"Tidak bersamamu lagi? Maksudnya bagaimana ini?" cerca Allisa. Sempatkan melirik ke arah Anna yang tertunduk kikuk. Ada sebuah dugaan Obrolan keduanya terjeda, lantaran ponsel Aditya bergetar, sehingga dia memutuskan pembicaraan dengan Allisa. "Iya Alan? Iya baru saja aku mau hubungi kamu... Anna?" Aditya berpaling, melihat pada Anna. "Iya, dia masih bersamaku. Kenapa?" Aditya kembali lagi pada Allisa. "Allisa. Maaf ya. Aku sudah ada janji dengan seseorang. Kamu bisa hubungi Jessica sendiri nanti. Dia pasti senang bertemu denganmu lagi. Ajak dia hang out, pasti dia mau karena sepertinya itu juga yang dia butuhkan saat ini." Aditya melakukan anggukan pelan pada Anna sebelum berpamintan dengan Allisa. "Ok, bye Lis. Aku ada urusan lain. Kabari saja kalau kamu pengen main ke kantorku. You're always welcome." "Ok. Tentu saja. Kalau ada waktu aku akan main-main ke kantor barumu." "Ok. Ayo, Anna." Aditya lantas membawa Anna pergi meninggalkan Allisa. Anna tersenyum pada Allisa, te
"Karena apa? Cepetan ngomongnya!" Aditya yang selalu tak sabaran."Karena kita seharusnya nggak boleh sering bersamaan kayak begini.""Maksudmu bagaimana?" Aditya menutup lagi pintu mobilnya. Di dekati Anna yang melihat ke arah dalam mansion, membayangkan lagi apa yang sudah terjadi barusan. Kedekatannya dengan Aditya sudah di ketahui banyak orang. Hal yang tak di sangka Anna sebelumnya, dan ternyata membuat Anna sedikit ketakutan."Iya. Kita berdua nggak boleh bersama. Itu nggak benar." Anna coba tegaskan."Nggak benar bagaimana?!" Aditya yang kaku terus saja mencerca. Baginya, Anna sering berkata sepotong-potong dan membuatnya agak geregetan nggak sabaran menunggu kelanjutan penjelasan Anna."Masa kamu nggak lihat tatapan orang-orang pada kita, terutama padaku saat melihat kita berdua masuk ke hall barusan? Aku nggak bisa melihat hal seperti itu.Jujur aku belum siap."Aditya memperhatikan Anna dengan seksama, lalu ke arah hall. "Tapi aku biasa saja. Biarin saja mereka melakukan itu.
Anna menghela napas dalam dan menghembuskan dengan kekesalan."Aku bukannya nyerah. Kalau saja Pak Alan tidak menelponku dan mengatakan sesuatu yang harus aku lakukan malam ini juga, aku nggak akan mau ngomongin ini sama kamu.""Alan? Yang menelponmu barusan itu Alan? Aku kira itu tadi ibumu. Kamukan masih kecil, mungkin saja takut kenapa main belum pulang-pulang," canda Aditya sambil menahan senyuman."Bukan!" kesal Anna. "Ada urusan bisnis. Dua klien baru minta dadakan bertemu malam ini juga, karena besok pagi mereka harus ke luar negeri.""Terus?""Pak Alan meminta aku... dan kamu juga sih, buat nemenin bertemu mereka. Kamu akan di libatkan juga," sahutan dengan napas tersengal-sengal karena Anna mengatakannya dengan cepat."Terus?""Ya, kita bertiga nanti menemui mereka. Kliennya ada dua orang. Aku nggak tahu, dua-duanya itu kerjasama jadi satu atau sendiri-sendiri.""Terus?""Terus ya... kita temui mereka di apartemenmu... lobby apartemenmu tepatnya." Anna ngos-ngosan karena Adit
2. Bau alkohol "Kamu mau apa, Mas?" Anna berancang-ancang menahan Aditya, tapi Aditya tak menggubris ketakutan Anna, tapi justru membuka pintu mobil. "Mas. Jangan keluar. Kalau mereka melukaimu bagaimana?" Anna masih berusaha menahan Aditya dengan menarik lengan bajunya. "Aku yang akan melukai mereka terlebih dahulu!" "Mas! Aduuh. Kamu ini." Terlambat buat Anna untuk mencegah Aditya keluar, karena anak-anak berandalan yang berada di luar menatap ke arah Aditya. "Kamu. Di dalam saja, dan saksikan pertunjukan, mengerti!" "Tapi, Mas..." Pintu tertutup, dan Anna hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang akan terjadi di luar sana. Anna juga sesekali menyaksikan angka berupa hitungan detik untuk menunjukkan berapa lama lampu merah itu akan menyala. Waktu menunjukkan detik ke-20. Perkiraan Anna masih ada kira-kira 40 detik ke depan bila perkiraan memang benar, kalau hitungan sekali jalan lampu merah menyala adalah satu menit atau 60 detik. Aditya terlihat berbicara dengan seorang an
Setiap kali mengaca di kamar mandi, seperti sebuah pengingat buat Anna soal keberadaan Aditya. Keraguan terbesit di sana. Anna belum berani menceritakan pada siapa-siapa, selain hanya pada dirinya sendiri. "Tuh kan, Anna. Kamu di buat terpana lagi." Pertahanan Anna mulai runtuh lagi. "Apa yang di lakukan Mas Aditya tadi tuh keren banget. Belum pernah aku lihat cowok so gentleman kayak dia." Sedetik kemudian Anna tertunduk lesu saat melihat jam tangan dan mendapati waku sudah menunjukkan pukul 7 lewat lima menit, kepanikan langsung menghampiri Anna. "Aduh. Bisa ngomel itu Tuan Judes kalau aku kelamaan." Anna kemudian mundur beberapa langkah, untuk lebih memastikan kerapian penampilannya, tapi hanya sebentar saja Anna kemudian segera menyambar tasnya dan berjalan cepat ke arah luar. Anna jadi gugup, karena tidak di jumpai Aditya di luar kamar mandi seperti baisanya. Aditya selalu menunggunya bila berada di kamar mandi khusus wanita meskipun itu dalam waktu yang lumayan lama. Da
Saat akan mengikuti langkah Aditya, Anna yang melewati area lobby lounge, menyempatkan diri untuk melihat keluar. Di lihatnya langit masih dipenuhi air hujan deras disertai kilatan petir tak henti-hentinya menyambar. Keinginan untuk segera pulang tampaknya belum mungkin Anna lakukan saat ini. Kini Anna berada di tengah-tengah lobby lounge, antara melihat ke luar dan ke arah Aditya yang sudah berada di depan lift. Anna mengalami kebimbangan. Apakah akan menunggu hujan reda di salah satu sofa di lobby lounge itu ataukah mengobati rasa penasaran dengan mendengarkan cerita Aditya soal apa saja yang di bisikkan atasannya tadi pada Aditya. Anna kembali beralih ke arah luar setelah melihat Aditya dan tampak hujan masih terlihat deras. "Tapikan aku nggak boleh terlalu dekat dengannya. Nggak boleh!" gumam Anna dalam lingkaran antara setan dan malaikat. "Tapi kepingin tahu banget. Gimana, dong?" tanyanya pada diri sendiri. Saat beralih lagi ke Aditya. Anna terkejut, karena Aditya te
"Anna. Mulai sekarang kamu harus hati-hati." "Ke kenapa?" "Jangan sembarangan bercerita sama orang lain, meskipun itu sahabatmu sendiri. Mulai sekarang kalau ada yang ingin kamu bicarakan atau tanyakan soal Alan dan yang berhubungan dengan pekerjaanmu, soal apapun itu yang ada hubungannya denganku juga, kamu harus mengatakannya padaku dulu. Kamu mengerti Anna?" Mata Anna terbelalak. "Aku...iya..." Aditya langsung menyambar memberi kesimpulan sendiri. "Berarti kamu mengerti!" Aditya lalu menarik tangan Anna lagi, tapi kali ini adalah telapak tangannya. "Dengar. Aku bertanya padamu dahulu." "Apa itu?" Anna menatap pada tangan Aditya yang menggenggamngnya, tapi di biarkan saja, tidak ada penolakan sama sekali dari Anna. Tapi Aditya melepaskan genggamannya itu dengan lembut. Anna segera bergeser kembali pada tempat duduknya semula, tangannya memegang dadanya, mengatur nada jantung yang berdetak tak beraturan antara senang tapi juga takut. Ketakutan akan perasaan yang tersimpan di h
"Kirana. Masuk ke ruangan. Sekarang!" perintah seorang atasan bernama Alan."Sa saya, Pak?" sahut Anna yang telah berdiri dengan sikap bingung. Belum pernah ada sejarah Alan memanggil pegawai dengan jabatan rendah seperti dirinya."Iya. Siapa lagi? Cepat ke sini!" perintah Alan lagi lalu masuk ke ruangannya.Anna lalu menuju ke ruangan Alan dengan pikiran penuh tanda tanya. "Selamat pagi. Iya, Pak?"Alan menelusuri wajah cantik alami Kirana. Ada tujuan terselubung Alan menginginkan Anna untuk melakukan perintahnya kali ini, yaitu agar menarik rekan bisnisnya ini untuk mau bekerjasama dengannya. "Ada tugas untukmu. Setelah ini aku ada meeting penting, jadi antarkan dokumen ini ke temanku.""Baik, Pak."Alan menyodorkan sebuah tas file transparan dan berisi beberapa tumpukan berkas. Annapun meraihnya. "Saya berikan berkas ini di mana, Pak?" tanyanya setelah menerima lalu menaruh di pangkuannya."Gedung apartemen Oakwood. Apa kamu tahu, Anna?""Gedung apartemen setelah puteran balik lamp