbalik melihat Audi. “Iya, Audi. Ada apa?”“Alya bilang, dia minta dibuka infusnya. Tangannya pegel katanya,” balas Audi. “Oh, ya udah. Biar Om bilang sama perawat,” kata Bastian dan berbalik dari hadapan Audi. Audi yang penasaran dengan yang Bastian lihat, melihat ke arah tempat tadi Bastian lihat. Dahinya mengernyit melihat Laras yang duduk sendirian di bangku taman dengan tatapan jauh ke depan, seperti sedang melamun. Bastian bersama perawat masuk lagi ke kamar Alya. Perawat segera membuka infus Alya. Tak lama Audi juga masuk ke ruangan itu. “Makasih, Sus,” kata Alya pada sang perawat. “Sama-sama,” balas perawat tersebut, lantas permisi keluar. “Pa, jam berapa kita pulang?” tanya Alya. “Sebentar lagi,” jawab Bastian. “Ibu mana ya? Kok sholat lama banget?” tanya Alya. Bastian tidak menjawab. Audi ingin menjawab, tetapi khawatir Bastian curiga kalau dia mengintip. “Hap
Bastian masuk ke kamar Alya berama Inspektur Damar dan Bripda Rudi. Laki-laki paruh baya itu tampak terpaku sejenak melihat Laras yang berada di kamar Alya. Ekpsresi Bastian, tak luput dari perhatian Alya, tentu saja Audi juga. Audi semakin curiga, ada sesuatu yang disembunyikan, apalagi Laras juga pamit keluar, seolah-olah menghindari Bastian.“Ibu ke mushola dulu ya, kayaknya udah Dzuhur,” kata Laras. Kebetulan rumah sakit itu jauh dari Mesjid, hingga tidak terdengar suara adzan. Alya mengangguk. “Nanti balik lagi ya, Bu. Temani Alya sampai pulang,” kata Alya, Laras mengangguk, lalu keluar tanpa melihat Bastian. Bastian berupaya bersikap biasa saja, tetapi matanya tak bisa bohong. Matanya tampak mengikuti Laras, namun segera dialihkan saat Inspektur Damar mulai mengajukan pertanyaan pada Alya. “Bagaimana kondisinya?” tanya Inspektur Damar.“Sudah jauh lebih baikan, Pak,” balas Alya. “Syukurlah. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kamu ajukan. Apa Nona Alya sudah bisa menjawab?”“
Ketika Laras tiba di rumah sakit, Ratna memilih pulang. Dia tak mau menyiksa hatinya sendiri dengan berlama-lama bertatap muka dengan Laras. Meski dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa, karena kehadiran Laras dalam kehidupan pribadinya, justru atas kemauannya sendiri. Kehadiran Laras akan membuat suasana menjadi canggung di antara mereka. Lagipula, dia percaya, Alya sudah aman sekarang.Laras duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Alya yang masih tertidur. Tangannya bergerak pelan, menggenggam jari-jari Alya dengan hati-hati, seolah takut membuat putrinya akan terbangun. Matanya berkaca-kaca, kala melihat bekas rantai di pergelangan tangan Alya yang meninggalkan bekas luka memerah. Tanpa bicara, Laras membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke tangan Alya yang digenggamnya. Ia mengecup punggung tangan itu, merasakan dingin kulit putrinya di bibirnya sendiri.“Maafkan Ibu, Nak,” ucapnya lirih. Mata Laras basah, tapi ia buru-buru menghapus air matanya. Beberapa menit berlalu. Suasa
Beberapa menit kemudian, mobil patroli memasuki halaman Rumah Sakit Bhayangkara. Petugas medis yang sudah dihubungi sebelumnya langsung menghampiri, membawa tandu.Dengan hati-hati, Inspektur Damar mengangkat Alya dari jok belakang ke atas tandu. Gadis itu masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak penuh luka lecet akibat pelariannya. "Segera bawa ke UGD!" seru salah satu perawat. Inspektur Damar mengikuti mereka beberapa langkah sebelum berhenti di pintu UGD, membiarkan tim medis bekerja. Ia menghela napas berat, baru kali ini rasanya ada kasus penculikan yang begitu membuat emosinya terseret dalam-dalam. Beruntung, tadi malam polisi bergerak cepat dan tidak menyepelekan laporan keluarga. Tak lama, Bastian datang berlari-lari kecil bersama istrinya, Ratna. Wajah mereka tampak panik dan cemas. "Pak Inspektur! Di mana anak saya?!" tanya Bastian sambil berusaha mengatur nafasnya. "Nona Alya sudah di dalam ruang UGD. Kondisinya stabil, tapi dia kelelahan berat dan
Beruntung mobil itu bisa menghentikan laju mobil di waktu yang tepat, hingga Alya tak sampai celaka. Namun begitu, tetap saja Alya yang memang pada awalnya sudah dalam kondisi ketakutan menjadi sangat lemas dan jatuh terduduk di atas aspal, tepat di depan mobil yang berhenti itu. Ternyata itu adalah mobil patroli polisi. Dua orang penculik yang melihat itu, segera melarikan diri sebelum polisi menyadari keberadaan mereka. Inspektur Damar secepatnya turun dan melihat kondisi gadis itu. Laki-laki itu berjongkok di depan Alya. “Dek, kamu nggak papa?” tanyanya. Inspektur Damar belum bisa melihat wajah Alya yang menunduk ketakutan. Tubuh Alya gemetar, tak mampu menjawab. Dia tak tahu, apakah orang yang ada dihadapannya ini, orang baik atau tidak. Inspektur Damar berusaha melihat wajah Alya, dengan menyibak rambutnya yang sebagian menutupi wajah. Alya reflek menghindar. Gadis itu benar-benar trauma. Dahi Inspektur Damara mengernyit, merasa mengenali wajah itu. Bripda Rudi yang juga tur
Setelah melihat lewat beberapa CCTV jalan yang saling terhubung, akhirnya polisi mengetahui dimana lokasi mobil van tersebut. Inspektur Damar mengerahkan beberapa petugas. Sebagian baru datang karena dihubungi oleh Bripda Rudi. Semua petugas bergerak dengan cepat. Bastian dan keluarganya diminta menunggu di rumah saja agar tidak mengganggu konsentrasi petugas. Bastian sangat bersyukur, polisi bergerak cepat, tanpa menunggu satu kali dua puluh empat jam. Akhirnya, mereka memutuskan menunggu di rumah dengan perasaan yang cemas. Sementara itu, Laras sangat gelisah. Sampai menjelang pagi, dia tak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus tertuju pada Alya. Namun, dia juga sungkan menghubungi Alya ataupun Ratna di dini hari. “Ya Allah, semoga Alya nggak kenapa-napa. Lindungi anakku ya Allah,” ucapnya lirih. ~~~~~~Alya terus menunggu dengan diam. Dirinya berharap, orang itu akan putus asa dan pergi setelah menghubungi bosnya. Akan tetapi, itu hanya tinggal harapan. Apalagi temannya yang t