Share

Ingin Menjadi Wanita Kedua

Aditya kini semakin menyadari, kemungkinan semalam Jessica telah memberinya minuman yang di campur dengan obat-obatam tertentu, dan kemungkinan besar adalah obat penambah stamina dan gairah khusus bagi pria.

Setelah berargumen hebat dengan Jessica dan memutuskan kembali ke apartemen pada tengah malam, Aditya juga menutup komunikasi dengan istrinya tersebut. Namun justru rasa menyiksa ini baru di sadarinya pagi tadi. Hal ini jadi salah satu alasan Aditya tak bisa temui Alan.

"Lanjutkan tuangkan jus jeruk juga untukku," perintah Aditya kemudian.

"Baik, Pak." Anna segera bergegas ke meja pantry yang ada di dapur setelah terlepas, lalu melakukan perintah tanpa sekalipun membalas tatapan Aditya dengan gemetaran.

Suara gemericik jus jeruk itu jadi penutup langkah Aditya yang semakin mendekat pada Anna.

"Anna," panggil Aditya setelah berdehem sekali untuk memulai obrolan, dan menuntutnya untuk tak membelakanginya.

Anna berbalik cepat, karena terkejut setengah mati, dimana tiba-tiba Aditya sudah dibelakang hampir tak berjarak dengannya.

"I iya, Pak?" tanyanya kikuk. Kedua bola matanya mengarah pada tatapan Aditya yang tajam, namun sendu dan dalam.

Baru saja akan berlanjut berucap, bibir Anna sudah tertutup dengan bibir Aditya. Bahkan kini, kedua lengan kokohnya menelusup menyusuri pinggang ramping Anna, untuk direngkuh menyatu dalam pelukannya lagi.

Kedua tangan Anna mencengkeram kemeja Aditya. Awalnya Anna berusaha berontak, tapi segala upayanya tak menemukan hasil, karena tenaga Aditya terlalu kuat untuknya.

"Anna...kamu cantik sekali...dan menggairahkan," sela Aditya lirih dengan napas memburu.

"Pak...apa yang anda laku.." Kembali ucapan Anna terhenti, ketika Aditya kembali menutup bibir ranum berlipstick merah glossy dengan pagutan lebih panas dari sebelumnya.

"Aku menginginkanmu, Anna!" tandasnya,

"Tapi Pak..."

"Aku yakin kamu pasti pernah melakukan ini sebelumnya. Kamu gadis cantik, mana mungkin ada pria yang akan bisa menahan diri. Bukankah wanita di mana-mana itu sama saja?" Secara tak sadar, Aditya tengah perdengarkan sebuah curhatan.

"Tapi, Pak. Saya ti..."

Tak ada kesempatan bagi Anna untuk berbicara, meski kelambu air di kedua matanya ini sudah berikan kilatan pertanda akan mulainya sebuah tangisan. Tapi tidak bagi Aditya. Ekspresi Anna ini justru terlihat semakin menggoda.

Melihat gerak Aditya semakin liar padanya, Anna kemudian tumpukan semua kekuatannya untuk melawan, tanpa bermaksud menghakimi. "Maaf, Pak. Sepertinya anda salah menganggap saya," ucap Anna seraya mendorong tubuh Aditya agar menjauh darinya. "Saya cuma pegawai biasa, bukan gadis murahan!" protes Anna bergeser ke samping, lalu mengambil baki berisi dua gelas jus jeruk kemasan di atasnya untuk di bawanya ke ruang tamu dengan gemetaran. "Silahkan tanda tangani dokumennya sekarang saja, Pak."

Aditya menuju ke bak cuci, lalu berkali-kali membasuh wajahnya dari air wastafel sambil terus mengumpat dan merutuki dirinya sendiri. "Sialan. Apa yang sudah aku lakukan? Ini nggak boleh terjadi ... tidak boleh!" Susah payah Aditya berusaha mengembalikan kesadarannya. "Dia bukan Jessica ... Bukan."

Keadaan ruangan yang sepi hanya ada mereka berdua. Integrasi antara ruang tamu dan dapur ini membuat Anna bisa mendengarkan tiap ucapan Aditya.

Jessica? Siapa Jessica? Batin Anna. Kedua tangannya menyatu saling meremas menguatkan. Meski tidak tahu apa yang sudah terjadi pada diri Aditya, tapi Anna bisa merasakan suatu kepedihan tak terkatakan pada pria tersebut. Bila itu karena seorang wanita, dari kejauhan begini juga bisa Anna rasakan aura kekecewaan dari Aditya.

Anna dan Aditya baru teralihkan oleh suara panggilan dari ponsel milik Anna. Aditya baru saja mengikat bathrope yang dia kenakan saat dia mendekati Anna yang semakin gugup.

"Se selamat siang. Iya, Pak Alan?" sapa Anna agak terbata melihat Aditya sudah berada di dekatnya. Tanpa ia duga, selanjutnya Alan mengganti panggilan suara itu menjadi video call.

"Mana Aditya? Aku telpon ponselnya nggak di angkat-angkat!"

"Apa itu Alan?"

Anna mengangguk samar dengan canggung. Menelusuri penampilan Aditya sekilas dan berharap pria di hadapannya ini mengerti kegalauan yang ada di pikirannya.

Oke. Dia memang mengagumi Aditya sejak pandangan pertama, tapi Anna tak pernah menyangka akan berjalan seperti ini.

Anna berikan anggukan samar lagi setelah Aditya berikan kode tangan dan kemudian beranjak kembali ke kamar pribadinya. "Maaf, Pak Alan. Pak Aditya masih dalam panggilan." Hanya kebohongan ini yang terlintas dalam pikiran Anna.

"Jadi dia belum tandatangan?"

"Belum, Pak."

"Apa belum di baca, juga?"

"Be belum, Pak." Kali ini Anna terpaksa berikan jawaban jujur.

"Katakan pada Alan, aku yang menelponnya. Matikan ponselmu." Perintah Aditya ini juga di dengarkan oleh Alan, sehingga setelahnya beralih pada kedua pria tersebut.

"Iya, Alan? Sorry, ada kendala teknis. Setelah ini akan aku tandatangani," sahut Aditya setelah ia menelpon Alan baik, seraya memasukkan kemejanya ke dalam celana bahan secara kilat. "Oh, jadi kamu sudah di bawah? Di lobby? Oke. Aku kesana." Aditya berhenti berbicara. Anna yang jadi perhatiannya. "Pegawaimu? Dia baik-baik saja. Aku mengajaknya ke atas karena tidak etis saja mau tanda tangani dokumen bisnis di lobby. Tunggu saja di bawah, kami segera turun."

Setelah menutup telpon, Aditya duduk di sofa samping Anna. Dokumen dari Alan itu di bukanya, di baca secara sekilas-sekilas, lalu di tandatangani pada bagian namanya sebagai salah satu pihak.

"Sudah selesai." Aditya rapikan dokumen itu lantas di berikan pada Anna. Gadis itu menunduk, tak ada keberanian untuk membalas tatapan Aditya sama sekali. "Maafkan aku." Nada bicara Aditya lebih lembut di bandingkan sebelum-sebelumnya. "Ada sesuatu mengangguku, tapi sekarang sudah bisa aku atasi."

"Tidak apa-apa, Pak."

"Kamu pasti jadi takut sama aku. Benar?"

"Tidak, Pak. Bagi saya, permintaan maaf anda ini sudah buktikan kalau anda menyesal."

Aditya menatap Anna lumayan lama untuk memberi penilaian. "Kalau misalkan kamu ceritakan ini pada pacarmu. Aku akan bertanggungjawab. Pacarmu bisa memukul atau meminta ganti rugi, bisa juga ..."

"Saya belum punya pacar, dan saya tidak pernah pacaran, Pak."

Selaan Anna ini sontak membuat Aditya terdiam. Sekarang dia tidak lebih malu daripada Anna. "Apa maksudmu tadi itu ciuman pertamamu?"

Hening.

"Maaf, Pak Alan pasti menunggu." Anna sudah merasa tak bisa sembunyikan perasaan campur aduknya.

Bertemu Ravi seperti mimpi, bahkan ciuman pertamanya telah jadi milik pria tampan di hadapannya ini. Tapi Anna sadar, mimpi ini belum tentu akan terwujud jadi kenyataan. Anna hanya mencoba realistis.

"Oke. Kita ke bawah sekarang."

Selama bersama menuju ke lantai bawah, hanya kebekuan nan dingin menyelimuti keberadaan mereka. Masih ada guratan kesedihan pada diri Aditya, sekaligus perasaan tidak enak pada Anna.

"Aditya, " sapa Alan.

"Hai, Alan."

Keduanya lantas saling menjabat tangan dan berpeluk bertepuk pundak.

"Senang sekali bertemu denganmu lagi." Suara Alan ini membuat Anna keluar dari kebekuannya.

"Aku juga. Meeting pentingmu sudah selesai? Big deal, kah?" tanya Aditya basa-basi.

Alan tersenyum geli. "Kalau soal itu, sebaiknya aku tanya sama sekretarisku ini." Alan lalu berbalik, sehingga jadikan Anna terkesiap.

"Iy iya, Pak?" Terlihat sekali kalau Anna sedang gugup.

"Lain kali, kalau mau lakuin perintahku, di pikir dulu. Apa ada yang nggak kamu ngerti atau nggak kamu ketahui. Kalau kayak begini, aku tadi sampai bingung. Kamu pergi saja, padahal belum tahu buat siapa dokumen ini harus kamu berikan," omelan Alan pada Anna.

Anna hanya mampu tertunduk dan mengangguk. "Maaf, Pak. Tidak akan saya ulangi lagi."

Alan tidak menjawab, tapi dia justru kembali beralih pada Aditya. "Kenapa baru bilang kalau sekarang pindah disini, hah?" lanjut Alan ingin tahu, seraya membawanya ke dalam mobil di barisan penumpang belakang.

"Karena mimpi. Sudah lama aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Bagaimana bisnismu. Amankah?" rasa ingin tahu Aditya.

Alan mengangguk dengan bangga. "Tentu saja, masih aman. Baru-baru ini aku sudah mengajukan proposal pada salah satu investor asal China. Aku lihat dari daftar hadir investor di acara besok, ternyata perusahaan mereka masuk list juga." Alan lalu tertawa dengan sombongnya.

"Kalau itu berprospek bagus, kenapa kau tidak mendirikan perusahaan sendiri, seperti aku sekarang. Aku sudah tidak tahan lagi kalau harus bergantung pada mertua."

"Kamu serius? Kamu akan melepas semua yang selama ini sudah kau dapatkan? Kamu harusnya stay saja. Hidupmu sudah nyaman sekarang, nggak usah macam-macam. Jadilah menantu yang baik saja."

"Bukankah kau juga bernasib sama denganku?"

Anna dapat melihat dari spion tengah kalau raut wajah Aditya murung sekarang, begitu pula Alan.

"Tapi kalau aku mending main belakang daripada menceraikan aset pundi-pundi emas kita."

"Walaupun tanpa cinta?"

"Uang lebih bikin kenyang daripada cinta."

"Aku tidak bisa seperti itu. Istri kita punya karakter berbeda. Aku akan tetap menceraikannya."

"Gila kau!" Alan berusaha mempengaruhi. "Lakukan seperti aku saja. Jangan terus jadi pria baik-baik. Tidak, jangan bahas soal perceraian. Hilangkan itu dari pikiranmu, dan sekarang kita makan saja. Ingat. Jangan pernah berpikir untuk menceraikan Jessica. Aku nggak mau dengar lagi alasanmu. Itu omong kosong!" Alan segera berpaling dan berbicara pada sopir pribadinya soal tempat yang ingin dia datangi. "Antar kami ke restoran seafood dekat pantai yang biasanya."

Anna memperhatikan Aditya lewat spion atas. Pikirannya kembali campur aduk. Dari semua cerita yang dia dengar ini, ada sebuah titik harapan menggelitik. Apakah pantas bila dirinya berharap menjadi wanita kedua dari pernikahan seorang Aditya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status